Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

INSTABILITAS PADA LANSIA

Disusun Oleh :

PUTRI AMELIA (1720190003)

Dosen Pembimbing :

Ns. Imelda Pujiharti, M. Kep, Sp. Kep. AN, MH

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERWATAN

BEKASI

Jl. Raya Jati Waringin No.12,Jaticempaka, pondok gede, kotaBks,


Jawa Barat 1741
LAPORAN PENDAHULUAN

INSTABILITAS PADA LANSIA


1. Konsep Teori
A. Definisi

Jatuh adalah suatu kejadian yang di laporkan penderita atau saksi


mata ,yang melibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai
/tempat yang lebih rendah atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka
(Reuben)

Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut .Banyak faktor
berperan di  dalamnya ,kelemahan otot ekstremitas bawah kekakuan
sendi ,sinkope dan dizzines ,serta faktor ekstrinsik sertai lantai yang licin dan
tidak rata tersandung benda-benda ,pengelihatan kurang terang dan
sebagainya.

Tidak mengejutkan bahwa jatuh merupakan kejadian yang


mempercepat patah tulang pada orang dengan kepadatan mineral tulang
{Bone Mineral Density(BMD)} rendah. Jatuh dapat dicegah sehingga akan
mengurangi risiko patah tulang. Jatuh adalah penyebab terbesar untuk patah
tulang pinggul dan berkaitan dengan meningkatnya risiko yang berarti
terhadap berbagai patah tulang meliputi punggung, pergelangan tangan,
pinggul, lengan bagian atas.Jatuh dapat disebabkan oleh banyak faktor,
sehingga strategi pencegahan harus meliputi berbagai komponen agar sukses.
Aktivitas fisik meliputi pola gerakan yang beragam seperti latihan kekuatan
atau kelas aerobik dapat meningkatkan massa tulang sehingga tulang lebih
padat dan dapat menurunkan risiko jatuh. Mengurangi Risiko JatuhBanyak
hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh dan meminimalisir
dampak dari jatuh yang terjadi. Pedoman yang dikeluarkan oleh American
Geriatrics Society, British Geriatrics Society, dan American Academy of
Orthopedi Surgeons pada pencegahan jatuh meliputi beberapa rekomendasi
untuk orang tua (AGS et al.2001)
B. Faktor – faktor lingkungan yang sering dihubungan dengan
kecelakaan pada lansia Faktor penyebab jatuh pada lansia dapat
dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu:

1) Faktor Intrinsik

Faktor instrinsik dapat disebabkan oleh proses penuaan dan


berbagai penyakit sepertiStroke dan TIA yang mengakibatkan
kelemahan tubuh sesisi , Parkinson yang mengakibatkan kekakuan alat
gerak, maupun Depresi yang menyebabkan lansia tidak terlalu
perhatian saat berjalan . Gangguan penglihatan pun seperti misalnya
katarak meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Gangguan sistem
kardiovaskuler akan menyebabkan syncope, syncope lah yang sering
menyebabkan jatuh pada lansia.Jatuhdapat juga disebabkan oleh
dehidrasi. Dehidrasi bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan
yang kurang atau penggunaan diuretik yang berlebihan.

2) Ekstrinsik

Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau


tergeletak di bawah,tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang
rendah dan tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah
dipegang, lantai tidak datar, licin atau menurun, karpet yang tidak
dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-
benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser,lantai licin atau basah,
penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), alat bantu
jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.

C. PENCEGAHAN

Pencegahan dilakukan berdasar atas faktor resiko apa yang dapat


menyebabkan jatuh seperti faktor neuromuskular, muskuloskeletal,
penyakit yang sedang diderita, pengobatan yang sedang dijalani, gangguan
keseimbangan dan gaya berjalan, gangguan visual, ataupun faktor
lingkungan.dibawah ini akan di uraikan beberapa metode pencegahan
jatuh pada orang tua :

1) Latihan fisik

Latihan fisik diharapkan mengurangi resiko jatuh dengan


meningkatkan kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki
keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan reaksi terhadap bahaya
lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi kebutuhan obat-obatan
sedatif. Latihan fisik yang dianjurkan yang melatih kekuatan tungkai,
tidak terlalu berat dan semampunya, salah satunya adalah berjalan
kaki.(1,4,5,6)

2) Managemen obat-obatan

Gunakan dosis terkecil yang efektif dan spesifik di antara:

a) Perhatikan terhadap efek samping dan interaksi obat


b) Gunakan alat bantu berjalan jika memang di perlukan selama
pengobatan
c) Kurangi pemberian obat-obatan yang sifatnya untuk waktu
lama terutama sedatif dan tranquilisers
d) Hindari pemberian obat multiple (lebih dari empat macam)
kecuali atas indikasi klinis kuat
e) Menghentikan obat yang tidak terlalu diperlukan
3) Modifikasi lingkungan
a) Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk
menghindari pusing akibat suhu di antara:
b) Taruhlah barang-barang yang memang seringkali diperlukan berada
dalam jangkauan tanpa harus berjalan dulu
c) Gunakan karpet antislip di kamar mandi.
d) Perhatikan kualitas penerangan di rumah.
e) Jangan sampai ada kabel listrik pada lantai yang biasa untuk melintas.
f) Pasang pegangan tangan pada tangga, bila perlu pasang lampu
tambahan untuk daerah tangga.
g) Singkirkan barang-barang yang bisa membuat terpeleset dari jalan
yang biasa untuk melintas.
h) Gunakan lantai yang tidak licin.
i) Atur letak furnitur supaya jalan untuk melintas mudah, menghindari
tersandung.
j) Pasang pegangan tangan ditempat yang di perlukan seperti misalnya di
kamar mandi.

4) memperbaiki kebiasaan pasien lansia misalnya :


a) Berdiri dari posisi duduk atau jangkok jangan terlalu cepat.
b) Jangan mengangkat barang yang berat sekaligus.
c) Mengambil barang dengan cara yang benar dari lantai.
d) Hindari olahraga berlebihan.

5) Alas kaki
a) Perhatikan pada saat orang tua memakai alas kaki:
b) Hindari sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar
c) Jangan berjalan hanya dengan kaus kaki karena sulit untuk menjaga
keseimbangan
d) Pakai sepatu yang antislip

6) Alat bantu jalan


a) Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan keseimbangan
difokuskan untuk mengatasi atau mengeliminasi penyebabnya atau
faktor yang mendasarinya.
b) Penggunaannya  alat bantu jalan memang membantu meingkatkan
keseimbangan, namun di sisi lain menyebabkan langkah yang terputus
dan kecenderungan tubuh untuk membungkuk, terlebih jika alat bantu
tidak menggunakan roda., karena itu penggunaan alat bantu ini
haruslah direkomendasikan secara individual.
c) Apabila pada lansia yang kasus gangguan berjalannya tidak dapat
ditangani dengan obat-obatan maupun pembedahan. Oleh karena itu,
penanganannya adalah dengan alat bantu jalan seperti cane (tongkat),
crutch (tongkat ketiak) dan walker. (Jika hanya 1 ekstremitas atas
yang digunakan, pasien dianjurkan pakai cane. Pemilihan cane type
apa yang digunakan, ditentukan oleh kebutuhan dan frekuensi
menunjang berat badan. Jika ke-2 ekstremitas atas diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan dan tidak perlu menunjang berat
badan, alat yang paling cocok adalah four-wheeled walker. Jika kedua
ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
dan menunjang berat badan, maka pemilihan alat ditentukan oleh
frekuensi yang diperlukan dalam menunjang berat badan.

7) Periksa fungsi penglihatan dan pendengaran.


8) Hip protektor : terbukti mengurangi resiko fraktur pelvis.
9) Memelihara kekuatan tulang
a) Suplemen nutrisi terutama kalsium dan vitamin D terbukti
meningkatkan densitas tulang dan mengurangi resiko fraktur akibat
terjatuh pada orang tua
b) Berhenti merokok
c) Hindari konsumsi alkohol
d) Latihan fisik
e) Anti-resorbsi seperti biophosphonates dan modulator reseptor estrogen
f) Suplementasi hormon estrogen / terapi hormon pengganti.

2. PENGKAJIAN
Pengkajian klien dengan resiko injuri meliputi: pengkajian resiko (Risk
assessment tools) dan adanya bahaya dilingkungan klien (home hazards
appraisal). Pengkajian Resiko
a) Jatuh

 Usia klien lebih dari 65 tahun


 Riwayat jatuh di rumah atau RS
 Mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran
 Kesulitan berjalan atau gangguan mobilitas
 Menggunakan alat bantu (tongkat, kursi roda, dll)
 Penurunan status mental (disorientasi, penurunan daya ingat)
 Mendapatkan obat tertentu (sedatif, hypnotik, tranquilizers, analgesics,
diuretics, or laxatives)

b) Riwayat kecelakaan

Beberapa orang memiliki kecenderungan mengalami kecelakaan berulang, oleh


karena itu riwayat sebelumnya perlu dikaji untuk memprediksi kemungkinan
kecelakaan itu terulang kembali

c) Keracunan

Beberapa anak dan orang tua sangat beresiko tinggi terhadap keracunan.
Pengkajian meliputi seluruh aspek pengetahuan keluarga tentang resiko bahaya
keracunan dan upaya pencegahannya.

d) Kebakaran

Beberapa penyebab kebakaran dirumah perlu ditanyakan tentang sejauh mana


klien mengantisipasi resiko terjadi kebakaran, termasuk pengetahuan klien dan
keluarga tentang upaya proteksi dari bahaya kecelakaan akibat api.

e) Pengkajian Bahaya

Meliputi mengkaji keadaan: lantai, peralatan rumah tangga, kamar mandi, dapur,
kamar tidur, pelindung kebakaran, zat-zat berbahaya, listrik, dll apakah dalam
keadaan aman atau dapat mengakibatkan kecelakaan.

f)  Keamanan (spesifik pada lansia di rumah)

Gangguan keamanan berupa jatuh di rumah pada lansia memiliki insidensi yang
cukup tinggi, banyak diantara lansia tersebut yang akhirnya cedera berat bahkan
meninggal. Bahaya yang menyebabkan jatuh cenderung mudah dilihat tetapi sulit
untuk diperbaiki, oleh karena itu diperlukan pengkajian yang spesifik tentang
keadaan rumah yang terstuktur. Contoh pengkajian checklist pencegahan jatuh
pada lansia yang dikeluarkan oleh Departemen kesehatan dan pelayanan
masyarakat Amerika.

3. DIAGNOSA

Diagnosa umum sering muncul pada kasus keamanan fisik menurut NANDA
adalah

1) Resiko tinggi terjadinya cedera (High risk for injury). Seorang klien
dikatakan   mengalami masalah keperawatan resiko tinggi terjadinya cidera
bila kondisi lingkungan dan adaptasi atau pertahanan seseorang beresiko
menimbulkan cedera.
2) Resiko terjadinya keracunan: adanya resiko terjadinya kecelakaan akivat
terpapar, atau tertelannya obat atau zat berbahaya dalam dosis yang dapat
menyebabkan keracunan.
3) Resiko terjadinya sufokasi: adanya resiko kecelakaan yang menyebabkan
tidak adekuatnya udara untuk proses bernafas.
4) Resiko terjadinya trauma: adanya resiko yang menyebabkan cedera pada
jaringan (ms. Luka, luka bakar, atau fraktur).
5) Respon alergi lateks: respon alergi terhadap produk yang terbuat dari lateks.
6) Resiko respon alergi lateks: kondisi beresiko terhadap respon alergi terhadap
produk yang terbuat dari lateks.
7) Resiko terjadinya aspirasi: klien beresiko akan masuknya sekresi
gastrointestinal, sekresi orofaringeal, benda padat atau cairan kedalam
saluran pernafasan.
8) Resiko terjadinya sindrom disuse (gejala yang tidak diinginkan): klien
beresiko terhadap kerusakan sistem tubuh akibat inaktifitas sistem
muskuloskeletal yang direncanakan atau tidak dapat dihindari.

4. PERENCANAAN

Secara umum rencana asuhan keperawatan harus mencakup dua aspek yaitu:
Pendidikan kesehatan tentang tindakan pencegahan dan memodifikasi lingkungan
agar lebih aman.

Contoh rencana asuhan keperawatan: (sesuai kasus pada bagian E)


Diagnosa: Resiko tinggi cedera: jatuh berhubungan dengan penurunan sensori
(tidak mampu melihat)

Tujuan: Klien memperlihatkan upaya menghindari cedera (jatuh) atau cidera


(jatuh) tidak terjadi

Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan berupa modifikasi


lingkungan dan pendidikan kesehatan dalam 1 hari kunjungan diharapkan Klien
mampu:
a) Mengidentifikasi bahaya lingkungan yang dapat meningkatkan
kemungkinancidera
b) Mengidentifikasi tindakan preventif atas bahaya tertentu,
c) Melaporkan penggunaan cara yang tepat dalam melindungi diri dari
cidera.

5. INTERVENSI
a) Kaji ulang adanya faktor-faktor resiko jatuh pada klien.
b) Tulis dan laporkan adanya faktor-faktor resiko
c) Lakukan modifikasi lingkungan agar lebih aman (memasang pinggiran
tempat tidur, dll) sesuai hasil pengkajian bahaya jatuh pada poin 1
d) Monitor klien secara berkala terutama 3 hari pertama kunjungan rumah
e) Ajarkan klien tentang upaya pencegahan cidera (menggunakan
pencahayaanyang baik, memasang penghalang tempat tidur, menempatkan
benda berbahayaditempat yang aman)
f) Kolaborasi dengan dokter untuk penatalaksanaan glaukoma dan gangguan

penglihatannya, serta pekerja sosial untuk pemantauan secara berkala.

Secara umum kriteria hasil paling penting pada kasus resiko tinggi cidera
adalah membantu klien untuk mengidentifikasi bahaya, dan mampu
melakukan tindakan menjaga keamanan. Kriteria hasil yang lebih spesifik
diantaranya Klien mampu: mengidentifikasi bahaya lingkungan yang
dapat meningkatkan kemungkinan cidera, mengidentifikasi tindakan
preventif atas bahaya tertentu, melaporkan penggunaan cara yang tepat
dalam melindungi diri dari cidera.

6. IMPLEMENTASI

Rencana tindakan lain dapat dilihat pada poin G (Implementasi).

Implementasi berikut bersifat spesifik untuk beberapa bahaya tertentu (tidak


berhubungan dengan kasus):

1) Meningkatkan keamanan sepanjang hayat manusia

Memastikan keamanan klien pada semua usia berfokus pada: obsevasi atau
prediksi situasi yang mungkin membahayakan sehingga dapat dihindari
dan memberikan pendidikan kesehatan yang memberikan kekuatan bagi
klien untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari cedera secara mandiri.
Aspek pendidikan kesehatan yang lebih spesifik sesuai rentang usia klien
dapat anda lihat pada Kozier, 2004: 674-675.

2) Mempertahankan kondisi aman dari api dan kebakaran

Upaya pencegahan yang bisa dilakukan perawat adalah memastikan bahwa


ketiga elemen tersebut dapat dihilangkan. Jika kebakaran sudah terjadi ada
dua tujuan yang harus dicapai yaitu: melindungi klien dari cedera dan
membatasi serta memadakan api.

 Di pusat pelayanan kesehatan Upaya pencegahan: Memastikan nomor


telpon darurat ada disemua pesawat, Mengatur situasi sehingga alat-
alat atau benda-benda yang tidak perlu tidak berada di lorong jalan,
Menempatkan prosedur evakuasi dan penanganan kebakaran disemua
tempat, Mengorientasikan seluruh karyawan tentang jenis-jenis
kebakaran dan penanganannya.
 Jika kebakaran terjadi: Mengevakuasi klien kearea yang aman,
aktifkan alarm, jika api kecil lakukan pemadaman dengan alat
pemadam yang ada, tutup pintu dan jendela jika perlu ketahui derajat
kebakaran untuk menentukan jenis pemadam yang tepat.

3) Mencegah terjadinya jatuh pada klien


a) Orientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan sistem
komunikasi yang ada
b) Hati-hati saat mengkaji klien dengan keterbatasan gerak
c) Supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari
d) Anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan
e) Berikan alas kaki yang tidak licin
f) Berikan pencahayaan yang adekuat
g) Pasang pengaman tempat tidur terutama pada klien dengan penurunan
kesadaran dan gangguan mobilitas
h) Jaga lantai kamar mandi agar tidak licin

4) Melakukan tindakan pengamanan pada klien kejang:


a) Pasang pengaman tempat tidur dengan dilapisi kain tebal (mencegah
nyeri saat terbentur)
b) Pasang spatel lidah untuk mencegah terhambatnya aliran udara
c) Longgarkan baju dan ikatan leher (kerah baju)
d) Kolaborasi pemberian obat antikonvulsi.
e) Berikan masker oksigen jika diperlukan

5) Memberikan pertolongan bila terjadi keracunan


Perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat
bila terjadi keracunan melalui identifikasi adanya zat-zat beracun dirumah
yang terkonsumsi, segera laporkan ke institusi kesehatan terdekat serta
menyebutkan nama dan gejala yang dialami klien, jaga klien pada posisi
tenang ke satu sisi atau dengan kepala ditempatkan diantara kedua kaki
untuk mencegah aspirasi.

6) Memberikan pertolongan bagi klien yang terkena sengatan listrik

Jika seseorang terkena macroshock (sengatan listrik yang cukup


besar) jangan sentuh klien tersebut sampai pusat listrik dimatikan dan
klien aman dari arus listrik. Macroshock sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan luka bakar, kontraksi otot, dan henti nafas serta henti
jantung. Untuk mencegah macroshock gunakan mesin/alat listrik yang
berfungsi dengan baik, pakai sepatu dengan alas karet, berdirilah diatas
lantai nonkonduktif, dan gunakan sarung tangan non konduktif.

7) Melakukan penanganan bagi klien yang terpapar kebisingan

Kebisingan memiliki efek psikososial dan efek fisiologis. Efek


psikososial seperti rasa jengkel, tidur dan istirahat terganggu, serta
gangguan konsentrasi dan pola komunikasi. Efek fisiologis meliputi
peningkatan nadi dan respirasi, peningkatan aktifitas otot, mual, dan
kehilangan pendengaran jika intensitas suara tepat. Kebisingan dapat
diminimalisir dengan memasang genting, dinding, dan lantai yang kedap
suara; memasang gorden; memasang karpet; atau memutar background
music.

8) Melakukan Heimlich maneuver pada klien yang mengalami tersedak.


9) Melakukan perlindungan terhadap radiasi
Tingkat bahaya radiasi tergantung dari: lamanya, kedekatan dengan
sumber radioaktif, dan pelindung yang digunakan selama terpapar radiasi.
Upaya yang harus dilakukan oleh perawat dalam hal ini adalah memakai
baju khusus, memakai sarung tangan, mencuci tangan sebelum dan
sesudah memakai sarung tangan, dan membuang semua benda yang
terkontaminasi.
10) Melakukan pemasangan restrain pada klien
Restrain adalah alat atau tindakan pelindung untuk membatasi
gerakan/aktifitas fisik klien atau bagian tubuh klien. Restrain
diklasifikasikan menjadi fisikal(physical) dan kemikal(chemical) restrain.
Fisikal restrain adalah restrain dengan metode manual atau alat bantu
mekanik, atau lat-alat yang dipasang pada tubuh klien sehingga klien tidak
dapat bergerak dengan mudah dan terbatas gerakannya. Kemikal restrain
adalah restrain dalam bentuk zat kimia neuroleptics, anxioulytics, sedatif,
dan psikotropika yang digunakan untuk mengontrol tingkahlaku sosial
yang merusak.

Restrain sebaiknya dihindari sebab berbagai komplikasi sering


dikeluhkan akibat pemasangan restrain. Komplikasi fisik diantaranya luka
tekan, retensi urin, inkontinensia, dan sulit BAB, bahkan kematian pun
dilaporkan. Komplikasi psikologisnya adalah penurunan harga diri,
bingung, pelupa, depresi, takut, dan marah. Restrain hendaknya digunakan
sebagai alternatif terakhir. Bila dilakukan maka haruslah (a) dibawah
pengawasan dokter dengan perintah tertulis, apa penyebabnya, dan untuk
berapa lama (b) klien setuju dengan tindakan tersebut.

 Implikasi legal pemasangan restrain

Untuk melindungi klien dan mencegah masalah legal, perawat perlu


mengikuti aturan berikut:

(a) Perhatikan panduan tiap-tiap restrain yang akan digunakan


(b) Gunakan restrain hanya bila dibutuhkan untuk kesehatan dan
keselamatan klien
(c) Jika dilakukan pemasangan restrain, dokumentasikan: penyebab,
tipe, informed consent yang diberikan, respon klien, waktu
pemasangan dan pelepasan, asuhan keperawatan yang diberikan,
tanda-tangan dokter dan perawat
(d) Lakukan evaluasi secara periodik

 Memilih restrain
Dalam memilih restrain perlu memenuhi lima kriteria berikut:
(a) Membatasi gerak klien sesedikit mungkin
(b) Paling masuk akal/bisa diterima oleh klien dan keluarga
(c) Tidak mempengaruhi proses perawatan klien
(d) Mudah dilepas/diganti
(e) Aman untuk klien
 Macam-macam restrain
(a) limb restraints (restrain pergelangan tangan), elbow restraints (khusus
untuk daerah sikut)
(b) mummy restraints (pada bayi), crib nets (box bayi dengan penghalang)
(c) Jacket restraints (jaket),
(d) belt restraints (sabuk),
(e) mitt or hand restraints (restrain tangan),
7. EVALUASI

Melalui data yang dikumpulkan selama pemberian asuhan keperawatan


perawat dapat menilai apakah tujuan asuhan telah tercapai. Jika belum tercapai
maka perawat perlu melakukan eksplorasi penyebabnya. Diantaranya perawat
dapat menanyakan beberapa hal berikut pada klien:

Sudahkan anda melakukan semua tindakan pencegahan?


– Tindakan pencegahan apa yang klien tahu?
– Apakah klien menyetujui semua tindakan pencegahan yang diajarkan?
– Sudahkah perawat menulis dan mengimplementasikan rencana pendidikan
kesehatan pada klien?

DAFTAR PUSTAKA

Craven & Hinrle. (2000). Pain perception and Management.


Fundamentals of nursing: Human health and function (3rd ed.). Philadelphia:
Lippincott.

Kozier & Erb. (2004). Pain Management.


Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice (7th ed.). New Jersey:
Pearson prentice hall.

Taylor, Lillis, & Le Mone. (1997). Comfort.


Fundamentals of nursing: The art & Science of nursing care (3rd ed.).
Philadelphia: Lippincott.

Wilkinson,J.M. (2000). Nursing diagnosis handbook with NIC interventions and


NOC outcomes (7th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall Health

Anda mungkin juga menyukai