Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA I

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Mata Kuliah

Hukum Acara Peradilan Agama I

OLEH:

KELOMPOK I

KELAS D

Dendi Ardiansyah 12020114802

Mhd Endy Saputra Lubis 12020114960

Paramalan Harahap 12020115000

Putri Amelia 12020124167

Dosen Pengampu:

Yusliati, Dra. MA

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayahnya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga Makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Tanpa pertolongannya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat kelak.
Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok mata kuliah Hukum
Acara Peradilan Agama I. Selanjutnya penyusun mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Yusliati, Dra.MA selaku dosen pengampu mata kuliah
Hukum Acara Peradilan Agaama I yang telah memberikan tugas ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan dan
keterbatasan dari segi penulisan maupun isi di dalamnya. untuk itu penyusun sangat
mengharapkan saran ataupun kritikan dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap
semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami khususnya bagi
pembaca pada umumnya.

Aamiin Ya Robbal ‘Alamin......

Pekanbaru 09 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i

KATA PENGANTAR .............................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1

C. Tujuan ........................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3

A. Pengertian Hukum Materil dan Hukum Formil (Hukum Acara)

di Peradilan Agama ................................................................... 3

B. Sumber Hukum Materil dan Hukum Formil (Hukum Acara) di


Peradilan Agaama ....................................................................... 7

C. Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dengan Hukum

Acara Peradilan Umum .............................................................. 11

BAB III PENUTUP .................................................................................. 14

A. Simpulan .................................................................................... 14

B. Saran ........................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Agama di Indonesia sejak berlakunya sistem satu atap (one roof
system)dibawah naungan Mahkamah Agung mempunyai peranan penting untuk
mengatasi permasalahan antar umat Islam di Indonesia. Permasalahan itu tidak
hanya di bidang Ahwal Al-syakhsiyah, namun juga dengan peraturan baru yakni
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Artinya, Peradilan
Agama juga berhak menangani sengketa ekonomi syariah.
Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan peradilan agama di indonesia,
sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, pertama, sumber hukum
materiil. Kedua, sumber hukum formil yang sering disebut hukum acara. Perlu
diketahui sekilas bahwa Hukum Materiil adalah materi hukum yang terkait dengan
teori hukum yang terdapat dalam kitab fiqh serta yang berhubungan dengan
perundang-undangan, misalnya Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Sedangkan hukum formil menyangkut lansung tentang hal-hal
yang berhubungan dengan kompetensi Peradilan1. Kedua hukum ini saling
mempuyai keterkaitan, hal ini dikarenakan hukum formil mempunyai tujuan untuk
menegakkan hukum materiil dalam sidang Peradilan. Oleh karena itu keduanya
hukum tersebut harus dikuasai dengan baik dan benar.

B. Rumusan Masalah

a) Apa yang dimaksud dengan hukum materil dan hukum formil di peradilan
agama.

1
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), hal. 23

1
b) Apa saja yang menjadi sumber hukum materil dan hukum formil (hukum
acara) di peradilan agama.
c) Apa hubungan hukum acara peradilan agama dengan hukum acara
peradilan umum.

C. Tujuan

a) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum materil dan hukum
formil di peradilan agama.
b) Untuk mengetahui sumber hukum materil dan hukum formil di peradilan
agama.
c) Untuk mengetahui hubungan hukum acara peradilan agama dengan hukum
acara peradilan umum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Materil dan Hukum Formil di Peradilan Agama

 Hukum Materil

Hukum Materil yaitu kaidah hukum yang mengatur tentang isi hubungan
antar manusia atau yang menetapkan perbuatan atau perilaku apa yang diharuskan
atau dilarang atau diperbolehkan, termasuk akibat-akibat hukum dan ancaman-
ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
Hukum materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian
sering didefenisikan sebagai fikih. Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu
bukan merupakan hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan
dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural
berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah
yang sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya
kesamaan disisi lain, dikeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946 dan Undang-
Undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur hukum tentang perkawinan, talak dan
rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan
Agama No. B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1947 tentang Pembentukan Peradilan Agama
di luar Jawa dan Madura2.
Dalam surat biro peradilan tersebut dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan
kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim
Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai
rujukan 13 kitab-kitab yakni : Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in, Syarqawi ‘Alat Tahrir,
Qalyubi wa Umairah/Al-Mahalli, Fatkhul Wahab, Tuhfah, Targhib Al-Mustaq,
Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah,

2
A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006)
h. 147-148

3
Syamsuri Li Faraid, Bughyat Al-Musytarsyidin, Al-Fiqih Al Madzahib Al-Arba’ah,
dan Mughni Al-Muhtaj.3

Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya pun


belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang
disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum positif
adalah hukun yang tertulis, dan hukum yang menjadi pedoman Peradilan Agama
masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah
hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.
Untuk menjembatani hal tersebut maka sejak tanggal 02 Januari 1974
pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ketentuan ini disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, dan ini merupakan awal pergeseran hukum islam menjadi
hukum tertulis. Namun bagian lain dari perkawinan seperti Kewarisan dan Wakaf
masih di luar hukum tertulis sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan
oleh Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama karena pengambilan dan dasar
hukumnya dari kitab fikih yang berbeda.
Pada sisi lain negara-negara Islam juga memberlakukan hukum Islam
dalam Peraturan Perundang-undangannya. India pada masa Raja Al-Rijeb membuat
dan memberlakukan hukum islam sebagai undang-undang yang terkenal
dengan Fatwa Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-
Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi hukum Islam.
Atas dasar itu semua dan untuk memperoleh kepastian hukum sekaligus
mewujudkan hukum islam setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan,
kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi
Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No.
07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan

3
Enita Wahyuni, 2015 ‘’Hukum Materil dan Formil di Peradilan Agama’’
(http://enitawahyuni.blogspot.com) diakses pada tanggal 09 Maret 2022 pukul 14.30

4
Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan SKB tersebut dilakukan
pengumpulan data, wawancara dengan para ulama, melakukan loka karya dan hasil
pengkajian, penalaahan kitab kemudian ditambah dengan studi banding ke negara-
negara Islam lainnya seperti Maroko, Turki dan Mesir dan setelah semua data yang
terkumpul menjadi naskah kompilasi, diajukan oleh Menteri Agama kepada
Presiden tanggal 14 Maret 1988 tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam
guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara
di lingkungan Peradilan Agama.
Untuk menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan waktu
yang terlalu panjang sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat mendesak. Oleh
karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggunakan
instrumen hukum Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk
melaksanakan Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat
Keputusannya No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya
mengajak jajaran Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya untuk
menyebarluaskan dan sekaligus menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang
berisi hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagai pedoman dan
menyesuaikan masalah-masalah hukum Islam yang terjadi. Di samping itu, dalam
surat Keputusan Menteri Agama tersebut memerintahkan agar Ditjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama agar mengoordinasi
pelaksanaannya.
Kemudian dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka ruang lingkup Peradilan Agama
diperluas tugas dan wewenangnya, yaitu :4
1. Perkawinan
2. Kewarisan
3. Wasiat
4. Hibah

4
Lina sudyawati, 2011. ‘’Asas dan Sumber Hukum Acara Peradilan Agama’’
(http://linasudyawatidiantara.blogspot.com/2011/07/asas-dan-sumber-hukum-acara-
peradilan.html). Diakses pada tanggal 10 Maret 2022 pukul 21.39

5
5. Wakaf
6. Zakat
7. Shadaqah
8. Infaq
9. Ekonomi syari’ah
Dalam pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah
adalah : bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah,
obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas
syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah, bisnis syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah.

 Hukum Formil
Hukum Formil yaitu kaidah hukum yang mengatur tata cara yang harus
ditempuh dalam mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materil,
khususnya upaya penyelesaian perselisihaan melalui pengadilan. Hukum formil
disebut juga hukum prosedural atau hukum acara.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengistilahkan hukum acara
perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.
Sedangkan R Subekti, berpendapat bahwa hukum acara itu mengabdi
kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam
hukum materiil itu sebaik selalu diikuti dengan sesuai hukum acaranya.
MH Tirtaamidjaya mengatakan bahwa hukum acara perdata ialah akibat
yang timbul dari hukum perdata materiil. Sementara soepomo berpendapat bahwa
tugas hakim di peradilan dalam kasus perdata ialah mempertahankan tata hukum
perdata, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
Sudikno Mertokusumo menuliskan bahwa hukum acara perdata ialah peratiuran
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata

6
materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.
Konkritnya hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskannya dan pelaksanaannya
daripada putusannya. Karena itu sesuai dengan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 Jo
UU Nomor 3 tahun 2006 dinyatakan bahwa “hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara Perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
Adapun perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara
khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara
ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama, pemanggilan, pemeriksaan,
pembuktian dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan. 5
Sehingga dapat disimpilkan bahwa hukum acara Peradilan Agama adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim atau bagaimana bertindak di muka pengadilan
agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana
mestinya. Karena itu hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal)
disamping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benarbenar tentu
menghasilkan putusan yang adil dan benar.

B. Sumber Hukum Materil dan Hukum Formil ( Hukum Acara) di Peradilan


Agama.
 Sumber Hukum Materil di Peradilan Agama
a. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits Sumber
Hukum Formil di Peradilan Agama
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

5
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1996, h. 9

7
e. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
f. Instruksi Pesiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI
g. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987
h. Yurisprudensi
i. Ilmu Pengetahuan Hukum daan kitab-kitab fiqih
j. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangaan peradilan
agama6
Ketentuan mengenai hokum acara yang berlaku di Peradilan Agama baru ada
sejak lahirnya Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9
Tahun 1975 tentang Peratuiran Pelaksanaanya. Ini pun baru sebagian kecil yang
diatur dalam kedua peraturan ini. Ketentuan tentang hokum acara perdata yang
berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas sejak
diterbitkan UU no 7 Tahun 1989 tentangt Peradilan Agama, ini selain diatur tentang
susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, juga didalamnya diatur tentang hokum
acara yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama. Tidak semua UU No 7 tahun
1989 ini mengatur tanteng hokum acara di lingkungan Peradilan Agama, artinya
sumber hokum acara yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama adalah hokum
acara yangh berlaku dilingkungan Peradilan Umum. Pada pasdal 54 UU No 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini.
Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum
diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut:
a. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)
Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan
Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat
ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan
beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.
b. Inlandsh Reglement (IR)

6
Superuser, ‘’Sumber Hukum Acara Peradilan Agama’’ https://pa-seirempah.go.id diakses pada
tanggal 11 Maret 2022, pukul 23.50

8
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan
Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali
perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya menjadi Het
Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia
yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan
Stb. 1941 nomor 44.
c. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan
Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka
Landraad.
d. Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW)
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku
ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.
e. Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang
Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan,
khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan
terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements
Verodering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.
f. Peraturan Perundang-undangan
1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal
banding bagi Peradilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa
diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.
2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman.
Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata
dalam praktek peradilan di Indonesia.
3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo
UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal
yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah
Agung .

9
4) Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang
diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang
susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta
prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.
5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor
9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan
tersebut.
6) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang
berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang
berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.
7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi
hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Wakaf.
g. Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan
Mahkamah Agung dan Keputusan Peradilan Tinggi yang diikuti oleh hakim
lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia
tidak menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas
memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.
h. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum
acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum
acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi
hakim.
Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim
sebagaimana Undang-undang.
i. Kitab-kitab Fiqh Islam dan Sumber Hukum tidak tertulis lainnya. Doktrin
atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat
menggali hukum acara perdata. Doktrin itu bukan hukum, melainkan sumber

10
hukum.12 Dalam memutuskan perkara para Hakim Pengadilan Agama
dianjurkan agar mempergunakan fiqh sebagai pedoman sumber hukum acara
yang diantaranya adalah: Al Bajuri, Fatchul Mu’in, Syarqowi at-Tahrir,
Qalyubi/Mahalli, Fathul Wahab dan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq,
dan sebagainya.
C. Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum
Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku di Lingkungan Peradilan
Agama adalah hukum acara yang berlaku di lingkungan umum, kecuali hal-hal
yang telah di atur secara khusus dalam peraturan tersebut.
Hal-hal yang telah diatur khusus, antara lain :
Gugatan dalam perkara cerai talak dan cerai gugat diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon atau
tergugat, kecuali apabila termohon atau tergugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon atau penggugat,
gugatan diajukan di tempat tinggal penggugat (Pasal 73 & 66 Undang-Undang No.
7 Tahun 1989).
Pemanggilan bagi tergugat ghaib (tidak jelas alamatnya di Indonesia) maka
pemanggilannya dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa
surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. Pengumuman
dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman
pertama dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan
ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan. Jika tergugat tidak hadir gugatan diputus
dengan tanpa hadirnya tergugat (verstek). (Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975).
Pemeriksaan perkara perceraian (baik cerai gugat atau cerai talak) dilakukan secara
tertutup, sedangkan pembacaan putusan tetap dilakukan dalam sidang terbuka
untuk umum (Pasal 33 & 34 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989).Kecuali
Pembacaan Putusan

11
Perdamaian wajib dilaksanakan oleh hakim dalam perkara perceraian pada setiap
saat sidang dilakukan sampai perkara diputus. Pada sidang pertama suami isteri
harus dating secara pribadi dalam sidang perdamaian tersebut, kecuali salah satu
pihak berada di luar negeri dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus
dilakukan untuk keperluan tersebut (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989).
Gugatan dalam bidang perceraian wajib menghadirkan keluarga atau
orang dekat masing-masing pihak untuk diminta keterangan dan sekaligus dijadikan
saksi dalam perkara tersebut. (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Jo
76 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989).
Gugatan LI’AN terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina atau mengingkari
anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri
menolak tuduhan dan atau mengingkarin tersebut.
Tata caranya sebagai berikut :
 Suami bersumpah empat kali dengan tuduhan zina dan atau pengingkaran
anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas
dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.
 Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah
empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak
benar”, diikuti sumpai kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya
bila “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”.
 Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
 Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka
dianggap tidak terjadi li’an.
 Biaya perkara dalam sidang perkara perkawinan dibebankan kepada
penggugat atau pemohon, bukan pada pihak yang kalah.
 Ikrar Talak
 Kumulasi Perkara
Qulu.Qulu istri mengajukan talak dengan membayar sejumlah uang (uang iwald)
untuk diberikan suami(sighot taklik talak)apabila dilanggar suami.Talak yang di

12
ucapkan sumai atas tebusan istri.kalau qului dibayar kan kepada lembaga social Rp
10000 karena melanggar sighot taklik talak.
Hukum acara adalah rangkaian aturan yang mengatur tata cara
mengajukan suatu perkara ke suatu badan peradilan (pengadilan), serta cara-cara
hakim memberikan putusan. Hukum acara mengatur cabang-cabang hukum yang
umum, seperti hukum acara pidana dan perdata. Masing-masing negara yang
memiliki yurisdiksi dan kewenangan mahkamah yang beragam memiliki aturan
yang berbeda-beda mengenai hukum acara.
Meskipun memiliki aturan yang berbeda-beda, umumnya hukum acara di
seluruh dunia memiliki unsur-unsur yang serupa. Hukum acara memastikan hukum
ditegakkan secara adil dan semestinya. Hukum acara mengatur tata cara
pendakwaan, pemberitahuan, pembuktian, dan pengujian hukum materil demi
terlaksananya hukum.
M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata (hal. 180-181)
mengatakan bahwa hukum acara peradilan agama dengan hukum acara peradilan
umum yang berada di bawah Mahkamah Agung ini merupakan penyelenggara
kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh karena itu, secara konstitusional
bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to
enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara (state
court system).

13
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan.
Sedangkan pengertian Hukum Formil menunjukkan cara mempertahankan atau
menjalankan peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil itu
menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim sebagai contoh hukum kebiasaan
Secara umum,sumber hukum ada 2 macam: Sumber Hukum Materiil : yaitu
tempat darimana materi (isi )hukum diambil. dapat dikatakan darimana bahan
hukum diambil. Sumber hukum Formil : tempat darimana mengambil hukum
dengan melihat cara terjadinya atau bentuknya.
Serta Peradilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur tentang
bagaimana menaati dan melaksanakan hukum perdata material dengan perantaraan
Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak
atau permohonan dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum perdata materiel
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.

B. Saran
Perlu dibentuk hukum formil/acara khusus Peradilan Agama karena ada
beberapa hukum materiil Peradilan agama memiliki spesifikasi sendiri yang
berbeda dengan hukum materiil yang menjadi kewenangang Peradilan Umum.
Kami dari kelompok pemakalah/penulis berharap diberi arahan jika
terdapat kesalahan dalam penyampaian/penulisan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Arto, A. Mukti. 1996. Praktek Peradilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Djalil, A Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencan.
Sudyawati, Lina. 2011. "Asas dan Sumber Hukum Acara Peradilan Agama"
http://linasudyawatidiantara.blogspot.com/2011/07/asas-dan-sumber-
hukum-acara-peradilan.html. diakses pada tanggal 10 Maret 2022 pukul
21.39
Superuser. "Sumber Hukum Acara Peradilan Agama" http://pa-seirempah.go.id.
diakses pada tanggal 11 Maret 2022 pukul 23.50
Wahyuni, Enita. 2015. "Hukum Materil dan Formil di Peradilan Agama",
http://enitawahyuni. Blogspot.com" diakses pada tanggal 09 Maret 2022
pukul 14.30

15

Anda mungkin juga menyukai