Anda di halaman 1dari 71

DAMPAK EVIDENCE BASED PRACTICE

PADA KEPERAWATAN KRITIS


Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Disusun Oleh
Kelompok 2
Anggelina Natalia Deramika : P1337420921196
Deany Saftuari : P1337420921201
Karina Ayu Serin : P1337420921205
Ribka Westinia : P1337420921204
Zulfi Anan Winaldi : P1337420921184

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Dampak Evidence Based PracticePada Keperawatan Kritis”. Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata KuliahKeperawatan
Kritis.
Makalah ini ditulis berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan materi
yang ingin disampaikan. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pengajar mata
kuliah Keperawatan Kritis atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini, dan
juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan dan pandangan,
sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan mengenai Keperawatan
Kritis terutama mengenai materi. Sehingga saat pemilihan atau penempatan kata untuk
memahami makna suatu kata, juga dapat meminimalisir kesalahpahaman yang akan
terjadi yang dikarenakan penempatan kata yang digunakan. Penulis berharap para
pembaca untuk dapat memberikan pandangan dan wawasan agar makalah ini menjadi
lebih baik.

Semarang, 10 Maret 2022

Kelompok 2
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................iii
BAB IPENDAHULUAN...........................................................................................0
A. Latar Belakang................................................................................................0
B. Rumusan Masalah...........................................................................................0
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................0
BAB IIPEMBAHASAN............................................................................................0
A. Konsep Evidance Based Practiced (EBP) dalan Keperawatan Kritis.............0
1. Definisi Evidance Based Practiced (EBP) dalan Keperawatan Kritis......0
2. Tujuan Evidance Based Practiced (EBP) dalan Keperawatan Kritis.......0
3. Manfaat Evidance Based Practiced (EBP) dalan Keperawatan Kritis.....0
4. Persyaratan dalam Penerapan EBP dalan Keperawatan Kritis.................0
5. Model Implementasi Evidence Based Practice dalan Keperawatan
Kritis.........................................................................................................0
6. Langkah – Langkah EBP dalan Keperawatan Kritis................................0
7. Penerapan EBN dalam Proses Keperawatan Kritis..................................0
8. Hambatan Untuk Menggunakan EBP dalan Keperawatan Kritis............0
9. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan EBP dalam
Keperawatan Kritis...................................................................................0
B. Evidence Based Practice Dalam Keperawatan Kritis......................................0
1. Analisis Jurnal..........................................................................................0
2. Pembahasan..............................................................................................0
BAB IIIPENUTUP....................................................................................................0
A. Kesimpulan......................................................................................................0
B. Saran................................................................................................................0
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................0
BAB 1
PENDAHULUA
N

A. LatarBelakang

Evidence-Based Practice adalah pendekatan sistematis untuk meningkatkan


kualitas praktik keperawatan dengan mengumpulkan bukti terbaik, Almaskari
(2017). Evidence adalah kumpulan fakta yang diyakini kebenarannya. Ada dua
bukti yang dihasilkan oleh evidence yaitu bukti eksternal dan internal. Evidence-
Based Practice in Nursing adalah penggunaan bukti ekternal dan bukti internal
(clinical expertise), serta manfaat dan keinginan pasien untuk mendukung
pengambilan keputusan di pelayanan kesehatan, Chang, Jones, & Russell (2013).
Hal ini menuntut perawat untuk dapat menerapkan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti empiris atau dikenal denan Evidance Based Nursing Practice
(EBNP).

Kebijakan penerapan EBNP di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang


Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 Pasal 2 huruf b yang menyatakan bahwa
praktik keperawatan berasaskan nilai ilmiah sebagaimana dijelaskan bahwa
praktik keperawatan harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi
yang diperoleh baik melalui penelitian, pendidikan maupun pengalaman praktik.
Meskipun kebijakan penerapan EBNP telah tertuang dalan UU Keperawatan
namun fenomena keperawatan dalam menerapkan EBNP masih terbilang rendah
di Indonesia. Banyaknya hasil penelitian keperawatan yang sudah dihasilkan di
institusi pendidikan namun belum optimal penyerapannya ke pelayanan praktik
keperawatan sehingga banyak perawat yang belum terpapar dengan penelitian.
Mukti (2012) mengatakan bahwa EBNP sangat diperlukan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan, keselamatan pasien, keefektifan managemen dalam
pengelolaan pelayanan keperawatan, dan meningkatkan kesadaran akan
pentingnya bukti empiris dalam melaksanakanpelayanan.

Tingginya tuntutan secara internasional untuk meningkatkan keefektifan


klinik dan serta keefektifan biaya dalam kebijakan kesehatan telah menyoroti
kebutuhan akan layanan kesehatan agar dibangun berdasarkan penggunaan ilmu
pengetahuan berdasarkan hasil penelitian dengan baik. Pemerintah di berbagai
negara telah mendukung pembangunan sistem pelayanan kesehatan berdasarkan
hasil penelitian dimana keputusan yang dibuat oleh pelaksana pelayanan
kesehatan, manajer, pembuat keputusan, dan pasien berdasarkan pada ilmu
pengetahuan yang berkualitas tinggi, Chang, Jones, & Russell (2013).

Perawat sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan


kepada masyarakat memiliki peran penting karena terkait langsung dengan
pemberi asuhan kepada pasien sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Perawat sebagai ujung tombak sangat menentukan pemberian asuhan
keperawatan yang aman. World Health Organization (WHO)
merekomendasikan agar asuhan keperawatan yang aman bisa diberikan pada
pasien, maka upaya penelitian dan penerapan hasil penelitian perlu dilakukan.
Upaya penerapan hasil/penelitian ini dikenal dengan asuhan
keperawatanberbasis Evidence Based Practice (EBP). Tujuan dari penerapan
EBNP mengidentifikasi solusi dari pemecahan masalah dalam perawatan serta
membantu penurunan bahaya pada pasien, Almaskari(2017).

Praktik keperawatan, EBNP merupakan ciri khas dari praktik keperawatan


profesional untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. EBNP digunakan
oleh perawat sebagai pemberi pelayanan asuhan keperawatan yang baik karena
pengambilan keputusan klinis berdasarkan pembuktian. Mengambil keputusan
yang tepat dalam asuhan keperawatan yang dilakukan seorang perawat
profesional dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya pengalaman klinik yang
dimiliki dan hasil-hasil riset yang terbaik sehingga kualitas asuhan keperawatan
berbasis pembuktian terjaga. Selain itu, EBNP juga merupakan suatu proses
yang sistematik yang digunakan dalam membuat keputusan tentang perawatan
pasien, termasuk mengevaluasi kualitas dan penggunaan hasil penelitian,
preferensi pasien, pembiayaan, keahlian dan pengaturan klinis, Lagita(2012).
Perawat yang melaksanakan praktiknya berdasarkan pengalaman klinik yang
dimiliki dan hasil-hasil riset yang terbaik berarti telah melaksanakan
EBNP.Hasil penelitian, Subramaniam, Krishinan, Revathy, Rostenberghe, &
Berahim (2015) pada 600 orang perawat di 4 rumah sakit Malaysia ditemukan
hasil bahwa 53% perawat mengetahui tentang EBNP dan ada perbedaan
signifikan rata-rata sikap perawat terhadap EBNP antara perawat senior dan
junior. Pernyataan sikap perawat junior yang menyatakan bahwa EBNP
menambah beban kerja perawat karena selalu di update.

Di beberapa negara, pelaksanaan EBNP menjadi fokus dalam pelayanan


keperawatan. Persepsi perawat terhadap penggunaan EBNP masih beragam
dikarenakan pengetahuan, respon sumber daya pendukung dan adanya faktor
penghambat. Persepsi adalah suatu proses ketika seseorang mengorganisasikan
dan menginterpretasikan kesan sensori mereka untuk memberi arti pada
lingkungan. Hasil penelitian tentang persepsi penerapan
EBNPmenunjukkanhasil yang berbeda dalam kaitannya dengan persepsi perawat
seperti yang dijelaskan dalam beberapa penelitian. Chang, Jones, & Russell
(2013) dalam penelitiannya tentang eksplorasi sikapdan tantangan perawat
dalam implementasi EBNP didapatkan hasil bahwa mayoritas perawat di
fasilitas kesehatan lansia Taiwan memiliki sikap yang positif terhadap EBN
sementara tantangan perawat dalam melakukan EBNP adalah kurangnya
motivasi dan percaya diri, kurangnya pemahaman perawat, kurangnya waktu
perawat dan budaya kerja yang kurang mendukung. Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Zhou, Hao, Guo, &Liu (2016) tentang sikap, pengetahuan dan
praktik EBNP pada perawat yang di klinik didapatkan bahwa responden
menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan EBNP akan cenderung lebih
meningkatkan pengetahuan dan praktik dan juga menunjukkan pengalaman kerja
perawat yang lama, beban kerja yang sedikit dan pengalaman melakukan
penelitian akan lebih profesional sikapnya dalam menerapkan EBNP. Jude,
Constance, Christian, & Maureen (2015) mengkaji tingkat pemanfaatan EBNP
pada praktisi perawat di Negeria ditemukan bahwa para perawat mengetahui
EBNP pada saat menempuh pendidikan formal perawat, terindikasi bahwa sikap
dan kepercayaan serta pengetahuan perawat yang positif dalam menerapkan
EBNP.

Penelitian yang dilakukan dalam mengkaji persepsi perawat terhadap EBNP


di rumah sakit Ethiopia yang diteliti oleh Hadgu, Almaz, & Tsehay (2015)
didapatkan bahwa 90% persepsi perawat positif dan 73% sikap perawat yang
berada di rumah sakit tersebut positif dalam menerapkan EBNP dan
mengintegrasikan kedalam praktik pelayanan keperawatan. Penelitian yang
pernah dilakukan di Indonesia oleh Sandofa, Rudini, & Fitri (2016) tentang
gambaran persepsi perawat Intensive Care Unit disalah satu rumah sakit di
Jambi pada 26 orang perawat didapatkan sebagian besar perawat yaitu 59,1%
yang tahu tentang penggunaan istilah EBNP. Dalam hal menilai sebuah karya
ilmiah oleh perawat didapatkan hasil 45,5% responden tidak dapat menilai
secara kritis sebuah karya ilmiah. Sementara pendapat perawa ttentang
pentingny aEBNP didapatkan hasil 59.1% responden berpendapat bahwa EBNP
penting pada praktik perawatan klinis. Keyakinan responden pada EBNP
didapatkan sebanyak 54.5% perawat yakin bahwa EBNP dapat memperbaiki
perawatanklinis.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya penerapan EBNP
seperti pendidikan perawat yang masih belum homogen, pengetahuan perawat
yang masih rendah, belum siapnya perawat seperti membiasakan membaca
jurnal, meneliti dan mengintegrasikan penelitian serta belum mengenal lebih
banyak tentang penelitian. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitian, Lagita
(2012) menunjukkan bahwa pengetahuan perawat pada konsep berbasis bukti
masih rendah, dan perawat belum siap menerapkan EBNP di rumah sakit
dikarenakan intervensi keperawatan yang selama ini diterapkan berdasarkan
“kebiasaan”

Elysabeth, Libranty, & Natalia (2014) dalam penelitiannya pada perawat


menemukan bahwa hanya 26% perawat yang memiliki kompetensi yang baik
dalam aplikasi EBNP. Hal ini disebabkan oleh pendidikan perawat yang tinggi.
PenelitianyanglaintentangpenerapanEBNPolehLagita(2012)didapatkanhasil
bahwa hambatan yang terbesar dalam penerapan EBNP yaitu tidak adanya waktu
dalammembacajurnal(84%),kurangnyaidetentangpenelitian(64%),kurangnya
otoritas perawat dalam melakukan perubahan perawatan(64%).

Faktor lainnya yaitu kurangnya dukungan dari perawat manager dalam


mengimplementasikan EBNP di ruangan. Pemimpin perawat merupakan kunci
terpenting dalam mempromosikan EBNP dan juga harus memiliki keterampilan
yang digunakan untuk praktik dan kepemimpinan. Penelitian tentang dampak
pelatihan kepemimpinan keperawatan terhadap EBNP pada perawat manager
didapatkan bahwa sebelum mereka dilatih persepsi dan sikap mereka tentang
EBNP 62% positif dengan rincian 5% sangat setuju dan 69% setuju EBNP
diterapkan di pelayanan keperawatan. Namun pada saat setelah pelatihan 59%
perawat sangat setuju bahwa pelatihan EBNP membantu mereka dalam
mengambil keputusan berdasarkan pembuktian. Rincian hasil penelitian tersebut
adalah 15% menyatakan sangat setuju dan 76% menyatakan setuju EBNP
diterapkan di pelayanan keperawatan. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah
peranperawat manager sangat penting dalam mengembangkan EBNP diunit kerja
mereka, Kvist, Tähkä, Ruotsalainen, & Tervo-heikkinen(2014). Sumatera Barat
merupakan salah satu provinsi yang memiliki sekitar kurang lebih enam rumah
sakit yang berstatus akreditasi paripurna versi 2012. Perubahan paradigma
akreditasi rumah sakit dari provider oriented menjadi patient oriented akan
memberikan peluang yang besar kepada perawat menerapkan EBNPdisetiap
pelayanan keperawatan. Ditambah lagi dengan banyak institusi pendidikan
keperawatan di Sumatera Barat yang menghasilkan banyak penelitian di bidang
keperawatan dimana institusi pendidikan keperawatan sebagai pengguna rumah
sakit untuk peserta didik akan memperkuat integrasi hasil penelitian dalam
tindakan keperawatan. Dari enam rumah sakit yang terkreditasi paripurna tiga
diantaranya berada dikota Bukit tinggi yaitu Rumah Sakit Umum Daerah
Achmad Mochtar (RSAM), Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN),dan Rumah
Sakit Islam Ibnu Sina.

Rumah Sakit Umum Daerah Achmad Mochtar (RSAM) merupakan rumah


sakit umum terbesar yang ada di Bukittinggi dan merupakan rumah sakit dengan
kunjunganpasienterbanyak,rujukanpasiendiSumateraBaratbagiantengah,dan
banyaknya institusi pendidikan sebagai pengguna untuk tempat praktik
keperawatan selama pendidikan. Rumah sakit ini memiliki 12 ruang rawat inap
denganberbagaisubbagian,satuinstalasigawatdarurat,saturuangintensivecare, dan
satu ruang kamar operasi. Tenaga keperawatan yang dimiliki sebanyak 310
orang perawat dengan rata-rata setiap ruangan 10-15 orang perawat. Kualifikasi
pendidikan keperawatan yang dimiliki mulai dari diploma tiga keperawatan
hingga spesialis keperawatan.

Berdasarkan fenomena di atas, fakta di lapangan menunjukkan bahwa


persepsi perawat terhadap EBNP belum terjawab di RSAM. Hasil penelitian
yang dipaparkan diatas masih banyak bersifat kuantitatif namun ada hal yang
belum terjawab lebih mendalam tentang persepsi perawat terhadap EBNP. Hal
ini perlu dieksplorasi lebih dalam melalui penelitian kualitatif. Hal – hal yang
akan
dieksplorasisecaramendalammeliputipersepsiperawattentangEBNP,hambatan
dalam penerapan EBNP, harapan perawat dalam penerapan EBNP, peran dan
fungsi perawat dalam penerapan EBNP, dan keuntungan penerapan EBNP

B. Perumusan Masalah
Mengingat Evidence Based Nursing Practice sangat diperlukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan, keselamatan pasien, keefektifan managemen
dalam pengelolaan pelayanan keperawatan, dan meningkatkan kesadaran akan
pentingnya bukti empiris dalam melaksanakan pelayanan. Ditemukannya
fenomena dilapangan bahwa gagasan EBNP umumnya diterima namun sulit
dalam penerapannya. Oleh karena itu dapat di rumuskan masalah
penelitian “Bagaimana Persepsi Perawat Tentang Evidence Based Nursing
Practice di RSUD Dr Achmad Mochtar Bukittinggi”.
1. TujuanPenelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah diperolehnya gambaran persepsi perawat
tentang Evidence Based Nursing Practice (EBNP) di RSAM Bukittinggi.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat Aplikatif
a. Rumah Sakit.
EBNP memberikan manfaat sebagai suatu inovasi untuk rumah sakit dari
perawat.Tenaga kesehatan terbanyak dirumah sakit adalah perawaty ang
juga berkontribusi terhadap kesembuhan pasien dengan adanya
penerapan EBNP maka rumah sakit tetap memberikan pelayanan yang
terbaik dengan mengedepankan patientoriented.
b. Perawat
Hasil penelitian memberikan manfaat kepada perawat yaitu dengan
memasukkan pembuktian kedalam asuhan keperawatan akan
mempermudah perawat dalam mengambil keputusan secara profesional
saat perawat memberikan asuhan keperawatan. EBNP juga merupakan
ciri khas dari praktik pelayanan profesional.
c. Bidang Keperawatan
Pelaksanaan EBNP tidak terlepas dari peran bidang keperawatan dalam
memberikan motivasi agar perawat selalu bersama-sama meningkatkan
manajemen pelayanan keperawatan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan
masukan bagi bidang keperawatan dalam mengembangkan standar
asuhan keperawatan berbasis pembuktian. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan untuk dapat melahirkan kebijakan rumah sakit terkait dengan
asuhan keperawatan berbasis pembuktian sehingga asuhan keperawatan
yang diberikan oleh perawat bersifat ilmiah sesuai dengan amanat
Undang-undang Keperawatan Nomor 38 tahun 2014.
d. Manfaat Akademik
Penelitian ini memberikan manfaat yang banyak bagi pendidikan
keperawatan. Penghasil penelitian terbanyak berada di institusi
pendidikan sehingga hasil penelitian yang dihasilkan akan lebih banyak
terserap kedalam praktik pelayanan keperawatan. Manfaat lainnya bahwa
ada sinkronisasi antara pendidikan dan pelayanan keperawatan dalam
meningkatkan kualitas praktik keperawatan. EBNP ini juga sebagai
bahan pertimbangan untuk institusi pendidikan keperawatan
memasukkan EBNP di setiap pembelajaran keperawatan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Landasan Teori
1. Evidence based practice
a. Pengertian evidence based practice
Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu tenaga
kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi terbaru yang
dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan efisien sehingga
dapat memberikan perawatan terbaik kepada pasien (Macnee, 2011). Sedangkan menurut
(Bostwick, 2013) evidence based practice adalah starategi untuk memperolah pengetahuan
dan skill untuk bisa meningkatkan tingkah laku yang positif sehingga bisa menerapakan
EBP didalam praktik. Dari kedua pengertian EBP tersebut dapat dipahami bahwa evidance
based practice merupakan suatu strategi untuk mendapatkan knowledge atau pengetahuan
terbaru berdasarkan evidence atau bukti yang jelas dan relevan untuk membuat keputusan
klinis yang efektif dan meningkatkan skill dalam praktik klinis guna meningkatkan kualitas
kesehatan pasien.Oleh karena itu berdasarkan definisi tersebut, Komponen utama dalam
institusi pendidikan kesehatan yang bisa dijadikan prinsip adalah membuat keputusan
berdasarkan evidence based serta mengintegrasikan EBP kedalam kurikulum merupakan
hal yang sangat penting.
Namun demikian fakta lain dilapangan menyatakan bahwa pengetahuan, sikap, dan
kemampuan serta kemauan mahasiswa keperawatan dalam mengaplikasikan evidence
based practice masih dalam level moderate atau menengah. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan konsep pendidikan keperawatan yang bertujuan untuk mempersiapkan
lulusan yang mempunyai kompetensi dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang
berkualitas. Meskipun mahasiswa keperawatan atau perawat menunjukkan sikap yang
positif dalam mengaplikasikan evidence based namun kemampuan dalam mencari literatur
ilmiah masih sangat kurang. Beberapa literatur menunjukkan bahwa evidence based
practice masih merupakan hal baru bagi perawat. oleh karena itu pengintegrasian evidence
based kedalam kurikulum sarjana keperawatan dan pembelajaran mengenai bagaimana
mengintegrasikan evidence based kedalam praktek sangatlah penting (Ashktorab et al.,
2015).
Pentingnya evidence based practice dalam kurikulum undergraduate juga dijelaskan
didalam (Sin&Bleques, 2017) menyatakan bahwa pembelajaran evidence based practice
pada undergraduate student merupakan tahap awal dalam menyiapkan peran mereka
sebagai registered nurses (RN). Namun dalam penerapannya, ada beberapa konsep yang
memiliki kesamaan dan perbedaan dengan evidence based practice. Evidence based
practice atauevidence based nursing yang muncul dari konsep evidence based
medicinememiliki konsep yang sama dan memiliki makna yang lebih luas dari RU
atauresearch utilization(Levin & Feldman, 2012).
b. Tujuan EBP
Tujuan utama di implementasikannya evidance based practice di dalam praktek
keperawatan adalah untuk meningkatkan kualitas perawatan dan memberikan hasil yang
terbaik dari asuhan keperawatan yang diberikan. Selain itu juga, dengan dimaksimalkannya
kualitas perawatan tingkat kesembuhan pasien bisa lebih cepat dan lama perawatan bisa
lebih pendek serta biaya perawatan bisa ditekan (Madarshahian et al., 2012). Dalam
rutinititas sehari-hari para tenaga kesehatan profesional tidak hanya perawat namun juga
ahli farmasi, dokter, dan tenaga kesehatan profesional lainnya sering kali mencari jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika memilih atau membandingkan treatment
terbaik yang akan diberikan kepada pasien/klien, misalnya saja pada pasien post operasi
bedah akan muncul pertanyaan apakah teknik pernapasan relaksasi itu lebih baik untuk
menurunkan kecemasan dibandingkan dengan cognitive behaviour theraphy, apakah teknik
relaksasi lebih efektif jika dibandingkan dengan teknik distraksi untuk mengurangi nyeri
pasien ibu partum kala 1 (Mooney, 2012).
Pendekatan yang dilakukan berdasarkan pada evidance based bertujuan untuk
menemukan bukti-bukti terbaik sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan klinis yang
muncul dan kemudian mengaplikasikan bukti tersebut ke dalam praktek keperawatan guna
meningkatkan kualitas perawatan pasien tanpa menggunakan bukti-bukti terbaik, praktek
keperawatan akan sangat tertinggal dan seringkali berdampak kerugian untuk pasien.
Contohnya saja education kepada ibu untuk menempatkan bayinya pada saat tidur dengan
posisi pronasi dengan asumsi posisi tersebut merupakan posisi terbaik untuk mencegah
aspirasi pada bayi ketika tidur. Namun berdasarkan evidence based menyatakan bahwa
posisi pronasi pada bayi akan dapat mengakibatkan resiko kematian bayi secara tiba- tiba
SIDS (Melnyk & Fineout, 2011).

Oleh karena itu, pengintegrasian evidence based practice kedalam kurikulum


pendidikan keperawatan sangatlah penting. Tujuan utama mengajarkan EBP dalam
pendidikan keperawatan pada level undergraduate student adalah menyiapkan perawat
profesional yang mempunyai kemampuan dalam memberikan pelayanan keperawatan yang
berkualitas berdasarkan evidence based (Ashktorab, 2015).Pentingnya pelaksanaan EBP
pada institusi pendidikan yang merupakan cikal bakal atau pondasi utama dibentuknya
perawat profesional membutuhkan banyak strategi untuk bisa meningkatkan knowledge
dan skill serta pemahaman terhadap kasus real dilapangan. Diantaranya adalah
pengguanaan virtual based patients scenario dalam kegiatan problem based learning
tutorial yang akan bisa memberikan gambaran real terhadap kondisi pasien dengan
teknologi virtual guna meningkatkan knowledge dan critical thinking mahasiswa Namun
demikian untuk mengintegrasikan dan mengimplementasikan evidence based kedalam
praktik ada banyak hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh seorang tenaga
kesehatan yang profesional yaitu apakah evidence terbaru mempunyai konsep yang relevan
dengan kondisi dilapangan dan apakah faktor yang mungkin menjadi hambatan dalam
pelaksanaan evidence based tersebut dan berapa biaya yang mungkin perlu disiapkan
seperti misalnya kebijakan pimpinan, pendidikan perawat dan sumberdaya yang ahli dalam
menerapkan dan mengajarkan EBP, sehingga tidak semua evidence bisa diterapkan dalam
membuat keputusan atau mengubah praktek (Salminen et al., 2014).

c. Komponen kunci EBP


Evidence atau bukti adalah kumpulan fakta yang diyakini kebenarannya. Evidence atau
bukti dibagi menjadi 2 yaitu eksternal evidence dan

internal evidence. Bukti eksternal didapatkan dari penelitian yang sangat ketat dan dengan
proses atau metode penelitian ilmiah. Pertanyaan yang sangat penting dalam
mengimplementasikan bukti eksternal yang didapatkan dari penelitian adalah apakah
temuan atau hasil yang didapatkan didalam penelitian tersebut dapat diimplementasikan
kedalam dunia nyata atau dunia praktek dan apakah seorang dokter atau klinisi akan
mampu mencapai hasil yang sama dengan yang dihasilkan dalam penelitian tersebut.
Berbeda dengan bukti eksternal bukti internal merupakan hasil dari insiatif praktek seperti
manajemen hasil dan proyek perbaikan kualitas (Melnyk & Fineout, 2011).

Dalam (Grove et al., 2012) EBP dijelaskan bahwa clinical expertise yang merupakan
komponen dari bukti internal adalah merupakan pengetahuan dan skill tenaga kesehatan
yang profesional dan ahli dalam memberikan pelayanan. Hal atau kriteria yang paling
menunjukkan seorang perawat ahli klinis atau clinical expertise adalah pengalaman kerja
yang sudah cukup lama, tingkat pendidikan, literatur klinis yang dimiliki serta
pemahamannnya terhadap research. Sedangkan patient preference adalah pilihan pasien,
kebutuhan pasien harapan, nilai, hubungan atau ikatan, dan tingkat keyakinannya terhadap
budaya. Melalui proses EBP, pasien dan keluarganya akan ikut aktif berperan dalam
mengatur dan memilih pelayanan kesehatan yang akan diberikan. Kebutuhan pasien bisa
dilakukan dalam bentuk tindakan pencegahan, health promotion, pengobatan penyakit
kronis ataupun akut, serta proses rehabilitasi. Beberapa komponen dari EBP dan dijadikan
alat yang akan menerjemahkan bukti kedalam praktek dan berintegrasi dengan bukti
internal untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Meskipun evidence atau bukti yang dianggap paling kuat adalah penelitian systematic
riview’s dari penelitian-penelitian RCT namun penelitian deskriptif ataupun kualitatif yang
berasal dari opini leader juga bisa dijadikan landasan untuk membuat keputusan klinis

Gambar 2.1 Komponen EBP (Grove et al., 2012)

Bukti eksternal berasal dari penelitian, bukti berdasarkan teori, opini pemimpin, dan

Bukti internal dapat berupa keahlian klinis yang didapatkan dari manajemen has

Membuat
keputusan
klinis
berdasarkan
evidence
based

Pilihan pasien dan nilai


Jika memang penelitian sejenis RCT tidak tersedia. Begitu juga dengan
teori-teori, pilihan atau nilai pasien untuk membuat keputusan klinis guna
meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien. Klinisi sering kali bertanya
bagaimana bukti dan jenis bukti yang bisa dibutuhkan sampai bisa merubah
praktek. Level dan kualitas evidenceatau bukti bisa dijadikan dasar dan
meningkatkan kepercayaan diri seorang klinisi untuk merubah praktek
(Dicenso et al., 2014).
d. Model-model EBP
Dalam memindahkan evidence kedalam praktek guna meningkatkan kualitas
kesehatan dan keselamatan (patient safety) dibutuhkan langkah- langkah
yang sistematis dan berbagai model EBP dapat membantu perawat atau
tenaga kesehatan lainnya dalam mengembangkan konsep melalui pendekatan
yang sistematis dan jelas, alokasi waktu dan sumber yang jelas, sumber daya
yang dari model ini adalah adanya konsep “triggers” dalam pelaksanaan
EBP. Trigers adalah masalah klinis ataupun informasi yang berasal dari luar
organisasi. Ada 3 kunci dalam membuat keputusan yaitu adanya penyebab
mendasar timbulnya masalah atau pengetahuan terkait dengan kebijakan
institusi atau organisasi, penelitian yang cukup kuat, dan pertimbangan
mengenai kemungkinan diterapkannya perubahan kedalam praktek sehingga
dalam model tidak semua jenis masalah dapat diangkat dan menjadi topik
prioritas organisasi(Melnyk & Fineout, 2011).
Sedangkan john hopkin’s model mempunyai 3 domain prioritas masalah
yaitu praktek keperawatan, penelitian, dan pendidikan. Dalam
pelaksanaannya model ini terdapat beberapa tahapan yaitu menyusun
practice question yang menggunakan pico approach, menentukan evidence
dengan penjelasan mengenai tiap level yang jelas dan translation yang lebih
sistematis dengan model lainnya serta memiliki lingkup yang lebih luas.
Sedangkan ACE star model merupakan model transformasi pengetahuan
berdasarkan research. Evidence non research tidak digunakan dalam model
ini. Untuk stetler’s model merupakan model yang tidak berorientasi pada
perubahan formal tetapi pada perubahan oleh individu perawat. Model ini
menyusun masalah berdasarkan data internal (quality improvement dan
operasional) dan data eksternal yang berasal dari penelitian. Model ini
menjadi panduan preseptor dalam mendidik perawat baru. Dalam
pelaksanaanya, untuk mahasiswa sarjana dan master sangat disarankan
menggunakan model jhon hopkin, sedangkan untuk mahasiswa
undergraduate disarankan menggunkan ACE star model dengan proses yang
lebih sederhana dansama dengan proses keperawatan (Schneider&
Whitehead, 2013).

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi EBP

Dalam (Ashktorab et all., 2015) menyatakan bahwa ada beberapa faktor


yang akan mendukung penerapan evidence based practice oleh mahasiswa
kepearawatan, diantaranya adalah intention (niat), pengetahuan, sikap, dan
perilaku mahasiswa keperawatan. Dari ketiga faktor tersebut sikap
mahasiswa dalam menerapkan EBP merupakan faktor yang sangat
menunjang penerapan EBP. Untuk mewujudkan hal tersebut pendidikan
tentang EBP merupakan upaya yang harus dilakukan dalam meningkatkan
pengetahuan mahasiswa ataupun sikap mahasiswa yang akan menjadi
penunjang dalam penerapannya pada praktik klinis. Sedangkan didalam
(Ryan, 2016) dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
EBP dalam mahasiswa keperawatan berkaitan dengan faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terkait erat dengan intention atau sikap
serta pengetahuan mahasiswa sedangkan faktor ekstrinsik erat kaitannya
dengan organizational atau institutional support seperti kemampuan
fasilitator atau mentorship dalam memberikan arahan guna mentransformasi
evidence kedalam praktek, ketersedian fasilitias yang mendukung serta
dukungan lingkungan.
f. Langkah-langkah dalam proses EBP
Berdasarkan (Melnyk et al., 2014) ada beberapa tahapan atau langkah dalam
proses EBP. Tujuh langkah dalam evidence based practice (EBP) dimulai
dengan semangat untuk melakukan penyelidikan atau pencarian (inquiry)
personal. Budaya EBP dan lingkungan merupakan faktor yang sangat
penting untuk tetap mempertahankan timbulnya pertanyaan-pertanyaan
klinis yang kritis dalam praktek keseharian. Langkah-langkah dalam proses
evidance based practice adalah sebagai berikut:
1) Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry)
2) Mengajukan pertanyaan PICO(T) question
3) Mencari bukti-bukti terbaik
4) Melakukan penilaian (appraisal) terhadap bukti-bukti yang ditemukan
5) Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk
membuat keputusan klinis terbaik
6) Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP
7) Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)

Jika diuraikan 7 langkah dalam proses


evidence based practice adalah sebagai berikut:

1) Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry).


Inquiry adalah semangat untuk melakukan penyelidikan yaitu sikap kritis
untuk selalu bertanya terhadap fenomena- fenomena serta kejadian-kejadian
yang terjadi saat praktek dilakukan oleh seorang klinisi atau petugas
kesehatan dalam melakukan perawatan kepada pasien. Namun demikian,
tanpa adanya budaya yang mendukung, semangat untuk menyelidiki atau
meneliti baik dalam lingkup individu ataupun institusi tidak akan bisa
berhasil dan dipertahankan. Elemen kunci dalam membangun budaya EBP
adalah semangat untuk melakukan penyelidikan dimana semua profesional
kesehatan didorong untuk memepertanyakan kualitas praktek yang mereka
jalankan pada saat ini, sebuah pilosofi, misi dan sistem promosi klinis
dengan mengintegrasikan evidence based practice, mentor yang memiliki
pemahaman mengenai evidence based practice, mampu membimbing orang
lain, dan mampu mengatasi tantangan atau hambatan yang mungkin terjadi,
ketersediaan infrastruktur yang mendukung untuk mencari informasi atau
lieratur seperti komputer dan laptop, dukungan dari administrasi dan
kepemimpinan, serta motivasi dan konsistensi individu itu sendiri dalam
menerapkan evidence based practice (Tilson et al, 2011).
2) Mengajukan pertanyaan PICO(T) question.
Menurut (Newhouse et al., 2007) dalam mencari jawaban untuk
pertanyaan klinis yang muncul, maka diperlukan strategi yang efektif yaitu
dengan membuat format PICO. P adalah pasien, populasi atau masalah baik
itu umur, gender, ras atapun penyakit seperti hepatitis dll. I adalah
intervensi baik itu meliputi treatment di klinis ataupun pendidikan dan
administratif. Selain itu juga intervensi juga dapat berupa perjalanan
penyakit ataupun perilaku beresiko seperti merokok. C atau comparison
merupakan intervensi pembanding bisa dalam bentuk terapi, faktor resiko,
placebo ataupun non- intervensi. Sedangkan O atau outcome adalah hasil
yang ingin dicari dapat berupa kualitas hidup, patient safety, menurunkan
biaya ataupun meningkatkan kepuasan pasien. (Bostwick et al., 2013)
menyatakan bahwa pada langkah selanjutnya membuat pertanyaan klinis
dengan menggunakan format PICOT yaitu P(Patient atau populasi),
I(Intervention atau tindakan atau pokok persoalan yang menarik),
C(Comparison intervention atau intervensi yang dibandidngkan),
O(Outcome atau hasil) serta T(Time frame atau kerangka waktu). Contohnya
adalah dalam membentuk pertanyaan sesuai PICOT adalah pada Mahasiswa
keperawatan(population) bagaimana proses pembelajaran PBL tutotial
(Intervention atau tindakan) dibandingkan dengan small group discussion
(comparison atau intervensi pembanding) berdampak pada peningkatan
critical thinking (outcome) setelah pelaksanaan dalam kurun waktu 1
semester (time frame). Ataupun dalam penggunaan PICOT non intervensi
seperti bagaimana seorang ibu baru (Population) yang payudaranya terkena
komplikasi (Issue of interest) terhadap kemampuannya dalam memberikan
ASI (Outcome) pada 3 bulan pertama pada saat bayi baru lahir. Hasil atau
sumber data atau literatur yang dihasilkan akan sangat berbeda jika kita
menggunakan pertanyaan yang tidak tepat makan kita akan mendapatkan
berbagai abstrak yang tidak relevan dengan apa yang kita butuhkan (Melnyk
& Fineout, 2011). Sedangkan dalamlobiondo & haber, (2006) dicontohkan
cara memformulasikan pertanyaan EBP yaitu pada lansia dengan fraktur
hip(patient/problem), apakah patient- analgesic control (intervensi) lebih
efektif dibandingkan dengan standard of care nurse administartif
analgesic(comparison) dalam menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan
LOS (Outcome).

3) Mencari bukti-bukti terbaik.

Kata kunci yang sudah disusun dengan menggunakan picot digunakan


untuk memulai pencarian bukti terbaik. Bukti terbaik adalah dilihat dari tipe
dan tingkatan penelitian.Tingkatan penelitian yang bisa dijadikan evidence
atau bukti terbaik adalah meta- analysis dan systematic riview. Systematic
riview adalah ringkasan hasil dari banyak penelitian yang memakai metode
kuantitatif. Sedangkan meta-analysis adalah ringkasan dari banyak penelitian
yang menampilkan dampak dari intervensi dari berbagai studi. Namun jika
meta analisis dan systematic riview tidak tersedia maka evidence pada
tingkatan selanjutnya bisa digunakan seperti RCT. Evidence tersebut dapat
ditemukan pada beberapa data base seperti CINAHL, MEDLINE,
PUBMED, NEJM dan
COHRANE LIBRARY (Melnyk & Fineout, 2011).

Ada 5 tingkatan yang bisa dijadikan bukti atau evidence (Guyatt&Rennie,


2002) yaitu:

a) Bukti yang berasal dari meta-analysis

ataukah systematic riview.

b) Bukti yang berasal dari disain RCT.

c) Bukti yang berasal dari kontrol trial tanpa


randomisasi.
d) Bukti yang berasal dari kasus kontrol dan studi
kohort.
e) Bukti dari systematic riview yang berasal dari penelitian kualitatif dan diskriptif.
f) Bukti yang berasal dari single-diskriptif atau kualitatif study
g) Bukti yang berasal dari opini dan komite ahli.
Dalam mencari best evidence, hal yang sering menjadi hambatan dalam
proses pencarian adalah keterbatasan lokasi atau sumber database yang free
accsess terhadap jurnal-jurnal penelitian. Namun demikian seiring dengan
perkembangan teknologi,
20

berikut contoh databased yang free accsess dan paling banyak


dikunjungi oleh tenaga kesehatan yaitu MIDIRS,CINAHL,
Pubmed, cohrane library dan PsycINFO serta Medline. Berikut
adalah contoh pertanyaan EBP beserta data based yang
disarankan, diantaranya adalah (Schneider & Whitehead,
2013).

Tabel 2.1 Contoh penggunaan data based

Pertanyaan EBP Database


yang
disarankan
Terapi question: CINAHL,
pada pasien DM DARE(abstaract
yang mempunyai of reviews
resiko tinggi the
dekubitus yang efffect),
diberikan program CDSR(cochrane
pencegahan pressure database of systematic
ulcer dengan standar review),
perawatan, manakah CCRCT
yang lebih efektif? (cohrane central
register of
control
trial), Medline
Etiology MIDIRS, CINAHL,
question: PsycINFO, Medline
apakah ibu
berusia
matang lebih
beresiko terkena

depresi
pospartum
dibandingkan
dengan
21
ibu usia muda?
Pertanyaan CDSR, MIDIRS,
preventif: untuk CINAHL,
wanita pekerja berat,
apakah tindakan Medline, CCRT,
pemeberian oral DARE
intake
efektif untuk
22

Pertanyaan EBP Database


yang
Disarankan
mencegah

gastric aspirasi?

Pertanyaan CINAHL,
Diagnosis: manakah
yang lebih efektif D- Medline, DARE,
dimer atau CDSR, CCRT
ultrasound dalam
mendiagnosa
trombosis vena?
Prognosis: apakah CINAHL, MedLINE
diet karbohidrat
pada
pasien

dengan BMI<25
akan sangat
berpengaruh jika ia
memiliki riwayat
keluarga obesititas
dengan BMI>30?
(Schneider & Whitehead., 2013)

Beberapa databased yang disebutkan diatas memuat


berbagai literatur kesehatan dari berbagai sumber. Beberapa
diantaranya adalah free of charge, cost, atau keduanya. Seperti
misalnya cohrane databased merupakan organisasi non-profit.
23
Namun demikian jenis informasi yang diberikan adalah
systemayic review, sehingga jumlah
24

informasi yang ditawarkan terbatas atau dalam jumlah kecil


berkisar 3 jutaan citation namun sangat direkomendasikan
untuk menjadi databased pertama dalam mencari jawaban dari
pertanyaan klinis. Sedangkan CINAHL dan MEDLINE
merupakan databased yang paling komprehensif untuk
menemukan berbagai jurnal atau informasi kesehatan baik itu
kedokteran, keperawatan, kedokteran gigi ataupun farmasi
dengan berbagai level evidence. MEDLINEmerupakan
databasedfree charge yang terhubung dengan Pubmed
databased (Dicenso et al., 2014). Sedangkan CINAHL
merupakan konten artikel jurnal, buku, ataupun disertasi dan
bisa temukan baik melalui databased langsung ataukah melalui
MEDLINE. Sedangkan PsycINFO merupakan databased yang
lebih banyak mempublikasikan literatur pendidikan
25

dalam aspek psikologi, psikiatri, neuroscience untuk


pertanyaan klinis. Sedangkan Pubmed merupakan bibliografic
database yang berisi kontenfree akses dan berbayar serta
mempunyai link dengan database MEDLINE(Melnyk et al.,
2014).

Dalam (Kluger, 2007) dicontohkan cara melakukan


pencarian evidence dari beberapa sumber atau databased yang
ada yaitu:
a) Memilih databased (CINAHL, Medline etc)
b) Menerjemahkan istilah atau pertanyaan kedalam
perbendaharaan kata dalam database, sebagai contoh fall
map menjadi accidental fall
c) Menggunakan limit baik dalam jenis, tahun dan umur
Limit atau membatasi umur seperti aged,

45 and over, limit tipe publikasi seperti


26

“metaanalisis atau systematic review”, dan limit tahun


publikasi seperti 2010-2015
d) Membandingkan dengan database yang lain seperti
cohrane, psycINFO
e) Melakukan evaluasi hasil, ulangi ke step 2 jika diperlukan
Sedangkan menurut (Newhouse, 2007) langkah-langkah
atau strategi mencari informasi melalui databased diantaranya
adalah:
a) Mencari kata kunci, sinonim, atau yang mempunyai
hubungan dengan pertanyaan yang sudah disusun dengan
PICO format
b) Menentukan sumber atau database terbaik untuk mencari
informasi yang tepat
c) Mengembangkan beberapa strategi dalam melakukan
pencarian dengan controlled vocabularries, menggunakan
bolean operator, serta limit.controlled
27

vocabularries yang dapat menuntun kita untuk memasukkan


input yang sesuai dengan yang ada pada database. Seperti
misalnya MeSH pada Pubmed serta CINAHL Subject
Heading pada database CINAHL. menggunakan bolean
operator misalnya AND, OR, NOT. AND untuk mencari 2
tema atau istilah, OR untuk mencari selain dari salah satu
atau kedua istilah tersebut. Namun jika dikombinasikan
dengan controlled vocabularries,
OR akan memperluas pencarian, serta AND akan
mempersempit pencarian. Setelah itu untuk lebih spesifik
dan fokus lagi dapat digunakan dengan menggunakan limit
yang sesuai seperti umur, bahasa, tanggal publikasi.
Contohnya adalah limit terakhir 5 tahun untuk jurnal atau
english or american only.
28

d) Melakukan evaluasi memilih evidence dengan metode


terbaik dan menyimpan hasil
Sedangkan menurut (Bowman et al., dalam levin &
feldman, 2012) khususnya pada level undergraduate
student, ada beberapa contoh evidence yang dapat
digunakan dalam terapi dan prognosis yaitu:

Gambar 1. contoh penggunaan tingkat


evidence

Beberapa contoh tingkatan evidence tersebut dapat


menjadi contoh atau dasar dan pedoman yang digunakan oleh
mahasiswa
29

undergraduatedalam memilih evidence yang tepat. Karena


undergraduate student tidak memiliki kemampuan dalam
melakukan kritik atau melihat tingkat kekuatan dan kelemahan
literatur penelitian, maka dalam pembelajaran evidence based
practice mahasiswa diarahkan untuk memilih literatur
berdasarkan tingkatan evidence terbaik terlebih dahulu.Jika
beberapa evidence terbaik tidak dapat ditemukan, maka
langkah selanjutnya adalah memilih literatur yang telah
diseleksi pada beberapa databased seperti MEDLINE dan
CINAHL atau pada pubmed search engine (Levin & Feldman,
2012).

4) Melakukan penilaian (appraisal) terhadap bukti-bukti yang


ditemukan
Setelah menemukan evidence atau bukti yang terbaik,
sebelum di implementasikan ke institusi atau praktek
30

klinis, hal yang perlu kita lakukan adalah melakukan appraisal


atau penilaian terhadap evidence tersebut. Untuk melakukan
penilaian ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
diantaranya adalah (Polit & Beck, 2013) :
a) Evidence quality adalah bagaimana kualitas bukti jurnal
tersebut? (apakah tepat atau rigorous dan reliable atau
handal)
b) What is magnitude of effect? (seberapa penting
dampaknya?)
c) How pricise the estimate of effect?

Seberapa tepat perkiraan efeknya?

d) Apakah evidence memiliki efek samping ataukah


keuntungan?
e) Seberapa banyak biaya yang perlu disiapkan untuk
mengaplikasikan bukti?
f) Apakah bukti tersebut sesuai untuk situasi atau fakta yang
ada di klinis?
31

Sedangkan kriteria penilaian evidence

menurut (Bernadette & Ellen, 2011) yaitu:

a) Validity.

Evidence atau penelitian tersebut dikatakan valid adalah


jika penelitian tersebut menggunakan metode penelitian
yang tepat. Contohnya adalah apakah variabel pengganggu
dan bias dikontrol dengan baik, bagaimana bagaimana
proses random pada kelompok kontrol dan intervensi, equal
atau tidak.
b) Reliability

Reliabel maksudnya adalah konsistensi hasil yang mungkin


didapatkan dalam membuat keputusan klinis dengan
mengimplementasikan evidence tersebut, apakah intervensi
tersebut dapat dikerjakan serta seberapa besar dampak dari
intervensi yang mungkin didapatkan.
32

c) Applicability

Applicable maksudnya adalah

kemungkinan hasilnya bisa di

implementasikan dan bisa membantu kondisi pasien. Hal


tersebut bisa dilakukan dengan mempertimbangkan apakah
subjek penelitiannya sama, keuntungan dan resiko dari
intervensi tersebut dan keinginan pasien (patient
preference) dengan intervensi tersebut.
Namun demikian dalam (Hande et al., 2017) dijelaskan
bahwa critical appraisal merupakan proses yang sangat
kompleks. Level atau tingkat critical appraisal sangat
dipengaruhi oleh kedalaman dan pemahaman individu dalam
menilai evidence. Tingkat critical appraisal pada mahasiswa
sarjana adalah identifikasi tahapan yang ada dalam proses
penelitian kuantitatif. Namun pada
33

beberapa program sarjana, ada juga yang mengidentifikasi


tidak hanya kuantitatif namun juga proses penelitian kualitatif.
Sedangkan pada master student, tingkatan critical apraisalnya
tidak lagi pada tahap identifikasi, namun harus bisa
menunjukkan dan menyimpulkan kekuatan dan kelemahan,
tingkat kepercayaan evidence serta pelajaran yang dapat
diambil dari pengetahuan dan praktek.
Adapun kejelasan perbedaan level pendidikan dengan
level critical appraisal penelitian sebagai berikut:
Tabel 2.2 Level critical appraisal
Tingkat pendidikan dengan tingkat
critical
appraisal penelitian
Tingkat Tingkat critical
pendidika appraisal
n penelitian
Sarjana (S1) Mengidentifikasi langkah-
langkah
proses penelitian kuantitatif
Mengidentifikasi bagian
dari
penelitian qualitatif
Menentukan tingkat kekuatan
Master dan kelemahan penelitian
student kuantitatif dan kualitatif
(S2)
Evalauasi tingkat kepercayaan,
34

Tingkat pendidikan dengan tingkat


critical
appraisal penelitian
Tingkat Tingkat critical
pendidika appraisal
n Penelitian
makna serta kontribusi
penelitian
dalam praktek keperawatan
Sintesis berbagai penelitian
melalui meta-analysis,
Doktor (S3) systematic review serta mix
methode sistematic review

(Groveet al., 2012)


Jika dijabarkan, ada 2 tahap dalam melakukan critical
apraisal yaitu:
a) Tahap pertama adalah mengidentidikasi langkah-langkah
dalam proses penelitian.
Langkah pertama dalam melakukan critical appraisal
adalah mengidentifikasi langkah-langkah dalam proses
penelitian kuantitatif. Hal-hal yang harus diindentifikasi
adalah mengidentifikasi komponen-komponen dan konsep
dalam penelitian dan memahami maksud dari setiap
komponen. Beberapa pertanyaan yang bisa dijadikan
pedoman dalam
35

melakukan identifikasi adalah apakah judul penelitian jelas


dengan menggambarkan variabel, populasi, dan pokok atau
inti pembelajaran, serta menggambarkan tipe dari penelitian
tersebut, korelasi, diskriptif, kuasi eksperimen atau
eksperimen, apakah abstraknya jelas, untuk
mengidentifikasi dan memahami dan artikel jurnal baca dan
garis bawahi masing-masing tahapan dalam proses
penelitian.
Berikut ini adalah pedoman dalam melakukan
identifikasi proses penelitian (grove et al., 2012).
Tabel 2.3 Pedoman critical appraisal

Critical Tinjauan Ya Tidak


appraisa critical
l appraisal
Pendahulua -apakah kualifikasi
n (Peneliti) peneliti digambarkan
dengan jelas? (gelar
Phd peneliti akan
memberikan
gambaran
mengenai
pengalaman dalam
penelitian)
Judul - Apakah judul
55

Critical Tinjauan critical


Ya Tidak
appraisal appraisal

mengambarkan dengan
jelas (bidang ilmu,
variabel, dan populasi)?
Abstrak - Apakah di dalam abstrak terdapat
disain penelitian, sempel, intervensi
(jika ada) dan mencantumkan kata
kunci
Latar - Apakah signifikansi atau
belakang pentingnya masalah
digambarkan dengan jelas?
- Apakah latar belakang
masalah digambarkan dengan
jelas?

Tinjauan
pustaka - Apakah keterkaitan dengan
peneletian sebelumnya
digambarkan dengan jelas?
- Apakah sumber yang digunakan 10
tahun terakhir dan 5 tahun terakhir?
- Apakah ringkasan mengenai masalah
penelitian (apa yang diketahui dan
apa yang tidak
diketahui)digambarkan dengan jelas?
Tujuan Apakah tujuan
penelitian penelitian dan
pertanyaan
dicantumkan?
56

Critical Tinjauan critical - Apakah sumber alat


appraisal appraisal ukur disebutkan?
- Apakah jenis alat ukur
Variabel Apakah definisi konsep
disebutkan? (Vas,
penelitian variabel penelitian
(independen/dependen)
digambarkan dengan
jelas?
(identifikasi pada
tujuan dan hasil
penelitian)
Metodologi - Apakah spesifik desain
Penelitian penelitian disebutkan?
- Apakah terdapat
intervensi?jika iya,
apakah prosedur nya
digambarkan dengan
jelas?
- Apakah variabel
tambahan atau
pengganggudigambark an
dengan jelas?
- Apakah kriteria inklusi
dan eksklusi disebutkan?
- Apakah jenis
pengambilan sampel
probability dan non
probability disebutkan?
- Apakah jumlah sampel
disebutkan?
- Apakah informed
concent digambarkan
dengan jelas?
Strategi dan alat - Apakah variabel yang
ukur diukur disebutkan?
57

Ya Tidak
57

Critical Tinjauan
Ya Tidak
appraisa critical
l appraisal
likert scale dll)
- Apakah skala
pengukuran
disebutkan?
(nominal, ordinal,
interval, atau ratio)
- Apakah validitas
dan reliabilitas
instrumen
disebutkan?
- Apakah prosedur
pengumpulan
data disebutkan?
Interpreta - Apakah analisa
si Hasil statistik
Penelitian disebutkan?
- Apakah
tingkat
signifikansi
disebutkan?
- Apakah hasil
penelitian sesuai
dengan hasil
yang
diharapkan?
- Apakah
keterbatasan
penelitian
58
disebutkan?
- Apakah kesimpulan
penelitian
disebutkan?
- Apakah hasil dapat
diterapkan dalam
praktek
keperawatan?
- Apakah ada
saran untuk
penelitian
selanjutnya?
- Apakah hasil
penelitian dapat
diimplementasik
an
dalam keperawatan?

(Grove et al., 2012)


59

Sedangkan menurut (Burns & Grove, 2008), critical


appraisal pada tahap sarjana adalah comprehension yang
dimaknai sama dengan tahap mengidentifikasi setiap tahap
dalam proses penelitian, serta comparison yaitu menyimpulkan
secara umum kesesuaian peneliti dalam mengikuti aturan
penelitian yang benar serta sejauhmana peneliti menjelaskan
setiap elemen atau tahapan penelitian.
b) Menetukan tingkat kekuatan dan

kelemahan penelitian (Strength and

weakness of study)

Dalam melakukan critical appraisal, langkah selanjutnya


atau next level yang merupakan tahapan lanjutan untuk
master’s student adalah menentukan kekuatan dan kelemahan
penelitian. Untuk bisa melakukan critical appraisal pada
tahapan ini kita harus
60

bisa memahami masing-masing tahapan penelitian serta


membandingkan tahapan penelitian yang ada dengan tahapan
penelitian yang seharusnya. Untuk menentukan tingkat
kekuatan dan kelemahan evidence kita harus bisa memahami
sejauh mana peneliti mengikuti aturan penelitian yang benar.
Selain itu juga, penguasaan terhadap kajian dan konsep logis
serta keterkaitan antar tiap elemen harus bisa dianalisa.
Sehingga pada akhirnya kita adapat menyimpulkan tingkat
validitas dan reliabilitas evidence atau jurnal dengan melihat
tingkat kesesuaian, keadekuatan, dan representatif atau
tidaknya proses dan kompenen penelitian yang dilakukan oleh
seorang peneliti (Burns & Grove, 2008).
61

5) Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan


pasien untuk membuat keputusan klinis terbaik
Sesuai dengan definisi dari EBP, untuk
mengimplementasikan EBP ke dalam praktik klinis kita harus
bisa mengintegrasikan bukti penelitian dengan informasi
lainnya. Informasi itu dapat berasal dari keahlian dan
pengetahuan yang kita miliki, ataukah dari pilihan dan nilai
yang dimiliki oleh pasien. Selain itu juga, menambahkan
penelitian kualitatif mengenai pengalaman atau perspektif
klien bisa menjadi dasar untuk mengurangi resiko kegagalan
dalam melakukan intervensi terbaru (Polit & Beck, 2013).
Setelah mempertimbangkan beberapa hal tersebut maka
langkah selanjutnya adalah menggunakan berbagai informasi
tersebut untuk membuat keputusan klinis yang tepat
62

dan efektif untuk pasien. Tingkat keberhasilan pelaksanaan


EBP proses sangat dipengaruhi oleh evidence yang digunakan
serta tingkat kecakapan dalam melalui setiap proses dalam
EBP (Polit & Beck, 2008).
6) Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP
Evaluasi terhadap pelaksanaan evidence based sangat
perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif evidence
yang telah diterapkan, apakah perubahan yang terjadi sudah
sesuai dengan hasil yang diharapkan dan apakah evidence
tersebut berdampak pada peningkatan kualitas kesehatan
pasien (Melnyk & Fineout, 2011).
7) Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)

Langkah terakhir dalam evidence based practice adalah


menyebarluaskan hasil. Jika evidence yang didapatkan terbukti
63

mampu menimbulkan perubahan dan memberikan hasil yang


positif maka hal tersebut tentu sangat perlu dan penting untuk
dibagi (Polit & Beck, 2013)
Namun selain langkah-langkah yang disebutkan diatas,
menurut (Levin & Feldman, 2012) terdapat 5 langkah utama
evidence based practicedalam setting akademikyaitu Framing
the question (menyusun pertanyaan klinis), searching for
evidence, appraising the evidence, interpreting the evidence
atau membandingkan antara literatur yang diperoleh dengan
nilai yang dianut pasien dan merencanakan pelaksanaan
evidence kedalam praktek, serta evaluating your application of
the evidence atau mengevaluasi sejauh mana evidence tersebut
dapat menyelesaikan masalah klinis.
64

2. Teori dasar Evidence based practice

Berdasarkan (Hsieh et al., 2016) EBP merupakan kompetensi


inti yang harus diintegrasikan kedalam kurikulum oleh institusi
pendidikan dalam membentuk pendidikan yang profesional. Untuk
mendukung EBP maka constructivismatau teori konstruktif
merupakan dasar teori yang digunakan dalam proses pembelajaran dan
penerapan EBP. Tujuan utama teori konstruktivism adalah untuk
meningkatkan kemampuan dalam berpikir kritis dan kemampuan
dalam berkolaborasi yang merupakan softskill utama yang harus
dimiliki oleh peserta didik.
Dalam Ayaz & Sekerci, (2015) menjelaskan bahwa dalam teori
konstruktivism peserta didik mempunyai peran aktif dan bertanggung
jawab dalam mengkonstruksi atau membangun pengetahuan baru dari
pengetahuan lama yang sudah dimiliki terlebih dahulu. Sehingga
peran dosen atau instruktur adalah memfasilitasi dan memandu peserta
dalam melakukan
65

konstruksi pengetahuan. Oleh karena itulah, penerapan teori


konstruktivism akandapat meningkatkan kemampuan mahasiswa
dalam berpikir kritis (Kibui, 2012).Hal ini karena stimulus tersebut
akan dapat memicu mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuan
secara independenden, mencari solusi dan menganalisa suatu
permasalahan, serta tidak hanya pasif dan menerima petunjuk dari
dosen (Thomas et al., 2014).
Dalam menerapakan EBP dengan pendekatan constructivism,
instruktur menyampaikan konsep dasar terlebih dahulu dan kemudian
diikuti dengan konsep yang lebih sulit yang dipahami melalui
partisipasi aktif mahasiswa (Ultanir, 2012). Ada beberapa metode
pembelajaran yang dapat digunakan diantaranya adalahcollaborative
learning, cooperative learning, group discussion, problem based
learning, journal club dan lain-lain (Hsiehet al., 2016).
66

3. Critical thinking

Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengenai


critical thinking yaitu:
a. Definisi critical thinking

Sejalan dengan berkembangnya sistem pelayanan


kesehatan, adanya perubahan kearah patient-center-care,
berdampak pada berbagai upaya guna meningkatkan kualitas
kesehatan pasien. Upaya tersebut seperti penggunaan konsep
evidence bace practice guna mengintegrasikan evidence based
practice dan practice based evidence. Untuk mewujudkan hal
tersebut kompetensi yang sangat dibutuhkan oleh seorang perawat
adalah critical thinking. Critical thinking adalah proses berfikir
kritis untuk mencapai tujuan yang akan memberikan alasan
berdasarkan bukti, konseptualisasi, konteks, metode, dan kriteria
(Coneet al., 2016). Sedangkan menurut (Kim et al., 2013) critical
thinking adalah proses mental
67

yang aktif dalam melakukan analisa, sintesis serta mengevaluasi


informasi baik itu yang berasal dari hasil observasi, pengalaman,
mencari penyebab, serta mengolah berbagi informasi untuk
diterapkan dalam bentuk action atau tindakan. Oleh karena itu,
seorang critical thinker yang baik adalah seorang yang selalu
mempunyai keinginan dan motivasi untuk “move” atau berpindah
kedalam situasi yang lebih baik dengan menggunakan evidence
atau bukti yang kuat untuk membuat keputusan dan mencapai
tujuan.
b. Komponen critical thinking

Meskipun dalam sejumlah literatur, pengertian mengenai


critical thinking itu diterjemahkan dalam definisi yang berbeda-
beda, namun berdasarkan (Chan, 2013) ada beberapa komponen
konsep berfikir kritis diantaranya adalah pencarian dan
pengumpulan informasi, mempertanyakan yang belum jelas dan
68

menyelidiki, serta menganalisa, mengevaluasi merumuskan


pemecahan masalah dan menarik kesimpulan. Langkah utama
seorang mahasiswa sebelum menentukan solusi dari suatu masalah
adalah mencari dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
terlebih dahulu dan menganalisa informasi yang relevan dan bisa
digunakan untuk memcahkan masalah. Seorang yang berfikir kritis
tidak pasif dalam mencari informasi dan menerima begitu saja
informasi tanpa dianalisa terlebih dahulu. Namun mereka lebih
cenderung untuk memeriksa kembali informasi dan jawaban serta
mengkaji makna yang disajikan secara lebih mendalam. Selain itu
juga, mahasiswa yang berfikir kritis akan mampu
mengintegrasikan teori kedalam praktek, lebih sensitif dan paham
apa yang akan dilakukan selanjutnya.
69

Sedangkan menurut facione dalam (Cone et al., 2016)


dijelaskan bahwa terdapat beberapa komponen kunci dalam critical
thinking yaitu:
1) Interpretation adalah kemampuan individu dalam memahami,
memberikan makna, serta menjelaskan maksud dan tujuan
terhadap pengetahuan atau informasi yang ada.
2) Analysis adalah kemampuan individu dalam mengidentifikasi
hubungan antar konsep dan pernyataan yang digunakan dalam
membuat keputusan atau pernyataan serta pendapat
3) Explanation adalah kemampuan individu dalam menjelaskan
hasil analisa berfikir dengan memeberikan alasan berdasarkan
bukti yang ilmiah
4) Self regulation adalah kemampuan individu dalam melakukan
monitoring terhadap kemampuan diri sendiri dalam berfikir,
70

mengolah informasi, membentuk pernyataan dan membuat


keputusan
5) Evaluation adalah kemampuan seseorang dalam memilih dan
menilai bukti-bukti ilmiah yang dapat digunakan
6) dan inference adalah kemampuan individu dalam membuat
kesimpulan atas berbagai informasi dan bukti yang didapatkan
Ke-enam komponen tersebut merupakan indiaktor yang
harus dimiliki oleh seseorang yang memiliki kemampuan berfikir
kritis yang baik. seorang yang memiliki critical thinking baik
adalah yang tidak hanya mampu mencari informasi, mengolah atau
menganalisa, namun juga membuat kesimpulan serta melakukan
evaluasi.
71

c. Faktor-faktor yang memepengaruhi critical thinking


Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat critical thinking
mahasiswa menurut (ghazivakili et al, 2014) adalah kelompok
umur, motivasi belajar mahasiswa, gender, academic semester,
analytic skill mahasiswa, dan inference skill mahasiswa atau
kemampuan dalam membuat kesimpulan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh dan
mempunya hubungan yang signifikan dengan tingkat critical
thinking mahasiswa adalah analytic skill dan inference skill
mahasiswa yaitu kemampuan mahasiswa dalam melakukan analisa
dan membuat kesimpulan. Sedangkan faktor gender tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan. Namun menurut (Chan,
2013) selain faktor-faktor yang disebutkan diatas ada beberapa
72

faktor yang juga dapat mempengaruhi tingkat

critical thinking mahasiswa yaitu :

1) Mahasiswa

Latar belakang mahasiswa sangat mempengaruhi critical


thinking, mahasiswa yang terbiasa dengan budaya menghindari
konflik akan cenderung lebih pasif dalam proses diskusi
dikelas. Ataupun juga mahasiswa yang mempunyai
keterbatasan dalam hal berbahasa tentu akan mengalami
kesusahan dalam mengungkapkan ide atau gagasannya.
Beberapa mahasiswa juga menunjukkan ketidaknyamanan
dalam berargumentasi, mereka cenderung untuk terlalu
memberikan jawaban yang benar dan sangat menghindari
kesalahan.
2) Sistem pendidikan

Metode pembelajaran dikelas seperti

traditional methode akan menghambat


73

pengembangan critical thinking.


Mengintegrasikan konsep baru dengan mengupayakan active
learning methode akan sangat mendukung critical thinking.
3) Pendidik (educator)

Seorang pendidik yang memiliki sikap terbuka (open-


minded), supportif, fleksibel, dan dan memiliki teknik
pendekatan tertentu akan sangat mempengaruhi critical
thinking mahasiswa. Seorang pendidik yang baik harusnya
tidak terlalu memegang kuat pendapatnya sehingga tidak
memberikan kesempatan terhadap mahasiswa untuk
berpendapat. Sikap seorang pendidik dalam memberikan
pedoman dan menfasilitasi pengetahuan juga akan menjadi role
model bagi peserta didik.
74

4) Serta lingkungan

Lingkungan belajar yang positif, aman, tidak


mengancam, dan memberikan kebebasan dalam berfikir dan
berdiskusi akan sangat mendukung critical thinking.
5) Karakteristik critical thinking

Karakteristik dari seorang yang memiliki critical


thinking yang baik menurut o’hare, (2005) adalah memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi (inquisitiveness), memiliki kepercayaan
diri (self confident) yang tinggi untuk membuat alasan atau
argumentasi, disposition(watak) yaitu open-mindedness atau
memiliki sikap dan pemikiran terhadap cara pandang atau
persepsi yang berbeda, memahami pendapat orang lain,
fleksibel dalam mempertimbangkan alternatif pendapat serta
bijaksana dalam mengubah penilaian, argument yaitu
memberikan alasan
75

berdasarkan evidence yang ilmiah atau faktual serta kriteria


yaitu seorang yang berfikir kritis akan menggunakan kriteria
tertentu dalam memilih evidence yang relevan dan akurat serta
dengan metode penalaran yang tepat.
6) Critical thinking (berfikir kritis) dalam keperawatan
Berdasarkan (Papathanasiou et al., 2014) dijelaskan
bahwa critical thinking merupakan komponen yang sangat vital
dalam keperawatan terutama dalam membuat keputusan klinis
yang efektif. Critical thinking akan membantu perawat atau
calon perawat (academic student) dalam membuat
pertimbangan mengenai keuntungan dan kerugian dalm setiap
pilihan, menentukan prioritas kebutuhan serta menggunakan
berbagai kerangka kerja dalam membuat prioritas, dan juga
menentukan tugas mana
76

yang dapat di delegasikan ataupun yang harus diselesaikan


sendiri. Jadi critical thinking sangat diperlukan dalam proses
keperawatan dalam menyelesaikan masalah dan membuat
keputusan yang efektif dan efisien.
7) Hubungan antara critical thinking dengan implementasi
evidence-based practice
Berdasarkan (Zadeh, 2014) dan (Madarshahianet al.,
2012) menjelaskan bahwa evidence-based dan critical thinking
merupakan 2 hal yang saling melengkapi. Critical thinking
merupakan bagian yang sangat penting dalam membuatu
mahasiswa atupun perawat dalam membuat keputusan klinis
atau menerapkan evidence based practice. Begitu juga
sebaliknya, tanpa mempelajari evidence based practice maka
calon ataupun perawat akan kehilangan self- trust dan self-
confidence yang merupakan
77

komponen penting critical thinking tanpa mempelajari evidence


based perawat akan kehilangan kemampuannya dalam
melakukan interpretasi, analisa, eksplanation dan inferensial
karena kegagalan dalam mencari informasi atau evidence yang
mendukung serta kegagalan dalam memberikan argumentasi
yang kuat berdasarkan bukti ilmiah yang merupakan komponen
penting critical thinking. Sehingga penerapan evidence-based
sangat memungkinkan untuk dapat meningkatkan critical
thinking. Evidence based practice adalah sistematik prosedur
yang akan menuntun mahasiswa untuk mengumpulkan dan
mengaplikasikan evidence terbaik dan akan memperkuat
komponen critical thinking (Khaghnizadeh et al., 2015).
Sistematika prosedur evidence based practice yang
dapat memacu seseorang untuk
78

berpikir kritis adalah questioning atau bertanya mengenai


informasi yang perlu dicari dan mencari jawaban untuk
pertanyaan klinis. Namun demikian penggunaan berpikir kritis
tidak hanya pada tahap questioning namuan juga pada setiap
tahapan evidence based practice yaitu sampai pada tahap
memilih atau menganalisa evidence, dan membuat keputusan.
Oleh karena itu, critical thinking adalah kemampuan dalam
mencari, menganalisa, mensisntesa dan mebuat keputusan dari
berbagai informasi yang tersedia (Newhouse, 2007).
8) Pengukuran critical thinking

Untuk mengukur critical thinking dapat dilakukan


melalui berbagai cara baik itu dengan cara mengkaji komponen
berfikir kritis dengan cara melakukan observasi terhadap
komponen tersebut dan melakukan penilaian
79

ataupun dengan menilai outcome dari komponen tersebut.


Strategi lainnya adalah dengan membuat pertanyaan dan
meminta penjelasan terkait dengan komponen critical thinking
ataupun dengan cara membandingkan outcome antara satu
komponen CT dengan cara atau komponen lainnya. Pada
dasarnya tidak ada acuan yang baku mengenai metode terbaik
yang digunakan. Namun yang terpenting adalah bagaimana
penggabungan metode yang kita gunakan dapat menilai
komponen-komponen CT yang ingin kita ukur. Adapun
berbagai alat pengukuran yang sering digunakan yaitu (Friberg
& Creasia, 2013):
1) WGCTA (Watson-glaser critical thinking appraisal)
WGCTA merupakan salah satu alat yang sering
digunakan. Penilaian yang digunakan merupakan penilaian
objektif.
80

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deduktif


dan induktif. Terdapat 5 komponen yang diukur dalam
penilaian ini yaitu interpretasi, pengenalan asumsi,
deduktif, inference dan evaluasi. WGCTA menggunakan
format 40 soal multiple choice dengan 4 skenario. Kisaran
nilai yang akan diberikan adalah 0-40. Pada instrumen ini
sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.
2) CCTT (Cornel critical thinking test)

CCTT merupakan alat ukur critical thinking dengan


menggunakan multiple choice. Tes ini meliputi beberapa
komponen dari critical thinking yaitu identifikasialasan,
memilih prediksi hipotesa, evaluasi evidence, deduksi, dan
evaluasi argumen serta membuat keputusan. Ada 2 jenis
instrumen CCTT
81

sesuai dengan level pendidikan yaitu Cornel critical


thinking test X (4-14 tahun)untuk siswadan Cornel critical
thinking test Z untuk mahasiswa.
3) Critical thinking disposition self rating form
Instrumen Critical thinking disposition self rating
form merupakan alat ukur untuk mengukur critical thinking
yang terdiri dari 20 pertanyaan yang bernilai negatif dan
positif. Pertanyaan bernilai positif untuk pertanyaan yang
bernomor ganjil dan pertanyaan bernilai negatif untuk yang
bernomor genap.Untuk setiap pertanyaan akan mendapatkan
nilai 5 jika menjawab ya untuk nomor ganjil dan tidak yang
bernomor genap. Instrumen ini dikembangkan oleh A.
Facione. Indikator
82

berpikir kritis jika nilai ≥70CCTST (california critical


thinking skill test)
CCTST merupakan alat ukur critical thinking untuk
menilai hampir semua komponen dari critical thinking yang
terdiri dari 34 pertanyaan multiple choice. Komponen-
komponen yang dianalisa adalah inference, deduktive
reasoning, analisa, induktive reasoning dan evaluasi.
4) CCTDI (california critical thinking dispositions inventory)
CCTDI (california critical thinking dispositions
inventory) merupakan alat ukur critical thinking untuk
melihat disposition atau watak atau karakter, menggunakan
masalah dan membuat keputusan serta memecahkan
masalah dengan menggunakan ego resillience
83

(kepribadian fleksibel atau berjiwa besar). CCTDI biasanya


digunakan pada populasi orang dewasa.

Namun demikian pada penelitian ini critical thinking akan


diukur berdasarkan pengembangan instrumen yang disusun
peneliti. Instrumen penelitian ini merupakan hasil pengembangan
dari komponen atau 7 subskala komponen critical thinking dari A.
Facione yaitu inquisitiveness adalah mengukur rasa suka atau
ketertarikan yang tinggi dalam menemukan dan belajar hal baru,
self confidence adalah mengacu pada tingkat kepercayaan dan
kemampuan diri dalam mecari pendekatan atau alternatif yang
efektif dengan proses penalaran sendiri, Truth- seeking adalah
kepribadian atau watak yang selalu ingin mencari kebenaran,
berani untuk mengajukan pertanyaan, jujur dan objektif, dan selalu
melakukan penyelidikan walaupun tidak
84

mendukung kepentingan suatu hal atau pendapat yang sudah


terbentuk sebelumnya.

Sedangkan open-mindednes yaitu sikap atau watak


keterbukaan terhadap pendapat yang berbeda atau tidak sesuai
dengan pemikiran sendiri. Analyticity adalah watak yang waspada
terhadap sistuasi yang berpotensi menjadi suatu masalah
mengantisipasi kemungkinan hasil atau akibat, dan mengahargai
alasan serta bukti bahkan jika menemui tantangan atau masalah
yang sulit. Systematicity adalah segala usaha yang terorganisir,
teatur, terfokus, dengan mencari berbagai informasi ketika
membuat keputusan besar. Sedangkan maturity adalah kemampuan
seseorang dalam melakukan refleksi atau penilaian atau self cotrol
(o’hare, 2005)
85

B. Kerangka Teori

Pembelajaran Metode pembelajaran


constructivist
aktif EBPadalah Lecture,
problem based learning,
cooperative learning,
collaborative learning,
group discussion

Tahapan Evidence based practice


Faktor-faktor yang
1. Inquiry mempengaruhi
2. Mengajukan pertanyaan EBP adalah faktor
PICO(T) question intrinsik (sikap dan
3. Mencari bukti terbaik pengetahuan
4. Melakukan appraisal mahasiswa) serta
5. Mengintegrasikan bukti faktor ekstrinsik
6. Evaluasi hasil fasilitator/trainer)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
critical thinking
adalahumur, 86
motivasi belajar
mahasiswa,
gender, budaya, Peningkatan critical
academic thinking
semester, analytic

Gambar 2.2 Kerangka Teori

(melnyk, 2011);

(Ashktorab, et al, 2015); dan (Ayaz & Sekerci, 2015)


87

C. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini terdapat Variabel independen adalah evidence


based practice dan variabel dependennya adalah critical thinking.
Sedangkan variabel perancu (confounding) critical thinking adalah umur,
gender, budaya, academic semester, analytic skill dan inference skill. Serta
counfounding EBP yaitu Faktor yang mempengaruhi EBP adalah Motivasi
dan kemampuan fasilitator, ketersediaan fasilitas, support kebijakan
fakultas, budaya dan nilai (kurikulum), triger, dan modul.

Penerapan Evidence
based practice

Critical thinking

Motivasidan
kemampuanfasilitator, fasilitaspendukung,
supportkebijakan
Umur,
fakultas, nilai
budaya dan
institusi Motivasi belajar mahasiswa, analytic skill, inference skill, indeks pres
(kurikulum), triger, dan modul
gender,
88

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.3 Kerangka Konsep


89

D. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan kerangka konsep yang telah dipaparkan sebelumnya,


maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian ini adalah H1: Ada pengaruh
penerapan evidance based practice terhadap peningkatan critical thinking
mahasiswa keperawatan

Anda mungkin juga menyukai