1. Pendahuluan
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia merupakah suatu masalah
lingkungan yang telah terjadi sejak dahulu dan hampir terjadi setiap tahunnya.
Sehingga permasalahan kebakaran hutan merupakan suatu masalah yang harus
ditangani dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Kebakaran hutan di
Indonesia selalu terjadi pada musim kemarau, yaitu pada bulan Agustus,
September, dan Oktober, atau pada masa peralihan (transisi). Wilayah hutan di
Indonesia yang berpotensi terbakar antara lain di Pulau Sumatera (Riau, Jambi,
Sumut, dan Sumsel) dan di Pulau Kalimantan (Kalbar, Kaltim, dan Kalsel).
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia dalam frekuensi yang berulang dan
terus menerus telah menarik perhatian pemerintah di era kepemimpinan
Presiden Joko Widodo. Dikarenakan dampaknya yang merugikan bagi
keseimbangan lingkungan, perekonomian dan kesehatan masyarakat, Presiden
mengancam untuk mencopot Kepala Daerah (Soal Kebakaran Hutan, Jokowi
Ancam Copot Pejabat Daerah; Republika.co.id, Senin, 18 Januari 2016).
Selain itu, Presiden juga mengancam para pelaku pembakaran baik koorporat
maupun perorangan dengan hukuman perdata maupun pidana. (Soal
Kebakaran Hutan, Jokowi: Sanksi Pidana dan Perdata Harus Ditegakkan!;
Detik.com, Jumat 12 Aug 2016).
Sepanjang 2015, lebih dari 60.000 orang menderita infeksi saluran pernafasan
atas (ISPA) akibat menghirup udara berasap. Selain itu bencana susulan yang
lebih besar berupa bencana ekologi serta bencana sosial tinggal menunggu
waktu. Belum lagi peningkatan jumlah penduduk miskin, kerawanan pangan,
kerentanan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia akibat semakin
berkurangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan semakin
mengancam kehidupan masyarakat. Kebakaran dianggap sebagai ancaman
potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung
bagi ekosistem (United Nations International Strategy for Disaster Reduction,
2002), menjadi penyumbang emisi karbon terbesar dan merusak
keanekaragaman hayati.
Berdasarkan pantauan satelit NASA yang dirilis Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup pada Jum’at (2/10/2015), ada 561 titik api yang tersebar di
18 provinsi seluruh Indonesia. Luas kerusakan hutan akibat kebakaran,
perambahan, pembalakan liar sepanjang 2014-2015 mencapai 10,5 juta Ha.
Hal ini membuat biaya penanganan bencana kebakaran menjadi sangat tinggi.
Pusat Data Informasi BNPB menyebutkan dana penanganan kebakaran hutan
sepanjang 2015 senilai Rp 385 miliar, dan akan mengajukan dana tambahan
Rp 750 miliar. Penambahan dana masih mungkin dilakukan lantaran masih
ada anggaran siap pakai (on call) sebesar Rp 2,5 triliun. (Anggaran
Penanganan Kebakaran Melonjak; TEMPO.CO, Sabtu, 03 Oktober 2015).
Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya
kabut asap yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat dan sistem
transportasi sungai, darat, laut, dan udara. Secara sektoral dampak kebakaran
ini mencakup sektor perhubungan, kesehatan, ekonomi, ekologi dan sosial,
termasuk citra bangsa di mata negara tetangga dan dunia (Hermawan, 2006).
Kebakaran hutan di Indonesia terjadi dalam beberapa periode, yaitu dari tahun
1982-1983, 1997-1998, 2005 hingga tahun 2010 serta periode 2011-2012, 2014
Implikasi dari bencana tersebut telah banyak menimbulkan kerugian baik dari
sektor sosial, ekonomi dan hubungan dengan Malaysia, Singapura, dan negara
ASEAN lainnya. Di Asia Tenggara, asap dari lahan gambut dan kebakaran
hutan dapat dihubungkan dengan terjadinya 300.000 kematian selama
bertahun-tahun El Niño berlangsung.
Oleh karena itu, belakangan ini kebakaran hutan semakin menarik perhatian
internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah bencana
El-Nino (ENSO) 1997/981 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta
hektar di seluruh dunia (FAO 2001; Rowel dan Moore 2001). Secara regional
1
El Niño 1997-98 yang disebut El Niño-Southern Oscillation dianggap sebagai salah satu
peristiwa bencana paling kuat dalam sejarah, yang mengakibatkan kekeringan meluas, banjir dan
bencana alam lainnya di seluruh dunia. Ini menyebabkan sekitar 16% dari sistem karang dunia
mati, dan untuk sementara meningkatkan suhu udara sebesar 1,5 ° C, dibandingkan dengan
kenaikan biasa 0,25 ° C. Berdasarkan studi yang dilakukan ADB (Asian Development Bank) luas
hutan yang terbakar di Indonesia hampir mencapai 12 juta hektar, data ini di tambah dengan
kebakaran hutan yang berasal dari daerah rawa dan gambut yang terdapat di Indonesia.
kawasan Asia Tenggara, sejumlah Negara ASEAN yang memiliki keprihatinan
terhadap bencana kebakaran hutan pada Juni 2002 telah menandatangani
Perjanjian Lintas Batas Pencemaran Kabut / ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP)2.
Permasalahan kabut asap mendapat perhatian khusus para pemangku
kepentingan skala internasional karena memiliki potensi melintas batas negara.
Karenanya masalah asap lintas batas ini telah lama menjadi pembahasan dalam
hubungan internasional sejak tahun 1960 dan menjadi salah satu tema penting
yang diangkat dalam konferensi Stockholm3 tahun 1972. Konferensi yang
dihadiri oleh 114 kepala negara ini, kepala pemerintah dan beberapa Non
Government Organization (NGO) dari seluruh dunia telah melakukan negosiasi
untuk merumuskan penjanjian-perjanjian internasional, dan salah satu isu yang
dibahas adalah isu pencemaran lintas batas atau kabut asap, yang mana hasil
dari konferensi tersebut adalah dengan dibentuknya sebuah badan internasional
United Nations Enviromental Programme (UNEP) yang menangani masalah
kabut asap dan pengaruhnya terhadap stabilitas ekonomi, sosial dan ekologi
maupun hubungan bilateral suatu negara.
b. Aspek Ekonomi
Bank Dunia mencatat perkiraan awal dari kerugian ekonomi untuk Indonesia
akibat kebakaran hutan sepanjang tahun 2015 melampaui $16 milyar. Jumlah
ini dua kali lebih besar dari kerugian dan kerusakan akibat tsunami tahun 2004
di Aceh, setara dengan 1.8% Produk Domestik Brutto (PDB). Estimasi ini
mencakup kerugian pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri,
pariwisata dan sektor-sektor lainnya. Sebagian dari kerugian itu akibat
kerusakan dan kerugian langsung terhadap hasil panen, kehutanan, perumahan
dan infrastruktur, dan biaya yang ditimbulkan untuk menangani api.
Para petani di Riau, mengaku produksi tanaman pangan dan sayuran di
ladangnya menurun sampai 40% karena proses produksi tanaman yang
mengandalkan sinar matahari terhalang kabut asap, meski antisipasi telah
dilakukan. Minimnya cahaya matahari, menyebabkan banyak tanaman tidak
menghasilkan buah, bahkan untuk padi sama sekali tidak dapat ditanam karena
kondisi tanah yang keras.
Banyak kerugian ekonomi disebabkan dampak tidak langsung, seperti
terganggunya perjalanan udara, laut dan darat akibat asap. Dampak pada
pertumbuhan PDB lokal diperkirakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan di wilayah-wilayah
yang paling parah, seperti Kalimantan Tengah.
c. Aspek Kesehatan
Terjadinya kebakaran hutan telah menyebabkan turunnya tingkat kesehatan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak tersebut
akan sangat terasa bagi anak-anak balita (bawah lima tahun) dan lansia (lanjut
usia) karena sistem metabolism tubuh pada dua golongan usia tersebut tidak
mencapai optimal. Dampak langsung terhirupnya asap kebakaran hutan adalah
infeksi saluran pernapasan atas, sedangkan dampak tidak langsungnya adalah
munculnya penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat jika penutupan
asap kebakaran hutan berlangsung dalam periode yang cukup panjang.
Kebakaran hutan menimbulkan polutan udara yang dapat menyebabkan
penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar udara
yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran
partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain : infeksi
saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang / penglihatan,
sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan
asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun
1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan
sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor, 2001). Gambut yang terbakar di
Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan
Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah
satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate,
G. dalam CIFOR, 2001).
d. Dampak Sosial
Dampak kebakaran hutan dan lahan pada usaha masyarakat memperoleh
kesejahteraan di pedesaan melalui interaksinya dengan hutan yang menjadi
pusat kehidupannya. Mata pencaharian masyarakat lokal dan ketentraman
diangap sebagai kesatuan dan konsep mengenai kesejahteraan. Kemampuan
masyarakat memberi makan diri sendiri, melakukan pertanian subsistem atau
pembelian pangan dari uang hasil perkebunan tanaman keras adalah kunci bagi
masyarakat untuk bertahan hidup.
4. Penegakkan Hukum vs Kepentingan Pengusaha
Dalam kasus kebakaran hutan di Indonesia, baik yang terjadi secara alami
maupun secara disengaja (pembakaran) tetap memerlukan kajian mendalam
untuk menemukan penyebab awal kebakaran. Dengan ditemukannya penyebab
awal, bisa ditelusuri siapa yang paling bertanggungjawab baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan peristiwa tersebut. Penelusuran ini penting
dalam upaya penerapan sanksi hukum yang diharapkan bisa mencegah
terjadinya kasus-kasus serupa dimasa yang akan datang.
Dalam kertas posisi yang telah disampaikan oleh WALHI (Kebakaran Hutan
Yang Berulang, diakses pada http/www.walhi.or.id) sebelumnya menyebutkan
bahwa penyebab kebakaran hutan yang berakibat pada pencemaran asap dan
meningkatnya emisi karbon disebabkan oleh kebakaran yang dilakukan secara
sengaja dan rambatan api di kawasan/lahan gambut dengan total luas hutan dan
lahan yang terbakar dalam kurun waktu 6 tahun terakhir mencapai 27,612 juta
hektar. Data yang dimiliki oleh WALHI menunjukkan bahwa tindakan
kesengajaan secara khusus di wilayah Sumatera dan Kalimantan dipicu oleh
pembakaran lahan untuk perkebunan sawit dan HTI oleh perusahaan dan
proyek lahan sejuta hektar yang berbuntut ekspor asap ke wilayah negara lain.
Kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian
penting dari masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. kawasan yang
terbakar adalah kawasan yang telah telah dibersihkan melalui proses land
clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan kawasan perkebunan.
Artinya, kebakarkan hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja
dimunculkan. Para pelaku pembakaran tak pernah tersentuh hukum. Bahkan
terkesan seperti hantu yang perlahan menghilang seiring menghilangnya kabut
asap setelah menyesaki saluran pernapasan masyarakat.
Tak bisa di sangkal bahwa kelapa sawit adalah sektor yang berkontribusi besar
terhadapap pendapatan Negara. Total yang disumbangkan kelapa sawit untuk
devisa Negara mencapai 19,1 miliar dolar AS atau Rp.219,65 triliun rupiah.
Angka yang fantastik ini menjadikan sektor kelapa sawit penyumbang devisa
terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi. Namun, kelapa sawit juga tercatat
sebagai sektor yang berkontribusi besar terhadap bencana sebagai dampak dari
kerusakan ekologi di Indonesia, yakni asap tanah longsong, banjir dan yang
paling fenomenal adalah bencana asap sebagai dam- pak dari kebakaran hutan
dan lahan. Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang asap
terbesar dari tahun ke tahun.
Devisa dan asap yang disumbangkan sektor ini tidak membuat pemerintah
Indonesia untuk mulai berbenah dan menyiapkan langkah-langkah dalam
menggulangi aktifitas rutin tahunan ini. Tetapi sebaliknya yang terjadi adalah
pemerintah hanya menyiapkan langkah-langkah untuk memperluas lahan
perkebunan kelapa sawit sampai dengan tahun 2020. Berdasarkan rencana
jangka penjang Kementrian Pertanian, luas perkebunan kelapa sudah
direncanakan mencapai 20 juta ha pada tahun 2020. Untuk saat ini, luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,2 juta ha (Kementrian
Perkebunan,2013), sedangkan data Sawit Watch sendiri luas perkebunan
kelapa sawit sudah mencapai 13,5 juta Ha (sumber: Sawit Watch, 2014).
Melihat uraian diatas menimbulkan pertanyaan bagi kita semua, bagaiaman
komitmen Indonesia untuk berdiri paling depan mengatasi dampak perubahan
iklim yang sangat membahayakan keselamatan dunia, penegakan hukum bagi
oknum yang terbukti melakukan pembakaran hutan untuk tujuan dan
kepentingan pribadi dibiarkan bebas dan tidak terjamah di sisi lain tuntutan
negara-negara lain terutama negara-negara asean yang paling merasakan
dampak dari kebakaran hutan di Indonesia menuntut komitmen Indonesia
terhadap keadaan tersebut.
Dari sisi peraturan perundang-undangan, sudah cukup banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kebakaran dan pencemaran
atau kerusakan lingkungan. Masalahnya, penegakan hukum terhadap kasus
kebakaran hutan belum dilakukan secara sungguh-sungguh dan optimal, posisi
ini merefleksikan bahwa kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dan
menjadi salah satu bagian penting dari kongkalingkong masalah kehutanan dan
perkebunan Indonesia.
Instrumen hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum atas kebakaran
hutan di Indonesia meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup4.
Mengatur tentang berkewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup. Dalam rangka penegakan hukum
ketentuan tersebut disertai dengan sanksi, baik yang bersifat kepidanaan
maupun administratif. Selain itu, juga dimungkinkan adanya gugatan ganti
kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu (misalnya memulihkan
fungsi lingkungan hidup) melalui gugatan keperdataan di pengadilan negeri.
b. Undang- undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan5
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, kewajiban untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup diatur dalam Pasal 25. Dalam pasal
48 juga mencantumkan sanksi pidana, dengan membedakan antara
kesengajaan dan kealpaan. Pasal 49 ayat (1) menentukan bahwa setiap
orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan
cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan
fungsi lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah). Undang-undang juga memberikan sanksi pidana secara kumulatif,
yaitu pidana penjara dan denda. Selanjutnya, semua benda sebagai hasil
tindak pidana dan/atau alat-alat termasuk alat angkut yang dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana dapat dirampas dan/atau dimusnahkan oleh
negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c. UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan6
Pasal 50 ayat 3 menentukan bahwa pada prinsipnya pembakaran hutan
dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk
tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain
pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta
pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Sanksi pidana terhadap perbuatan
yang dilakukan yang mengakibatkan kerusakan hutan dan membedakan
4
Abdul Wahid Masru, Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan Guna Penindakan
Pelaku Pembakaran Hutan, Ladang dan Pekarangan, diakses pada tanggal 20 Mei 2008
5
Ibid
6
Ibid
antara pembakaran hutan yang dilakukan secara sengaja dan karena
kelalaian, menentukan bahwa barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
palingbanyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sedangkan Pasal
78 ayat (4) menentukan bahwa barang siapa karena kelalaiannya melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). UU Nomor 19
Tahun 2004 juga mencantumkan sanksi pidana secara kumulatif, yaitu
pidana penjara dan denda sekaligus. Hanya perbedaannya dengan dua
undang-undang sebelumnya, UU Nomor 19 Tahun 2004 memberikan sanksi
pidana penjara dan denda lebih berat.
Terkait dengan penegakan hukum kebakaran hutan/lahan yang telah
disampaikan di atas, terutama untuk mendorong proses penegakan hukum,
setidaknya telah tersedia instrumen hukum nasional dan instrumen hukum
(perjanjian) internasional yang di berlakukan di Indonesia, dalam kasus
kebakaran hutan/lahan yang dapat dijadikan landasan hukum untuk menjerat
pelaku kebakaran hutan, tetapi kenyataannya hal tersebut tidak maksimal.
Daftar Rujukan
1. Hermawan, W. 2006. Dampak Kebakaran Kebun dan Lahan terhadap
Lingkungan Hidup. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat.
3. Bahri, Samsul Kajian Penyebaran Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di
Wilayah Sumatera Bagian Utara dan Kemungkinan Mengatasinya dengan
TMC, Jurnal Vol3 no 2 2003
Rujukan Online:
1. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/18/o15fe5361-
soal-kebakaran-hutan-jokowi-ancam-copot-pejabat-daerah
2. http://news.detik.com/berita/3274239/soal-kebakaran-hutan-jokowi-sanksi-
pidana-dan-perdata-harus-ditegakkan
3. https://www.tempo.co/read/fokus/2015/10/03/3265/anggaran-penanganan-
kebakaran-melonjak