Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM PAJAK DI INDONESIA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan yang dibina oleh

Bapak Wadhan, M.Si.

Oleh :

Tri Oktaviani (19383042070)


Tria Wulandari Agustina (19383042071)
Ach. Basiruddin (20170703041005)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana berkat rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “hukum
pajak di indonesia”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Praktik Perbankan yang diampu oleh Bapak Wadhan, M.Si.

Tidak lupa, kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut
membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari dalam makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini
bermanfaat dan menjadikan sumber pengetahuan bagi para pembaca.

Pamekasan, 20 September 2021

Penyusun

ii
DAFTAR

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
A. konsep dasar hukum pajak...........................................................................4
B. konsep dalam hukum pajak..........................................................................5
C. sejarah dan perubahan hukum pajak ...........................................................7
BAB III PENUTUP..............................................................................................14

A. Kesimpulan.................................................................................................14
B. Saran...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang utama bagi
pelaksanaan dan peningkatan pembangunan yang bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemungutan pajak
dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, maka pemungutan pajak tersebut
haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang telah diamandemenkan dalam Pasal
23A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-
Undang”. Hal ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus
berdasarkan Undang-Undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum,
baik bagi pengumpul pajak maupun bagi wajib pajak itu sendiri. Makna yang
terdapat dalam Pasal 23A amandemen ke-III Undang-Undang Dasar 1945 itu
sendiri adalah pemungutan pajak harus berlandaskan Undang-Undang
dikarenakan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada
pemerintah yang tidak ada imbalannya secara langsung dapat ditunjuk. Oleh
karena itu pajak mempunyai unsur yang dapat dipaksakan yang mempunyai arti
bahwa bila utang pajak tersebut tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat
ditagih dengan menggunakan Surat Paksa dan Sita maupun penyanderaan bagi
Wajib Pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya peningkatan dalam
pelaksanaan pemungutan pajak sehingga penerimaan dari sektor pajak dapat
menjadi lebih optimal.
Pada dasarnya pemungutan pajak merupakan perwujudan dari peran serta
masyarakat sebagai warga Negara dalam rangka pembiayaanrutin pemerintahan
serta meningkatkan pembangunan nasional, sehingga pajak memiliki
kedudukan yang strategis dalam penerimaan Negara. Dalam mendukung
pembangunan nasional pajak dapat dilaksanakan dengan menerapkan prinsip
kemandirian.Sumber penerimaan Negara dari pajak harus terus
ditingkatkan.Oleh karena itu, diperlukan peran serta masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan yang tercermin pada kepatuhan masyarakat dalam
membayar pajak. Sektor perpajakan memegang peranan penting dan strategis
dalam penerimaan Negara. Peningkatan pendapatan Negara terutama dari
1
sektor pajak akan memberikan sumbangan positif dalam keuangan Negara.
Semakin tinggi kesadaran masyarakat dan semakin meningkatnya jumlah wajib
pajak menunjukkan bahwa semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap penyelenggaraan Negara dan sikap nasionalisme warga Negara juga
semakin tinggi.
Hal tersebut berarti bahwa pendapatan Negara dari sektor pajak
merupakan sarana nyata bagi pemerintah untuk mampu menyediakan berbagai
prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, air, listrik, fasilitas kesehatan,
fasilitas pendidikan, fasilitas keamanan, dan berbagai kepentingan umum
lainnya yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Sumber penerimaan
pajak yang dapat diperoleh oleh Negara salah satunya adalah berasal dari tanah
dan atau bangunan.Bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau
kedudukan social ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang
mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh
karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat
atau kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pajak.
Secara umum pajak itu adalah iuran rakyat kepada Negara yang dipungut
berdasarkan Undang-Undang, yang pemungutannya dapat dipaksakan dengan
tidak mendapat kontra prestasi secara langsung yang dipergunakan untuk
membiayai pengeluaran rutin Negara. Untuk dapat menghimpun dana yang
berasal dari masyarakat yang dipungut melalui pajak harus berpijak pada asas
legalitas. Maksud dan tujuan penerapan asas legalitas di bidang perpajakan
adalah agar tindakan atau perbuatan pemerintah untuk menghimpun dana dari
masyarakat melalui pemungutan pajak tidak dikategorikan sebagai perbuatan
melanggar hukum. Tanpa UndangUndang, pemungutan pajak tidak mengikat
masyarakat dan dianggap tidak sah.
Berkenaan dengan hal tersebut, yang lebih penting dalam penerimaan
Negara melalui pajak adalah sistem dari suatu Negara untuk melakukan
pemungutan dan pengenaan pajak itu sendiri. Dimana terdapat beberapa sistem
yang dikenal, yakni sebagai berikut :
a. Self Assesment, adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana wajib pajak
menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
UndangUndang Perpajakan.
b. Official Assesment, adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana aparatur
2
pajak yang menentukan sendiri (diluar wajib pajak) jumlah yang terutang.
c. Withholding System, adalah perhitungan, pemotongan, pembayaran, serta
pelaporan pajak yang dipercayakan kepada pihak ketiga oleh pemerintah
(semi self assessment). Indonesia dalam sistem pemungutan pajak menurut
Undang-Undang Pajak Nasional menggunakan sistem Self Assesment,
dengan prinsip-prinsip meliputi pertama, dasar hukum pemungutan pajak
adalah Undang-Undang Nasional, dimana peran aktif wajib pajak dalam
melaksanakan kewajibannya sangat diperlukan guna pembiayaan Negara
dan pembangunan. Kedua, pemerintah yang diwakilkan oleh fiskus hanya
memberikan pembinaan, penelitian serta pelaksanaan kewajiban karena
tanggung jawab pelaksanaan pajak berada pada wajib pajak dan oleh karena
itu wajib pajak sebagai subjek pajak harus terus dibina serta diarahkan agar
mau memenuhi kewajibannya. Ketiga, pemerintah memberikan
kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri jumlah seluruh
penghasilan yang telah diperolehnya, menghitung sendiri jumlah pajak yang
terutang, menghitung sendiri jumlah pajak yang harus dibayar, menyetor
sendiri jumlah pajak yang harus dibayar ke kas Negara melalui bank
persepsi, dan wajib pajak wajib mengisi serta melaporkan sendiri Surat
Pemberitahuan (SPT) dan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Dirjen Pajak atau
Kantor Pajak, sehingga kejujuran wajib pajak sangat diperlukan dalam
rangka pemungutan pajak.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Pajak ?

2. Bagaimanakah konsep subjek pajak dalam undang-undang bidang


perpajakan di Indonesia yang sesuai dengan konsep subjek hukum dalam
bidang ilmu hukum ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang Pajak lebih detail

2. Untuk menemukan konsep subjek pajak dalam undang-undang bidang


perpjakan di Indonesia yang sesuai dengan konsep subjek hukum dalam
bidang ilmu hukum.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dasar hukum pajak
Pengertian Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan
Undang – Undang sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak membalas jasa
secara langsung. Pajak dipungut dengan berdasarkan berbagai norma hukum
untuk dapat menutup biaya produksi barang serta jasa kolektif guna mencapai
kesejahteraan umum. Pajak merupakan konstribusi wajib pajak kepada negara
yang sifatnya memaksa berdasarkan Undang-Undang yang digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Undang-Undang No.16 tahun 2009, pajak adalah konstribusi
wajib pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun pengertian pajak menurut beberapa ahli, yaitu:
Menurut Sugianto “Pajak merupakan suatu pungutan atau iuran wajib pajak
yang dilakukan oleh individu atau badan kepada suatu daerah tanpa imbalan
secara langsung yang seimbang, dapat untuk dipaksakan dengan berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku yang kemudian digunakan untuk
menyelenggarakan pemerintah serta untuk pembangunan daerah.
Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mohammad Zaid “Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukan dan dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut Adriani dalam Waluyo (2011:2) “Pajak adalah iuran kepada negara
yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan perpajakan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang
menyelenggarakan Pemerintah,”

4
Dari beberapa pengertian-pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa
karakteristik dari pajak, yaitu sebagai berikut:
a. Iuran wajib yang dapat dipaksakan.
b. Pajak dipungut berdasarkan Undang – Undang.
c. Pajak tidak memberikan timbal balik atau kontraprestasi secara langsung
atas pembayaran pajak.
d. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah.
e. Pajak diperuntukan untuk keperluan umum, membiayai
pengeluaranpengeluaran pemerintah guna kepentingan negara.
B. Sumber dalam hukum pajak
Dalam setiap undang-undang paja, hukum materil dan hukum formal dapat
berdampingan walaupun dalam undang-undang yang terpisah. Dalam ilmu
hukum, sumber hukum dapat berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis, meliputi
berikut ini.
1. Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil, yaitu faktor-faktor yang membantu pembentukan
hukum (hukum pajak), misalnya faktor-faktor yang berupa hubungan sosial,
politik, ekonomi, ataupun hubungan internasional.
Hukum pajak materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan
tentang pihak-pihak yang dikenakan pajak dan pihak-pihak yang dikecualikan
dari pengenaan pajak, hal-hal yang dikenakan pajak, dan besarnya pajak yang
harus dibayar. Dengan kata lain, dan pola hubungan hukum antara pemerintah
dan wajib pajak.
2. Sumber Hukum Formal
Sumber hukum formal, yaitu sumber suatu peraturan hukum memperoleh
kekuatan hukum atau cara yang menyebabkan peraturan hukum tersebut
berlaku secara formal. Misalnya, peraturan perundang-undangan (asas
pancasila, UUD 1945, dan lain-lain), traktat (tax treaty), yurisprudensi, dan
doktrin.
Hukum pajak formal adalah hukum yang memuat ketentuan tentang
mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Dengan demikian,
hukum pajak formal merupakan ketentuan yang mewujudkan hukum pajak
materiil menjadi kenyataan.

5
3. Sumber Hukum Pajak yang Sifatnya Tertulis
Sumber hukum pajak yang sifatnya tertulis, terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A
sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada
Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “segala pajak untuk
keperluan negara harus berdasarkan undang-undang”. Ketentuan ini
mengandung asas legalitas yang melakukan kewenangan pada negara untuk
memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus
berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyat
melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah
yang diatur dengan undang-undang.
b. Perjanjian Perpajakan
Tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan negara lain
yang menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan pajak ganda internasional
sehingga menimbulkan beban yang tinggi terhadap wajib pajak. Untuk
mengatasi hal tersebut, negara-negara yang berkepentingan mengadakan
perjanjian penghindaran pajak internasional agar wajib pajak dari setiap
negara yang bersangkutan tidak dikenakan pajak ganda. Selain itu, perjanjian
perpajakan juga dapat mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax
avoidance) dan penyeludupan pajak (tax evasion).
c. Yurisprudensi Perpajakan
Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara
pajak, yang meliputi sengketa pajak dan tindak pidana yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang berkaitan dengan sengketa
pajak adalah Putusan Pengadilan Pajak ataupun Mahkamah Agung yang telah
mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak yang bersengketa,
sedangkan putusan pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana pajak
adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum ataupun
Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
d. Doktrin Perpajakan
Agar doktrin dapat menjadi sumber hukum pajak, substansinya harus
berada dalam konteks di bidang perpajakan yang dikemukakan ahli hukum
pajak karena substansi hukum yang terkandung dalam hukum pajak memiliki
perbedaan yang sangat prinsipiil dengan hukum lainnya.
6
Pendapat ahli hukum pajak, untuk saat ini belum dapat diharapkan
untuk menunjang pengembangan hukum pajak. Hal ini dikarenakan
kelangkaan ahli hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalam
perkembangan hukum pajak.
e. Sanksi Pajak
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas tiga macam, yaitu
denda, bunga dan kenaikan. Denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan
yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan
terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara. Sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib
pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB ( Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar ), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat
membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran
pajak serta menunda penyampaian SPT. Adapun sanksi administrasi berupa
kenaikan (Kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap
pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat
pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000,
kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikan jumlah pajak yang harus
dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang
tidak/kurang bayar.
C. Sejarah dan perubahan hukum pajak
Pada zaman kerajaan dahulu, pemungutan pajak identik upeti yaitu
pemberian secara Cuma-Cuma oleh rakyat kepada seorang Raja selaku
penguasa wilayah. Dalam perkembangannya, upeti yang semula bersifat
sukarela menjadi suatu kewajiban yang dipaksakan dalam pemungutannya.
Upeti saat itu berbentuk natura dari hasil pertanian dan peternakan seperti:
padi, pisang, dll.
1. Sebelum kemerdekaan
sejarah perpajaka di wilayah Indonesia sudah dimulai sejak sebelum
kemerdekaan, pada masa itu bentuk pajak sangat dipengaruhi oleh
kebijakan penguasa yang sedangmemerintah, misalnya pada masa
Daendels berkuas bentuk dan jenis pajak berbeda dengan pada masa
Van den Bosch (Belanda) ataupun Raffles (Inggris). Pada masa
7
Daendels bentuk dan jenis pajak yang disebut contingenten yaitu pajak
atas hasil bumi. Pada masa Raffles dibentuk jenis pajak baru yang
disebut landrent, dengan alasan pembenaran adalah bahwa tanah yang
digarap petani adalah milik raja dan untuk itupetani membayar sewa
kepada raja dalm bentuk pajak tanah.
Dengan pengganti Gubernur Jenderal, masing-masing mempunyai cara
sendiri untuk mengumpulkan uang ke kaspemerintah jajahan.
Pertengahan abadke-20 dilakukan beberapa perubahan penting, yang
waktu itu disebut dengan ‘era hukum’ (era of legality), dimana pajak-
pajak umum dan pajak tanah diatur dalam pasal 58 dan pasal 59
Regering Reglement.
2. Pasca kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dan disahkannya
UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, oleh karena Republik Indonesia yang
berdiri, belum memiliki undang-undang tentang perpajakan, maka berlakulah
pasal II Aturan Peralihan yang mengatur bahwa segala badan negara dan
peraturanyang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yangbaru
menurut undang-undang dasar ini. Dengan demikian ordonansi perpajakan
yang ada sebelum kemerdekaan masih berlaku sebagai undang-undang
perpajakan Indonesia yang baru merdeka. Oleh karenanya pemungutan pajak
awal kemerdekaan dilakukan berdasarkan peraturan pajak yang ada zaman
kolonialyaitu peraturan perpajakan Pemerintah Hindia Belanda, yang
menganut sistem official asessment,dan ketentuan pajak formil dan materil di
atur dalam satu undang-undang, kecualimengenai penagihan pajakdan
peradilan pajak.

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang berasal dari undang-


undang (ordonanti) perpajakan kolonial adalah :
 Indische Tarief Wet 1873 (Stbl 1873/35) ;
 Retchen Ordennantie 1882 (Stbl 1882/240)
 Ordonansi Cukai Alkohol Minyak Tanah (Ordonnantie van 1898 Stbl
1898/90-92)
 Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Stbl 1908/13)
 Tarief Ordonnantie 1910 (Stbl 1910/628)
8
 Zegelverordening, Stbl 1921/498 (Aturan Bea Meterai 1921);
 Indlansche Verpondings 1923, Jawa-Madura (Stbl 1923/425);
 Ordonansi Bea Balik Nama 1924 (Stbl 1924/291);
 Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Stbl 1925/319);
 Ordonansi Ferpondings 1928 (Stbl 1928/342)
 Bieraccijns Ordonanntie 1931 (Stbl 1931/488 en 489)

REFORMASI UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN 1984

Sistem perpajakan merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak-pajak


negara sampai dengan awal dekade 1980-an, dirasakan tidak sesuai lagi dengan
tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia baik dalam segi
kegotoroyongan nasional maupun dalam laju pembangunan nasional yang telah
dicapai. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara, perlu diadakan pembaruan sistem perpajakan dengan sistem yang
memberikan kepercayaan kepada masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan
kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan. Pembaruan dimaksud
diperlukan untuk meningkatkan kesadaran kewajiban perpajakan, oleh karenanya
perlu diadakan reformasi peraturan perundang-undangan perpajakan.

Mengutip pendapat Puonder (1984), Gunadi (2004) Mengemukakan dengan


model self assesment diharapkan dengan kemauan sendiri masyarakat pembayar
pajak mendaftarkan diri sendiri, menghitung sendiri kewajiban pajaknya dari
objek pajak selengkapnya, membayar sendiri dan melaporkan sendiri pelaksana.
Selain dapat meningkatkan kinerja administrasi, Gunadi mengutip pedapat Gilis
(1989) yang menyebutkan bahwa self assesment system dengan tulang punggung
kepatuhan sukarela dapat mengurangi personal kontak petugas pajak dengan
pembayar pajak. Selanjutnya Gunadi mengatakan hal ini berarti mempersempit
kesempatan korupsi dan sekaligus menuju kepada Good Governance
(Kepemerintahan yang baik).

Reformasi perpajakan ditandai dengan terbitnya 3 undang-undang perpajakan


pada akhir tahun 1983 yaitu;
Pertama: disahkannya undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum
dan tatacara perpajakan (UU KUP 1983) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984
9
dan mencabut ketentuan perundang-undangan sebelumnya yaitu :
1. Ordonansi pajak perseroan 1925 (Stbl 1925 No. 319) Dan segala perubahannya;
2. Ordonansi pajak pendapatan, 1944 (Stbl 1944 No. 17) dan segala perubahannya;
3. Undang-undang nomor 8 tahun 1967 tentang perubahan dan penyempurnaan, tata
cara pemungutan pajak pendapatan 1944, pajak kekayaan 1932, dan pajak
perseroan 1925;
4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang pajak atas bunga Dividen dan
Royalti 1970;

Dari Penjelasan Umum UU KUP 1983 dapat diketahui:


1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan
pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang
pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi pemerintah
penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasannya di
tanah air kita.
2. Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan sisa-sisa
kolonial tersebut, telah beberapa kali dilakukan perubahan dan penyesuaian,
namun karena berbeda falsafah yang melatar belakanginya, serta sistem yang
melekat kepada perundang-undangan itu, belumlah bisa memenuhi fungsinya
sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita bangsa dan pembangunan nasional
yang sedang dilaksanakan sekarang ini (1983).
3. Semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap berbagai aturan perundang-
undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan
penyesuaian, namun perubahan-perubahan tersebut lebih bersifat parsial.
4. Perubahan yang agak mendasar baru dilakukan melalui ‘sistem MPS dan MPO’.
Perubahan tersebut merupakan penyempurnaan pajak sesuai dengan tingkat
perkembangan sosial ekonomi Indonesia. Meskipun demikian, upaya yang telah
dilakukan untuk merubah berbagai aturan perundang-undangan perpajakan
tesebut, belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat
yang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara
mendasar. Peraturan perundang-undangan tersebut harus berlandaskan falsafah
pancasila dan UUD 1945.

Kedua : disahkannya undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan


(UU PPh 1983), mulai berlaku 1 Januari 1984. Dalam sistem peraturan perundang-
10
undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan (income tax) yang
sebelumnya diatur dalam berbagai undang-undang, dinyatakan tidak berlaku lagi
yaitu:
1. Ordonansi pajak perseroan 1925;
2. Ordonansi pajak pendapatan 1944;
3. Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970,
4. Undang-undang nomor 8 tahun 1967 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun
1967, mengatur mengenai Sistem MPS-MPO

Ketiga: disahkannya undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan


nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (UU PPN dan PPn BM 1983), dan
mencabut undang-undang Nomor 35 tahun 1953 tentang pajak penjualan 1951 dan
segala perubahannya. UU PPN 1984 mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985
berdasarkan peraturan pemerintah nomor 1 tahun 1985.
Setelah diundangkan ketiga undang-undang perpajakan tersebut pada akhir tahun
1983 yang mulai berlaku 1 Januari 1984, kecuali UU PPN dan PPn BM mulai berlaku
1 April 1985, disertai dengan keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 26
Tahun 1984 tentang pengampunan pajak. Terhadap pelaksanaan pajak Pajak sebelum
Reformasi yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut
berdasarkan keputusan Presiden nomor 26 tahun 1983 dapat dimintakan
pengampunan dan dikenakan tebusan dengan tarif 1% bagi wajib pajak yang kurang
melaporkan kekayaan dan 10% bayi yang belum melaporkan. Jumlah kekayaan yang
dilaporkan dalam pengampunan itu menjadi patokan untuk perpajakan berikutnya.
Daftar kekayaan telah disampaikan kepada kepala inspeksi pajak selambat-lambatnya
tanggal 31 Desember 1984
Pada tahun 1985 reformasi perpajakan dilanjutkan dengan disahkan 2 undang-undang
perpajakan lagi yang merupakan undang-undang ke-4 dan ke-5.

Keempat: disahkannya undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan
bangunan (UU PBB 1985). Dengan undang-undang ini mencabut:
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 dan segala perubahannya;
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 dan segala perubahannya;
3. Ordonansi Verponding1928 dan segala perubahannya;
4. Ordonansi Pajak Kekayaan dan segala perubahnnya;
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 dan segala perubahannya;
11
6. Pasal 14 huruf j,k, dan I undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang
peraturan Umum Pajak Daerah jo. Undang-undang nomor 1 tahun 1961;
7. Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang Nomor 11 tahun 1959 tentang
Pajak Hasil Bumi jo. Undang-undang Nomor 1 tahun 1561;

Kelima: disahkannya undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai dan
mencabut aturan Bea Meterai 1921 dan segala perubahannya. Tahun 1990 reformasi
perpajakan dilanjutkan dengan terbitnya 6 undang-undang perpajakan baru
berikutnya.
Keenam: disahkannya undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan
(UU Kepabeanan 1995), dan dinyatakan tidak berlaku lagi:
1. Indischew Tarief Wet Stbl. Tahun 1973 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan
ditambah;
2. Rechten Ordonnantie Stbl. Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan
ditambah;
3. Tarief Ordonnantie Stbl. Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan
ditambah.

Ketujuh: disahkannya undang-undang nomor 17 tahun 1997 tentang badan


penyelesaian sengketa pajak (UU BPSP). Dengan berlakunya undang-undang ini
regeling van het Beroep in Belastingzaken (Stbl Tahun 1915 Nomor 707 jo. Stbl
Tahun 1927 Nomor 29) Sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan UU
Nomor 5 tahun 1959, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang bpsp ini hanya
berlaku kurang lebih 5 tahun dan dengan undang-undang nomor 14 tahun 2002
tentang pengadilan pajak UU BPSP dinyatakan tidak berlaku lagi. BPSP ini hanya
berlaku kurang lebih 5 tahun dan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak, UU BPSP dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kedelapan: disahkannya undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD1997), dan mencabut pajak-pajak daerah
sebelumnya yaitu:
1. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934, dan perubahan-perubahannya;
2. Ordonansi Pajak Potong 1936, dan perubahan-perubahannya;
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio, dan perubahan-
perubahannya;

12
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I, dan
perubahan-perubahannya;
5. Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah;
6. Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi
Daerah;
7. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara,
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio
Kepada Daerah;

Kesembilan: disahkannya undang-undang Nomor 19 Tahun 1990 tentang penagihan


pajak dengan surat paksa (UU PPSP 1997). dan menyatakan tidak berlaku lagi untuk
undang-undang nomor 19 tahun 1959 tentang penagihan pajak negara dengan surat
paksa.

Kesepuluh: disahkannya undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea


Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB 1997), dan ordonansi Bea
Balik Nama dengan segala perubahannya sepanjang mengenai pungutan Bea Balik
Nama atas pemindahan harta tetap yang berupa tanah dan atau bangunan dinyatakan
tidak berlaku lagi.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan
Undang – Undang sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak membalas jasa
secara langsung. Pajak dipungut dengan berdasarkan berbagai norma hukum
untuk dapat menutup biaya produksi barang serta jasa kolektif guna mencapai
kesejahteraan umum.
Dalam setiap undang-undang pajak, hukum materil dan hukum formal dapat
berdampingan walaupun dalam undang-undang yang terpisah.
Begitu pula Sebelum kemerdekaan sejarah perpajaka di wilayah Indonesia sudah
dimulai sejak sebelum kemerdekaan, pada masa itu bentuk pajak sangat
dipengaruhi oleh kebijakan penguasa yang sedangmemerintah, misalnya pada
masa Daendels berkuas bentuk dan jenis pajak berbeda dengan pada masa Van
den Bosch (Belanda) ataupun Raffles (Inggris).
Pasca kemerdekaan Setelah kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
dan disahkannya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, oleh karena Republik
Indonesia yang berdiri, belum memiliki undang-undang tentang perpajakan,
maka berlakulah pasal II Aturan Peralihan yang mengatur bahwa segala badan
negara dan peraturanyang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan
yangbaru menurut undang-undang dasar ini.

B. Saran
Sistem perpajakan di Indonesia yang menggunakan Self Assement System
ini memang memberikan kebebasan bagi wajib pajak orang pribadi untuk
menghitung, menetapkan dan melaporkan sendiri pajak penghasilannya,
akan tetapi dengan sistem perpajakan seperti ini wajib pajak harus lebih
ditingkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan
pajak serta mengenai penghasilan seperti apa yang merupakan objek pajak
penghasilan.

14
Daftar pustaka
http://aspirasipajak.blogspot.com/2017/04/hukum-pajak-di-indonesia.html?
m=1
Berdasarkan keppres No.72 tahun 1084, jangka waktu tersebut diubah
menjadi selambat-lambatnya pada tanggal 30 Juni 1985.
Gunadi, “Reformasi Administrasi Perpajakan Dalam Rangka Kontribusi
Menuju Good Govermance” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Luar
Biasa FISIP UI, 2004, Hlm.9.
Farouq, “Hukum Pajak di Indonesia” (Kencana:2019, Jakarta) hlm.11
Bustamar, “Hukum Pajak Islam”, (Kencana:2017, Jakarta), hlm.3-12

15

Anda mungkin juga menyukai