Anda di halaman 1dari 27

HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN

PEREMPUAN

BAB VII
PIHAK-PIHAK DALAM PERLINDUNGAN ANAK
DAN PEREMPUAN

Seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan manusia di


segala bidang kehidupan telah membawa dampak bagi manusia itu sendiri
baik dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak positif, yakni
tumbuhnya pandangan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak anak dan
perempuan dalam menjalani segala aktivitas kehidupannya di berbagai
belahan dunia mengingat kedudukan anak dan perempuan merupakan aset
penting yang dimiliki oleh bangsa dan negara. Namun demikian, semangat
untuk dapat memberikan perlindungan terhadap anak dan perempuan
berbanding terbalik dengan maraknya kejadian atau peristiwa di mana
anak dan perempuan menjadi korban tindakan atau perbuatan yang dapat
merugikan anak dan perempuan itu sendiri misalnya kekerasan fısik,
eksploitasi secara fısik dan seksual, perlakuan yang diskriminasi dan
bentuk-bentuk perbuatan lainnya yang merampas hak-hak anak dan
perempuan.
Perkembangan masyarakat tersebut yang saat ini telah memasuki era
globalisasi dan semakin kuatnya wacana penegakan terhadap hak-hak asasi
manusia dalam setiap bidang kehidupan, namun menyangkut stigmatisasi
terhadap perempuan tampaknya masih kuat berakar dalam budaya
masyarakat. Pandangan yang dikotomis tersebut pada akhirnya membuat
perempuan tidak mudah untuk mengakses hak-haknya baik sebagai warga
negara maupun ketika perempuan menjadi korban dalam suatu kejahatan
misalnya dalam perkara kekerasan seksual atau perkosaan, di mana
perempuan menjadi korban, namun kadangkala sejak awal perempuan
dianggap turut berkontribusi terhadap kejahatan yang menimpanya
tersebut dan bahkan kadang perempuan sebagai korban dipersalahkan atas
kejahatan yang terjadi pada dirinya. 6'

63 Maidin Gultom, Op cit, hlm. 67.


Kehidupan masyarakat yang masih kental dengan budaya
merupakan suatu hal yang menyebabkan pemenuhan hak-hak perempuan
menjadi terabaikan, misalnya budaya patriarki yang menempatkan laki-
laki sebagai pihak yang dominan dalam kehidupan keluarga sehingga
membatasi perempuan untuk mendapatkan hak-haknya misalnya hak untuk
mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki, hak untuk bekerja dan
mengembangkan diri sesuai dengan minat dan bakatnya serta hak-hak
lainnya dalam kehidupan keluarga. Masyarakat juga masih menempatkan
perempuan di bawah subordinasi laki-laki, sehingga perempuan tidak
mempunyai kesempatan untuk menduduki posisi penting dalam kehidupan
masyarakat. Pandangan masyarakat lainnya, yakni stigmatisasi terhadap
perempuan, dan dianggap sebagai penyebab terjadinya tindak pidana
perkosaan yang menimpa perempuan tersebut.
Meskipun saat ini isu kekerasan terhadap perempuan telah terkuak
sebagai suatu masalah sosial yang serius, namun masih kurang mendapat
respons yang memadai baik dari Pemerintah, aparat penegak hukum
maupun masyarakat pada umumnya. Hal tersebut salah satunya disebabkan
karena secara mendasar kekerasan terhadap perempuan hanya dipahami
sebagai persoalan yang sifatnya domestik dan personal misalnya dalam
lingkup rumah tangga yang sering dikaitkan langsung dengan kepribadian
perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut dan sering mencari
hubungan dengan perilaku korban kekerasan yang dianggap menjadi andil
terjadinya kekerasan tersebut sehingga jika korban menginginkan
penyelesaian masalah yang menimpanya, dianggap cukup diselesaikan
secara pribadi oleh korban, atau diselesaikan secara kekeluargaan yang
berarti menghindari penanganan secara publik melalui jalur hukum. 64
Pemerintah diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap
perempuan dalam kehidupannya, di mana Pemerintah dapat melakukan
berbagai untuk menghapuskan sebagai bentuk tindakan kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan dengan mengeluarkan
berbagai peraturan perundang-undangan yang responsif terhadap isu-isu

^ Asmaul Khusnaeny dkk., Membangun Akses Keadilan bagi Perempuan Korban


Kekeras‹:ni; Perkembangan Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan
Kasus Kekerasan Terhadap Perempu‹:ni {SPPT-PKKTP), Jakarta: Komnas Perempuan,
2018, hlm. 22-23.
perlindungan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan,
mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis sebagai pedoman bagi
petugas pelaksana di lapangan yang bersentuhan langsung dengan
kehidupan masyarakat, menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang
memadai untuk memenuhi hak-hak perempuan serta melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
perempuan agar dapat beijalan sebagaimana mestinya.
Berkaitan dengan hal tersebut, bahwa pada dasarnya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan jaminan yang
harus diberikan oleh Negara kepada warga negaranya. Penghapusan
terhadap segala bentuk kekerasan merupakan salah satu wujud dari
perlindungan hak asasi manusia termasuk di dalamnya kekerasan terhadap
perempuan. Hal tersebut secara umum telah disepakati secara Internasional
yang dituangkan dalam berbagai konvensi internasional antara lain
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,
di mana Indonesia sebagai anggota PBB yang telah mengesahkan dan
meratifikasi konvensi tersebut sehingga berkewajiban untuk
mengejawantahkan ketentuan-ketentuan dalam konvensi untuk
menghapuskan segala bentuk diskriminasi yang secara serius menghambat
perempuan untuk menikmati kebebasan dan hak-haknya setara dengan
laki-laki. 65
Sebagai Negara pihak yang telah menandatangani dan meratifikasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), maka Negara
berkewajiban untuk menghormati, menghargai dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi tersebut dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara sehingga perempuan dapat
memperoleh hak-haknya dan terbebas dari segala bentuk diskriminasi
dalam kehidupannya antara lain tindakan perbedaan, pengucilan,
pembatasan atas dasar jenis kelamin yang dapat mengurangi atau

6’ Danielle Samsoeri dkk., Penegakan Hukum yang Berkeadilan Jender; Setahun


Program Penguatan Penegak hukum, Jakarta: Kurnia Sejati Untuk Paragraph, 2005,
hlm. 7.
menghilangkan pengakuan, pemenuhan hak-hak perempuan dalam bidang
ekonomi, politik, sosial, budaya, sipil berdasarkan prinsip persamaan
antara laki-laki dan perempuan.
Upaya untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
asasi perempuan khususnya yang menjadi korban kekerasan setidaknya
dapat diwujudkan dalam tiga aspek, yaitu pertama memastikan landasan
kebijakan yang secara substantif tidak bertentangan dengan hak-hak
korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan
jaminan ketidakberulangan, kedua peran aparatur penegak hukum yang
berkomitmen melakukan penegakan hukum dengan tetap memegang
prinsip-prinsip pemenuhan hak korban antara lain penghormatan dan
penegakan hak asasi manusia, nondiskriminasi dan ketiga memastikan
tahapan proses hukum dilakukan tanpa perbedaan suku, agama, ras dan
jenis kelamin, serta penerapan sanksi hukum yang benar-benar ditegakkan
tanpa ada stratifikasi karena jabatan sosial dan ekonomi.66
Selain itu, salah satu upaya perlindungan terhadap perempuan yang
merupakan kewajiban negara yang harus dipenuhi adalah pemberdayaan
perempuan dengan kegiatan-kegiatan yang produktif dalam kehidupannya
sehari-hart, mempromosikan partisipasi perempuan sebagai agen pembaru
dalam proses politik, kegiatan dalam bidang ekonomi dan sosial, kemitraan
antara perempuan dan laki-laki dalam arti terjadinya perubahan sikap,
perilaku dan pengisian peran laki-laki dan perempuan di berbagai bidang
kehidupan, usaha-usaha khusus yang dapat menghapus ketimpangan
gender di berbagai tingkatan/lapisan dalam masyarakat. Untuk itu, Negara
mempunyai kewajiban untuk membentuk kaidah-kaidah atau peraturan-
peraturan hukum sebagai dasar hukum yang memungkinkan setiap anggota
masyarakat termasuk perempuan untuk mengembangkan dirinya dalam
kehidupan masyarakat. 67
Kegiatan kampanye tentang perlindungan terhadap perempuan
termasuk dalamnya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan
terhadap perempuan dapat menjadi salah satu langkah efektif yang dapat
ditempuh oleh Pemerintah bersama-sama dengan berbagai komponen
bangsa lainnya agar dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman

66 Asmaul Khusnaeny dkk., Op vit, hlm. 85.


67 Maidin Gultom, Op cit, hlm. 81.
kepada masyarakat luas urgensi perlindungan hak-hak perempuan
sehingga diharapkan dapat memberikan pengetahuan, pemahaman yang
dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat berkaitan dengan
perlindungan terhadap perempuan. Kegiatan yang bersifat promotif
tersebut dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan dengan
melibatkan masyarakat untuk turut berperan aktif sehingga dapat
menumbuhkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap upaya
perlindungan terhadap perempuan dalam kehidupan masyarakat.

A. Negara.
Negara merupakan organisasi tertinggi di suatu wilayah atau daerah
tertentu yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
seluruh rakyatnya di mana pada umumnya negara terbentuk karena adanya
kesepakatan sosial atau kontrat sosial bersama dari seluruh warganya.
Suatu negara mempunyai unsur-unsur agar dapat diakui sebagai negara,
yakni pertama adanya wilayah atau daerah sebagai tempat di mana negara
itu berdiri dan berkuasa, kedua adanya rakyat sebagai warga negaranya
dan ketiga pemerintahan yang berdaulat untuk menyelenggarakan tugas,
fungsi dan tujuan negara, yakni mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Dengan kata lain bahwa dalam suatu
negara yang berdaulat terdapat alat-alat kelengkapan negara yang
menjalankan tugas-tugas sesuai dengan bidangnya masing-masing yang
diberikan kewenangan menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara
itu dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh negara
tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa Indonesia adalah negara
hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UUD 1945, yang
secara eksplisit menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah
negara hukum, di mana negara hukum Indonesia merupakan negara hukum
tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Pancasila sebagai jiwa bangsa
Indonesia. Dalam negara hukum segala kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, berarti
bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan ketentuan
hukum, termasuk pula segala aktivitas kehidupan warga negara dalam
kehidupannya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku tanpa
terkecuali. Hal lain yang terkandung dalam negara hukum adalah adanya
pemisahan kekuasaan, jaminan kepastian hukum serta perlindungan hak
asasi manusia setiap warga negara yang wajib untuk dihargai, dihormati
dan dilaksanakan.
Dalam konteks perlindungan terhadap hak asasi manusia setiap
warga negara, menurut instrumen hukum internasional tentang Hak Asasi
Manusia, bahwa negara merupakan komponen utama yang terlibat dalam
proses ratifikasi atau adopsi terhadap perjanjian-perjanjian yang mengatur
tentang Hak Asasi Manusia internasional. Oleh karena itu, melekat
tanggung jawab di dalamnya bahwa negara adalah subjek yang harus
memastikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara.
Dalam konteks ini, beragam perjanjian internasional yang mengikat
negara-negara pihak telah mengadopsi tiga kewajiban negara, yaitu
sebagai berikut: 6'
1. Kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), yaitu
memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk
pelanggaran terhadap HAM, contohnya negara melalui aparat
keamanan memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara
untuk tidak disiksa, tidak ditangkap secara sewenang-wenang dan
sebagainya;
2. Kewajiban untuk menghormati dan memajukan (obligation to
promote), yaitu negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan atau
peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan
hukum HAM, contohnya negara tidak mengeluarkan atau
memelihara kebijakan yang diskriminatif semisal peraturan yang
melarang agama tertentu dan sebagainya;
3. Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfil), yaitu negara harus
melakukan tindakan nyata, yakni dengan mengalokasikan anggaran,
menyusun program, membuat kebijakan-kebijakan dalam konteks
menjamin pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara dapat
beijalan dengan baik tanpa gangguan dan ancaman dari pihak mana
pun, contohnya memberikan pemulihan bagi setiap warga negara
yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.

6' Chrisbiantoro, Kewajiban Negara dalam Penanganan Kasus-Kasus Pelanggaran IIANI


dan Pelanggaran IIANI yang Berat di Indonesia, Jakarta: Kontras, 2014, hlm. 2-3.
Dari uraian kewajiban dalam ketentuan hukum internasional tersebut
di atas, mengamanatkan kewajiban negara pihak untuk melindungi hak
asasi manusia setiap warga negara oleh alat-alat perlengkapan negara
melalui berbagai upaya antara lain perlindungan dari tindakan penyiksaan,
penangkapan, penahanan, serta upaya paksa lainnya yang tidak sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku dan bentuk-bentuk tindakan lain
akibat dari penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum. Selain itu,
negara berkewajiban untuk menghormati dan memajukan hak asasi
manusia dengan mengeluarkan berbagai ketentuan peraturan perundang-
undangan, kebijakan yang tidak diskriminatif dan selaras dengan
instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia. Negara juga
mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia setiap
warganya secara nyata dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara, yang dilakukan melalui bentuk-bentuk tindakan nyata yang
responsif HAM.
Negara Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) sudah semestinya untuk menghargai dan menghormati Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang
diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 November 1948, di
mana negara-negara anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan
dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi
manusia dan kebebasan asasi setiap manusia. Pasal 2 Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia, mengamanatkan kepada negara-negara anggota untuk
menjamin hak setiap orang atas hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum dalam deklarasi tanpa pengecualian apapun baik berdasarkan
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau perbedaan
pendapat, kebangsaan, hak milik, kelahiran atau kedudukan lain.
Pengakuan, penghargaan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia sebagaimana tercantum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
tersebut di atas, merupakan kewajiban setiap negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjamin hak setiap orang atas hak-
hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam deklarasi tanpa
adanya diskriminasi berdasarkan suku bangsa atau ras, perbedaan warna
kulit, jenis kelamin laki-laki atau perempuan, bahasa, agama atau
keyakinannya, pandangan politiknya, perbedaan pendapatnya dalam
kehidupannya, harta benda atau kekayaan yang dimilikinya, status atau
kedudukan sosialnya dalam masyarakat, serta perbedaan-perbedaan
lainnya yang dapat menghambat, mengurangi, atau bahkan menghilangkan
hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang sudah semestinya diperoleh dalam
dinikmatinya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik), di mana dalam Pasal 2 ayat (1) Kovenan mengamanatkan
kepada negara-negara peserta untuk menghormati dan menjamin hak-hak
yang diakui dalam Kovenan bagi semua orang yang berada dalam
wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa perbedaan apapun
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau
status lainnya. Kemudian Pasal 3 menegaskan kewajiban negara pihak
untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan
untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan.
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah
diratiflkasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan International tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) yang merupakan satu kesatuan instrumen hukum internasional
tentang Hak Asasi Manusia selain Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 2 ayat (2) Kovenan
mengamanatkan agar Negara-negara Peserta Kovenan ini untuk menjamin
hak-hak yang dinyatakan dalam Kovenan akan dilaksanakan tanpa
diskriminasi apapun mengenai ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pandangan politik atau lainnya asal-usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Kemudian Pasal 3
mengamanatkan Negara-negara Peserta Kovenan untuk menjamin
persamaan hak pria dan wanita dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya yang dikemukakan dalam Kovenan.
Ketentuan dalam kedua Kovenan Internasional tersebut di atas
sebagai tindak lanjut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, yakni Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik maupun Kovenan
International tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, telah
menegaskan kembali kewajiban Negara Peserta yang telah
menandatangani dan meratifikasi Kovenan tersebut untuk menjamin hak-
hak setiap warga negaranya sebagaimana tercantum dalam Kovenan tanpa
adanya diskriminasi berdasarkan suku bangsa atau ras, warna kulitnya,
bahasa yang digunakan, agama dan kepercayaan yang dianutnya,
pandangan politiknya, status sosial di masyarakat, harta kekayaan yang
dimiliki termasuk perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan.
Negara Peserta berkewajiban untuk menjamin baik laki-laki atau
perempuan untuk dapat memperoleh atau menikmati hak-haknya dalam
bidang hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial dan budaya
sebagaimana tercantum dalam kedua Kovenan tersebut dalam kehidupan
bermasyarakat, bangsa dan negara.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita ‹Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimiriation againts Women). Kewajiban Negara untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak perempuan tercantum dalam Pasal 2
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita ‹Convention on the Elimination of All Forins of Discrimination
againts Women), bahwa Negara-negara pihak mengutuk diskriminasi
terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat dengan segala
cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu
kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan untuk
tujuan int berusaha untuk:
1. Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
undang-undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya
yang layak apabila belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk
menjamin realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum
dan cara-cara lain yang tepat;
2. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya
lainnya, dan di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang
semua diskriminasi terhadap perempuan;
3. Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas
dasar persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin
perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap
perilaku diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten
dan badan-badan pemerintah lainnya;
4. Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktik
diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-
pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan
kewajiban ini;
5. Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan
perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi
atau lembaga apapun;
6. Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif,
untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-
peraturan, kebijakan-kebijakan, dan praktik-praktik yang ada yang
merupakan diskriminasi terhadap perempuan;
7. Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan
diskriminasi terhadap perempuan.
Berdasarkan ketentuan Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita tersebut di atas, mengamanatkan
kewajiban Negara Pihak yang telah menandatangani dan meratifikasi
Konvensi agar melakukan upaya-upaya untuk menghapus segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan antara lain mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang memuat prinsip persamaan antara laki-laki dan
perempuan serta melarang segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin dalam berbagai bidang kehidupan, memberikan perlindungan
terhadap perempuan dari tindakan kekerasan dan perilaku yang
diskriminatif dalam kehidupannya, mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang responsif terhadap pemenuhan hak-hak perempuan, mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan segala bentuk
diskriminasi baik di lembaga-lembaga pemerintahan yang ada, serta
mencabut segala peraturan perundang-undangan yang dapat menghambat
pemenuhan hak-hak perempuan.
Berkaitan dengan hal tersebut, secara garis besar Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW)
memberikan kerangka menyeluruh untuk peningkatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak perempuan. Secara khusus, prakarsa ini mewajibkan
negara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di semua
bidang tanpa penundaan, dan dengan cara yang tepat. Konvensi int
berupaya untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dalam segala bentuk yang menjadi acuan bagi negara yang
telah mengesahkannya, di mana dalam menerapkan ketentuan yang
tercantum dalam konvensi, Negara perlu memahami tiga prinsip utama
dalam kerangka konsep yang terkandung dalam konvensi, yaitu kesetaraan
substantif, non diskriminasi dan kewajiban negara dalam upaya
peningkatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan, di mana
prinsip kewajiban negara menekankan bahwa negara menjadi pihak yang
bertanggung jawab untuk memastikan kesetaraan dan penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan. 69
Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan terhadap setiap
warga negara sebenarnya secara eksplisit tertuang dalam Pembukaan UUD
1945 alinea ke-4 yang berbunyi ”kemudian dari pada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...” Pernyataan bangsa
Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut telah ada sebelum dunia
Internasional mengeluarkan berbagai ketentuan hukum internasional
tentang perlindungan hak asasi manusia. Berdasarkan alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945 tersebut secara tegas telah menyatakan bahwa
Negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia beserta seluruh tumpah darah Indonesia. Hal tersebut berarti
dalam memberikan perlindungan kepada segenap warga negara,
dilaksanakan tanpa adanya perbedaan atau diskriminasi berdasarkan suku
bangsa, agama, ras, golongan, status sosial, atau berbagai perbedaan
lainnya.

6° Asmaul Khusnaeny dkk., Op vit, hlm. 20-21.


Ketentuan tentang perlindungan hak-hak asasi manusia setiap warga
negara yang merupakan kewajiban negara untuk menjamin dan
memberikan perlindungan kepada setiap warga negara kemudian
tercantum dalam ketentuan Pasal 28A s.d. 28 J Bab XA UUD 1945 tentang
Hak Asasi Manusia. Pengaturan hak-hak asasi manusia setiap warga
negara dalam batang tubuh UUD 1945 tersebut berarti setiap warga negara
memiliki hak-hak asasi manusia yang secara konstitusional dalam UUD
1945, sehingga setiap ketentuan peraturan perundang-undangan di
bawahnya tidak boleh bertentangan dengan hak-hak konstitusional
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Negara berkewajiban untuk
menjamin, menghormati, dan menegakkan hak-hak asasi manusia setiap
warga negara dalam segala penyelenggaraan negara dan pemerintahan
berdasarkan Pancasila, dan UUD 1945 dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Lebih lanjut, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi
Manusia, dalam konsiderannya menyatakan bahwa bangsa Indonesia
sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta berbagai instrumen
Internasional tentang hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia. Kemudian Pasal 2 menyatakan bahwa Negara
mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan
kecerdasan serta keadilan. Pasal 8 menyatakan bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab pemerintah.
Upaya perlindungan yang diberikan oleh negara dalam hal ini
pemerintah terhadap perempuan antara lain dilakukan oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta
kementerian dan lembaga terkait. Salah satu mandat yang harus dijalankan
oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
adalah melindungi anak, perempuan dan kelompok marginal yang
dirumuskan dalam beberapa isu strategis antara lain peningkatan
perlindungan perempuan dari berbagai bentuk tindak kekerasan termasuk
tindak pidana perdagangan orang, peningkatan kapasitas kelembagaan
pengarusutamaan gender (PUG) dan kelembagaan perlindungan
perempuan dari berbagai tindak kekerasan. Upaya perlindungan tersebut
menjadi salah satu prioritas program yang dikenal dengan Three Ends,
yaitu akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan
manusia dan akhiri ketidakadilan ekonomi untuk perempuan. 70
Selain dilaksanakan oleh Kementerian yang secara langsung
berkaitan dengan upaya perlindungan perempuan, upaya perlindungan
terhadap perempuan dan anak juga dilaksanakan oleh instansi
pemerintahan lainnya yang mempunyai tugas dan kewenangan yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap warga negara, misalnya Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, di mana LPSK mempunyai tugas
dan kewenangan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
saksi dan korban termasuk perempuan dan anak terkait dengan suatu
peristiwa pidana atau pelanggaran HAM berat. Upaya perlindungan
khususnya terhadap anak juga dapat dilakukan oleh Komisi Perlindungan
Anak Indonesia sebagaimana diatur Undang-Undang 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, di mana KPAI mempunyai tugas salah satunya
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan
pemenuhan hak-hak anak dalam kehidupan sehari-hart.

B. Penegak Hukum.
Istilah penegak hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai
orang, badan atau lembaga yang membuat hukum menjadi tegak dalam hal
ini norma atau kaidah hukum dapat dipatuhi, ditaati dan dilaksanakan oleh
individu dalam aktivitasnya di masyarakat. Pandangan masyarakat awam
penegak hukum berarti aparat yang mempunyai tugas dan kewenangan
70 Ali Said dkk., Statistik Gender Tematik; Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan
dan Anak di Indonesia, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2017, hlm. 2-3.
untuk menjaga atau mempertahankan agar ketentuan hukum yang berlaku
dapat dilaksanakan dengan adil bagi siapa pun juga. Merujuk hal tersebut,
masyarakat pada umum mengenal penegak hukum itu antara lain polisi,
jaksa, hakim di pengadilan yang bertugas ketika terjadi pelanggaran
hukum dalam kehidupan masyarakat, sehingga orang yang melakukan
pelanggaran hukum tersebut dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Untuk mewujudkan tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian dan
kemanfaatan, maka hukum harus ditegakkan melalui serangkaian tindakan
atau kegiatan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang
mempunyai tugas dan kewenangan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan. Dalam lapangan hukum pidana, penegakan hukum
pidana dilaksanakan oleh penegak hukum terhadap setiap perbuatan yang
melanggar terhadap ketentuan hukum pidana materiil sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun ketentuan
dalam undang-undang tindak pidana khusus di luar KUHP, di mana dalam
pelaksanaannya berdasarkan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
undang-undang tindak pidana khusus lainnya di luar KUHAP sebagai
hukum acara yang mengatur bagaimana penegak hukum melaksanakan
dan menegakkan ketentuan hukum pidana materiil.
Penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum pidana
dilaksanakan dalam wadah sistem peradilan pidana yang dimulai sejak
tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap
pemeriksaan di sidang pengadilan hingga penjatuhan putusan oleh hakim
dan pelaksanaan putusan pengadilan. Sistem peradilan pidana yang
digariskan dalam KUHAP merupakan sistem peradilan pidana terpadu
{integrated criminal justice system) yang diletakan di atas landasan prinsip
diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan
tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-
masing lembaga penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan
untuk menegakkan, melaksanakan (menjalankan), dan memutuskan hukum
pidana. 7'

7' M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KU'HAP; Penyidikan


dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 90.
Penyelenggaraan sistem peradilan pidana dalam upaya penegakan
hukum terhadap setiap pelanggaran ketentuan hukum pidana merupakan
suatu mekanisme bekeijanya aparat penegak hukum yang dimulai dari
proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara pidana yang meliputi
penangkapan, penahanan dan penyitaan, penuntutan dan pemeriksaan di
persidangan, atau dengan kata lain bekeijanya polisi, jaksa, hakim dan
petugas lembaga pemasyarakatan yang berarti berprosesnya hukum acara
pidana. Bekeijanya komponen-komponen tersebut, yakni kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat
bekerja sama membentuk suatu integrated criminal justice system atau
sistem peradilan pidana terpadu. 72
Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang
bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan
secara internal mempunyai tujuan masing-masing, namun pada hakikatnya
masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana terpadu saling
bekerja sama dan terikat pada satu tujuan yang sama. Hal ini dapat
terwujud jika didukung adanya sinkronisasi dari segi substansi hukum
yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekeŞa secara koheren,
koordinatif dan integratif. Selain itu juga adanya sinkronisasi kultural
dalam arti ada kesamaan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap
yang dihayati bersama di antara komponen sistem peradilan pidana dalam
rangka mencapai tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat (social
welfare) 73
Secara umum sistem peradilan pidana sebagai diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) terdiri atas Kepolisian sebagai subsistem
penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan sebagai subsistem penuntutan,
Pengadilan sebagai subsistem pemeriksaan di persidangan, dan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai subsistem pelaksanaan pidana. Sistem peradilan
pidana yang terdiri atas subsistem tersebut yang bekerja untuk menetapkan
ketentuan hukum pidana materiil apabila terjadi pelanggaran terhadap

72 Topo Santoso, Polisi dan Jaksq Keterpaduan atau Pergulatan, Depok: Pusat Studi
Peradilan Pidana Indonesia, 2000, hlm. 23-24.
73 Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta: UH Pres, 2011,
hlm. 35.
hukum dengan menggunakan ketentuan hukum acara pidana (formil) yang
dimulai sejak tahap penyelidikan/penyidikan tindak pidana, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, penjatuhan putusan dan pelaksanaan
putusan pengadilan.
Sehubungan dengan penegakan hukum pidana, Penyidik diberikan
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur
tentang kewenangan Penyidik, yaitu menerima laporan atau pengaduan
tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama di tempat
kejadian perkara, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenalnya, melakukan upaya paksa, yaitu penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat,
mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil seseorang untuk
didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka, mendatangkan ahli
yang diperlukan dengan perkara, menghentikan penyidikan dan melakukan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Berdasarkan kewenangan Penyidik dalam penegakan hukum pidana
tersebut di atas, maka Penyidik mempunyai peranan yang signifikan dalam
upaya perlindungan terhadap anak dan perempuan dalam perkara pidana,
baik statusnya sebagai korban tindak pidana, sebagai saksi maupun sebagai
tersangka. Penyidik merupakan penegak hukum yang pertama kali
berhadapan langsung dengan anak dan perempuan dalam penanganan
suatu perkara pidana, misalnya ketika menerima laporan atau pengaduan
adanya suatu tindak pidana yang dialami oleh anak dan perempuan, maka
Penyidik dapat melakukan upaya-upaya untuk memberikan perlindungan
kepada perempuan dan anak yang korban suatu tindak pidana tersebut.
Sebaliknya, apabila perempuan dan anak dilaporkan atas dugaan
melakukan suatu tindak pidana, maka Penyidik dapat melakukan upaya
atau tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan tetap
memperhatikan serta memenuhi hak-hak anak dan perempuan selama
menjalani proses penyidikan.
Selanjutnya kewenangan Penuntut Umum menurut Pasal 14
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, yaitu menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan, mengadakan prapenuntutan dengan memberikan petunjuk
kepada penyidik, memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan, membuat surat dakwaan,
melimpahkan perkara ke pengadilan, menyampaikan pemberitahuan
kepada terdakwa dan saksi-saksi untuk datang di sidang pengadilan,
melakukan penuntutan, menutup perkara demi kepentingan hukum,
mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum, dan melaksanakan putusan hakim.
Demikian halnya Penyidik dalam penegakan hukum pidana,
Penuntut Umum juga mempunyai peranan dalam memberikan
perlindungan terhadap anak dan perempuan yang berhadapan dengan
hukum. Ketika menangani perkara yang melibatkan anak, Penuntut Umum
dapat melakukan tindakan diversi menurut ketentuan hukum yang berlaku,
atau tidak melakukan upaya penahanan selama proses penuntutan perkara
yang melibatkan anak tersebut, serta mempertimbangkan kondisi anak
pelaku tindak pidana tersebut pada saat mengajukan surat tuntutan di muka
persidangan. Penuntutan perkara anak dilaksanakan oleh Penuntut Umum
anak yang telah mempunyai pengalaman dalam menangani perkara anak
serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak
pelaku tindak pidana.
Kewenangan untuk mengadili perkara pidana di atur dalam Pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa mengadili adalah
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini. Sehubungan dengan kewenangan mengadili termasuk dalam lingkup
kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 angka 1
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1)
menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk menerima,
memeriksa dan memutus suatu perkara pidana, kedudukan hakim di
pengadilan mempunyai peranan dalam memberikan perlindungan terhadap
anak dan perempuan. Hakim dapat mengalihkan jenis penahanan terhadap
anak dari tahanan rutan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota dengan
pertimbangan anak tersebut tidak melarikan diri atau mempersulit jalannya
persidangan. Selama proses persidangan perkara anak, dipimpin oleh
Hakim anak yang telah mempunyai pengalaman dalam menangani perkara
anak, serta minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Dalam
menjatuhkan putusan kepada anak, hakim dapat mempertimbangkan
kondisi anak serta kepentingan terbaik bagi anak sehingga putusan yang
dijatuhkan tetap memperhatikan masa depan anak di masa yang akan
datang.
Selanjutnya pelaksanaan putusan pengadilan berupa perampasan
kemerdekaan dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pemasyarakatan
adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan
yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana. Lebih lanjut Pasal 2 menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan
diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri,
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Perlindungan terhadap anak dan perempuan dalam tahap
pelaksanaan putusan pemidanaan berupa hukuman penjara di lembaga
pemasyarakatan, dapat dilakukan oleh petugas Lapas dengan melakukan
pemisahan tempat menjalani pidana penjara bagi anak dan perempuan
dengan warga binaan lainnya untuk mencegah teŞadinya hal-hal yang
tidak diinginkan yang berdampak buruk bagi anak dan perempuan,
misalnya tindakan kekerasan fısik dan psikis terhadap anak, tindakan
pelecehan seksual terhadap anak atau perempuan oleh warga binaan
dewasa. Pemisahan tempat menjalani pidana bagi anak tersebut juga
bertujuan untuk menghindari agar anak tidak terpengaruh dengan warga
binaan lainnya yang terlibat dalam tindak pidana serius sehingga dapat
mempengaruhi psikologis dan perkembangan anak di masa yang akan
datang.
Selain lembaga penegak hukum sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, perlindungan terhadap perempuan dan anak khususnya yang
menjadi saksi atau korban dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 12A mengatur tentang
kewenangan LPSK dalam melaksanakan tugasnya memberikan
perlindungan kepada saksi dan korban, yaitu sebagai berikut:
1. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan
pihak lain yang terkait dengan permohonan;
2. Menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk
mendapatkan kebenaran atas permohonan;
3. Meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang
diperlukan dari instansi mana pun untuk memeriksa laporan
pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;
5. Mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
6. Mengelola rumah aman;
7. Memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih

8. Melakukan pengamanan dan pengawalan;


9. Melakukan pendampingan saksi dan/atau korban dalam proses
peradilan; dan
10. Melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan
kompensasi;
Berdasarkan kewenangan LPSK tersebut di atas, dalam hal
perlindungan terhadap anak dan perempuan yang berhadapan dengan
hukum baik sebagai saksi maupun korban suatu tindak pidana, LPSK dapat
melakukan pendampingan sejak tahap awal penanganan perkara pidana,
yakni proses penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan dan persidangan
di pengadilan dengan memenuhi hak-hak anak dan korban sebagai saksi
antara lain mendapatkan perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan
harta bendanya berkaitan dengan keterangan yang akan, sedang atau telah
diberikannya serta hak-hak lainnya selama menjalani proses peradilan
pidana. Apabila anak dan perempuan sebagai saksi berada dalam situasi
yang dapat mengancam keselamatannya, maka LPSK dapat memberikan
perlindungan dalam dengan menempatkan saksi pada tempat yang aman
{safe house), memberikan identitas barn atau merelokasi kediamannya ke
tempat yang baru sehingga keamanan saksi dapat tenaga.
Lembaga lain yang secara khusus berkaitan dengan upaya
pencegahan dan menanggulangi masalah kekerasan terhadap perempuan,
yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Adapun tujuan Komnas
Perempuan, yaitu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan
hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia dan meningkatkan upaya
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan. Lebih
lanjut dalam Pasal 4 mengatur tugas Komnas Perempuan, yaitu:
1. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan;
2. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai
instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak
asasi manusia perempuan;
3. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan
pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta
penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan
langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan
penanganan;
4. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga
legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna
mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan
kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak
asasi manusia perempuan;
5. Mengembangkan ke a sama regional dan internasional guna
meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan,
penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan.
Berdasarkan uraian tugas yang dimiliki oleh Komnas Perempuan
tersebut di atas, dalam hal perlindungan terhadap perempuan, Komnas
Perempuan mempunyai peran yang signifikan yang bersifat preventif
antara lain menyebarluaskan pemahaman terhadap segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan upaya penanggulangannya sehingga
dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kekerasan
terhadap perempuan. Komnas Perempuan juga dapat berperan secara
langsung untuk melakukan pencarian fakta atas tindak kekerasan yang
terjadi terhadap perempuan kemudian menyebarluaskan hasil
pemantauannya kepada publik dalam rangka mendorong upaya
penyelesaiannya. Selain itu, Komnas Perempuan dapat menjalin kerja
sama dengan penegak hukum atau instansi terkait lainnya di Indonesia
dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Khususnya dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga,
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, secara
eksplisit diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, bahwa dalam
waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui
atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib
segera memberikan perlindungan sementara kepada korban yang diberikan
paling lama 7 (tujuh) hart sejak korban diterima atau ditangani., dan dalam
waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian
perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari Pengadilan Negeri setempat.
Peran Kepolisian selain memberikan perlindungan terhadap korban,
juga wajib menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga bahwa Kepolisian wajib
segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan
tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 20 bahwa
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang identitas petugas
untuk pengenalan kepada korban, kekerasan dalam rumah tangga adalah
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan kewajiban kepolisian untuk
melindungi korban.
Pihak terkait lainnya yang terlibat dalam penanganan kekerasan
dalam rumah tangga khususnya untuk memberikan perlindungan terhadap
korban selama menjalani proses hukum sejak tahap penyidikan hingga
persidangan di pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
mengatur tentang peran Advokat dalam memberikan perlindungan dan
pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, bahwa Advokat
wajib memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai
hak-hak korban dan proses peradilan, mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan atau
membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam
rumah tangga yang dialaminya, dan melakukan koordinasi dengan sesama
penegak hukum, relawan pendamping, dan peke a sosial agar proses
peradilan beijalan sebagaimana mestinya.
Upaya perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga
juga melibatkan hakim di Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga bahwa Ketua Pengadilan Negeri dalam
waktu 7 (tujuh) hart sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan
surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota
keluarga lain kecuali ada alasan yang patut. Lebih lanjut Pasal 31 s.d. 34
mengatur bahwa Pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan
suatu kondisi khusus, mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus
dari perintah perlindungan, di mana perlindungan dapat diberikan dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan
pengadilan. Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan
perintah perlindungan, di mana pengadilan wajib mempertimbangkan
keterangan korban, tenaga kesehatan, peke a sosial, relawan pendamping,
atau pembimbing rohani.

C. Masyarakat.
Untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga memerlukan upaya yang komprehensif dengan melibatkan
Pemerintah dan seluruh komponen bangsa, di mana masyarakat
mempunyai peran untuk mencegah dan menangani korban kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
menyatakan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan
upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah
berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban,
memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan.
Ketentuan tersebut di atas mengamanatkan kewajiban setiap orang
dalam kehidupan masyarakat yang mendengar, melihat atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga untuk melakukan upaya-upaya
sesuai dengan kemampuannya misalnya mengamankan atau memisahkan
korban ke tempat yang lebih aman sehingga korban tidak mengalami
tindakan kekerasan lebih lanjut dari pelaku, membawa atau mengantarkan
korban ke pelayanan kesehatan terdekat apabila korban mengalami luka
atau cedera untuk segera mendapatkan pengobatan. Jika mampu,
masyarakat dapat segera mengamankan atau memisahkan pelaku dengan
korban agar pelaku tidak melanjutkan tindakan kekerasan yang dilakukan
kepada korban, dan kemudian melaporkan peristiwa tersebut kepada unsur
pemerintah setempat dan pihak kepolisian agar segera mendapatkan
penanganan lebih lanjut.
Selain peran masyarakat secara perseorangan dalam mencegah dan
menangani kekerasan dalam rumah tangga, masyarakat juga dapat
dilakukan dengan melibatkan diri secara aktif dalam upaya
penanggulangan kekerasan terhadap perempuan melalui organisasi
misalnya organisasi masyarakat, LSM, organisasi sosial atau organisasi
profesi dengan peran antara lain sebagai penghubung (mediator) antara
korban kekerasan terhadap perempuan dengan lembaga-lembaga pengada
layanan atau pemerintah, sebagai fasilitator dalam memberikan pencerahan
hak-hak perempuan sebagai warga negara yang harus mendapatkan
keadilan dan perlindungan, sebagai konselor dan pendamping dalam
membangun kepercayaan diri para korban kekerasan terhadap perempuan
agar tidak larut dalam trauma psikis yang dialami sehingga dalam jangka
panjang dapat pulih dan mampu mengembangkan potensi dirinya. Di
samping itu, masyarakat juga dapat berperan untuk mendorong pemerintah
mengembangkan kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak
perempuan. 74
Keberadaan organisasi kemasyarakatan, lembaga nonpemerintahan
atau LSM pemerhati masalah perempuan yang berada di tengah-tengah
kehidupan masyarakat mempunyai peranan yang signifikan dalam rangka
upaya penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dengan melakukan
upaya-upaya yang bersifat preventif misalnya kampanye di ruang publik
untuk menghentikan dan mencegah segala bentuk tindak kekerasan
terhadap perempuan, melakukan edukasi kepada masyarakat dalam bentuk
penyuluhan atau sosialisasi tentang bentuk-bentuk tindak kekerasan
terhadap perempuan dan upaya penanggulangannya, melakukan
pemantauan, monitoring, dan evaluasi terhadap pelaksanaan perlindungan
terhadap perempuan dalam berbagai perkara yang te adi dalam kehidupan
masyarakat sehingga mendapat penanganan yang optimal dari instansi
yang berwenang, serta memberikan saran dan masukan kepada pemerintah
berkaitan dengan upaya perlindungan terhadap perempuan.
Demikian halnya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
tindak pidana perdagangan orang yang te adi dalam kehidupan

masyarakat sehari-hart, tidak hanya melibatkan Pemerintah namun


juga melibatkan seluruh komponen bangsa termasuk peran serta dari
masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, bahwa masyarakat berperan serta membantu
upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan
orang yang diwujudkan dalam bentuk memberikan informasi atau
melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak
hukum atau pihak yang berwajib atau turut serta dalam menangani
korban tindak pidana perdagangan orang. Hal tersebut berarti,
masyarakat diharapkan memiliki kepedulian apabila dalam
kehidupannya melihat, mendengar atau mengetahui adanya tindak
pidana perdagangan orang agar segera melaporkan kepada pemerintah
setempat misalnya RT, RW, Desa/Lurah atau kepada aparat kepolisian
terdekat sehingga dapat ditangani lebih lanjut sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.

74 MB. Wijaksana dan Jaorana Amiruddin, Mendorong Inisiatif Lokal Menghapuskan


Kekerasan terhadap Perempuan di Era Otonomi Daerah, Jakarta: Komnas Perempuan,
2005, hlm. 25-26.

Anda mungkin juga menyukai