Masyarakat Indonesia mengalami 3 fase perkembangan yang menghasilkan suatu system atau
tatanan social sampai saat ini, yaitu fase komunal primitive, feodal, dan kapitalisme.
Perubahan atau perkembangan tiap fase di pengaruhi oleh factor eksternal dan internal
masyarakat itu sendiri. Lalu dipengaruhi oleh alam.
Awal lahir adanya masyarakat Indonesia adalah karena adanya migrasi (perpindahan
penduduk) secara bergelombang di zaman grasial (es mencair) dan adanya pertumbuhan
internal masyarakat yang hidup di pinggiran sungai sekitar sulawesi karena pada saat itu
hidupnya masih bergantung pada alam ( homosentris).
1. Fase Komunal Primitif
Pada zaman komunal primitive corak produksi manusia pada saat itu adalah berburu dan
meramu untuk mempertahankan hidupnya. Hidup mereka cosmosentris (bergantung pada
alam). Alat produksinya menggunakan batu. Hubungan produksi pada saat itu kerjasama
(belum ada pembagian kerja) atau kolektif. Mereka hidup selalu berpindah–pindah, ketika
sumber daya alam yang dijadikan sumber penghidupan mereka berkurang atau habis maka
mereka berpindah tempat. Kadang mereka bertempur ketika bertemu dengan kelompok lain
untuk menguasai daerah yang memiliki sumber daya alam. Lalu kelompok yang kalah akan
di bunuh atau dijadikan budak (inilah embrio dari zaman perbudakan). System politik pada
saat itu dipimpin oleh satu orang kepala kelompok. Biasanya dia dipilih karena mempunyai
keahlian yang lebih .
Setelah ditemukannya logam maka peralihan corak produksi di masyarakat pada saat itu yaitu
dengan bercocok tanam. Mereka mulai hidup menetap, karena adanya beberapa
permasalahan, salah satunya permasalahan gender. Wanita pada saat itu harus melahirkan
maka mereka tidak mungkin berburu dan hidup berpindah-pindah. Maka berubahlah pola
hidup mereka menjadi menetap. Pola pikir masyarakat berkembang berdasarkan kondisi
objektifnya pada saat itu. Setelah itu mulai adanya pembagian tugas, ada kelompok yang
berburu dan ada pula yang bercocok tanam. Hubungan produksi pada saat itu sudah ada
system barter (tukar) untuk melengkapi kebutuhan masing-masing kelompok (keluarga). Dan
akhirnya sampai ada yang menemukan alat tukar yang sah seperti logam. Beberapa kelompok
masyarakat berpikir lebih jauh, ketika mereka melakuan pengumpulan hasil produksi mereka
maka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, inilah yang melahirkan system
akumulasi dan dagang pada saat itu. System pemerintah pada saat itu masih di pimpin oleh
satu orang, rakyat membayar upeti kepada pimpinan untuk keperluan membangun
infrastruktur daerahnya. Inilah yang nantinya melahirkan system kerajaan.
2. Fase feodalisme
Pada fase feodalisme, corak produksi pada saat itu adalah tanah dan tenaga kerja yang terikat
dengan tanah. Kekuasaan ekonomi politik berdasarkan kepemilikan tanah (raja).
Nilai-nilai social yang terbentuk pada saat itu adalah: primordial (kesukuan), Petriarkal,
monarki absolute dan mitos. Sistem politik pada saat itu monarki absolute (kekuasaan tak
terbatas) . bentuk struktur politik
.Elit (golongan atas) : Raja, Bangsawan, Agamawan
.Kelas bawah (low class) : rakyat biasa
Awal lahir feodalisme + 400 M, lahirnya kerajaan Tarumanegara (Kutai), puncak
kejayaannya pada + 1300 M pada masa kerajaan Majapahit.
Pemberontakan yang terjadi untuk menghancurkan feodalisme yang pernah dilakukan oleh
Ken Arok melawan Akutumapel, tapi hanya menghancurkan budaya pada saat itu yaitu
golongan bawah tidak akan pernah menjadi kaum raja.
Kerajaan yang ada di Nusantara atau yang menguasai nusantara pada saat itu adalah kerajaan
yang bisa menguasai jalur perdagangan.Hancurnya feodalisme dipengaruhi oleh factor
internal dan eksternal. Kondisi nusantara pada saat itu yang merupakan jalur sutra (jalur yang
mempertemukan dunia Timur dan Barat) menjadi sasaran bangsa timur dan barat untuk
menguasai. Masuknya bangsa- bangsa lain seperti Arab, Persia, dan Gujarat untuk melakukan
perdagangan. Di samping itu bangsa barat (eropa) juga mulai masuk untuk menaklukan
Nusantara. Selain melakukan perdagangan mereka juga melakukan penyebaran agama.
Selain itu kondisi internal nusantara yang mengalami permasalahan seperti, kerajaan yang
mengalami konflik internal (perang saudara di Majapahit), dan konflik di Mataram antara
Hindu dengan Islam.Lahirnya kolonialisme yang dilakukan oleh beberapa Negara eropa
seperti, Portugis, Spanyol, dan Belanda (lewat VOC) untuk menaklukan kerajaan Nusantara
dan menguasai jalur perdagangan.
Kolonialisme di Indonesia lahir juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal pada saat itu yaitu
adanya Revolusi Industri di Perancis pada tahun 1789 yang menghancurkan feodalisme di
Perancis dan melahirkan system kapitalisme yang membuat Negara-negara eropa
memassifkan perdagangan untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Begitu juga
yang.dilakukan oleh Belanda untuk mengambil keuntungan yang lebih besar (awalnya
melalui VOC), meraka menaklukan kerajaan dan mengganti semua system yang ada di
Nusantara.
Fase Feodal Fase Kolonial
Tuban Gresik Surabaya
Demak Semarang
Pel. Sunda kelapa Tj. Priok (Batavia)
Tujuan dirubah untuk melemahkan kekuatan politik feodalisme
4. Fase Kapitalisme
Kapitalisme lahir karena adanya kontradiksi antara para pedagang (Borjuasi) dengan raja
yang melahirkan revolusi borjuis di Perancis 1789. Hal ini juga dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi (penemuan mesin uap).
– VOC (1602)
VOC adalah sebuah kongsi dagang milik belanda. Mereka masuk ke Indonesia pada tahun
1602 dengan tujuan awal untuk mencari rempah-rempah. Dengan kekuatan militer yang lebih
maju dari Indonesia mereka lama-kelamaan mulai ingin memonopoli perdagangan dan
menaklukkan raja-raja di Nusantara.
Setelah mereka menaklukan Kerajaan-kerajaan Nusantara mereka membubarkan VOC dan
mengkoloni di Nusantara mereka mengganti smua struktur pemerintahan untuk dan
memanfaatkan sisa-sisa feodalisme untuk mengambil kekayaan di Nusantara lebih banyak.
– Land Rente (1811)
Setelah mereka menguasai Nusantara, Gubernur jendral pada saat itu memberlakukan system
Land Rente (sewa tanah). Setiap peteni yang ingin mengelola tanah mereka diwajibkan
membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Pajak itu dibayar kepada kepala desa yang
tidak lain adalh bekas bangsawan kerajaan pada masa feodalsme.Setalah system ini
diberlakukan banyak para petani yang tidak bisa membayar pajak, dan akhirnya tanahnya
diambil oleh pemerintah Belanda.
– Culture Stelsel (1830)
Culture stelsel adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Dimana rakyat pada saat itu dipaksa
menanam rempah-rempah sesuai dengan kebutuhan pasar di Dunia.
– Politik Etis (1908)
Politik etis (Balas Budi) adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda untuk rakyat
Indonesia. Politik etis yang terdiri dari Irigasi, Migrasi dan Edukasi yang diberikan kepada
rakyat pada saat itu yang menurut pemerintah Belanda adalah sebuah balas budi yang
diberikan kepada rakyat atas penjajahan yang dilakukannya. Tapi dibalaik politik etis tersebut
adalah sebuah taktik pemerintah Belanda untuk memassifkan produksi dan eksport hasil dari
Indonesia.
– Irirgasi , Pmbangunan infrastruktur pengairan yang diberikan pemerintah Belanda agar
hasil dari pertanian bisa lebih massif
– Migrasi, Perpindahan penduduk yang sebenarnya bertujuan untuk memaksimalkan potensi
lahan (perkebuanan) yang belum dikelola.
– Edukasi, karena keterbatasan dari rakyat Indonesia dalam hal baca dan tulis membuat
pemerintah Belanda memberikan pendidikan kepada mereka. Sebenarnya ini adalah
kebutuhan dari pemerintah Belanda sendiri dalam hal administrasi.
1. Rakyat Indonesia pada masa komunal primitif menuju perbudakan (1500 SM – 300
M)
Dari berbagai penelitian tentang sukubangsa di Indonesia dapat pula diketahui bahwa
terdapat dua ras penting yang merupakan penduduk asli Indonesia yaitu dari ras Negrito
(sekarang ada di Papua) dan Wedda. Mereka hidup dalam sistem komunal primitif, dimana
tidak ada klas sosial sehinggga tidak ada suprastruktur kekuasaan milik klas yang berkuasa.
Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam dengan cara berburu dan meramu.
Kedatangan ras ‘Mon Khmer’ dari Yunnan (Tiongkok Selatan) pada tahun 1500 SM
menyebabkan terjadinya perang antara penduduk asli dan pendatang. Karena kemajuan
peradaban dan persenjataan yang dimiliki ‘Mon Khmer’ maka penduduk asli Indonesia dapat
dikalahkan. Penduduk asli yang kalah lantas dijadikan budak oleh ras pendatang. Peristiwa
ini menandai dimulainya masa kepemilikan budak dalam sejarah Indonesia.
Cirinya ialah banyak terjadi perang antar kelompok (komunal) dalam satu wilayah untuk
memperebutkan sumber makanan yang kian hari kian terbatas sehingga jumlah budak yang
akibat kalah perang semakin bertambah. Selain itu, penegakan batas-batas kekuasaan atas
tanah (monopoli) oleh tuan budak juga mulai ada. Hal ini juga menandakan bahwa masa
feodal dimana terdapat penguasaan tanah oleh raja-2 mulai tumbuh.
2. Rakyat Indonesia pada masa setengah perbudakan menuju feodalisme (300–1602 M)
Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan
memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana. Hal
ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak dan
memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (makanan dan pakaian).
Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun suprastruktur
kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan
budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di atas tanah dan juga membangun
kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan
budak. Inilah yang menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di
Indonesia. Hal ini menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan
feodalisme.
Ini berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman
kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme adalah tidak tepat. Memang
benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu
kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas
lebih tepat bila dikatakan sebagai setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang
mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari
kalangan kaum tani tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan
milik Raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak,
merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah perbudakan.
Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa setengah
perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga
kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari suprastruktur setengah
perbudakan. Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh pada masa
setengah perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang
sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah.
Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak
yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Klas-
klas sosial dalam masyarakat setengah perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama
Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian
dilawan oleh Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi Islam
tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para
bangsawan dan tokoh-tokoh agama.
Islam hanya melawan sistem setengah perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain
semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu
dicatat bahwa pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena
kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada
kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-
betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah-tuan tanah lokal (raja-raja lokal) yang
melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan
pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme.
3. Rakyat Indonesia pada masa feodalisme dan kolonialisme (1602 M – 1830 M)
Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal
abad 17, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan
dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan
menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di
Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.
Pengusaha-pengusaha Belanda lantas membuat Kongsi Dagang pada tahun 1602 yang di
kenal sebagai VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Tujuannya untuk menguasai
monopoli peradagangan melalui pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal.
Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari rakyat
Indonesia, salah satunya pada tahun 1621, munculnya tragedi van Bandanaira, meskipun bisa
dihancurkan VOC selama 2 minggu.
VOC dengan dukungan penuh militer Republik Belanda Bersatu menguasai Banten kemudian
memenangkan peperangan melawan Sultan Agung yang heroik pada tahun 1628-1629.
Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh VOC seiring dengan pembangunan struktur
kekuasaan lokal yang berasal dari bangsawan-bangsawan yang merupakan tuan tanah lokal.
Mereka diharuskan untuk membayar upeti kepada VOC sama seperti ketika mereka
membayar upeti kepada Sultan Agung, atau kepada raja lainnya di Nusantara.
Tahun 1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami kebangkrutan dan menanggung
banyak beban hutang. Besarnya biaya perang yang harus dikeluarkan dan korupsi yang
merajalela di dalamnya telah mempercepat kebangkrutannya. Akan tetapi mereka telah
berhasil menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua kekuasaan
politik dan ekonomi di Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk oleh
Majapahit dan Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan lokal tunduk
pada Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai dengan kebutuhan
VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal ini baru berhasil
dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.
Kekuasaan kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh Gubernur Hindia Belanda paska
VOC, terutama oleh Raffles (1811-1816) dan Daendels (1808-1811). Dua orang Gubernur
Jenderal di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, yang sangat ambisius melaksanakan
program modernisasi atas birokrasi tanah jajahan. Mereka menerapkan penarikan pajak
seperti pada zaman Feodalisme Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti
yang selama ini berlaku di Indonesia diganti dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar
dengan penyerahan wajib (Verlichte leveraties) hasil panen; demikian pula dengan struktur
pemerintahan kolonial juga dirubah sedemikian rupa hingga menjangkau desa, akan tetapi
tetap menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal (tuan-tuan tanah) dengan jabatan asisten
Residen, wedana dan asisten wedana, hingga demang. Pada masa tersebut telah dilakukan
pengenalan sistem sewa secara resmi atas tanah.
Penderitaan rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka ditindas oleh dua kekuasaan
sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah kepada pemerintahan kolonial dan di sisi
yang lain harus menyerahkan upeti dan penggunaan tenaga secara cuma-cuma bagi
penghidupan para bangsawan lokal. Perang paling akhir dan paling lama yang mendatangkan
kerugian terbesar sepanjang sejarah kekuasaan kolonial pada masa itu yang dilancarkan oleh
Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu jawaban rakyat atas penindasan ini. Perang Jawa
atau perang Diponegoro disambut rakyat dan juga didukung oleh beberapa pimpinan Islam
pedesaan. Rakyat mendukung perang ini karena penghisapan yang dilakukan oleh penguasa
di mana kerajaan Mataram bekerjasama dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa
beban pajak yang terlalu tinggi yang sebenarnya merupakan pajak tidak langsung dari
kerajaan Mataram. Ditambah kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai yang oleh
kerajaan disewakan kepada orang-orang Tionghoa, dimana mereka semaunya menaikkan
tarikan bea-cukai. Akibat dari perang ini, telah menyebabkan kebangkrutan total keuangan
negeri Belanda yang saat itu juga baru bebas dari kekuasaan Perancis. Kebangkrutan
ekonomi inilah yang membuat kolonialisme Belanda menerapkan sistem jajahan yang sangat
menindas dan menghisap rakyat Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) atau
cultuur stelsel.
Terkonsolidasikannya kekuasaan raja-raja lokal yang pada hakekatnya adalah tuan feodal
besar oleh Belanda serta dikontrolnya secara ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa
kekuasaan feodal mulai melapuk. Pun dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah sejak
Rafless hingga tetap dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka ini juga menjadi
bukti bahwa mode produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam bentuk murninya.
4. Rakyat Indonesia di bawah penindasan Kolonial dan Setengah-Feodal (1830 - 1949)
Paska perang Diponegoro, kekuasaan kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi oleh
kekuasaan feodal yang ada dan masih berupaya mempertahankan sekaligus memperbaharui
syarat-syarat penindasannya. Terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali,
Lombok dan Tapanuli peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Secara
ekonomi dan politik kekuasaan telah terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi
kolonial sadar betul bahwa pengaruh tuan tanah sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari
pertentangan bahkan perang yang harus mereka hadapi dan mahal harganya. Maka itu mereka
tidak punya pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur sekaligus di
bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.
Hal inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van De Bosch
dalam memulai Sistem Tanam Paksa. Yaitu, menggabungkan antara usaha membangun
perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat menguntungkan
serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan tetapi dalam mobilisasi
tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan tanah-tuan tanah yang memiliki
pengaruh yang kuat hingga tingkat desa.
Akan tetapi yang harus diingat, bahwa Sistem Tanam Paksa tidak merencanakan apalagi
berkehendak untuk membangun industri di Indonesia seperti perkembangan kapitalis industri
yang sedang gencar di Eropa waktu itu. Mereka hanya membangun perkebunan besar yang
diurus secara modern dengan komoditi-komoditi yang dibawa dari berbagai belahan dunia
seperti kopi, teh, gula nila, tembakau, kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam
perdagangan dunia saat itu. Mereka hanya menyiapkan komoditi pertanian dan perkebunan
untuk diperdagangkan di pasar dunia dan tidak untuk keperluan domestik. Demikian pula,
mereka hanya menyiapkan beberapa bahan mentah seperti kapas yang sangat dibutuhkan
untuk keperluan industri tekstil kapitalis yang saat itu sedang berkembang di negeri Belanda,
mengikuti perkembangan industri kapitalis di Eropa lainnya. Singkatnya, Indonesia hanya
menjadi pelayan kerakusan kapitalis dagang atas hasil-hasil perkebunan. Kemudian
berkembang menjadi pelayan keserakahan akan bahan mentah dan tenaga kerja murah para
kapitalis industri di Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk kebutuhan perputaran roda
industri imperialis mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendirian NHM (Nederlandsche
Handels Maatschappij) pada tahun 1824, pemegang monopoli hak pengangkutan dan
perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia.
Sistem Tanam Paksa dapat dilakukan secara efektif bila tidak didukung oleh kekuatan tuan
tanah feodal STP yang dimotori oleh Van de Bosch, adalah sistem ekonomi jajahan yang
sangat menindas apabila diperiksa hubungan produksi dengan tenaga produktifnya. Dimulai
dengan program mobilisasi tanah untuk keperluan perkebunan dan penanaman komoditas
baru yang sangat laku di pasar Eropa. Para petani harus menyerahkan 1/5 dari tanahnya untuk
tanaman wajib, termasuk tanah-tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan. Mereka diberi
konpensasi dibebaskan dari pajak tanah. Demikian pula berdasarkan peraturan yang resmi
penduduk pedesaan terkena kerja wajib 66 hari setahun dengan mendapat plantloon (upah
tanam).
Akan tetapi kenyataannya jauh lebih menindas daripada hukumnya sendiri yang
mengesahkan penindasan tersebut. Tanah yang diserahkan oleh petani pada kenyataannya
tidaklah seperlima melainkan duapertiga bahkan terkadang seluruhnya; bekerja wajib tidak
66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan
dan tempat tinggal diatas perkebunan yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak
yang mati karena menderita kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit.
Di Deli, pembangunan perkebunan Sumatera Timur memerlukan sangat banyak tenaga kerja
untuk membuka hutan, mengolah hingga menanam tanaman tembakau. Semula tenaga kerja
didatangkan dari Tiongkok, akan tetapi pada tahun 1885 mereka mulai mendatangkan tenaga
kerja dari Jawa, karena tenaga yang tidak mencukupi dan mahal. Perkebunan mengeluarkan
apa yang disebut Poenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu
keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak.
Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan cara paksa ini telah melahirkan golongan baru
dalam masyarakat Indonesia yaitu klas buruh. Dari hari ke hari klas buruh bertambah jumlah
dan kualitasnya seiring dengan semakin banyaknya petani kehilangan tanah, kerja paksa dan
rendahnya pendapatan dari hasil pertanian. Demikian pula dengan pembangunan tranportasi
modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah
melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain
sebagainya. Hal ini sebenarnya telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles.
Proletarisasi juga ada kaitannya dengan penggunaan uang sebagai alat tukar, baik untuk upah
maupun dalam tansaksi jual beli.
Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan
pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang
melakukan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian
pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan menggunakan
uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda.
Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen
25.000 gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji
menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh oleh
STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada
tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga pendapatan negara Belanda. Inilah
sumber keuangan pokok yang digunakan untuk melunasi utang Kerajaan Belanda,
menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda, pembangunan perkeretaapian
negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta pembangunan pelabuhan Amsterdam dan
aktifitas pelayaran lainnya.
Di lain sisi, dalam negeri terjadi kelaparan akibat gagal panen, tingginya pajak tanah dan
harus dibayar dengan uang, rendahnya upah kerja di perkebunan dan pabrik gula, kerja wajib
yang melampaui aturan, pemaksaan penyerahan tanah diluar seperlima, beban kerja yang
terus bertambah selain mengolah tanah ditambah juga dengan menjadi buruh angkut dan
tidak dibayar, dan penyakit menular membuat banyak sekali petani yang meninggal dunia
mencapai 7% dari buruh tani setiap tahunnya. Penderitaan akibat penindasan dan
penghisapan diluar batas kemanusiaan ini dijawab oleh para petani, buruh tani, kaum
herediensten dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai hingga
bentuk yang paling keras dan berdarah.
Antara tahun 1810-1870 terjadi 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak. Di Jawa
huru hara praktis tidak pernah berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun 1875 hanya enam
tahun tidak terjadi kerusuhan. Perlawanan kebanyakan dipimpin oleh elit agama atau
bangsawan yang penuh dendam. Perlawanan ditujukan pada orang kulit putih, yang asing dan
kafir dan juga terhadap penguasa pribumi. Pada tahun bulan Juli 1882, terjadi pemogokan
besar-besaran oleh kaum buruh di tiga kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan. Pemogokan
melanda 30 buah pabrik dan perkebunan yang meliputi enam pabrik gula, delapan
perkebunan tebu.14 perkebunan nila dan dua perkebunan tembakau dengan melibatkan
10.000 orang pemogok yang berlansung selama tiga bulan. Dalam pemogokan ini solidaritas
antara berbagai sektoral telah terjadi, kaum buruh yang bekerja di pabrik, kaum herendiensten
dan kaum tani pada umumnya. Tuntutan dan penyebab pemogokan hampir sama dengan
tempat-tempat yang lain. Yaitu, beratnya beban kerja, banyaknya pekerjaan yang tidak
dibayar padahal di luar kerja wajib, upah rendah di pabrik dan upah tanam yang rendah.
Pada Bulan November 1885, pemberontakan serupa terjadi di Kawedanan Pulung, kabupaten
Ponorogo, karesidenan Madiun. Beratnya tanggungan pajak yang harus dipikul petani dari
seharusnya hanya 6,1% dari penghasilan pada kenyataannya ditarik sebesar 16,1%.
Di Banten pada tahun 1888, akibat beratnya beban pajak dan kerja rodi meledak sebuah
pemberontakan. Pemberontakan ini ditujukan pada penguasa Belanda dan penguasa pribumi
yang mendukung Belanda. Dalam huru hara tersebut delapan orang penguasa Belanda dan
sembilan orang penguasa pribumi dibunuh. Sementara rakyat 30 orang mati, 200 lebih
ditangkap, 11 diantaranya digantung di muka umum. Dan kurang lebih 90 orang dikenai kerja
paksa bertahun-tahun, dan kurang lebih 90 orang dibuang. Pemberontakan-pemberontakan
yang terjadi bersifat sangat lokalistik akan tetapi mengangkat isu yang hampir sama yaitu
beratnya beban yang harus ditanggung oleh rakyat dalam STP.
Tidaklah benar tanam paksa diakhiri karena perdebatan parlemen antara kaum liberal dengan
kalangan konservatif, melainkan karena perlawanan dan pemberontakan rakyat yang telah
meledakkan sekaligus menghancurkan keuntungan yang sedang dibangun, karena penindasan
dan penghisapan diluar batas. Para kaum liberal tidak pernah peduli akan nasib penduduk
jajahan. Hal ini terbukti ketika mereka mulai masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-
pabrik gula, perkebunan dan pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan
tetapi justru semakin bertambah, karena semakin banyaknya para tuan tanah dan bangsawan
pada umumnya yang direkrut menjadi bagian dari pemerintahan kolonial.
Artinya bahwa kaum liberal hanya memanfaatkan pemberontakan rakyat yang sedang massif
dan memuncak dengan maksud mendesak kalangan konservatif untuk menyerahkan usaha di
tanah jajahan kepada mereka. Politik Etis yang dikemudian hari dikenal sebagai politik “balas
budi” pada prinsipnya adalah upaya untuk mengukuhkan kekuasaan politik mereka.
Khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi bertujuan untuk mengefisienkan
birokrasi, sementara irigasi pada dasarnya hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula
dan perkebunan pada umumnya, sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga
kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan.
Peralihan usaha-usaha dari STP ke tangan pengusaha swasta, mulai dari perkebunan dan
pabrik gula, serta beberapa perusahaan lainnya termasuk NHM, harus diakui telah membawa
perubahan dan perkembangan baru dalam ekonomi tanah jajahan. Hal ini terutama dengan
masuknya investor-investor dari Eropa baik dari Belanda sendiri maupun dari Eropa lainnya,
karena dukungan kebijakan dari pemerintahan kolonial. Dukungan yang paling nyata dan
kongkrit adalah lahirnya Agrarische Wet pada tahun 1870. Agrarische wet adalah hukum
kolonial yang memberikan kesempatan kepada pemerintahan kolonial untuk merampas
semakin banyak tanah. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak
milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai
perlindungan hukum.
Di sisi lain tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini
pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing,
dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk sekaligus dapat
menjadi buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para investor
tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Itu
berarti semakin banyak yang terpaksa menjadi buruh tani, buruh industri atau bekerja di
perkebunan-perkebunan besar milik kaum kapitalis tersebut.
Sementara perkembangan lainnya adalah berdirinya beberapa bank di tanah jajahan yang
dipelopori oleh perubahan status NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli dagang
dan jasa pengangkutan barang dagangan menjadi bank yang mendukung perluasan pabrik
gula dan perkebunan komoditi lainnya. Dukungan kapitalis finance ini telah mengakibatkan
semakin luasnya ranah usaha kaum imperialis di Indonesia. Mereka mulai merambah
pertambangan minyak, batu bara. Perusahaan pertambangan minyak seperti BPM dan Shell
mulai melakukan eksplorasi demikian juga dengan pertambangan timah di Bangka-Blitung,
yang sebenarnya sudah dimulai sejak VOC. Tentu saja hal ini menambah jumlah buruh
modern atau proletariat modern di Indonesia, yang selama ini tidak ada.
Sistem Tanam Paksa dan berikutnya ekspansi besar-besaran investor Eropa paska tanam
paksa, telah menyeret rakyat ke jurang penderitaan yang sukar diterima akal sehat. Mereka
dipaksa secara sistemis menjadi buruh-buruh perkebunan-pabrik gula, menjadi buruh-buruh
di pertambangan-pertambangan dengan upah rendah, demikian pula sebagai buruh kereta api,
kurang lebih sama penderitaannya. Kaum tani kehilangan tanah karena tidak sanggup
menanggung beban pajak dan semakin lama terjerumus dalam lingkaran hutang pada bangsa
Tionghoa, keadaan ini tidak pernah berkurang bahkan bertambah parah pada krisis ekonomi
karena persaingan harga gula internasional tahun 1888. Hal yang sama terulang kembali
paska perang dunia pertama, penderitaan rakyat tiada habis-habisnya.
Situasi ini kembali dijawab dengan perlawanan yang tiada putus-putusnya oleh kaum buruh,
kaum tani dan beberapa kalangan terpelajar yang mulai terbit kesadarannya akan nasib rakyat
yang tertindas. Organisasi rakyat yang modern mulai bermunculan di mana-mana. Mereka
mulai mengorganisir diri untuk melawan para imperialis asing maupun kalangan pribumi
sendiri yang menjadi antek mereka dalam mengeruk keuntungan atau nilai lebih. Akan tetapi
organisasi rakyat yang terbentuk tidak selalu melawan kaum imperialisme secara langsung
akan tetapi terkadang mereka hadir hanya untuk menangani beberapa persoalan yang tengah
dihadapi. Dalam perkembangannya, karena kesadaran anggota yang berada di tengah-tengah
perderitaan rakyat yang terus bertambah dari hari ke hari pada akhirnya organisasi tersebut
memilih jalan perjuangan melawan Imperialisme.
5. Rakyat Indonesia di bawah Penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal
(1949– sekarang)
Revolusi Burjuis Agustus 1945 adalah puncak dari pergolakan yang membakar kesadaran
massa rakyat sejak awal abad ke-17, dan pergolakan yang paling massif sejak awal abad 20.
Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan langsung atau menghancurkan pemerintahan
jajahan yang ada di Indonesia. Akan tetapi gagal membebaskan diri sepenuhnya dari
cengkeraman Imperialis, karena masih bercokolnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik
mereka di Indonesia, terutama melalui komprador-kompradornya di dalam negeri. Hal ini
ditandai dengan disepakatinya hasil KMB 1949 oleh Hatta-Syahrir. Demikian pula Revolusi
Agustus 1945 gagal menghancurkan kekuatan feodalisme yang senantiasa bersekutu dengan
kaum imperialis agar bisa mempertahankan syarat-syarat hidupnya. Akibat dari semua
kegagalan ini adalah, tidak adanya perombakan hubungan produksi dan perkembangan
tenaga produktif baru yang memajukan kesejahteraan hidup rakyat, terutama kaum buruh dan
kaum tani.
Pada Tahun 2010 Laju Perumbuhan Penduduk Di Indonesia tergolong sedang. Karena angka
pertumbuhan penduduknya 1-2%. Negara maju menerapkan sistem pro-natalis
(memperbanyak angka kelahiran). Contoh negara yang menerapkan, yaitu Jepang. Negaara
berkembang menerapkan sistem anti natalis (mengurangi angka kelahiran) Contoh negara
yang menerapkan, yaitu China. Tahun Sensus Jumlah Penduduk (juta) Laju Pertumbuhan (%)
1961 97,1 2,15 1971 119,2 2,13 1980 147,5 2,32 1990 179,3 1,97 2000 209,6 1,45 2010
237,56 1,49
3. 2. Dampak Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk yang tinggi membawa
dampak positif dan negatif pada berbagai kehidupan Dampak Positif : a) Tersedianya tenaga
kerja b) Bertambahnya kebutuhan sandang, pangan, papan c) Meningkatnya
investasi/penanaman modal d)Meningkatnya inovasi Dampak Negatif : a) Meningkatnya
angka pengangguran b) Meningkatnya angka kriminal c) Meningkatnya angka kemiskinan d)
Berkurangnya lahan untuk pertanian dan permukiman e) Banyaknya limbah dan polusi f)
Ketersediaan pangan makin berkurang g) kesehatan masyarakat miskin menurun h)
Perkembangnya pemukiman tidak layak huni
4. 3. Upaya Indonesia untuk Mengndalikan Laju Perumbuhan Penduduk Untuk
mengendalikan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia pemerintah menyelenggarakan
program Keluarga Berencana(KB). Program ini digalakkan pada tahun 1970-an. Selain itu,
upaya pemerintah untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, yaitu dengan
meningkatkan pendidikan, pemberdayaan generasi muda, meningkatkan peran pemuda dalam
berbagai aktivitas.
5. 4. Mobilitas Penduduk di Indonesia a. Urbanisasi Urbanisasi adalah perpindahan penduduk
dari desa ke kota. Urbanisasi di Indonesia sangat jelas terjadi di Jawa sehingga Pulau Jawa
menjadi pulau yang padat penduduk. Faktor pendorong pindahnya penduduk ke kota : 1.
Rendahnya penghasilan/upah di desa 2. Terbatasnya pemilikan lahan pertanian 3.
Terbatasnya lapangan pekerjaan di desa 4. Terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di
desa 5. Terbatasnya sarana hiburan di desa 6. Adanya bencana alam di desa
(kekeringan,banjir,dll) Faktor penarik penduduk pindah ke desa : 1. Upah di kota lebih tinggi
2. Jumlah dan peluang kerja lebih banyak 3. Sarana dan prasarana pendidikan memadai 4.
Sarana dan prasarana hiburan memadai
6. b. Transmigrasi Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari provinsi yang padat
penduduk ke provinsi yang jarang penduduk. Transmigrasi sudah dilakukan sejak zaman
penjajahan Belanda. Zaman Jepang Pada zaman Jepang dilaksanakan Transmigrasi dari
Jawa ke Lampung. Transmigrasi ini dimaksudkan untuk mobilisasi tenaga kerja ke
perkebunan di luar Jawa dan dipekerjakan di proyek pertahanan Jepang. Zaman
Kemerdekaan Pada zaman setelah Kemerdekaan, pemerintah melakuakan transmigrasi
melalui beberapa periodesasi. Daerah tujuannya makin luas tidak hanya ke Lampung, tetapi
juga ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Jambi,
Sumatra Selatan, Kalimantan Barat.
7. B. Perkembangan Politik 1. Perkembangan Politik pada Awal Kemerdekaan Pada awal
kemerdekaan situasi politik Indonesia masih mencari bentuknya. Hal ini ditandai dengan
adanya perubahan pada masa itu. a. Pembentukan Struktur Pemerintahan yang Lengkap Saat
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki 11 struktur
pemerintahan yang lengkap. Oleh karena itu setelah Proklamasi Indonesia segera membentuk
kelengkapan pemerintah, sebagai berikut : 1. Pengesahan UUD 1945 2. Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden 3. Pembagian Wilayah Indonesia 4. Pembentukan kementrian 5.
Pembentukan Komite Nasional Indonesia 6. Membentuk Kekuatan Pertahanan dan
Keamanan
8. b. Perubahan Bentuk Negara Replubik Indonesia Menjadi Replubik Indonesia Serikat. •
Sejak merdeka, Indonesia berusaha untuk melaksanakan pemerintah berdasarkan UUD 1945.
Namun tidak sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh perubahan situasi politik.
Situasi politik diantaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus- 2November
1949. Belanda mengakui RIS menjadi negara yang merdeka dan berdaulat Pengakuan
Belanda memberi keuntungan dan dampak negatif bagi Indonesia. • Wilayah RIS : 1. Negara
Bagian : Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura,
Negara Sumatra, Negara Sumatra Timur, dan Replubik Indonesia. 2. Satuan-satuan
kenegaraan : Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Banjar, Dayak
Besar, Bangka, Belitung dan Jawa Tengah. 3. Daerah Swaparaja : Kota Waringin, Sabang,
dan Padang.
9. c. Indonesia kembali menjadi negara Kesatuan • Tidak lama setelah terbentuknya RIS
terdengar suara rakyat yang menyatakan tidak pas dengan pemerintahan RIS. Konstitusi RIS
yang berbentuk negara federal menimbulkan perpecahan bangsa. Oleh karena itu,pada tahun
1950 mulai muncul gerakan untuk mengubah RIS menjadi NKRI. • Untuk mengubah negara
serikat diperlukan adanya UUD. Oleh karena itu, dibentuk UUDS 1950. Pada tanggal 17
Agustus 1950 RIS resmi dibubarkan.
10. 2. Perkembangan Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Liberal Pada
demokrasi liberal dan terpimpin keadaan politik juga mengalami perubahan. Bujtinya terjadi
pergantian kabinet dalam waktu singkat dan dikeluarkannya dekrit presiden 1959 a)
Keadaaan Politik pada Masa Demokrasi Liberal Setelah menjadi negara kesatuan Indonesia
menganut Demokrasi Liberal dengan sistem Parlementer. Dalam sistem ini presiden hanya
menjadi kepala negara saja. Sistem ini mendorong timbulnya berbagai partai politik. Adanya
banyak partai politik mengakibatkan persaingan antar partai. Pada masa Demokrasi Liberal 7
kali pergantian cabinet.
11. Kabinet tersebut adalah : 1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) 2. Kabinet
Sukiman (April 1951-Februari 1952) 3. Kabinet Wilopo (April 1952- Juni 1953) 4.Kabinet
Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) 5.Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-
Maret 1956) 6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) 7. Kabinet Djuanda
(Maret 1957-Juli 1959) Persiapan pemilu dilaksanakan sejak masa Kabinet Ali
Sastroamidjojo I. Setelah itu, Kabinet Burhanuddin Harahap menggantikannya. Tahap
pelaksanaan pemilu tahun 1955.
12. 1) Tanggal 29 September 1955 Pada tanggal ini dilaksanakan pemilu untuk memilih
anggota DPR. Komposisi anggota DPR hasil pemilu : 1. Masyumi memperoleh 60wakil/kursi
2. PNI memperoleh 58wakil/kursi 3. NU memperoleh 47 wakil/kursi 4. PKI memperoleh 32
wakil/kursi 5. Partai lainnya memperoleh kursi masing-masing kurang dari 12. 2) Tanggal 15
Desember 1955 Pada tanggal ini dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota Dewan
Konstituante. Komposisi anggota Dewan Konstituante hasil pemilu : 1. PNI memperoleh 119
kursi 2. Masyumi memperoleh 112 kursi 3. NU memperoleh 91 kursi 4. PKI memperoleh 80
kursi 5. Partai lainnya memperebutkan 118 kursi
13. b) Keadaan Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin Pergantian kabinet mengakibatkan
kondisi politik tidak stabil. Sehingga muncul gagasan untuk melaksanakan model
pemerintahan Demokrasi Terpimpin berdasar UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959
dikeluarkan dekrit presiden yang berisi :1. Pembubaran konstituante 2. Berlakunya kembali
UUD 1945 3. Pembentukan MPAS dan DPAS dalam waktu yang singkat Dengan 12
dikeluarkannya dekrit presiden, berakhirlah Demokrasi Liberal serta Kabinet Parlementer
digantikan oleh Kabinet Presidensial. Pemerintahan Demokrasi Terpimpin bertujuan untuk
menata kembali kehidupan politik Indonesia. Namun pada masa ini, justru terjadi
pelanggaran dan pemerintah cenderung menjadi sentralistik.
14. Pelanggaran pada masa Demokrasi Terpimpin : 1. Prosedur pembentukan MPRS 2.
Prosedur pembentukan DPAS 3. Prosedur pembentukan DPRGR 4. Penetapan Manifesto
Politi sebagai Garis Besar Haluan Negara 5. Pengangkatan presiden seumur hidup 6.
Penyimpangan Politik Luar Negri Bebas Aktif Masa Demokrasi Terpimpin memberi peluang
bagi PKI untuk memperkuat posisinya. Setelah itu, mereka mengadakan pemberontakan
G30S/PKI. Pemerintah berhasil menggagalkannya namun tidak langsung melakukan
penyelesaian politik terhadap tokoh G30S/PKI. Disamping itu situasi ekonomi memburuk
sehingga memicu demonstrasi. Guna menjaga keamanan negara presiden Soekarno
mengeluarkan surat perintah yang dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret.
15. 3. Perkembangan Politik pada Masa Orde Baru Keadaan politik Indonesia mengalami
berbagai perubahan. Keadaan politik Indonesia pada masa ini meliputi : a) Penataan
Stabilitas Politik dengan Membubarkan PKI dan Organisasi Massanya Berdasarkan surat
perintah Letjen Soeharto mengambil tindakan guna menjaga keamanan negara. Tanggal 12
Maret, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan PKI dan
organisasi senada untuk beraktivitas di Indonesia. Surat ini diperkuat dengan Keputusan
Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS NO. 1/3/1966. Pada tanggal 18 Maret Soeharto
mengamanka 15 mentri yang terlibat dalam G30S/PKI. Setelah itu ia memperbaharui
kabinet Dwikora dan membersihakan lembaga legislatif termasuk MPRS dan DPRGR dari
orang yang terlibat G30S/PKI. b) Penyederhanaan Partai Politik Pada masa ini terjadi
penyederhanaan dan penggabungan partai politik menjadi 3 kekuatan sosial politik.
16. Tiga kekuatan sosial politik : 1. Partai Persatuan Pembangunan terdiri dari NU, Parmusi,
PSII, PERTI. 2. Partai Demokrasi Indonesia terdiri dari PNI, Partai Katolik, IPKI, Parkindo.
3. Golongan Karya. C) Pemilihan umum Pada masa ini terjadi 6 kali pemilu. Partai Golkar
selalu mendapatkan mayoritas suara dan memenangkan pemilu. d) Peran Ganda(Dwifungsi)
ABRI Pada Orde Baru ABRI memegang peran pertahanan keamanan dan peran dalam
mengatur negara. Dengan peran ini ABRI diizinkan memegang jabatan termasuk walikota,
pemerintah provinsi, duta besar, dan jabatan lainnya. Setelah masa orde baru berakhir
Dwifungsi ABRI dihapuskan.
17. 4. Perkembangan Politik pada Masa Reformasi Pemerintah Remormasi berusaha
membenahi melaksanakan pembenahan di bidang politik, antara lain : 1. Reformasi di
bidang ideologi negara dan konstitusi 2. Pemberdayaan anggota DPR,MPR, DPRD 3.
Reformasi lembaga kepresidenan dan kabinet 4. Pembaharuan kehidupan politik 5.
Penyelenggaran pemilu 6. Birokrasi sipil 7. Militer dan dwifungsi ABRI dihapuskan 8.
Sistem pemerintah daerah dengan sasaran otomi daerah Pada tahun 2004 Indonesia pertamaa
kali mengadakan pemilu yang meilbatkan rakyat secara langsung. Pemilu tahun 2004 dibagi
menjadi maksimal 3 tahap dan minimal 2 tahap : a) Tahap Pertama : Pemilu legislatif Pemilu
ini untuk memilih partai politik dan anggota DPR, DPR, dan DPRD 18. b) Tahap Kedua :
Pemilu presiden putaran pertama Pemilu ini untuk memilih pasangan presden dan wakill
presiden secara langsung c) Tahap Ketiga : Pemilu presiden putaran kedua Pemilu ini
dilaksanakan apabila sebelumnya belum ada pasangan presiden yang mendapatkan 50% dari
tahap pertama. Pemilu ini diikuti oleh 5 pasang calon presiden
DAFTAR PUSTAKA
Puspitasari,Ratna.2017.Perkembangan Masyarakat Indonesia.
https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/files_dosen/modul/Pertemuan_14TIPS2120951.pdf
Bismark,Rowland.2013.Manusia dan Kebudayaan
http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/35503/bab-02-manusia-dan-
kebudayaan1.pdf
Penaprogresif.2012.Sejarah Perkembangan Masyarakat Indonesia
https://nantzuprogresif.wordpress.com/2012/06/27/sejarah-perkembangan-masyarakat-
indonesia/