Anda di halaman 1dari 15

Kebakaran Hutan Indonesia dan

Aspek Penegakkan Hukum

1. Pendahuluan
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia merupakah suatu masalah
lingkungan yang telah terjadi sejak dahulu dan hampir terjadi setiap tahunnya.
Sehingga permasalahan kebakaran hutan merupakan suatu masalah yang harus
ditangani dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Kebakaran hutan di
Indonesia selalu terjadi pada musim kemarau, yaitu pada bulan Agustus,
September, dan Oktober, atau pada masa peralihan (transisi). Wilayah hutan di
Indonesia yang berpotensi terbakar antara lain di Pulau Sumatera (Riau, Jambi,
Sumut, dan Sumsel) dan di Pulau Kalimantan (Kalbar, Kaltim, dan Kalsel).
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia dalam frekuensi yang berulang dan
terus menerus telah menarik perhatian pemerintah di era kepemimpinan
Presiden Joko Widodo. Dikarenakan dampaknya yang merugikan bagi
keseimbangan lingkungan, perekonomian dan kesehatan masyarakat, Presiden
mengancam untuk mencopot Kepala Daerah (Soal Kebakaran Hutan, Jokowi
Ancam Copot Pejabat Daerah; Republika.co.id, Senin, 18 Januari 2016).
Selain itu, Presiden juga mengancam para pelaku pembakaran baik koorporat
maupun perorangan dengan hukuman perdata maupun pidana. (Soal
Kebakaran Hutan, Jokowi: Sanksi Pidana dan Perdata Harus Ditegakkan!;
Detik.com, Jumat 12 Aug 2016).
Sepanjang 2015, lebih dari 60.000 orang menderita infeksi saluran pernafasan
atas (ISPA) akibat menghirup udara berasap. Selain itu bencana susulan yang
lebih besar berupa bencana ekologi serta bencana sosial tinggal menunggu
waktu. Belum lagi peningkatan jumlah penduduk miskin, kerawanan pangan,
kerentanan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia akibat semakin
berkurangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan semakin
mengancam kehidupan masyarakat. Kebakaran dianggap sebagai ancaman
potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung
bagi ekosistem (United Nations International Strategy for Disaster Reduction,
2002), menjadi penyumbang emisi karbon terbesar dan merusak
keanekaragaman hayati.
Berdasarkan pantauan satelit NASA yang dirilis Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup pada Jum’at (2/10/2015), ada 561 titik api yang tersebar di
18 provinsi seluruh Indonesia. Luas kerusakan hutan akibat kebakaran,
perambahan, pembalakan liar sepanjang 2014-2015 mencapai 10,5 juta Ha.
Hal ini membuat biaya penanganan bencana kebakaran menjadi sangat tinggi.
Pusat Data Informasi BNPB menyebutkan dana penanganan kebakaran hutan
sepanjang 2015 senilai Rp 385 miliar, dan akan mengajukan dana tambahan
Rp 750 miliar. Penambahan dana masih mungkin dilakukan lantaran masih
ada anggaran siap pakai (on call) sebesar Rp 2,5 triliun. (Anggaran
Penanganan Kebakaran Melonjak; TEMPO.CO, Sabtu, 03 Oktober 2015).
Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya
kabut asap yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat dan sistem
transportasi sungai, darat, laut, dan udara. Secara sektoral dampak kebakaran
ini mencakup sektor perhubungan, kesehatan, ekonomi, ekologi dan sosial,
termasuk citra bangsa di mata negara tetangga dan dunia (Hermawan, 2006).
Kebakaran hutan di Indonesia terjadi dalam beberapa periode, yaitu dari tahun
1982-1983, 1997-1998, 2005 hingga tahun 2010 serta periode 2011-2012, 2014
Implikasi dari bencana tersebut telah banyak menimbulkan kerugian baik dari
sektor sosial, ekonomi dan hubungan dengan Malaysia, Singapura, dan negara
ASEAN lainnya. Di Asia Tenggara, asap dari lahan gambut dan kebakaran
hutan dapat dihubungkan dengan terjadinya 300.000 kematian selama
bertahun-tahun El Niño berlangsung.
Oleh karena itu, belakangan ini kebakaran hutan semakin menarik perhatian
internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah bencana
El-Nino (ENSO) 1997/981 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta
hektar di seluruh dunia (FAO 2001; Rowel dan Moore 2001). Secara regional
1
El Niño 1997-98 yang disebut El Niño-Southern Oscillation dianggap sebagai salah satu
peristiwa bencana paling kuat dalam sejarah, yang mengakibatkan kekeringan meluas, banjir dan
bencana alam lainnya di seluruh dunia. Ini menyebabkan sekitar 16% dari sistem karang dunia
mati, dan untuk sementara meningkatkan suhu udara sebesar 1,5 ° C, dibandingkan dengan
kenaikan biasa 0,25 ° C. Berdasarkan studi yang dilakukan ADB (Asian Development Bank) luas
hutan yang terbakar di Indonesia hampir mencapai 12 juta hektar, data ini di tambah dengan
kebakaran hutan yang berasal dari daerah rawa dan gambut yang terdapat di Indonesia.
kawasan Asia Tenggara, sejumlah Negara ASEAN yang memiliki keprihatinan
terhadap bencana kebakaran hutan pada Juni 2002 telah menandatangani
Perjanjian Lintas Batas Pencemaran Kabut / ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP)2.
Permasalahan kabut asap mendapat perhatian khusus para pemangku
kepentingan skala internasional karena memiliki potensi melintas batas negara.
Karenanya masalah asap lintas batas ini telah lama menjadi pembahasan dalam
hubungan internasional sejak tahun 1960 dan menjadi salah satu tema penting
yang diangkat dalam konferensi Stockholm3 tahun 1972. Konferensi yang
dihadiri oleh 114 kepala negara ini, kepala pemerintah dan beberapa Non
Government Organization (NGO) dari seluruh dunia telah melakukan negosiasi
untuk merumuskan penjanjian-perjanjian internasional, dan salah satu isu yang
dibahas adalah isu pencemaran lintas batas atau kabut asap, yang mana hasil
dari konferensi tersebut adalah dengan dibentuknya sebuah badan internasional
United Nations Enviromental Programme (UNEP) yang menangani masalah
kabut asap dan pengaruhnya terhadap stabilitas ekonomi, sosial dan ekologi
maupun hubungan bilateral suatu negara.

2. Penyebab Kebakaran Hutan dan Luasan Terpapar


Permasalahannya yang seringkali menjadi perdebatan diantara para pemangku
kepentingan (pemerintah, masyarakat, civil society organizations / organisasi
masyarakat sipil, akademisi dan aktifis lingkungan) hingga saat ini adalah
belum terjawabnya penyebab utama dari kebakaran ini secara rinci, tuntas dan
terstruktur. Hal ini terjadi akibat saling lempat tanggungjawab, masing-masing
instansi kepada pihak lain dan cenderung melindungi sektor atau
petani/pengusaha/kelompok masyarakat binaannya. Yang pasti adalah bahwa
kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap musim kemarau dan harus
ditanggulangi untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkannya.
2
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) merupakan perjanjian yang
mengatur mengenai penanggulangan pencemaran kabut asap lintas batas yang diakibtakan oleh
bencana kebakaran hutan.
3
Konferensi PBB mengenai Lingkungan Manusia, melaksanakan pertemuan di Stockholm pada 5-
16 Juni 1972, mempertimbangkan perlunya suatu pandangan umum dan prinsip-prinsip umum
untuk mengilhami dan membimbing seluruh manusia dalam pelestarian dan peningkatan
lingkungan manusia.
Perlu dipahami bahwa, instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk petani,
perusahaan-perusahaan perkebunan dan HTI, merupakan mata rantai yang
tidak terputus yang terkait langsung dengan kebakaran hutan dan lahan ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran yang terlanjur besar sangat
sulit dipadamkan sekalipun menggunakan peralatan pemadam berteknologi
tinggi. Chandler (1983) dalam Suratmo mengatakan bahwa pengetahuan
sumber api merupakan faktor kunci dalam meningkatkan keberhasilan
pencegahan kebakaran. Bila sumber-sumber penyebab kebakaran diketahui
maka akan mudah dilakukan kegiatan pemadaman. (Suratmo, 2003).
Beberapa pihak berpendapat bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan
oleh kegiatan pertanian, perkebunan ataupun kehutanan berskala kecil oleh
masyarakat local maupun dalam skala besar, seperti perkebunan dan HPH/HTI.
LSM Lingkungan Hidup, mengklaim bahwa kebakaran besar merupakan hasil
dari aktivitas konsesi hutan dan perkebunan (Jakarta Post, 3 Oktober 1994)
Pemerintah Indonesia, menekankan bahwa secara umum 85% dari 5 juta ha
kebakaran 1994 disebabkan oleh aktivitas tebas-bakar masyarakat lokal
(Jakarta Post, 7 Oktober 1994).
Namun, secara umum penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, karena faktor kelalaian manusia yang
sedang melaksanakan aktivitasnya di dalam hutan. Kedua, karena faktor
kesengajaan, yaitu kesengajaan manusia yang membuka lahan dan perkebunan
dengan cara membakar. Kebakaran hutan karena faktor kelalaian manusia jauh
lebih kecil dibanding dengan faktor kesengajaan membakar hutan. Pembukaan
lahan dengan cara membakar dilakukan pada saat pembukaan lahan baru atau
untuk peremajaan tanaman industry pada wilayah hutan. (Bahri, 2003).
Raffles B. Panjaitan Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam paparannya (2015)
menyebutkan data yang mencengangkan, 99% kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia disebabkan oleh manusia. Penyebabnya adalah; a. Kebiasaan dan
Perilaku; b. Kebutuhan akan lahan untuk pemukiman dan pertanian/
perkebunan (hutan dibuka dengan membakar karena lebih cepat, mudah dan
murah); c. Konflik Lahan; d. Ketidaksengajaan/kegiatan lain yang
menimbulkan api (pencarian kayu bakar, rumput, rotan, madu, ikan, berkemah,
membakar sampah dll).
Berkaitan dengan kebutuhan akan lahan untuk pemukiman dan pertanian/
perkebunan, hasil studi Forest Watch Indonesia (FWI) pada tahun 2003
menunjukkan bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar hutan tidak
terbatas pada Kalimantan dan Sumatera saja. Kebakaran dilaporkan terjadi di
23 dari 27 provinsi di Indonesia pada tahun 1997-1998. Sejumlah besar
kebakaran hutan yang terjadi di kedua pulau utama tersebut disebabkan oleh
perusahaan perkebunan dan berbagai proyek pemerintah, hal ini berakibat
terhadap lenyapnya puluhan ribu hektare hutan pada satu kesempatan saja
(PKHI 2014).
Berbagai hasil kajian dan analisis yang dilakukan oleh Center for International
Forestry Research (CIFOR) dan WALHI tahun 2006 menyebutkan bahwa
penyebab kebakaran hutan dan lahan berkaitan langsung dengan perilaku
manusia yang menginginkan percepatan penyiapan lahan (land clearing) untuk
persiapan penanaman komoditas perkebunan. Para stakeholder pemilik
perkebunan ingin segera menyiapkan lahan dengan biaya yang serendah-
rendahnya dan sekaligus mengharapkan kenaikan tingkat kemasaman (pH)
tanah (dari sekitar 3 sampai 4 menjadi 5 sampai 6) agar tanaman perkebunan
(sawit dan akasia, misalnya) dapat tumbuh dengan baik. Sedangkan
perladangan tradisional yang menerapkan sistem pertanian gilir sebagai
penyebab kebakaran tidak sepenuhnya benar karena wilayah yang terbakar
pada lahan-lahan pertanian tradisional tersebut hanya sekitar 20 persen dari
total keseluruhan yang terbakar. Laporan Walhi Jambi menyebutkan satu per
empat wilayah Jambi dikuasai oleh pihak korporasi, di mana 600.000 hektare
untuk perkebunan sawit dan 800.000 hektare lainnya untuk konsesi hutan
tanaman industri.
Hal ini memperkuat temuan Greenpeace (28 Mei, 2014) yang menyebutkan
bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut tahunan di Indonesia sebagian besar
adalah krisis buatan manusia, yang berdampak terhadap kesehatan yang
utamanya terhadap Indonesia serta Asia Tenggara. Lebih jauh temuan tersebut
mempersoalkan sejumlah perusahaan perkebunan yang masih terus beroperasi
dengan kondisi hukum yang lemah penegakkannya dimana cara mereka
menjalankan praktik yang tidak bertanggung jawab seperti: membuka hutan,
mengeringkan lahan basah, padahal lahan gambut kaya akan karbon, dan
menjadi penyebab utama terjadinya kebakaran hutan, yang dikenal sebagai
kabut asap.
Sebagai contoh hal tersebut di atas adalah dari 10.500 ha konsesi (HPH/Hak
Pengelolaan Hutan) kelapa sawit PT Rokan Adi Raya di Riau, dimana terdapat
di dalamnya terdapat hutan lahan gambut dalam, serta penebangan hutan
berskala besar yang terjadi antara tahun 2009 serta tahun 2013 dan kebakaran
yang tidak terkendali pada tahun 2013. Analisis pemetaan berdasarkan
kenampakan citra satelit menunjukkan pada akhir Desember 2013 hanya tersisa
419 ha hutan saja.
Tabel 1

Temuan Greenpeace menggambarkan sebaran titik api yang ada di berbagai


konsesi di Indonesia. Berdasarkan perhitungan mereka dari tanggal 1 Agustus
sampai 26 Oktober 2015, 111.860 kebakaran hutan dan lahan yang terjadi,
kebanyakan terjadi di Kalimantan Tengah (25%) dan Sumatera Selatan (22%).
Sedangkan lokasi kebakaran terbanyak ketiga, atau 10% dari kebakaran yang
terjadi, ada di Papua. Sebaran titik kebakaran terbanyak, sekitar 46% atau 51
ribu kejadian kebakaran, ada di lahan gambut. Greenpeace juga kemudian
membagi lagi data tersebut per wilayah. Di Kalimantan Tengah, sumbangan
kebakaran terbesar datang dari konsesi kelapa sawit. Di Sumatera Selatan,
sumbangan kebakaran terbesar berasal dari konsesi perkebunan pulp. Provinsi
tersebut juga menyumbang kebakaran terbesar dari konsesi tambang batu bara.

3. Dampak Kebakaran Hutan


Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama kerusakan hutan yang
dapat mengganggu kelestarian hutan. Terganggunya kelestarian hutan akan
mengakibatkan hilangnya manfaat-manfaat sumberdaya hutan. Hilangnya
manfaat sumberdaya hutan ini mengakibatkan kerugian material yang sangat
besar. Kebakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali mengakibatkan
kerugian sangat besar, ditinjau dari aspek ekologis, aspek ekonomi, aspek
kesehatan dan bidang-bidang lainnya, dalam skala lokal, nasional,
internasional, regional, dan global.
Berikut ini dampak kebakaran hutan ditinjau dari beberapa aspek:
a. Aspek Ekologis
Kerusakan karena kebakaran hutan yang besar dapat terjadi dalam waktu yang
relatif singkat. Kebakaran hutan menyebabkan musnahnya vegetasi yang ada di
hutan, hanya beberapa jam atau hari saja. Dampak ekologis yang timbul yaitu
musnahnya tumbuh-tumbuhan mulai dari tumbuhan bawah hingga pohon-
pohon yang tinggi. MacKinnon (1996) dalam Purbowaseso (2004)
menyebutkan bahwa kebakaran hutan kemungkinan bisa mengganggu proses
ekologi hutan salah satunya suksesi alami karena terjadinya perubahan pola
vegetasi. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas
tanah, sehingga apabila terjadi hujan, maka hujan akan langsung mengenai
permukaan atas tanah, sehingga mendapat energi pukulan air hujan lebih besar,
karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah.
Pemanasan yang tinggi akibat kebakaran mengakibatkan terganggunya proses
metabolisme dalam tumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan
pada sifat fisik dan kimia tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya
struktur tanah, yang menyebabkan massa tanah dan bahan organik yang
terkandung didalamnya terbawa oleh limpasan air permukaan atau dengan kata
lain munculnya erosi pada musim penghujan.
Kerugian ekologis lainnya yaitu berkurangnya luas wilayah hutan, tidak
tersedianya udara bersih yang dihasilkan vegetasi hutan serta hilangnya fungsi
hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi.

b. Aspek Ekonomi
Bank Dunia mencatat perkiraan awal dari kerugian ekonomi untuk Indonesia
akibat kebakaran hutan sepanjang tahun 2015 melampaui $16 milyar. Jumlah
ini dua kali lebih besar dari kerugian dan kerusakan akibat tsunami tahun 2004
di Aceh, setara dengan 1.8% Produk Domestik Brutto (PDB). Estimasi ini
mencakup kerugian pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri,
pariwisata dan sektor-sektor lainnya. Sebagian dari kerugian itu akibat
kerusakan dan kerugian langsung terhadap hasil panen, kehutanan, perumahan
dan infrastruktur, dan biaya yang ditimbulkan untuk menangani api.
Para petani di Riau, mengaku produksi tanaman pangan dan sayuran di
ladangnya menurun sampai 40% karena proses produksi tanaman yang
mengandalkan sinar matahari terhalang kabut asap, meski antisipasi telah
dilakukan. Minimnya cahaya matahari, menyebabkan banyak tanaman tidak
menghasilkan buah, bahkan untuk padi sama sekali tidak dapat ditanam karena
kondisi tanah yang keras.
Banyak kerugian ekonomi disebabkan dampak tidak langsung, seperti
terganggunya perjalanan udara, laut dan darat akibat asap. Dampak pada
pertumbuhan PDB lokal diperkirakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan di wilayah-wilayah
yang paling parah, seperti Kalimantan Tengah.

c. Aspek Kesehatan
Terjadinya kebakaran hutan telah menyebabkan turunnya tingkat kesehatan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak tersebut
akan sangat terasa bagi anak-anak balita (bawah lima tahun) dan lansia (lanjut
usia) karena sistem metabolism tubuh pada dua golongan usia tersebut tidak
mencapai optimal. Dampak langsung terhirupnya asap kebakaran hutan adalah
infeksi saluran pernapasan atas, sedangkan dampak tidak langsungnya adalah
munculnya penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat jika penutupan
asap kebakaran hutan berlangsung dalam periode yang cukup panjang.
Kebakaran hutan menimbulkan polutan udara yang dapat menyebabkan
penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar udara
yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran
partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain : infeksi
saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang / penglihatan,
sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan
asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun
1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan
sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor, 2001). Gambut yang terbakar di
Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan
Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah
satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate,
G. dalam CIFOR, 2001).

d. Dampak Sosial
Dampak kebakaran hutan dan lahan pada usaha masyarakat memperoleh
kesejahteraan di pedesaan melalui interaksinya dengan hutan yang menjadi
pusat kehidupannya. Mata pencaharian masyarakat lokal dan ketentraman
diangap sebagai kesatuan dan konsep mengenai kesejahteraan. Kemampuan
masyarakat memberi makan diri sendiri, melakukan pertanian subsistem atau
pembelian pangan dari uang hasil perkebunan tanaman keras adalah kunci bagi
masyarakat untuk bertahan hidup.
4. Penegakkan Hukum vs Kepentingan Pengusaha
Dalam kasus kebakaran hutan di Indonesia, baik yang terjadi secara alami
maupun secara disengaja (pembakaran) tetap memerlukan kajian mendalam
untuk menemukan penyebab awal kebakaran. Dengan ditemukannya penyebab
awal, bisa ditelusuri siapa yang paling bertanggungjawab baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan peristiwa tersebut. Penelusuran ini penting
dalam upaya penerapan sanksi hukum yang diharapkan bisa mencegah
terjadinya kasus-kasus serupa dimasa yang akan datang.
Dalam kertas posisi yang telah disampaikan oleh WALHI (Kebakaran Hutan
Yang Berulang, diakses pada http/www.walhi.or.id) sebelumnya menyebutkan
bahwa penyebab kebakaran hutan yang berakibat pada pencemaran asap dan
meningkatnya emisi karbon disebabkan oleh kebakaran yang dilakukan secara
sengaja dan rambatan api di kawasan/lahan gambut dengan total luas hutan dan
lahan yang terbakar dalam kurun waktu 6 tahun terakhir mencapai 27,612 juta
hektar. Data yang dimiliki oleh WALHI menunjukkan bahwa tindakan
kesengajaan secara khusus di wilayah Sumatera dan Kalimantan dipicu oleh
pembakaran lahan untuk perkebunan sawit dan HTI oleh perusahaan dan
proyek lahan sejuta hektar yang berbuntut ekspor asap ke wilayah negara lain.
Kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian
penting dari masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. kawasan yang
terbakar adalah kawasan yang telah telah dibersihkan melalui proses land
clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan kawasan perkebunan.
Artinya, kebakarkan hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja
dimunculkan. Para pelaku pembakaran tak pernah tersentuh hukum. Bahkan
terkesan seperti hantu yang perlahan menghilang seiring menghilangnya kabut
asap setelah menyesaki saluran pernapasan masyarakat.
Tak bisa di sangkal bahwa kelapa sawit adalah sektor yang berkontribusi besar
terhadapap pendapatan Negara. Total yang disumbangkan kelapa sawit untuk
devisa Negara mencapai 19,1 miliar dolar AS atau Rp.219,65 triliun rupiah.
Angka yang fantastik ini menjadikan sektor kelapa sawit penyumbang devisa
terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi. Namun, kelapa sawit juga tercatat
sebagai sektor yang berkontribusi besar terhadap bencana sebagai dampak dari
kerusakan ekologi di Indonesia, yakni asap tanah longsong, banjir dan yang
paling fenomenal adalah bencana asap sebagai dam- pak dari kebakaran hutan
dan lahan. Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang asap
terbesar dari tahun ke tahun.
Devisa dan asap yang disumbangkan sektor ini tidak membuat pemerintah
Indonesia untuk mulai berbenah dan menyiapkan langkah-langkah dalam
menggulangi aktifitas rutin tahunan ini. Tetapi sebaliknya yang terjadi adalah
pemerintah hanya menyiapkan langkah-langkah untuk memperluas lahan
perkebunan kelapa sawit sampai dengan tahun 2020. Berdasarkan rencana
jangka penjang Kementrian Pertanian, luas perkebunan kelapa sudah
direncanakan mencapai 20 juta ha pada tahun 2020. Untuk saat ini, luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,2 juta ha (Kementrian
Perkebunan,2013), sedangkan data Sawit Watch sendiri luas perkebunan
kelapa sawit sudah mencapai 13,5 juta Ha (sumber: Sawit Watch, 2014).
Melihat uraian diatas menimbulkan pertanyaan bagi kita semua, bagaiaman
komitmen Indonesia untuk berdiri paling depan mengatasi dampak perubahan
iklim yang sangat membahayakan keselamatan dunia, penegakan hukum bagi
oknum yang terbukti melakukan pembakaran hutan untuk tujuan dan
kepentingan pribadi dibiarkan bebas dan tidak terjamah di sisi lain tuntutan
negara-negara lain terutama negara-negara asean yang paling merasakan
dampak dari kebakaran hutan di Indonesia menuntut komitmen Indonesia
terhadap keadaan tersebut.
Dari sisi peraturan perundang-undangan, sudah cukup banyak peraturan
perundang-undangan yang  mengatur mengenai kebakaran dan pencemaran
atau kerusakan lingkungan. Masalahnya, penegakan hukum terhadap kasus
kebakaran hutan belum dilakukan secara sungguh-sungguh dan optimal, posisi
ini merefleksikan bahwa kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dan
menjadi salah satu bagian penting dari kongkalingkong masalah kehutanan dan
perkebunan Indonesia.
Instrumen hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum atas kebakaran
hutan di Indonesia meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup4.
Mengatur tentang berkewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup. Dalam rangka penegakan hukum
ketentuan tersebut disertai dengan sanksi, baik yang bersifat kepidanaan
maupun administratif. Selain itu, juga dimungkinkan adanya gugatan ganti
kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu (misalnya memulihkan
fungsi lingkungan hidup) melalui gugatan keperdataan di pengadilan negeri.
b. Undang- undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan5
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, kewajiban untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup diatur dalam Pasal 25. Dalam pasal
48 juga mencantumkan sanksi pidana, dengan membedakan antara
kesengajaan dan kealpaan. Pasal 49 ayat (1) menentukan bahwa setiap
orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan
cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan
fungsi lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah). Undang-undang juga memberikan sanksi pidana secara kumulatif,
yaitu pidana penjara dan denda. Selanjutnya, semua benda sebagai hasil
tindak pidana dan/atau alat-alat termasuk alat angkut yang dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana dapat dirampas dan/atau dimusnahkan oleh
negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c. UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan6
Pasal 50 ayat 3 menentukan bahwa pada prinsipnya pembakaran hutan
dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk
tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta
pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Sanksi pidana terhadap perbuatan
yang dilakukan yang mengakibatkan kerusakan hutan dan membedakan
4
Abdul Wahid Masru, Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan Guna Penindakan
Pelaku Pembakaran Hutan, Ladang dan Pekarangan, diakses pada tanggal 20 Mei 2008
5
Ibid
6
Ibid
antara pembakaran hutan yang dilakukan secara sengaja dan karena
kelalaian, menentukan bahwa barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
palingbanyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sedangkan Pasal
78 ayat (4) menentukan bahwa barang siapa karena kelalaiannya melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). UU Nomor 19
Tahun 2004 juga mencantumkan sanksi pidana secara kumulatif, yaitu
pidana penjara dan denda sekaligus. Hanya perbedaannya dengan dua
undang-undang sebelumnya, UU Nomor 19 Tahun 2004 memberikan sanksi
pidana penjara dan denda lebih berat.
Terkait dengan penegakan hukum kebakaran hutan/lahan yang telah
disampaikan di atas, terutama untuk mendorong proses penegakan hukum,
setidaknya telah tersedia instrumen hukum nasional dan instrumen hukum
(perjanjian) internasional yang di berlakukan di Indonesia, dalam kasus
kebakaran hutan/lahan yang dapat dijadikan landasan hukum untuk menjerat
pelaku kebakaran hutan, tetapi kenyataannya hal tersebut tidak maksimal.

5. Kesimpulan dan Saran


a. Kesimpulan
Penyebab kebakaran hutan di Riau ataupun di tempat lain di Indonesia
bersumber pada kebijakan pengelolaan hutan, lemahnya peraturan perundangan
dan penegakan aturan yang ada, dan mekanisme sistem/kelembagaan yang
bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan.
Anggaran mencapai Rp 385 milliar yang disiapkan pemerintah tahun ini hanya
dapat dibenarkan sebatas untuk menyelamatkan dan meminimalisir dampak
lingkungan yang akan terjadi. Akan tetapi, tanpa ada intervensi di level
kebijakan, hukum, dan kelembagaan, masalah kebakaran di Indonesia tidak
akan pernah selesai secara permanen. Perlu dilakukan upaya yang keras untuk
mendorong penegakan hukum lingkungan, terutama bagi pelaku pembakar
hutan dan pentingnya dilakukan koordinasi semua departemen yang terkait
dengan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) atau lebih tinggi
setingkat Instruksi Presiden (Inpres) seperti yang kita lihat dalam Inpres
mengenai Pemberantasan Pembalakan Liar (illegal logging). Hal yang patut
untuk dilakukan Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan komitmen dalam
mengatasi dampak perubahan iklim  dan dalam kaitannya dengan kebakaran
hutan yakni perlu penegakan hukum terhadap oknum pelaku kebakaran secara
konsisten dan serta menimbulkan efek jera, hal itu dapat dilakukan dengan
menyiapkan aturan-aturan yang tegas serta tidak memberikan peluang adanya
pelanggaran.
Perlu diupayakan lahirnya Peraturan Pemerintah terutama oleh Kementerian
Lingkungan Hidup mengenai tanggung jawab perusahaan apabila terjadi
kebakaran/pembakaran di hutan/lahan di konsesinya untuk menutup celah
kesimpang siuran ketentuan hukum seperti yang telah dipaparkan di atas.
Meskipun Indonesia memiliki berbagai peraturan terkait dengan kebakaran
hutan dan lahan. Dari beberapa uraian di atas, ada banyak celah yang
membingungkan dan ini nyata-nyata dipergunakan oleh pihak yang sengaja
melakukan cara-cara pengusahaan hutan/perkebunan dengan jalan pembakaran
hutan sebagai jalan yang sebenarnya melawan hukum.
b. Saran
Pemerintah seharusnya meihat peran penting serta melibatkan masyarakat adat
sebagai bagian dari upaya pencegahan dari kerusakan lahan dan hutan, seperti
kebakaran hutan. Karena melindungi wilayah adat (hutan adat) merupakan
kewajiban masyarakat untuk menjaga tradisi dalam mempraktekkan
pengetahuan lokal dari leluhur. Peran tersebut akan efektif dan berkelanjutan
jika hak-hak masyarakat atas wilayah adatnya diakui dan dilindungi.
Perlu ada deregulasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan yang ada, untuk
menghindari terjadinya saling melempar tanggungjawab, khususnya status
hukum kepemilikan lahan dan penggarapan lahan. Seiring dengan itu, upaya
law enforcement secara tegas dan konsekuen terhadap para pelaku dan pihak
yang menyebabkan terjadinya kebakaran, termasuk pencegahan timbulnya
biaya transaksi (transaction cost) yang dapat menyebabkan semakin leluasanya
pihak tertentu melakukan pembakaran.

Daftar Rujukan
1. Hermawan, W. 2006. Dampak Kebakaran Kebun dan Lahan terhadap
Lingkungan Hidup. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat.

2. Rahmi Deslianti Afni1 & Afriza, 2015, Motivasi Indonesia Meratifikasi


Perjanjian Asap Lintas Batas “ASEAN Agreement on Transboandary Haze
Pollution” Tahun 2014, Jurnal Transnasional, Vol. 7, No. 1, Juli 2015

3. Bahri, Samsul Kajian Penyebaran Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di
Wilayah Sumatera Bagian Utara dan Kemungkinan Mengatasinya dengan
TMC, Jurnal Vol3 no 2 2003

4. Suratmo, F.G.; E.A. Husaeni, N. Surati Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar


Pengendalian Kebakaran Hutan Pedoman Nasional Pengendalian Kebakaran
Hutan. Fahutan IPB. 503 Hal (55-98). Bogor.

5. Purbowaseso. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan Suatu Pengantar. Rineka


Cipta . Jakarta

Rujukan Online:

1. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/18/o15fe5361-
soal-kebakaran-hutan-jokowi-ancam-copot-pejabat-daerah

2. http://news.detik.com/berita/3274239/soal-kebakaran-hutan-jokowi-sanksi-
pidana-dan-perdata-harus-ditegakkan

3. https://www.tempo.co/read/fokus/2015/10/03/3265/anggaran-penanganan-
kebakaran-melonjak

4. WALHI, Kebakaran Hutan Yang Berulang, Di Akses pada


http/www.walhi.or.id

5. Abdul Wahid Masru, Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan Guna


Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan, Ladang dan Pekarangan, diakses
pada tanggal 20 mei 2008 dari www.legalitas.org

Anda mungkin juga menyukai