PEREMPUAN
BAB V
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
4' Achmad Fikri Rasyidi, Anotasi Putusan Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang;
Nomor Register Perkara: 396/Pid.B/201WPN.Cbd ‹Terdakwa Seng jfong Ang alias
Johan Bin Ang), Depok: MaPPI-FHUI, 2015, hlm. 19.
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau
manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas korban.
Untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang, yang mengatur
secara khusus tentang tindak pidana perdagangan orang untuk memperkuat
ketentuan tentang tindak pidana perdagangan wanita dan anak laki-laki
yang belum dewasa telah diatur dalam Pasal 297 KUHP dan Pasal 83
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
mengatur tentang larangan memperdagangkan, menjual atau menculik
anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, di mana ketentuan tersebut tidak
secara tegas memberikan rumusan tentang perdagangan orang, sehingga
diperlukan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang
perdagangan orang yang menjadi dasar hukum dalam penanganan segala
bentuk tindak pidana perdagangan orang.
8
janji-janji manis yang disampaikan pelaku kepada korban sehingga korban
termakan bujuk rayu, tipu muslihat pelaku. Adapun unsur perbuatan dan
sarana tersebut kemudian ditujukan pada suatu tujuan, yakni korban
menjadi tereksploitasi secara fisik misalnya bekerja keras di luar batas
waktu dan kemampuannya, atau tereksploitasi secara seksual misalnya di
tempat prostitusi atau tempat lain yang tidak semestinya dikerjakan oleh
korban.
9
mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik di tempat
baru, meskipun sebenamya hal tersebut hanyalah tipu muslihat dari pelaku.
Ditinjau dari pendekatan sosiologis, bahwa perdagangan orang
{trafficking) berkaitan dengan teori penyimpangan, yaitu konsep sosialisasi
dan konsep anomi. Dikaji dari konsep sosialisasi bahwa di dalam suatu
masyarakat selaku ada norma inti dan nilai-nilai tertentu yang disepakati
oleh segenap anggota masyarakat, di mana perilaku sosial masyarakat
dipengaruhi oleh norma dan nilai-nilai yang dihayatinya. Adapun
penyimpangan seperti traffıcking dapat terjadi karena adanya gangguan
atau disrupsi pada proses-proses penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
dalam perilaku seseorang. Bilamana sebagian besar lingkungan sosial
seseorang melakukan terjadi perbuatan yang bertentangan dengan nilai-
nilai yang dihayati atau penyimpangan sosial, maka kemungkinan orang
itu akan menjadi menyimpang pula. 44
Pandangan yang keliru oleh sebagian besar anggota masyarakat
telah menyebabkan kegiatan perdagangan orang menjadi suatu hal yang
biasa dalam kehidupan masyarakat. Awalnya perdagangan orang
merupakan hal yang bam bagi anggota masyarakat, lambat laun karena
kegiatan perdagangan orang sering kali dilakukan oleh anggota
masyarakat, kemudian diikuti oleh anggota masyarakat yang lain sehingga
hal tersebut menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan mereka sehingga
menjadi suatu kebiasaan umum {common sense) dan tidak menjadi suatu
permasalahan bagi mereka. Sebagai contoh, praktik-praktik penyeludupan
tenaga kerja migran secara ilegal keluar negeri yang awalnya merupakan
hal yang baru bagi masyarakat, namun karena praktik tersebut sering
dilakukan oleh sebagian besar anggota masyarakat di suatu daerah, maka
akan menjadi kebiasaan masyarakat, sehingga mereka menganggap hal
tersebut adalah hal yang biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Dari konsep sosialisasi tersebut, maka perdagangan orang diprediksi
dan dianggap sebagai hasil sosialisasi dari adanya kontak dengan
kelompok pelakunya, kemudian melibatkan berbagai anggota masyarakat
termasuk orang-orang penting melalui sosialisasi bertahap sehingga
terbentuk jaringan hubungan sosial fungsional mulai dari tempat terjadinya
10
eksploitasi dan tindak kekerasan sampai pada daerah tempat perekrutan
korban. Prediksi int menegaskan bahwa sumber awal terjadinya
perdagangan orang adalah individu atau kelompok yang berperilaku
menyimpang atau mengalami disorganisasi perilaku yang dianggap normal
apabila melakukan perdagangan orang tersebut, yaitu para pelaku
perdagangan orang di tempat hiburan sebagai pencetus awal dan
pemesanan korban eksploitasi. 4’
Pelaku perdagangan orang yang sudah terbiasa hidup dengan
perilaku menyimpang misalnya bekerja pada tempat hiburan malam di
suatu daerah tertentu yang pada umumnya tidak mempersoalkan aktivitas
hiburan malam tersebut, menganggap bahwa praktik-praktik
mempekeijakan perempuan di tempat hiburan malam merupakan hal yang
biasa saja, dan kemudian untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di
tempat hiburan tersebut, maka pelaku perdagangan orang akan berupaya
merekrut tenaga kerja barn yang berasal dari daerah lain yang awalnya
menganggap pekerjaan di tempat hiburan malam merupakan pekerjaan
yang tidak biasa dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat.
Namun karena pelaku perdagangan orang telah mendekati dan
mempengaruhi tokoh yang berperan penting dalam masyarakat tersebut
dengan menggunakan berbagai cara misalnya dengan memberikan fasilitas
tertentu maka akan dengan mudah mempengaruhi pandangan masyarakat
yang berada di daerah tersebut untuk melancarkan praktik perdagangan
orang.
Selanjutnya, dikaitkan dengan konsep anomi, yaitu adanya ketiadaan
norma merupakan gambaran sebuah masyarakat yang memiliki banyak
norma dan nilai yang satu sama lain saling bertentangan, sehingga tidak
terdapat seperangkat norma atau nilai yang dipatuhi secara teguh, luas dan
mampu mengikat masyarakat, sehingga anomi dapat terjadi dalam
masyarakat karena tidak memiliki pedoman nilai yang jelas untuk
digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan. Berdasarkan hal tersebut,
maka perdagangan orang timbul sebagai akibat adanya kecenderungan
anomi, di mana sebagian besar warga masyarakat, yakni para pelaku
perdagangan orang tidak memiliki pedoman yang jelas sebagai pegangan
11
dalam usaha untuk memperoleh kesejahteraan secara ekonomi. Dalam arti
lain, perdagangan orang terjadi karena ketidakharmonisan antara
masyarakat sebagai pencari kerja untuk kelangsungan hidupnya dengan
sumber pekerjaan dengan kebutuhan masyarakat. 46
Berdasarkan konsep anomi tersebut di atas, bahwa tindakan yang
dilakukan pelaku perdagangan orang dipengaruhi oleh norma-norma atau
nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat yang menjadi pedoman
dan pegangan bagi warga masyarakat untuk menjalankan berbagai
aktivitas kehidupannya sehari-hart. Norma atau nilai-nilai tersebut
misalnya mengatur tentang hal-hal apa yang pantas atau tidak pantas untuk
dikeijakan oleh anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Awalnya masyarakat memegang teguh nilai-nilai tersebut dalam
kehidupannya, namun lambat-laun, karena keterbatasan lapangan
pekerjaan dibandingkan dengan jumlah anggota masyarakat, maka akan
mengubah pandangan hidup masyarakat bahwa pekerjaan apapun tidak
menjadi persoalan asalkan mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pandangan inilah yang mendasari pelaku perdagangan orang
untuk melegalkan praktik-praktik perdagangan orang dalam kehidupan
masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, di atas berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh United Nations Global Initiative to Fight Human
Trafficking, mengungkapkan bahwa sebab-sebab umum terjadinya praktik-
praktik perdagangan orang (trafficking) dalam kehidupan masyarakat di
berbagai belahan dunia, yaitu sebagai berikut: 4’
1. Kekerasan berbasis gender;
2. Praktik-praktik ketenagakerjaan yang diskriminatif;
3. Struktur sosial yang patriarkal;
4. Memudarnya jaringan ikatan keluarga;
5. Marginalisasi etnik, ras dan agama;
6. Pemerintahan yang korup dan gagal;
12
7. Persoalan status (sebagai warga negara atau penetap legal yang
berkaitan dengan kerja);
8. Peran dan posisi perempuan dalam keluarga;
9. Hierarki kekuasaan dan tertib sosial;
10. Tanggung jawab dan peran anak-anak;
11. Menikah dini;
12. Tingginya laju perceraian dan stigma sosial yang menyertainya;
13. Rusaknya perkembangan kepribadian;
14. Terbatasnya prestasi atau pencapaian pendidikan, dan
15. Terbatasnya kesempatan ekonomi.
Dari sebab-sebab terjadinya perdagangan orang tersebut di atas,
antara lain sebab yang berasal dari dalam diri korban itu sendiri misalnya
karena terjadinya pemikahan dini oleh korban sehingga tidak mempunyai
kematangan emosional dan tingkat ekonomi yang matang dan diperburuk
dengan rendahnya tingkat pendidikan sehingga mempengaruhi cara
pandang dan berpikir ketika menjalani kehidupan dalam keluarganya yang
kemudian dapat memicu terjadinya perceraian karena kehidupan rumah
tangga yang tidak harmonis. Selain itu, sebab yang berasal dari
masyarakat, yakni budaya masyarakat yang memperlakukan perempuan
secara diskriminatif misalnya peran perempuan dalam masyarakat dan
dominasi kaum laki-laki yang tidak memberikan akses yang baik kepada
kaum perempuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sebab lain
yang berasal dari pemerintah antara lain keterbatasan lapangan kerja yang
diciptakan oleh pemerintah, lemahnya pengawasan terhadap praktik-
praktik perdagangan orang, serta upaya penegakan hukum yang belum
maksimal.
Jika dikaji secara lebih detail dari konteks kehidupan sosial
masyarakat, maka faktor pendorong terjadinya perdagangan orang
berkaitan dengan individu, keluarga dan sistem sosial masyarakat sekitar
korban perdagangan orang. Faktor yang berasal dari individu untuk
bekerja ke luar daerah atau ke luar negeri berkaitan dengan alasan
kesulitan ekonomi dan keinginan hidup layak, terobsesi oleh teman-
temannya yang pernah bekerja keluar daerah atau keluar negeri yang
secara fenomenal telah berhasil meningkatkan kesejahteraan hidupnya,
terobsesi oleh adanya penawaran untuk bekerja dengan persyaratan yang
13
ringan dan mudah serta iming-iming gaji dan berbagai fasilitas yang akan
diterima apabila mau bekerja ke luar daerah atau ke luar negeri. Hal ini
berkaitan dengan karakter individu yang saat int cenderung konsumtif dan
kurang memiliki kemampuan mendapatkan akses informasi tentang
kelembagaan yang berkaitan dengan rekrutmen tenaga kerja. 4'
Faktor individu tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan latar belakang ekonomi masing-masing individu, di mana
orang dengan tingkat pendidikan yang rendah biasanya mudah untuk
mengikuti ajakan, janji-janji atau iming-iming dari orang lain untuk
mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang banyak di daerah lain atau
bahkan di luar negeri sehingga orang itu menjadi tergiur atas tawaran
tersebut tanpa memikirkan matang-matang apakah hal tersebut benar
adanya. Seorang yang dengan tingkat pendidikan yang rendah kadang kala
tidak mempunyai pemahaman yang baik tentang proses rekrutmen tenaga
kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan tidak mempunyai tidak
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang lembaga yang dapat
dihubungi untuk mengecek apakah pekerjaan yang ditawarkan kepadanya
benar adanya dan tidak melanggar ketentuan hukum.
Selanjutnya faktor keluarga berkaitan dengan keadaan keluarga
korban yang berada pada garis kemiskinan misalnya keluarga buruh tani
dengan basis ekologi sawah yang sudah terintervensi lingkungan industri
yang pada awalnya cukup kuat, namun struktur keluarga di pedesaan mulai
termarginalisasi seiring perkembangan industri dan kawasan perumahan
sehingga kehidupan bertani tidak dapat lagi menunjang ketahanan keluarga
hingga akhirnya mengalami kesulitan ekonomi disertai dengan pengaruh
tuntutan kehidupan yang mendorong anggota keluarga termasuk
perempuan untuk bekerja di luar daerah. Demikian halnya faktor kondisi
sosial masyarakat yang saat ini mengalami degradasi terutama pada sistem
pengawasan masyarakat yang lemah, di mana kondisi struktur sosial
menjadi rapuh karena tidak adanya daya integrasi yang kuat
antarkelompok sosial masyarakat menyebabkan mudahnya terjadi
intervensi oleh pelaku trafficking dari luar masyarakat tersebut. 4’
4' M. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah (fö), Op cit, Mm. 141.
4’ Ibid, hlm. 141-142.
14
Faktor kondisi keluarga dapat menjadi faktor pendorong terjadinya
perdagangan orang, di mana kondisi ekonomi suatu keluarga yang berada
pada garis kemiskinan dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup
anggota keluarganya sehari-hart sehingga orang dalam keluarga tersebut
menjadi gampang mempercayai bujuk rayu dari orang lain meskipun
sebenamya hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataannya, namun orang
itu mudah terperdaya oleh rangkaian kebohongan dan keadaan palsu yang
sengaja dibuat oleh pelaku perdagangan orang. Hal tersebut kemudian
didukung dengan faktor kondisi sosial masyarakat, di mana lingkungan
masyarakat yang menganggap bahwa masalah dalam keluarga seseorang
merupakan tanggung jawab keluarga tersebut, dan kadang kala masyarakat
seolah tidak memperdulikan apa yang dialami oleh anggota masyarakat
yang lain sehingga lingkungan masyarakat tersebut dapat dengan mudah
untuk dimasuki dan dipengaruhi oleh pelaku perdagangan orang.
Kasus perdagangan orang di Indonesia, berdasarkan laporan tahun
yang dikeluarkan oleh Sekretariat Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada tahun 2018,
menemukan fakta adanya fenomena tindak pidana perdagangan orang yang
sering terungkap dalam persidangan di pengadilan, bahwa sebagian besar
korban tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual
(pelacuran dan pedofilia) dan bekerja pada tempat-tempat kasar dengan
upah rendah seperti di perkebunan, buruh, dan pekerja rumah tangga.
Banyak faktor menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang
antara lain kebiasaan merantau untuk memperbaiki nasib, kemiskinan dan
tingkat pendidikan rendah, tradisi mengawinkan anak usia muda, gaya
hidup kota yang konsumtif, kebiasaan menganggap pelacuran sebagai hal
yang lumrah, bisnis buruh migran berkembang menjadi industri yang
sangat menguntungkan, semakin meningkatnya kejahatan terorganisir,
diskriminasi dan persoalan gender, dan memenuhi kebutuhan narkoba. 50
Fakta-fakta tersebut di atas merupakan suatu fenomena sosial yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, di
mana korban perdagangan orang sering kali terjerumus dalam praktik-
15
praktik eksploitasi baik secara fısik, yakni dipekeıjakan pada tempat-
tempat yang tidak layak seperti menjadi buruh kasar dengan gaji yang
tidak sesuai dengan beban kerjanya, maupun eksploitasi secara seksual,
yakni dipekeıjakan pada tempat prostitusi yang kadang kala berkedok
tempat hiburan malam seperti karaoke, spa, diskotek, bar dan sebagainya
untuk mengelabui korban sehingga bersedia untuk mengikuti tawaran
pekerjaan dari pelaku. Setelah mengetahui bahwa pekerjaan yang
ditawarkan oleh pelaku tidak sesuai, korban berusaha untuk melawan atau
menolak, namun karena berada dalam penguasaan pelaku atau
ketergantungan ekonomi sehingga korban akhimya mengikuti kehendak
pelaku.
16
tidak ada persetujuan ‹consernt), paksaan atau eksploitasi dan lintas batas
‹across border). 5'
Perempuan dan anak merupakan pihak yang sering menjadi korban
perdagangan orang, karena anak dan perempuan termasuk dalam kategori
rentan disebabkan posisi anak dan perempuan yang lemah, tidak
mempunyai daya atau kekuatan untuk melawan tindakan pelaku,
keterbatasan pengetahuan dan akses informasi untuk melaporkan apabila
mengalami tindakan perdagangan orang kepada pihak atau instansi yang
berwenang. Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang menempatkan anak
khususnya perempuan berada di bawah subordinasi laki-laki
mengakibatkan perempuan menjadi tidak berdaya dan bahkan menjadi
termarginalisasi, sehingga perempuan kehidupan perempuan menjadi
terbelakang dan mudah menjadi korban perdagangan orang.
Secara umum bentuk-bentuk perdagangan orang ‹tafficking)
khususnya yang sering terjadi pada anak perempuan dalam masyarakat,
yaitu sebagai berikut: ’2
1. Perdagangan anak perempuan dengan tujuan sebagai pembantu
rumah tangga;
2. Perdagangan anak perempuan sebagai pekerja di tempat-tempat
hiburan atau usaha lain;
3. Perdagangan anak perempuan sebagai pekerja seks;
4. Perdagangan anak perempuan dengan tujuan untuk industri
pornografi dengan dalih menjadi model iklan, artis atau menyanyi;
5. Eksploitasi anak perempuan untuk dipekerjakan sebagai pengedar
obat terlarang dengan terlebih dahulu menjadikan korban dalam
ketergantungan obat terlarang;
6. Buruh migran;
7. Perempuan yang dikontrak untuk perkawinan guna mendapatkan
keturunan;
8. Perdagangan bayi yang dilakukan dalam beberapa bentuk, yaitu
penculikan bayi, penculikan ibu yang tengah hamil, mengikat orang
tua bayi dengan utang piutang sehingga harus menyerahkan anaknya
secara terpaksa, praktik klinik bersalin terselubung;
17
9. Perdagangan anak perempuan dengan tujuan dipekeijakan di jermal
(alat penangkap ikan di laut);
10. Eksploitasi anak perempuan sebagai pengemis.
Bentuk-bentuk perdagangan orang terhadap anak khususnya
perempuan tersebut di atas dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan
berbagai macam modus operandi agar korban mengikuti keinginan pelaku,
yakni dengan menjanjikan akan bekerja menjadi pembantu rumah tangga,
tempat-tempat hiburan padahal usia anak perempuan belum dewasa, dan
bahkan korban dimasukan dalam tempat prostitusi di mana hal tersebut
yang berbeda dengan pekerjaan yang dijanjikan oleh pelaku. Perempuan
juga sering direkrut oleh sindikat peredaran gelap narkotika menjadi
perantara atau kurir Narkotika untuk mengantarkan narkotika ke suatu
tempat dengan iming-iming akan mendapatkan imbalan uang yang besar
sehingga perempuan termakan bujuk rayu pelaku. Di kota besar seperti
Jakarta, anak perempuan seringkali direkrut dan dieksploitasi oleh pelaku
untuk menjadi pengemis atau pengamen dengan tujuan mendapatkan uang.
Berkaitan dengan bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, telah mengatur jenis-jenis perbuatan terlarang
yang dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang, yaitu
sebagai berikut:
1. Perbuatan berupa perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
di wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 2 ayat 1);
2. Perbuatan memasukkan orang ke wilayah Negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah Negara
Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain (Pasal 3);
3. Perbuatan membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara
Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar
wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 4);
18
4. Perbuatan melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan
sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk
dieksploitasi (Pasal 5);
5. Perbuatan melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri
dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut
tereksploitasi (Pasal 6);
6. Perbuatan yang berhubungan langsung dengan tindak pidana
perdagangan orang, yaitu:
a. Perbuatan yang termasuk dalam Pasal 2 s.d. 6 yang mengakibatkan
korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular
lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu
atau hilangnya fungsi reproduksinya (Pasal 7);
b. Perbuatan penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan
sehingga terjadi tindak pidana perdagangan orang (Pasal 8);
C. Perbuatan berusaha menggerakan orang lain supaya melakukan
tindak pidana perdagangan orang (Pasal 9);
d. Perbuatan yang membantu atau melakukan percobaan untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 10);
e. Perbuatan merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 11);
f. Perbuatan menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau
perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan
orang, mempekeıjakan korban tindak pidana perdagangan orang
untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan
dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana (Pasal 12);
g. Tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh korporasi
(Pasal 13 s.d. Pasal 15);
h. Tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh kelompok
terorganisasi (Pasal 16);
i. Tindak pidana perdagangan orang terhadap anak (Pasal 17);
7. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
perdangangan orang, yaitu:
a. Memberikan keterangan palsu atau membuat dokumen palsu (Pasal
19);
19
b. Memberikan keterangan palsu atau alat bukti palsu di sidang
pengadilan (Pasal 20);
c. Penyerangan fisik di sidang pengadilan (Pasal 21);
d. Mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan
dan persidangan (Pasal 22);
e. Membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang (Pasal
23);
f. Perbuatan memberi tahu identitas saksi atau korban (Pasal 24).
20
Pemerintah, Pemerintah daerah, masyarakat dan keluarga wajib mencegah
terjadinya tindak pidana perdagangan orang, di mana Pemerintah dan
Pemerintah daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan
mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan
penanganan masalah perdagangan orang.
Selanjutnya ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
menyatakan bahwa untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil
langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana
perdagangan orang, dan untuk mengefektifkan dan menjamin langkah-
langkah yang ditempuh tersebut, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah
membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah,
penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, dan peneliti/akademisi yang bertugas untuk
mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana
perdagangan orang, melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan dan
kerja sama, memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban
meliputi rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi sosial, memantau
perkembangan pelaksanaan penegakan hukum serta melaksanakan
pelaporan dan evaluasi.
Selain itu, untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pasal 59 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, mengamanatkan Pemerintah untuk melaksanakan
kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun
multilateral dalam bentuk peijanjian bantuan timbal balik dengan masalah
pidana atau kerja sama teknis lainnya. Selanjutnya, upaya pencegahan
tindak pidana perdagangan orang juga melibatkan peran serta dari
masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 60, bahwa masyarakat
berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban
tindak pidana perdagangan orang yang diwujudkan dalam bentuk
memberikan informasi atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan
orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib atau turut serta
dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.
21
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk menanggulangi
terjadinya tindak pidana perdagangan orang (trafficking), dapat dilakukan
dengan beberapa cara atau bentuk tindakan nyata dalam kehidupan antara
lain sebagai berikut: 54
1. Meningkatkan fungsi sistem pengawasan sosial formal dan informal
di lingkungan masyarakat pencar kerja melalui pemberdayaan
berbagai kelompok atau organisasi sosial setempat;
2. Ditingkatkannya peran masyarakat dalam mengakses sistem
informasi tentang PJTKI ilegal sampai ke tingkat masyarakat bawah
pencari kerja di pedesaan;
3. Diwajibkan pada para pencari kerja untuk melapor pada aparat
setempat tingkat RT, RW, Desa dan Kecamatan untuk dibuatkan
surat jalan;
4. Setiap pencari kerja diharuskan mendaftar langsung ke Disnaker dan
tidak melalui PJTKI, dengan catatan PJTKI yang berada di wilayah
operasi Kabupaten harus sudah terdaftar di Disnaker setempat;
5. Mendata semua PJTKI yang berada di wilayah operasi Kabupaten
setempat guna menyeleksi PJTKI yang legal dan ilegal;
6. Setiap adanya lowongan pekerjaan baik di dalam maupun di luar
negeri harus dilaporkan ke Disnaker setempat.
Bentuk-bentuk upaya untuk mencegah terjadinya perdagangan orang
tersebut di atas kiranya dapat melibatkan seluruh komponen bangsa tidak
hanya dilakukan oleh unsur pemerintahan mulai dari tingkat RT, RW,
Desa/Kelurahan, Kecamatan hingga Kabupaten/Kota dan Provinsi, namun
juga melibatkan berbagai lapisan masyarakat misalnya peran serta dari
unsur masyarakat misalnya karang taruna, tokoh masyarakat, tokoh agama,
tokoh adat dan komponen lainnya sehingga dapat mencegah terjadinya
perdagangan orang sedini mungkin sejak dari tahap perekrutan di suatu
tempat atau daerah. Pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh
PJTKI juga dapat melibatkan organisasi non pemerintahan lainnya yang
berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat misalnya LSM pemerhati
anak dan perempuan atau yang konsen memberikan LSM yang konsen
terhadap masalah perdagangan orang sehingga tercipta suatu ketahanan
22
sosial dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan
orang.
23