A. Teks Ayat
1. Surat Ali Imran/3: 145
اب اآْل ِخ' َر ِة نُْؤ تِ' ِه ِم ْن َه''ا َ س َأنْ تَ ُموتَ ِإاَّل بِِإ ْذ ِن هَّللا ِ ِكتَابًا ُمَؤ َّجاًل َو َمنْ يُ ِر ْد ثَ َو
َ اب ال ُّد ْنيَا نُْؤ تِ ِه ِم ْن َه''ا َو َمنْ يُ' ِر ْد ثَ' َو ٍ َو َما َكانَ لِنَ ْف
َسنَ ْج ِزي الشَّا ِك ِرين
َ َو
۬ ۬ ۗ وج م
س'يَِّئةٌ يَقُولُ'و ْا ِ سنَةٌ يَقُولُ'و ْا ه َٰـ ِذ ِهۦ ِم ۡن ِعن' ِد ٱهَّلل ِۖ َوِإن ت
َ ُۡص' ۡب ُهم َ ص ۡب ُهمۡ َح َ ُّ ٍ ۬ َأ ۡينَ َما تَ ُكونُو ْا يُ ۡد ِرك ُّك ُم ۡٱل َم ۡوتُ َولَ ۡو ُكنتُمۡ فِى بُ ُر
ِ ُشيَّ َد ۬ ٍة َوِإن ت
ً۬
(۷۸ )ك قُلۡ ُك ۬ ٌّل ِّم ۡن ِعن ِد ٱهَّلل ِۖ فَ َما ِل َه ٰـ ُٓؤآَل ِء ۡٱلقَ ۡو ِم اَل يَ َكادُونَ يَ ۡفقَهُونَ َح ِديثا
َۚ َه ٰـ ِذ ِهۦ ِم ۡن ِعن ِد
۬ ۬ ۡ ۡ ۬ ۬
( ۷۹ )سوالًۚ َو َكفَ ٰى بِٱهَّلل ِ ش َِہي ًدا ُ س َر ِ سلنَ ٰـ َك لِلنَّاَ سكَۚ َوَأ ۡر
ِ سيَِّئ ٍة فَ ِمن نَّفَ صابَ َك ِمن َ سنَ ٍة فَ ِمنَ ٱهَّلل ِۖ َو َمآ َأ
َ صابَ َك ِم ۡن َح َ َّمآ َأ
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu,
maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. Al-Nisa’/4: 79)[2]
1. Asbabun nuzul ayat ini berhubungan dengan asbabun nuzul ayat sebelumnya yaitu “Dan
Muhammad hanyalah seorang rasul;...” Ibnu Munzir meriwayatkan dari Umar, dia berkata “
ketika peperangan Uhud, kami berpisah dengan Rasulullah. Lalu saya mendaki Gunung Uhud,
disana saya mendengar orang-orang berkata. ‘Muhammad telah terbunuh’. Maka saya membatin,
“ tak seorangpun mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh kecuali akan saya bunuh ”
Ketika saya perhatikan ke bagian bawah Gnung Uhud, saya melihat Rasulullah dengan orang-
orang sedang kembali. Lalu turun firman Allah, ‘Dan Muhammad hanyalah seorang rasul;...”.
2. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ar-rabi’, dia berkata “ketika kekalahan menimpa orang-orang
muslim dan mereka berteriak-teriak memanggil Rasulullah, orang-orang berkata, ‘Rasulullah
telah terbunuh.’ Maka sekelompok orang berkata, ‘seandainya dia seorang nabi, tentu tidak akan
terbunuh.’ Dan sekelompok orang lainnya berkata, ‘berperanglah demi sesuatu untuknya Nabi
kalian berperang, hingga Allah memenangkan kalian atau kalian menyusul beliau.’ Lalu Allah
menurunkan firmannya ‘Dan Muhammad hanyalah seorang rasul;...”.
Surat Al-Nisa’/4: 78-79
Seperti halnya asbabun nuzul ayat diatas, sebab-sebab turunnya ayat ini masih berhubungan
dengan ayat sebelumnya yaitu mengenai keengganan beberapa sahabat untuk berperang. An-
Nasa’i dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abdurrahman bin Auf dan beberapa
rekannya mendatangi Nabi saw, lalu mereka berkata “ Wahai nabi allah ketika kami masih
musyrik, kami adalah orang-oarang yangn mulia. Namun ketika kami beriman, kami menjadi
orang-orang yang hina.” Rasul pun bersabda “sesungguhnya akau diperintahkan untuk
memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musyrik itu.” Ketika Beliau hijrah ke
Madinah, Beliau diperintahkan untuk memerangi musuh, Namun orang-orang tadi
(Abdurrahman bin Auf dkk.) enggan melakukannya. Maka turunlah firman Allah “Tidakkan
engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari
berperang),...” hingga akhir ayat.
F. Tafsir al-Ayat
1. Surat Ali Imran/3: 145
Al-Biqa’i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumya dengan berkata bahwa
kematian pimpinan pendukung-pendukung suatu agama tidak wajar dijadikan sebab untuk
mengelak dari pertempuran dan meninggalkan medannya, kecuali jika kematian itu terjadi tanpa
izin Tuhan, pemilik agama itu.[3] Di sisi lain , meninggalkan medan perang tidak akan ada
manfaatnya kecuali jika itu menjadi sebab keselamatan. Kalau tidak demikian, dalam arti kalau
kematiannya tidak dapat terjadi kecuali atas izin-Nya, dan lari dari medan perang tidak menjadi
sebab panjang atau pendeknya usia, maka apa yang dilakukan oleh sebagian peserta perang Uhud
adalah sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Inilah pesan yang dikandung dalam ayat ini,
yakni sesuatu yang bernyawa makhluk apa pun ia, dan setinggi apa pun kedudukannya dan
kemampuannya tidak akan mati dengan satu dan lain sebab melainkan dengan izin Allah, yang
memerintahkan kepada malaikat maut untuk mencabut nyawanya, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya sehingga tidak akan bertambah usia itu dengan lari dari peperangan tidak
juga berkurang bila bertahan dan melanjutkan perjuangan.
Firman-Nya: ( َ) َو َما َكان dari segi bahasa pada mulanya berarti tidak wajar. Ketika kata itu
dikaitkan dengan kematian satu jiwa ( َس َأنْ تَ ُموت ٍ ) لِنَ ْف, maka terjemahannya secara harfiah adalah
“Tidak wajar satu jiwa mati ..” redaksi ini menimbulkan pertanyaan, karena jika anda berkata:
“Tidak wajar yang ini”, maka akan timbul pertanyaan, “Apa yang wajar?” dan ketika itu terkesan
adanya pilihan. Nah, sekali lagi timbul pertanyaan: “Apakah ada yang wajar atau tidak wajar
untuk menentukan datangnya kematian? Adakah pilihan bagi seseorang menyangkut kematian?”
Tentu saja jawabannya: “Tidak ada!” Jika demikian, mengapa ayat ini berbunyi seperti itu?
Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi memberi jawaban sebagai berikut: “Seandainya ada seseorang
yang akan membunuh dirinya , maka dia tidak akan mati (walau usahanya telah maksimal)
kecuali sudah izin Allah kepada malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Kalau yangn mau
membunuh diri saja tidak dapat mati kecuali seizin-Nya, maka lebih-lebih mereka yang
memelihara dirinya. Hal tersebut demikian, karena ajal telah ditentukan Allah, dan dengan
demikian, tidak wajar seseorang menghindar dari peperangan karena takut mati.”[4]
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheikh. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2. Kairo:
Mu-assasah Daar al Hilaal, 1994
Departeman Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema,
2009
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah. Volume 2. Jakarta: Lentera Hati, 2002
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia
Arkanleema, 2009), h. 68
[6] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, h. 358.
[7]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, h. 359
[8]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, h. 359