PEREMPUAN
BAB VII
PIHAK-PIHAK DALAM PERLINDUNGAN ANAK
DAN PEREMPUAN
A. Negara.
Negara merupakan organisasi tertinggi di suatu wilayah atau daerah
tertentu yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
seluruh rakyatnya di mana pada umumnya negara terbentuk karena adanya
kesepakatan sosial atau kontrat sosial bersama dari seluruh warganya.
Suatu negara mempunyai unsur-unsur agar dapat diakui sebagai negara,
yakni pertama adanya wilayah atau daerah sebagai tempat di mana negara
itu berdiri dan berkuasa, kedua adanya rakyat sebagai warga negaranya
dan ketiga pemerintahan yang berdaulat untuk menyelenggarakan tugas,
fungsi dan tujuan negara, yakni mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Dengan kata lain bahwa dalam suatu
negara yang berdaulat terdapat alat-alat kelengkapan negara yang
menjalankan tugas-tugas sesuai dengan bidangnya masing-masing yang
diberikan kewenangan menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara
itu dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh negara
tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa Indonesia adalah negara
hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UUD 1945, yang
secara eksplisit menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah
negara hukum, di mana negara hukum Indonesia merupakan negara hukum
tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Pancasila sebagai jiwa bangsa
Indonesia. Dalam negara hukum segala kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, berarti
bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan ketentuan
hukum, termasuk pula segala aktivitas kehidupan warga negara dalam
kehidupannya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku tanpa
terkecuali. Hal lain yang terkandung dalam negara hukum adalah adanya
pemisahan kekuasaan, jaminan kepastian hukum serta perlindungan hak
asasi manusia setiap warga negara yang wajib untuk dihargai, dihormati
dan dilaksanakan.
Dalam konteks perlindungan terhadap hak asasi manusia setiap
warga negara, menurut instrumen hukum internasional tentang Hak Asasi
Manusia, bahwa negara merupakan komponen utama yang terlibat dalam
proses ratifikasi atau adopsi terhadap perjanjian-perjanjian yang mengatur
tentang Hak Asasi Manusia internasional. Oleh karena itu, melekat
tanggung jawab di dalamnya bahwa negara adalah subjek yang harus
memastikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara.
Dalam konteks ini, beragam perjanjian internasional yang mengikat
negara-negara pihak telah mengadopsi tiga kewajiban negara, yaitu
sebagai berikut: 6'
1. Kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), yaitu
memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk
pelanggaran terhadap HAM, contohnya negara melalui aparat
keamanan memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara
untuk tidak disiksa, tidak ditangkap secara sewenang-wenang dan
sebagainya;
2. Kewajiban untuk menghormati dan memajukan (obligation to
promote), yaitu negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan atau
peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan
hukum HAM, contohnya negara tidak mengeluarkan atau
memelihara kebijakan yang diskriminatif semisal peraturan yang
melarang agama tertentu dan sebagainya;
3. Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfil), yaitu negara harus
melakukan tindakan nyata, yakni dengan mengalokasikan anggaran,
menyusun program, membuat kebijakan-kebijakan dalam konteks
menjamin pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara dapat
beijalan dengan baik tanpa gangguan dan ancaman dari pihak mana
pun, contohnya memberikan pemulihan bagi setiap warga negara
yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.
B. Penegak Hukum.
Istilah penegak hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai
orang, badan atau lembaga yang membuat hukum menjadi tegak dalam hal
ini norma atau kaidah hukum dapat dipatuhi, ditaati dan dilaksanakan oleh
individu dalam aktivitasnya di masyarakat. Pandangan masyarakat awam
penegak hukum berarti aparat yang mempunyai tugas dan kewenangan
70 Ali Said dkk., Statistik Gender Tematik; Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan
dan Anak di Indonesia, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2017, hlm. 2-3.
untuk menjaga atau mempertahankan agar ketentuan hukum yang berlaku
dapat dilaksanakan dengan adil bagi siapa pun juga. Merujuk hal tersebut,
masyarakat pada umum mengenal penegak hukum itu antara lain polisi,
jaksa, hakim di pengadilan yang bertugas ketika terjadi pelanggaran
hukum dalam kehidupan masyarakat, sehingga orang yang melakukan
pelanggaran hukum tersebut dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Untuk mewujudkan tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian dan
kemanfaatan, maka hukum harus ditegakkan melalui serangkaian tindakan
atau kegiatan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang
mempunyai tugas dan kewenangan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan. Dalam lapangan hukum pidana, penegakan hukum
pidana dilaksanakan oleh penegak hukum terhadap setiap perbuatan yang
melanggar terhadap ketentuan hukum pidana materiil sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun ketentuan
dalam undang-undang tindak pidana khusus di luar KUHP, di mana dalam
pelaksanaannya berdasarkan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
undang-undang tindak pidana khusus lainnya di luar KUHAP sebagai
hukum acara yang mengatur bagaimana penegak hukum melaksanakan
dan menegakkan ketentuan hukum pidana materiil.
Penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum pidana
dilaksanakan dalam wadah sistem peradilan pidana yang dimulai sejak
tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap
pemeriksaan di sidang pengadilan hingga penjatuhan putusan oleh hakim
dan pelaksanaan putusan pengadilan. Sistem peradilan pidana yang
digariskan dalam KUHAP merupakan sistem peradilan pidana terpadu
{integrated criminal justice system) yang diletakan di atas landasan prinsip
diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan
tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-
masing lembaga penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan
untuk menegakkan, melaksanakan (menjalankan), dan memutuskan hukum
pidana. 7'
72 Topo Santoso, Polisi dan Jaksq Keterpaduan atau Pergulatan, Depok: Pusat Studi
Peradilan Pidana Indonesia, 2000, hlm. 23-24.
73 Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta: UH Pres, 2011,
hlm. 35.
hukum dengan menggunakan ketentuan hukum acara pidana (formil) yang
dimulai sejak tahap penyelidikan/penyidikan tindak pidana, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, penjatuhan putusan dan pelaksanaan
putusan pengadilan.
Sehubungan dengan penegakan hukum pidana, Penyidik diberikan
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur
tentang kewenangan Penyidik, yaitu menerima laporan atau pengaduan
tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama di tempat
kejadian perkara, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenalnya, melakukan upaya paksa, yaitu penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat,
mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil seseorang untuk
didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka, mendatangkan ahli
yang diperlukan dengan perkara, menghentikan penyidikan dan melakukan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Berdasarkan kewenangan Penyidik dalam penegakan hukum pidana
tersebut di atas, maka Penyidik mempunyai peranan yang signifikan dalam
upaya perlindungan terhadap anak dan perempuan dalam perkara pidana,
baik statusnya sebagai korban tindak pidana, sebagai saksi maupun sebagai
tersangka. Penyidik merupakan penegak hukum yang pertama kali
berhadapan langsung dengan anak dan perempuan dalam penanganan
suatu perkara pidana, misalnya ketika menerima laporan atau pengaduan
adanya suatu tindak pidana yang dialami oleh anak dan perempuan, maka
Penyidik dapat melakukan upaya-upaya untuk memberikan perlindungan
kepada perempuan dan anak yang korban suatu tindak pidana tersebut.
Sebaliknya, apabila perempuan dan anak dilaporkan atas dugaan
melakukan suatu tindak pidana, maka Penyidik dapat melakukan upaya
atau tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan tetap
memperhatikan serta memenuhi hak-hak anak dan perempuan selama
menjalani proses penyidikan.
Selanjutnya kewenangan Penuntut Umum menurut Pasal 14
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, yaitu menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan, mengadakan prapenuntutan dengan memberikan petunjuk
kepada penyidik, memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan, membuat surat dakwaan,
melimpahkan perkara ke pengadilan, menyampaikan pemberitahuan
kepada terdakwa dan saksi-saksi untuk datang di sidang pengadilan,
melakukan penuntutan, menutup perkara demi kepentingan hukum,
mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum, dan melaksanakan putusan hakim.
Demikian halnya Penyidik dalam penegakan hukum pidana,
Penuntut Umum juga mempunyai peranan dalam memberikan
perlindungan terhadap anak dan perempuan yang berhadapan dengan
hukum. Ketika menangani perkara yang melibatkan anak, Penuntut Umum
dapat melakukan tindakan diversi menurut ketentuan hukum yang berlaku,
atau tidak melakukan upaya penahanan selama proses penuntutan perkara
yang melibatkan anak tersebut, serta mempertimbangkan kondisi anak
pelaku tindak pidana tersebut pada saat mengajukan surat tuntutan di muka
persidangan. Penuntutan perkara anak dilaksanakan oleh Penuntut Umum
anak yang telah mempunyai pengalaman dalam menangani perkara anak
serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak
pelaku tindak pidana.
Kewenangan untuk mengadili perkara pidana di atur dalam Pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa mengadili adalah
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini. Sehubungan dengan kewenangan mengadili termasuk dalam lingkup
kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 angka 1
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1)
menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk menerima,
memeriksa dan memutus suatu perkara pidana, kedudukan hakim di
pengadilan mempunyai peranan dalam memberikan perlindungan terhadap
anak dan perempuan. Hakim dapat mengalihkan jenis penahanan terhadap
anak dari tahanan rutan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota dengan
pertimbangan anak tersebut tidak melarikan diri atau mempersulit jalannya
persidangan. Selama proses persidangan perkara anak, dipimpin oleh
Hakim anak yang telah mempunyai pengalaman dalam menangani perkara
anak, serta minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Dalam
menjatuhkan putusan kepada anak, hakim dapat mempertimbangkan
kondisi anak serta kepentingan terbaik bagi anak sehingga putusan yang
dijatuhkan tetap memperhatikan masa depan anak di masa yang akan
datang.
Selanjutnya pelaksanaan putusan pengadilan berupa perampasan
kemerdekaan dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pemasyarakatan
adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan
yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana. Lebih lanjut Pasal 2 menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan
diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri,
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Perlindungan terhadap anak dan perempuan dalam tahap
pelaksanaan putusan pemidanaan berupa hukuman penjara di lembaga
pemasyarakatan, dapat dilakukan oleh petugas Lapas dengan melakukan
pemisahan tempat menjalani pidana penjara bagi anak dan perempuan
dengan warga binaan lainnya untuk mencegah teŞadinya hal-hal yang
tidak diinginkan yang berdampak buruk bagi anak dan perempuan,
misalnya tindakan kekerasan fısik dan psikis terhadap anak, tindakan
pelecehan seksual terhadap anak atau perempuan oleh warga binaan
dewasa. Pemisahan tempat menjalani pidana bagi anak tersebut juga
bertujuan untuk menghindari agar anak tidak terpengaruh dengan warga
binaan lainnya yang terlibat dalam tindak pidana serius sehingga dapat
mempengaruhi psikologis dan perkembangan anak di masa yang akan
datang.
Selain lembaga penegak hukum sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, perlindungan terhadap perempuan dan anak khususnya yang
menjadi saksi atau korban dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 12A mengatur tentang
kewenangan LPSK dalam melaksanakan tugasnya memberikan
perlindungan kepada saksi dan korban, yaitu sebagai berikut:
1. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan
pihak lain yang terkait dengan permohonan;
2. Menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk
mendapatkan kebenaran atas permohonan;
3. Meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang
diperlukan dari instansi mana pun untuk memeriksa laporan
pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;
5. Mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
6. Mengelola rumah aman;
7. Memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih
C. Masyarakat.
Untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga memerlukan upaya yang komprehensif dengan melibatkan
Pemerintah dan seluruh komponen bangsa, di mana masyarakat
mempunyai peran untuk mencegah dan menangani korban kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
menyatakan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan
upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah
berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban,
memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan.
Ketentuan tersebut di atas mengamanatkan kewajiban setiap orang
dalam kehidupan masyarakat yang mendengar, melihat atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga untuk melakukan upaya-upaya
sesuai dengan kemampuannya misalnya mengamankan atau memisahkan
korban ke tempat yang lebih aman sehingga korban tidak mengalami
tindakan kekerasan lebih lanjut dari pelaku, membawa atau mengantarkan
korban ke pelayanan kesehatan terdekat apabila korban mengalami luka
atau cedera untuk segera mendapatkan pengobatan. Jika mampu,
masyarakat dapat segera mengamankan atau memisahkan pelaku dengan
korban agar pelaku tidak melanjutkan tindakan kekerasan yang dilakukan
kepada korban, dan kemudian melaporkan peristiwa tersebut kepada unsur
pemerintah setempat dan pihak kepolisian agar segera mendapatkan
penanganan lebih lanjut.
Selain peran masyarakat secara perseorangan dalam mencegah dan
menangani kekerasan dalam rumah tangga, masyarakat juga dapat
dilakukan dengan melibatkan diri secara aktif dalam upaya
penanggulangan kekerasan terhadap perempuan melalui organisasi
misalnya organisasi masyarakat, LSM, organisasi sosial atau organisasi
profesi dengan peran antara lain sebagai penghubung (mediator) antara
korban kekerasan terhadap perempuan dengan lembaga-lembaga pengada
layanan atau pemerintah, sebagai fasilitator dalam memberikan pencerahan
hak-hak perempuan sebagai warga negara yang harus mendapatkan
keadilan dan perlindungan, sebagai konselor dan pendamping dalam
membangun kepercayaan diri para korban kekerasan terhadap perempuan
agar tidak larut dalam trauma psikis yang dialami sehingga dalam jangka
panjang dapat pulih dan mampu mengembangkan potensi dirinya. Di
samping itu, masyarakat juga dapat berperan untuk mendorong pemerintah
mengembangkan kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak
perempuan. 74
Keberadaan organisasi kemasyarakatan, lembaga nonpemerintahan
atau LSM pemerhati masalah perempuan yang berada di tengah-tengah
kehidupan masyarakat mempunyai peranan yang signifikan dalam rangka
upaya penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dengan melakukan
upaya-upaya yang bersifat preventif misalnya kampanye di ruang publik
untuk menghentikan dan mencegah segala bentuk tindak kekerasan
terhadap perempuan, melakukan edukasi kepada masyarakat dalam bentuk
penyuluhan atau sosialisasi tentang bentuk-bentuk tindak kekerasan
terhadap perempuan dan upaya penanggulangannya, melakukan
pemantauan, monitoring, dan evaluasi terhadap pelaksanaan perlindungan
terhadap perempuan dalam berbagai perkara yang te adi dalam kehidupan
masyarakat sehingga mendapat penanganan yang optimal dari instansi
yang berwenang, serta memberikan saran dan masukan kepada pemerintah
berkaitan dengan upaya perlindungan terhadap perempuan.
Demikian halnya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
tindak pidana perdagangan orang yang te adi dalam kehidupan