Anda di halaman 1dari 12

CRITICAL BOOK REPORT

PENDIDIKAN AGAMA

DOSEN PENGAMPU : Pdt. SELFI SIHOMBING, M.Si

Nama Mahasiswa: Nia Pratiwi Siregar

Nim :4203131025

Prodi : Pendidikan Kimia

Kelas : PSPK 20-E

Mata Kuliah : Pendidikan Agama

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Critical Book Report mata kuliah Pendidikan
Agama yang berjudul Menjungjung Iman Melestarikan Adat saya yang berterima kasih
kepada Ibu dosen Pdt. Selfi Sihombing, M.Si yang sudah meberikan bimbinganya kepada
saya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini.

Saya juga menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangan.Oleh karena itu saya minta
maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan saya juga mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna kesempurnaan tugas ini.

Akhir kata saya ucapkan terimakasih dan semoga dapat bermanfaat serta bisa menambah
pengetahuan bagi pembaca.

Medan 17 Maret 2022

Nia Pratiwi Siregar

ii
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
1. 1 RASIONALISASI ............................................................................................................................. 1
1. 2 TUJUAN ........................................................................................................................................ 1
1. 3 MANFAAT ..................................................................................................................................... 1
1. 4 IDENTITAS BUKU .......................................................................................................................... 1
BAB II RINGKASAN................................................................................................................................... 2
2. 1 Falsafah Dalihan Na Tolu .............................................................................................................. 2
2.2 Persekutuan Marga ...................................................................................................................... 2
2.3 Persekutuan Pemujaan ................................................................................................................ 3
2.4 Makna Semantik Dalihan Na Tolu ................................................................................................ 4
2.5 Segi Positif dan Negatif dari Nilai Sistem Dalihan Na Tolu............................................................ 4
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 6
3. 1 Kelebihan Buku ............................................................................................................................ 6
3. 2 Kekurangan Buku ......................................................................................................................... 6
BAB IV PENUTUP ..................................................................................................................................... 7
A.Kesimpulan ...................................................................................................................................... 7
B.Rekomendasi ................................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................... 8

iii
iv
BAB I PENDAHULUAN
1. 1 RASIONALISASI
Dalam pandangan agama Batak dikenal dewa tertinggi (The High of God), yaitu Mulajadi Na
Bolon, sebagai pencipta segala sesuatu. Dalam representasi dan personifikasinya di Benua
Tengah, in disebut Debata Na Tolu (Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan). Debata Na
Tolu ini diakui sebagai landasan struktur masyarakat Batak yang disebut Dalihan Na Tolu
(the three hearth-stone) dalam masyarakat Batak-Toba, yang terdiri dari hulahula, dongan
tubu, dan boru Karena Dalihan Na Tulu adalah wujud nyata dari Debata Na Tolu di bumi.
Dulihan Na Tolu itu mengandung dimensi religius dan kultus. Artinya, Dalihan Na Tolu
dalam praktiknya secara horizontal selalu diamalkan dan dihayati. tidak bisa lepas dari
dimensi vertikal, sehingga setiap kedudukannya dalam Dalihan Na Tolu, masyarakat Batak
harus memperlihatkan sikap dan tingkah laku sesuai dengan fungsinya, sebagai mitatio dari
Allah Yang Esa yang oleh orang Ratak dikenal sebagal Mulajadi Na Balon (P.O.
Lumbantobing 1963. 148-151)

1. 2 TUJUAN
• Untuk menjelaskan materi mengenai Dalihan Na Tolu
• Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari buku tersebut
• Untuk menambah wawasan pembaca mengenai Dalihan Na Tolu

1. 3 MANFAAT
• Untuk mengetahui falsafah Dalihan Na Tolu

• Untuk menjelaskan Persekutuan marga

• Untuk menjelaskan Persekutuan pemujaan dalam marga

• Untuk mengetahui makna sematik Dalihan Na Tolu

• Untuk menjelaskan Nilai Positif dan Negatif dari nilai sistem Dalihan Na Tolu

1. 4 IDENTITAS BUKU
1. Judul : Menjungjung Iman Melestarikan Adat
2. Edisi : Pertama
3. Pengarang : Pdt.Nixon Simanungkalit,S.Th.,M.Ars
4. Penerbit : CV.Sibundong Grafika Medan
5. Kota terbit : Medan
6. Terbit tahun : 2020

7. Halaman : 37-47

1
BAB II RINGKASAN
2. 1 Falsafah Dalihan Na Tolu
Di dalam praktik Dalihan Na Tolu, posisi hulahula, dongan tubu, dan boru memiliki
kedudukan yang sama, artinya kedudukan boru tidak menjadi lebih rendah daripada hulahula,
dan sebaliknya hula-hula tidak boleh sesuka hati memerintah boru-nya, begitu juga dongan
tubu-nya. Dalam menjalankan fungsinya dalam setiap acara adat, setiap pribadi harus
bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan kedudukannya, agar tercipta ke harmonisan
dalam kehidupan sehari-hari. Hula-hula harus elek marboru, artinya harus selalu bersikap
membujuk, persuasif, penuh kasih sayang terhadap boru-nya. Karena, boru-lah yang
berfungsi sebagai penanggung jawab segala jenis kegiatan dalam acara adat Batak. Boru
adalah kekuatan, pemberi gairah hidup pada setiap pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu dalam
masyarakat Batak. Oleh karena itu, ia harus selalu dibujuk, dikasihi, agar segala sesuatu dapat
berjalan dengan lancar. Di sisi lain, boru harus selalu somba marhulahula, artinya setiap boru
harus selalu bersikap hormat terhadap hulahula-nya yang telah memberikan perhatian, kasih
sayang terhadapnya, karena hula-hula lah sumber pemberi kebijaksanaan, hukum, dan aturan
dalam kehidupan.Sementara itu, mardongan tubu harus selalu manat, artinya sesama semarga
(satu klan) harus selalu bersikap hati-hati, dalam arti berbuat dan berbicara mesti saling
menghormati, menghargai, dan menghindari sikap arogan (disimbolkan dengan warna putih
yang mudah kotor), sehingga harus tetap dijaga agar jangan sampai tercemar, agar tidak
terjadi saling ketersinggungan dan keretakan sesama na mardongan tobu (satu klan). Simbol
warna putih juga melambangkan bahwa sesama saudara semarga (mardongan tubu) tidak ada
perbedaan. Dalam pepatah (umpasa) "manat mardongan tubu" juga terkandung nilai
solidaritas, kerja sama, dan saling memaafkan di antara sesama.

2.2 Persekutuan Marga


Marga adalah ikatan persekutuan dari orang-orang yang sedarah, berdasarkan garis
silsilah tertentu (sebutan seperut). Marga juga mengikat hubungan persekutuan dengan bapak
leluhur melalui perjamuan bersama. Melalui marga, keturunan seseorang dapat berlanjut dan
hal ini hanya dapat dilakukan melalui anak laki-laki (anak perempuan akan berganti marga
pada saat menikah dengan lelaki marga lain). Orang Batak mempunyai kesadaran kesatuan
yang kuat dan hidup. Dasar kesatuan ini terletak pada daerah asal dan marga. Secara
geografis daerah asal ini diartikan Tanah Batak, yang dibagi-bagi menurut marga pada tempat
yang berbeda-beda. Begitu pentingnya marga bagi orang Batak terbukti dari tidak diakuinya
seseorang sebagai orang Batak kalau ia tidak mempunyai marga atau tidak mengetahui
silsilahnya. Hampir seluruh karangan-karangan tentang adat Batak selalu ditutup dengan
silsilah (tarombo).Marga pada umumnya adalah nama nenek moyang yang diresmikan oleh
seluruh warga dari nenek: dengan segala hak dan kewajiban yang diatur dalam tingkatan
kedudukan, dalam kerangka yang dibenahi oleh darah roh kesatuan. Bagi masyarakat Batak
marga merupakan ikatan persekutuan dari orang-orang yang menganggap diri "sabutuha"
(secara harfiah berarti: 'seperut) atau sedarah, berdasarkan struktur genealogis atau silsilah

2
tertentu.Orang Batak yang satu marga atau satu klan selalu bermusyawarah dalam rencana-
rencana, baik dalam pesta sukacita maupun dukacita seperti pada upacara adat pemakaman
orang mati. Karena itu, dalam kelangsungan hidupnya mereka harus seia-sekata, "ringan
sama dijinjing, berat sama dipikul". Mereka merasakan kerja sama yang erat, misalnya sama-
sama mengawinkan anak dan mengadakan upacara adat pemakaman anggota keluarga yang
meninggal, sehingga dalam urusan pesta sukacita dan dukacita tampak jelas sifat kolektif di
kalangan orang orang semarga.Dalam falsafah orang Batak, banyak semboyan yang
menunjukkan begitu eratnya ikatan persaudaraan marga-marga, antara lain: "sahali dongan
sabutuha tontong dongan sabutuha" (= 'sekali saudara kandung, tetap saudara kandung). Kata
sabutuha yang berarti 'seperut' di sini dapat diartikan 'saudara semarga'. Oleh sebab itu, orang
Batak tidak diper bolehkan berpindah-pindah marga, sekalipun kita bermusuhan dengan
banyak teman semarga kita. Orang Batak yang begitu menghormati marga nya tidak rela
apabila marganya dihina atau dilecehkan orang lain. Orang Batak mau berkorban untuk
memperjuangkan saudara semarganya apa bila berhadapan dengan marga lain.

Orang Batak selalu berusaha agar martabat marganya di tengah-tengah kehidupan


masyarakat dihormati. Setiap orang Batak merasa bangga dan terhormat apabila dari antara
marga mereka ada yang meraih sukses di tengah-tengah masyarakat. Orang Batak akan
merasa malu dan tertekan apabila ia tidak diterima di dalam persekutuan marganya. Ia harus
mengikuti kelompok marganya walaupun ia sendiri melihat tindakan-tindakan yang benar-
benar salah dilakukan oleh kelompok marganya. Apabila ia terpaksa menolak untuk
mengikuti kelompoknya, ia akan disebut na so maradat, yang berarti 'tidak punya adat', dan
sebutan ini merupakan suatu penghinaan yang sangat berat bagi orang Batak (A.
Lumbantobing 1992, 65). Karena praktik Dalihan Na Tolu ini dipengaruhi oleh marga (klan)
maka seseorang tahu di mana posisinya dalam setiap kegiatan adat. Dalam praktik hidup
sehari-hari, falsafah Dalihan Na Tolu menjadi semacam demokrasi tertua yang tidak dimiliki
oleh suku-suku lain yang ada di Nusantara ini. Begitu teguhnya prinsip yang mengikat batin
setiap individu Batak dengan Dalihan Na Tolu, sehingga sampai sekarang mereka tetap
mendasarkan hidup pada falsafah tersebut.

2.3 Persekutuan Pemujaan


Orang Batak semarga merasa satu pemujaan bersama, sangat sulit untuk meninggalkan
gereja yang "dimiliki" oleh marganya untuk bergabung dengan marga-marga yang lain dalam
melaksanakan ibadah di gereja. Sikap seperti ini terutama sekali masih terdapat di kampung
halaman, seperti: Silindung, Samosir dan Toba. Tidak menjadi sesuatu yang mengherankan di
daerah Silindung, para pengunjung gereja melintasi satu-dua gereja terdekat untuk bersama-
sama dengan teman semarganya bersatu dalam kebaktian.

Orang Batak Toba sangat setia mempertahankan tona ni ompu (perintah/pesan nenek
moyang): jangan berbaikan dengan satu cabang tertentu dari marga karena perbuatan tercela
pada waktu dahulu (misalnya, marga Simanjuntak, juga marga-marga lain). Tona ni ompu
yang diberikan kepada keturunannya itu diterima dan dilaksanakan tanpa kritik dan
pengertian yang rasional. Pesan (tona) dianggap sama dengan "patik dohot uhum" yang tidak
boleh diubah-ubah, sebagaimana digambarkan melalui umpasa berikut.

3
Bangun-bangun na rata, tabo ura-uraon. Tona ni ompunta dohot ama, tongka pauba-ubaon.
(Daun seleri yang hijau, enak untuk dimakan.

Pesan nenek moyang, pantang diubah-ubah.Pada umumnya pesan itu berisikan hal-hal
negatif. Masih ada beberapa marga sampai saat ini yang mempertahankan pikiran/pesan
nenek moyang ini, karena takut roh nenek moyang menghukum dia kalau dia berbaikan atau
berdamai dengan satu keluarga semarganya yang dikenakan pesan oleh nenek moyangnya.
Terutama dalam marga Simanjuntak, kendatipun tidak seluruhnya, hal ini sangat jelas
kelihatan. Walaupun sudah banyak usaha yang dilakukan oleh gereja dalam memper
damaikan kedua kelompok ini, karena pesan moyangnya, pihak yang dulunya dikecewakan
selalu berkeras tidak mau berdamai hingga saat ini. Situmorang dalam bukunya mengatakan
bahwa sampai sekarang DNT (Dalihan Na Tolu) belum berhasil membantu gereja-gereja
Batak (HKBP) untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dan perdamaian marga yang
bertikai, seperti marga Simanjuntak, marga Samosir, Pandiangan, dan lain-lain. Sampai saat
ini, marga Simanjuntak masih tetap terbagi dua, yaitu Simanjuntak "parhorbo jolo" dan
"parhorbo pudi" ("kerbau depan dan belakang'). Mereka masih memegang teguh tona (pesan)
nenek moyang mereka untuk tidak bersatu akibat perselisihan yang terjadi pada zaman
dahulu, dan kalau ternyata berbeda, mereka sering menunjukkan sikap yang kurang
memedulikan.

2.4 Makna Semantik Dalihan Na Tolu


Dalihan artinya 'tungku yang dibuat dari batu', na artinya 'yang', tolu artinya 'tiga'. Jadi,
Dalihan Na Tolu artinya 'tiga tiang tungku. Dalihan dibuat dari batu yang ditata sedemikian
rupa sehingga bentuknya menjadi bulat panjang, ujung yang satu tumpul dan yang lain agak
bersegi empat sebagai kakinya.Ketiga dalihan yang ditanam secara berdekatan berfungsi
sebagai tempat alat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa
sehingga jaraknya simetris satu.Karena tidak selamanya periuk atau kuali sebagai alat masak
cocok atau sesuai ketika diletakkan di atas dalihan (sebab ada kalanya alat masak terlalu kecil
atau besar), jadi agar alat masak tidak miring, oleng, atau jatuh ke bawah, dibuatlah batu-batu
kecil sebagai alat bantu atau penopang dalihan agar alat masak dapat sesuai diletakkan di
atasnya. Batu pembantu atau penopang ini disebut sihalsihal. Dari sinilah lahir falsafah hidup
Dalihan Na Tolu paopat sihalsihal dalam masyarakat Batak.

2.5 Segi Positif dan Negatif dari Nilai Sistem Dalihan Na Tolu
Pemakaian sistem Dalihan Na Tolu dalam praktik kehidupan masyarakat Batak sudah tentu
mempunyai pengaruh positif dan negatif terhadap persekutuan orang percaya (gereja).
Adapun nilai negatif dan positif dari sistem Dalihan Na Tolu ini adalah sebagai berikut.

Nilai positif. Adanya daya yang menghimpun dan mempersatukan, sekalipun hanya dalam
lingkungan yang terbatas (kemargaan, ke sukuan). Di samping itu dapat juga kita jumpai sifat
hidup kegotong royongan yang pada gilirannya dapat diharapkan menjadi suatu proses
menuju mentalitas bergotong-royong secara umum. Di pihak lain, tidak dapat disangkal
bahwa keberhasilan Pekabaran Injil di Tanah Batak dipengaruhi oleh pendekatan sistem
Dalihan Na Tolu yang tidak terlepas dari kemargaan dan pemanfaatan tokoh-tokoh marga.
Sikap seperti ini pada kenyataannya membuat setiap orang Batak merasa mempunyai

4
keterikatan yang kuat dengan dongan tubu nya, boru-nya, dan hulahula-nya dan turut
melestarikannya. Dalam ruhut parsaoran (tata krama hubungan dengan sesama) falsafah
Dalihan Na Tolu mengandung nilai-nilai solidaritas, kerja sama, dan saling memaafkan di
antara sesama, sehingga tercipta hidup persaudaraan yang rukun dan damai. Perpecahan atau
konflik dalam beberapa marga dulu hingga dewasa ini dapat dikatakan semuanya itu akibat
dari pengabaian prinsip falsafah Dalihan Na Tolu (Schreiner 1994, 44-48).

Nilai negatif. Sampai saat ini, dalam cara-cara bertindak di dalamgereja ataupun dalam
kehidupan sehari-hari, Sebagian orang Batak tetap mempertahankan sifat pola persekutuan
Dalihan Na Tolu sebagai persekutuan pemujaan. Pengelompokan persekutuan Dalihan Na
Tolu ini sering membawa perpecahan dalam kehidupan masyarakat dan gereja. Susunan
persekutuan yang religius-etnologis itu tidak berubah dengan pergantian agama Kristen,
melainkan terus berlangsung. Namun, dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat, hal ini
merintangi pemahaman tentang sifat khas yang sejati dari ekklesia, dari Gereja Kristen. Sadar
atau tidak sadar, sebagian orang Batak dalam banyak hal telah menjadikan persekutuan
Dalihan Na Tolu sebagai "pseudoagama". Artinya, orang-orang tertentu menganggap dongan
tubu-nya, boru-nya, dan hulahula-nya mengandung kekuatan sakral dan magis, sehingga
memperlakukan mereka lebih daripada segala sesuatu.

5
BAB III PEMBAHASAN
3. 1 Kelebihan Buku
• Dilihat dari aspek tampilan buku kelebihannya yaitu sampul buku menarik sehingga
mendorong pembaca ingin membacanya
• Dari aspek layout dan tata letak penggunaan font yang digunakan pada buku sudah
baik sehingga pembaca udah dalam membacanya
• Dari aspek isi buku ini menjelaskan secara detail mengenai apa itu Dalihan Na Tolu
• Dari aspek tata bahasa buku ini mengunakan EYD yang tepat serta tanda baca yang
tepat
• Buku ini juga menyediakan perumpamaan sehinga menarik pembaca

3. 2 Kekurangan Buku
• Tidak terdapat rangkuman pada setiap bab
• Halaman pada buku ganda sehingga pembaca sulit dalam menentukan isinya

6
BAB IV PENUTUP

A.Kesimpulan
Di dalam praktik Dalihan Na Tolu, posisi hulahula, dongan tubu, dan boru memiliki
kedudukan yang sama, artinya kedudukan boru tidak menjadi lebih rendah daripada hulahula,
dan sebaliknya hula-hula tidak boleh sesuka hati memerintah boru-nya, begitu juga dongan
tubu-nya. Dalam menjalankan fungsinya dalam setiap acara adat, setiap pribadi harus
bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan kedudukannya, agar tercipta ke harmonisan
dalam kehidupan sehari-hari. Hula-hula harus elek marboru, artinya harus selalu bersikap
membujuk, persuasif, penuh kasih sayang terhadap boru-nya. Karena, boru-lah yang
berfungsi sebagai penanggung jawab segala jenis kegiatan dalam acara adat Batak. Boru
adalah kekuatan, pemberi gairah hidup pada setiap pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu dalam
masyarakat Batak. Oleh karena itu, ia harus selalu dibujuk, dikasihi, agar segala sesuatu dapat
berjalan dengan lancar. Di sisi lain, boru harus selalu somba marhulahula, artinya setiap boru
harus selalu bersikap hormat terhadap hulahula-nya yang telah memberikan perhatian, kasih
sayang terhadapnya, karena hula-hula lah sumber pemberi kebijaksanaan, hukum, dan aturan
dalam kehidupan.Sementara itu, mardongan tubu harus selalu manat, artinya sesama semarga
(satu klan) harus selalu bersikap hati-hati, dalam arti berbuat dan berbicara mesti saling
menghormati, menghargai, dan menghindari sikap arogan (disimbolkan dengan warna putih
yang mudah kotor), sehingga harus tetap dijaga agar jangan sampai tercemar, agar tidak
terjadi saling ketersinggungan dan keretakan sesama na mardongan tobu (satu klan).

B.Rekomendasi
Dengan adanya CBR Mengenai Dalihan Na Tolu diharapkan supaya pembaca lebih mengerti
mengenai Dalihan Na Tolu, Persekutuan marga, makna sematik Dalihan Na Tolu, selain itu
pembaca juga diharapkan tahu Nilai Positif dan Negatif dari nilai sistem Dalihan Na Tolu
sehingga pembaca tidak lagi mengalami kesalapahaman.

7
DAFTAR PUSTAKA

Pdt.Nison Simanungkalit,S.th.,M.ARs. (2020). Menjunjung Iman Melestarikan Adat. medan : CV.


Sibundong Grafika Medan

Anda mungkin juga menyukai