Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia saat ini menghadapi masalah yang serius berkaitan dengan usaha

penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar

terhadap padi, jagung, gandum, dan lainnya. Untuk mengatasi masalah tersebut,

pemerintah mengeluarkan kebijakan keanekaragaman pangan yang mencakup

keanekaragaman pola menu dan keanekaragaman sumber bahan pangan yang

dimaksud (Anonim, 2010).

Jagung memiliki peranan penting dalam industri berbasis agribisnis. Untuk

tahun 2009, Ditjen Tanaman Pangan Balai Penelitian Tanaman Serealia,

mengklaim produksi jagung mencapai 18 juta ton. Jagung dimanfaatkan untuk

konsumsi, bahan baku industri pangan, industri pakan ternak dan bahan bakar.

Kebutuhan jagung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring

berkembangnya industri pakan dan pangan. Rendahnya produksi jagung di tingkat

petani dapat mempengaruhi produksi secara Nasional. Hal ini dimungkinkan ada

kaitannya dengan pengolahan tanah dan kepadatan tanaman persatuan luas yang

tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman jagung, dan keragaman produktivitas

tersebut diduga disebabkan adanya perbedaan penggunaan benih bersertifikat,

teknologi budidaya kurang memadai, pola tanam yang tidak sesuai,

ketidaktersediaan air dan kondisi sosial ekonomi petani (Supriono, 2006).

Pengendalian serangan hama atau penyakit biasa dilakukan dengan

menggunakan pestisida kimia sintetik. Hal ini karena pestisida ini mempunyai
2

cara kerja yang relatif cepat dalam menekan populasi hama sehingga dapat

menekan kerugian hasil akibat serangan hama, lebih efektif dalam memberantas

hama dan mudah didapatkan di pasaran (dijual bebas). Namun, penggunaan

pestisida kimia secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Beberapa pengaruh negatif

lainnya dalam penggunaan pestisida sintetis yang tidak sesuai. Pertama,

pencemaran air dan tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia

dan makhluk lainnya dalam bentuk makanan dan minuman yang tercemar. Kedua,

matinya musuh alami dari hama maupun patogen dan akan menimbulkan

resurgensi, yaitu serangan hama yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Ketiga,

kemungkinan terjadinya serangan hama sekunder. Keempat, timbulnya

kekebalan/resistensi hama maupun patogen terhadap pestisida sintetis.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, setiap rencana penggunaan pestisida sintetis

hendaknya dipertimbangkan secara seksama tentang cara penggunaan yang paling

aman, di satu sisi efektif terhadap sasaran, di sisi yang lain aman bagi pemakai

maupun lingkungan (Riana, 2012).

Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995 menyatakan bahwa pemanfaatan

agen pengendali hayati atau biopestisida termasuk pestisida nabati sebagai

komponen utama dalam sistem PHT. Tindakan lainnya tertera dalam Keputusan

Menteri Pertanian No. 473/Kpts/Tp.270/06/1996 yaitu dengan mengurangi

peredaran beberapa jenis pestisida dengan bahan aktif yang dianggap persisten

(Asmaliyah et al, 2010). Bentuk dukungan terhadap kebijakan tersebut adalah

dengan menggunakan pestisida nabati dalam kegiatan perlindungan tanaman yang

perlu disosialisasikan dan dipromosikan kepada masyarakat. Pestisida nabati


3

merupakan pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan, tumbuhan

banyak mengandung bahan kimia yang digunakan sebagai alat pertahanan dari

serangan organisme pengganggu. Bahan kimia yang terkandung biasa disebut

sebagai metabolit sekunder yang berupa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin dan

lain-lain. Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak essensial bagi

pertumbuhan organisme, yang ditemukan dalam bentuk unik atau berbeda-beda

antara spesies satu dengan spesies lainnya. Berbagai senyawa metabolit sekunder

telah digunakan sebagai obat atau bahan untuk membuat obat, pestisida dan

insektisida (Zuraida et al, 2010).

Tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati salah satunya

adalah keluwih (Artocarpus communis) dan bagian tanaman yang digunakan

adalah daunnya. Menurut Kardinan (2000) daun keluwih mengandung Saponin,

tanin, flavonoid, stillben, dan 2-arilbenzofuran. Selain itu menurut Indrowati dan

Soegihardjo (2005) daun keluwih mengandung senyawa aktif tannin dan

flavonoid.

Penentuan konsentrasi pestisida nabati penting dilakukan dalam penelitian

ini. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tiap perlakuan dan untuk

menentukan konsentrasi yang tepat. Dari hasil uji pendahuluan (Zahroh, 2013)

yang telah dilakukan, diperoleh bahwa konsentrasi ekstrak daun keluwih berperan

sebagai pestisida nabati, dimana pada konsentrasi 50%, 60%, dan 70%

didapatkan jumlah kematian larva tertinggi yaitu 20 ekor dari 20 ekor (100%),

sehingga ditetapkan konsentrasi yang digunakan dalam percobaan selanjutnya

adalah 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%.


4

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu kiranya dilakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Berbagai Konsentrasi Pestisida Nabati

Ekstrak Daun Keluwih (Artocarpus communis J.R. & G. Forst) terhadap

Mortalitas Hama Penggerek Tongkol Jagung (Helicoverpa Armigera,

Hubner) secara In Vitro”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan

sebagai berikut :

1.2.1 Adakah pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun keluwih

(Artocarpus communis J.R. & G. Forst) terhadap mortalitas hama

penggerek tongkol jagung (Helicoverpa armigera, Hubner) secara in

vitro?

1.2.2 Pada konsentrasi berapakah ekstrak daun keluwih (Artocarpus sp)

efektif terhadap mortalitas hama penggerek tongkol jagung

(Helicoverpa armigera, Hubner) secara in vitro?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengidentifikasi ada tidaknya pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak

daun keluwih (Artocarpus communis J.R. & G. Forst) terhadap

mortalitas hama penggerek tongkol jagung (Helicoverpa armigera,

Hubner) secara in vitro.


5

1.3.2 Menentukan konsentrasi ekstrak daun keluwih (Artocarpus communis

J.R. & G. Forst) yang efektif terhadap mortalitas hama penggerek

tongkol jagung (Helicoverpa armigera, Hubner) secara in vitro.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis

 Menyumbangkan Manfaat bagi dunia pendidikan yaitu hasil

penelitian ini secara keseluruhan dapat dijadikan sebagai sumber

belajar dalam bidang kajian pendidikan lingkungan hidup dan

pemanfaatan bahan tumbuhan sebagai pestisida nabati.

 Meningkatkan potensi daun keluwih (Artocarpus communis J.R. &

G. Forst) yang belum banyak dimanfaatkan secara maksimal

(Pitojo, 2005).

1.4.2 Manfaat Teoritis

Menambah khasanah keilmuan khususnya dalam bidang biologi

lingkungan mengenai manfaat daun keluwih (Artocarpus sp) sebagai

pestisida nabati.

1.4.3 Manfaat dalam Dunia Pendidikan

Menjadikan sebagai sumber belajar dalam bidang kajian pendidikan

lingkungan hidup pemanfaatan bahan tumbuhan pestisida nabati sesuai

dengan standar kompetensi menganalisis hubungan antara komponen

ekosistem, perubahan materi dan energi serta peranan manusia dalam

keseimbangan ekosistem, dengan kompetensi dasar menjelaskan


6

keterkaitan antara kegiatan manusia dengan masalah pencemaran

lingkungan dan pelestarian lingkungan pada tingkat SMA kelas X

semester II.

1.5 Batasan penelitian

Agar tidak terjadi gambaran luas dalam penelitian ini, maka peneliti

memberikan batasan dalam penelitian ini, yaitu:

1.5.1 Pestisida nabati daun keluwih terbuat dari daun keluwih yang diekstrak

melalui proses maserasi.

1.5.2 Serangga hama yang diuji adalah Helicoverpa armigera (Hubner) pada

instar II, karena pada masa tersebut ulat sudah bersifat hama

(merusak). Ciri-cirinya panjang 9,9 mm, lebar 1.3 mm, umur sekitar 3-

4 hari dan gerakannya aktif. Hama diperoleh Laboratorium Hama

Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS)

Karangploso, Malang.

1.5.3 Konsentrasi pestisida nabati ekstrak daun keluwih (Artocarpus

communis) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10%, 20%,

30%, 40%, 50%.

1.5.4 Waktu pengamatan terhadap tingkat mortalitas adalah selama 24 jam

dengan interval pengamatan setiap 4 jam sekali setelah aplikasi.

1.5.5 Mortalitas yang diamati pada Helicoverpa armigera (Hubner) ditandai

dengan ulat tidak mengalami perpindahan posisi, perubahan warna

kulit menjadi hitam, dan tubuh hancur serta mengeluarkan cairan.


7

1.6 Definisi Istilah

1.6.1 Konsentrasi adalah perbandingan antara massa zat terlarut dengan

pelarutnya. Konsentrasi umumnya dinyatakan dalam perbandingan

jumlah zat terlarut dengan jumlah total zat dalam larutan, atau dalam

perbandingan jumlah zat terlarut dengan jumlah pelarut (Iqbal, 2008).

1.6.2 Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan

mengekstraksi zat aktif simplisia nabati dan hewani menggunakan

pelarut yang sesuai kemudian semua atau hampir semua pelarut

diuapkan (Anonim, 1995 dalam Sismaini, 2010).

1.6.3 Pestisida nabati merupakan pestisida yang bahan aktifnya bersumber

dari tumbuh-tumbuhan, seperti akar, daun, batang, atau buahnya.

Bahan kimia yang terkandung di dalam tumbuhan memiliki

bioaktivitas terhadap serangga seperti bahan penolak atau repellent,

penghambat makan atau antifeedant, penghambat perkembangan

serangga atau insect growth regulator dan penghambat peneluran atau

oviposition deterrent. (Anonim, 2013).

1.6.4 Mortalitas merupakan kematian organisme karena dari faktor

lingkungan ataupun lainnya (Ihsan, 2006).

1.6.5 Hama Penggerek tongkol jagung (Helicoverpa armigera Hubner)

merupakan hama yang menyerang buah jagung dengan meletakkan

telur pada rambut jagung dan sesaat setelah menetas larva akan

menginvasi masuk kedalam tongkol dan akan memakan biji yang

sedang mengalami perkembangan. Serangan serangga ini akan

menurunkan kualitas dan kuantitas tongkol jagung (Listia, 2012).

Anda mungkin juga menyukai