Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“QIYAS”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu: Bpk. M. Takhim., SE.M.Si

Disusun Oleh:

NAMA: NIM:

Adisa Dwi Apriliani 21101021032

Umdatul Millah 21101021039

Anggita Ela Arifiyani 21101021022

Nurun Nisaa’ Choiriyyah 21101021030

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

TAHUN 202
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil 'alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
menganugerahkan kesehatan sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Makalah dengan judul “QIYAS” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok
pendidikan agama islam.

Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah
berkontribusi secara maksimal. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.

Meski demikian, penulis meyakini masih banyak yang perlu diperbaiki dalam
penyusunan makalah ini, baik dari segi dalil, sumber hukum, tata bahasa, dan bahkan tanda
baca sehingga sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian sebagai bahan
evaluasi penulis.

Demikian, besar harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas kepada pembaca.

i
Daftar Isi

Kata Pengantar…………………………………………………………………………….i

Daftar isi…………………………………………………………………………………..ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah…………………………………….…….1

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Qiyas…………………………………………………………………..2
B. Dasar Hukum Qiyas……………………………………………………………….3
C. Rukun Qiyas dan Contohn………………………………………………………...4
D. Syarat Syarat Qiyas…………………………………………………………..…....5

Bab III Penutup

A. Penutup…………………………………………………………………………...10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah
yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-
hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa
sunnah). Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan
akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber
sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat
sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat
(al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses
interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber hukum yang
masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa
dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan
hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh
penjelasan lebih lanjut. Biasanya yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang
berhubungan dengan cabang bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
            Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun
al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam
dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena
itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.

B.   Rumusan Masalah
A. Defenisi qiyas?
B. Dasar hukum qiyas
C. Rukun rukun qiyas dan contohnya
D. Syarat syarat qiyas
E. Pembagian qiyas

1
2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas
Secara etimologis kata “qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur, membandingkan
sesuatu dengan semisalnya.[1]Hasby ash Sidieqy mengartikan qiyas secara bahasa yakni
mengukur dan memberi batas. Menurut istilah ahli ushul ialah: “menghubungkan hukum
sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama yang
menyebaban hukumnya juga sama”.[2]Redaksi yang berbeda di jelaskan oleh Sulaiman
Abdullah mengenai istilah yang disampaikan oleh ahli ushul yakni:”qiyas adalah
mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan
peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan
hukum yang ditentukan nash.[3]
Tentang arti qiyas menurut terminology (istilah hukum) terdapat beberapa definisi
berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi tersebut yakni:
1. Al-Gazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dan keduanya disebabkan ada
hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum’.
2. Qadhi Abu Bakar memberikan definisi yang mirip dengan definisi di atas dan disetujui
oleh kebanyakan ulama, yaitu
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal yang sama antara keduanya”.
3. Abu Hasan al-Bashri memberikan definisi:
“Menghasilkan (menetapkan)hokum ashal pada “furu” karena keduanya sama dalam
illat hokum menurut mujtahid”[4]. Dan masih banyak lagi pendapat ulama lainnya

B. Dasar Hukum Qiyas


Qs. An-nisa : 59
3

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”.

Maksud ayat di atas adalah menyamakan peristiwa yang tidak memliki nash dengan
peristiwa yang memiliki nash karena kesamaan illat hukumnya adalah termasuk
mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena mengikuti hukum
yang ditetapkan Allah dan Rasulullah.

Qs. Al-Hasyr : 2

Artinya : “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka,
bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan
mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.

Maksud ayat di atas adalah hukum Allah baik berupa nikmat, siksa, maupun semua
hukumnya merupakan kesimpulan dari suatu pendahuluan dan akibat dari suatu sebab dan
qiyas berjalan sebagaimana hukum Allah ini, merumuskan suatu akibat dari sebab yang
dapat ditemukan di mana saja.

Hadits Muadz bin Jabal :

“Ketika Rasulullah mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Dengan apa


engkau memutskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu ?”. Muadz
berkata, “Aku putuskan dengan kitab Allah, Al-Quran, bila tidak kutemukan maka dengan
sunnahRasululah, bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku
tidak akan condong”. Maka Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji
bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia
relakan”.
4

Maksud hadits di atas adalah karena Rasul menyetujui kepada Muadz untuk berijtihad
dalam memutuskan hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam al-quran dan as-sunnah.
Adapun ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu hukum,
termasuk diantaranya adalah qiyas.

Hadits sohih

Dalam sebuah riwayat dikatakan :

Seorang laki-laki suku Fazarah tidak mengakui anaknya yang hitam ketika dihadapkan
oleh istrinya, maka Rasulullah bersabda, “Apakah kamu punya onta?” ia
menjawab, “Ya”. Nabi bersabda “Apa warnanya?”. Ia menjawab, “Merah”. Nabi
bersabda, “Apakah ada yang berwarna kelabu (merah gelap seperti debu)?”. Ia
menjawab, “Ya”. Nabi bersabda, “Dari mana?”. Ia menjawab, “Mungkin bercampur
keringat”. Nabi bersabda, “Anak ini pun mungkin bercampur keringat”.

Perbuatan dan ucapan para sahabat

Ali bin Abi Thalib berkata, “Kebenaran dapat diketahui dengan membandingkan suatu
masalah dengan masalah yang lain, menurut orang-orang yang berakal”. Ketika ibnu
Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah melarang jual beli makanan sebelum diterimakan,
ia berkata, “Aku tidak memperhitungkan segala sesuatu kecuali yang sebanding”.

Illat rasional menetapkan Qiya

Nash al-qur’an dan as-sunnah sangat terbatas dan ada habisnya. Sedangkan kejadian
dan permasalahan manusia tidak terbatas, maka tidak mungkin nash yang ada habisnya itu
menjadi sumber hukum syara’ bagi masalah-masalah yang tidak ada habisnya. Oleh karena
itu, qiyas bertindak sebagai sumber hukum syara’ yang mengiringi kejadian-kejadian baru,
membuka peluang pembentukan hukum dalam masalah baru, dan memadukan antara
pembuatan hukum dengan kemaslahatan.[4]

C. Rukun Rukun Qiyas dan Contohnya:


1. Al-Ashlu (Pokok)
Para fuqaha mendefinisikan bahwa al-ashlu merupakan suatu objek qiyas, dimana suatu
permasalahan dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat
menyerupakan). Rukun qiyas ini juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
5

2. Al-Far’u (Cabang)
Al-far’u merupakan sesuatu yang tidak ada ketentuan  nash. Fara’ yang berarti cabang,
yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang bisa
dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis atau yang diukur atau musyabbah (yang
diserupakan) atau mahmul yang berarti dibandingkan.
3. Al-Hukum
Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk dapat memperluas hukum
dari asal ke far’ (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasarkan nash
dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya terdapat persamaan
‘illatnya.
4. Al-‘illah (Sifat)
Illat adalah alasan yang serupa antara asal dan far’ ( cabang), yaitu suatu sifat yang
terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah maka ashl mempunyai suatu hukum. Dan
dengan sifat itu pula, terdapat cabang  yang disamakan dengan hukum ashl.
Contoh Qiyas:
Contohnya mengggunakan narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan
hukumnya, sedangkan tidak ada satu nash pun yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukumnya. Untuk menetapkan hokum tersebut maka dapat ditempuh cara qiyas dengan
mencari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan
minum khamr atau minuman keras.
Antara minum narkotik dan minum khamr terdapat persamaan ‘illat, yaitu sama-sama
berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga bisa merusak akal. Berdasarkan
persamaan ‘illat tersebut, maka ditetapkanlah hukum menggunakan narkotik yaitu haram,
sebagaimana haramnya minum khamr.
D. Syarat-Syarat Qiyas:
1. Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya:
 harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya,
baik secara nau’I atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
 harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.
2. Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)
 illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada
ashal.
6

 harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal ilat maupun hukuum
baik yang menyangkut ain atau jenis dalam arti sama dalam ain illat atau sejenis illat
dan sama dalam ain hokum atau jenis hukum.
 Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qat’i.Tidak terdapat penentang hukum
lain yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu
berlawan dengan illat qiyas itu.
 Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
 Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
3. Hukum Ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan
pada furu. Adapun yang menjadi syarat-syaratnya:
 Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk
mengetahui hukum syara pada furu.
 Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
 Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di
nasakh.
 Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
 Hukumashal itu harus disepakati oleh ulama.
 Dalil yang menetapkan hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.
 Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
a) Bentuk-bentuk illat
1) Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya tanpa bergantung
kepada urf atau lainnya.
2) Sifat hissy, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati oleh alat indra.
3) Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur namun dapat dirasakan bersama.
4) Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa.
5) Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai bentuk hukum syar’i dijadikan alasan
untuk menetapkan sesuatu hukum.
6) Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu
hukum.
b) Fungsi illat
1) Penyeebab/penetap yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan
penyebab atau penetap adanya hukum, baik dengan nama mu’arif ,muassir, atau baits.
7

2) Penolak yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi
tuidak mencabut hukum itu seandainya ilat tersebut terdapat pada saat hukum tengah
beraku.
3) Pencabut, yaitu illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila illat itu terjadi
dalam masa tersebut.
4) Penolak atau pencegah, yakni illat yang hubungannya dengan hukum dapat mencegah
terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah
berlangsung.
c.) Syarat-syarat illat
1) Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan
dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
2) Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
3) Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas, sehingga
tidak tercampur dengan yang lainnya.
4) Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan
menjadi illat.
5) Illat itu harus mempunyai daya rentang.
6) Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi illat.
E. Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:
1. Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada
ilat yang terdapat pada ashal.
a) Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu.
b) Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya
dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
c) Qiyas adwan, yaitu yang yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut
memenuhi persyaratan.
2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya
a) Qiyas jali, yaitu qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik
pembedaan antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
8

b) Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya
diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat
zhanni.
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan hukum;
a) Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi
Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu ditetapkan dengan nash
yang syarih atau ijma.
Kedua, qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashal dengan
furu itu berpengaruh terhadap ain hukum.
b.) Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram
adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu.
a) Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak
dijelaskan dalam qiyas namun antar ashal dengan furu tidak dapat dibedakan,
sehingga furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b) Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan
pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal.
c) Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum itu
sendiri namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi
petunjuk akan adanya illat.
5. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam
furu.
a) Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode
munasabah dan ikhalah.
b) Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
c) Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru
wa taqsim.
d) Qiyas thard, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui thard.
Bab III

PENUTUP

Menurut bahasa, kata qias itu berarti ukuran, yaitu mengetahui ukuran sesuatu dengan
menisbahkannya kepada yang lain. Menurut istilah yang biasa dugunakan oleh para ulama
fiqh adalah menghubungkan sesuatu yang belum dinyatakan ketentuan hukumnya oleh
nash, karena diantara keduanya mempunyai ‘illat hukum. Para ushul ulama fiqh
menetaokan rukun qiyas ada 4 (empat) yaitu ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui
nashl atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditetapkan hukumnya), i’llat (motivasi hukum
yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl, dan hukm al-ashl (hukum yang telah
ditentukan oleh nash atau ijma’).

Berdasarkan hal tersebut,dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya qiyas itu bisa
dikatakan benar bila sudah memenuhi empat rukun diatas. Keempat rukun tersebut
merupakan patokan dalam melakukan qiyas. Oleh karena itu, mujtahid yang akan
melakukan qiyas dituntut untuk berhati – hati dalam memahami nash dan hukum serta
harus cermat dalam meneliti ‘illat yang ada pada far’u apakah ada relevansinya dengan
ashl yang dijadikan sebagai sandaran hukum didalam nash tersebut dan ‘illat pada
persoalan baru (far’u) yang telah disebutkan oleh nash. Jika ‘illat sudah diketahui antara
ashl dan far’u maka dapat dilakukan qiyas antara keduanya.

9
DAFTAR PUSTAKA

AZHARI, F. (2014). Qiyas Sebuah Metode Penggalian Hukum Islam. Syariah Jurnal Hukum
Dan Pemikiran, 13(1). https://doi.org/10.18592/syariah.v13i1.86

Muslimin, E. (2019). Qiyas sebagai sumber hukum islam. 15(2), 77–87.

10

Anda mungkin juga menyukai