Anda di halaman 1dari 39

MATERI - 15

KEPUASAN KERJA

A.      Kepuasan  Kerja

1.  Definisi  Kepuasan Kerja

         Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat

afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” Bagi

Jex, kepuasan kerja berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap

tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan

kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan. Bahwa

pekerja yakin bahwa pekerjaannya menarik, merangsang, membosankan atau

menuntut. Aspek perilaku pekerjaan adalah kecenderungan perilaku pekerja atas

pekerjaannya yang ditunjukkan lewat pekerjaan yang dilakukan, terus bertahan di

posisinya, atau bekerja secara teratur dan disiplin.

        Kepuasan kerja biasanya didefinisikan sebagai tingkat pengaruh positif

karyawan terhadap pekerjaannya atau situasi pekerjaan (Locke, 1976: Spector,

1977). Pengaruh positip pada definisi ini dapat ditambahkan komponen kognitif

dan perilaku, hal ini sesuai dengan cara psikologis social mendefinisikan sikap

(Zanna & Rempel, 1988). Kepuasan kerja nyatanya adalah sikap karyawan

terhadap pekerjaannya.

        Aspek kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang

pekerjaannya, yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik,

banyak tuntutan dsb. Aspek kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat

terkait dengan perasaan dari pengaruh positif.


       Komponen perilaku  merupakan perilaku karyawan atau lebih sering

kecenderungan perilaku terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan

juga menjadi nyata oleh fakta bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan

secara teratur, bekerja keras, dan berniat tetap menjadi anggota organisasi untuk

waktu yang lama. Dibanding komponen kognitif dan afektif dari kepuasan kerja,

komponen perilaku sedikit informative, karena sikap tidak selalu sesuai dengan

perilaku, seperti seseorang tidak suka dengan pekerjaannya tetapi tetap sebagai

karyawan karena alasan keuangan.

       Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish (2005:180) mendefinisikan

kepuasan kerja sebagai “... variabel afektif yang merupakan hasil dari pengalaman

kerja seseorang.” Fritsche and Parrish juga mengutip Locke (1976) yang

menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “ ... keadaan emosional yang positif

dan menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan atas pekerjaan atau

pengalaman kerja seseorang.” Singkatnya, kepuasan kerja dapat menceritakan

sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya.

As’ad (2004 : 104) mengutip definisi atau pengertian kepuasan kerja,

antara lain:

(1)  Menurut Wexley & Yukl (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah “is the

way an employee feels about his her job”. Ini berarti kepuasan kerja sebagai

“perasaan seseorang terhadap pekerjaan”.

(2)  Vroom (1964) dikatakan sebagai “refleksi dari job attitude yang bernilai

positif”.

(3)  Hoppeck menarik kesimpulan setelah mengadakan penelitian terhadap 309

karyawan pada suatu perusahaan di New Hope Pennsylvania USA bahwa


kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaan-

pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.

(4)  Menurut Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat

dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama

antara pimpinan dengan sesama karyawan.

(5)  Kemudian Blum (1956) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan

sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-

faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individual di luar kerja.

b.      PendekatanTeoritis dari Kepuasan Kerja

         Porsi substansi dari penelitian yang dilakukan pada kepuasan kerja selama

bertahun-tahun telah dikhususkan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang

menentukan tingkat kepuasan kerja karyawan. Memahami perkembangan dari

kepuasan kerja adalah teori penting pada psikologi organisasi. Juga kepentingan

praktis organisasi karena mereka berusaha untuk mempengaruhi tingkat kepuasan

kerja karyawan dan akhirnya, hasil penting lainnya.

Terdapat 3 pendekatan umum utk menjelaskan perkembangan kepuasan

kerja: 1) Pendekatan Karakteristik Pekerjaan ,2) Pendekatan Proses Informasi

Sosial dan 3) Pendekatan Disposisional. 

Menurut pendekatan karakteristik pekerjaan, kepuasan kerja ditentukan

terutama oleh sifat pekerjaan karyawan atau oleh karakteristik organisasi di mana

mereka bekerja. Kepuasan kerja sangat ditentukan oleh perbandingan apa yang

pekerjaan berikan untuk mereka dan apa yang mereka berikan untuk pekerjaan. 

Setiap aspek seperti gaji, kondisi kerja, pengawasan memberi kontribusi untuk
penilaian kepuasan kerja (Hulin 1991). Locke, 1976 mengusulkan yang dikenal

sebagai range of affect theory, premis dasar dari range of affect theory adalah

bahwa aspek pekerjaan yang berbeda dipertimbangkan ketika karyawan membuat

penilaian tentang kepuasan kerja. Pendekatan karakteristik pekerjaan yang sangat

mendarah daging terhadap kepuasan kerja dalam psikologi organisasi ( Campion

& Thayer, 1985; Griffin, 1991; Hackman & Oldham, 1980).

Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978)

mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas

atau tidak. Mekanisme pertama menyatakan karyawan melihat perilaku mereka

secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk

memahaminya, teori ini didasari pada Bem’s, 1972 dengan Self-Perception

Theory. Mekanisme lain yang paling dekat dengan Teori Proses informasi social

adalah bahwa karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui

pengolahan informasi dari lingkungan social, teori ini didasari pada Festinger’s,

1954 dengan Social Comparison Theory, yang menyatakan bahwa orang sering

melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.

Pendekatan yang paling baru untuk kepuasan kerja didasari pada disposisi

internal. Premis dasar dari pendekatan dispositional terhadap kepuasan kerja

adalah bahwa beberapa karyawan mempunyai kecenderungan menjadi puas atau

tidak dengan pekerjaannya, terlepas dari sifat pekerjaan atau organisasi dimana

mereka bekerja. Penelitian dari pendekatan ini diantaranya yang dilakukan oleh

Weitz, 1952 tentang kecenderungan afektif individu berinteraksi dengan kepuasan

kerja yang berdampak omset. Staw and Ross, 1985 menyelidiki kestabilan

kepuasan kerja diantara sampel pekerja pria, penelitian ini mendapatkan bahwa
ada korelasi antara kepuasan kerja pada suatu waktu, dan kepuasan kerja 7 tahun

kemudian.

Ketiga pendekatan di atas secara bersama-sama menentukan kepuasan

kerja atau dengan kata lain kepuasan kerja adalah fungsi bersama dari

karakteristik pekerjaan, proses informasi social dan pengaruh disposisional.

         Menurut Wexley dan Yukl (1977) dalam bukunya yang

berjudul Organisational Behavior And Personnel Psychology, teori-teori tentang

kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu :

(1)         Discrepancy Theory

Teori ini menerangkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada

perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang

ada. Dipelopori oleh Porter (1961) dengan mengukur kepuasan kerja seseorang

dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang

dirasakan. Selanjutnya Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja

seseorang tergantung kepada discrepancy antara should be (expectation, need,

atau value) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh atau dicapai

melalui pekerjaan (Moh. As’ad, 1995:105).

(2) Equity Theory

Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak

puas,tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas

suatu situasi. Menurut teori ini equity terdiri dari tiga elemen, yaitu :

a. Input, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan

sebagai sumbangan atas pekerjaannya.


b. Out comes, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan

sebagai hasil dari pekerjaannya.

c.  Comparison persons, yaitu kepada orang lain atau dengan siapa karyawan

membandingkan rasio input – outcomes yang dimilikinya. Comparison

Persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain,

atau bisa pula dengan dirinya sendiri diwaktu lampau.

Sehingga dapat disimpulkan dalam teori ini adalah setiap karyawan akan

membandingkan rasio input – out comes dirinya dengan rasioinput – out

comes orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka ia akan

merasa cukup puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan,

bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak.

Kelemahan teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan orang juga ditentukan

oleh individual differences (misalkan saja pada waktu orang melamar pekerjaan

apabila ditanya besarnya gaji/upah yang diinginkan). Selain itu tidak liniernya

hubungan antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak

bertentangan dengan kenyataan (Moh. As’ad, 1995:106).

(3) Two Factor Theory

Prinsip dari teori ini adalah kepuasan dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua

hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan kerja terhadap pekerjaan

itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu (Herzberg,1966). Teori ini

pertama dikemukakan oleh Herzberg melalui hasil penelitian beliau dengan


membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya

menjadi dua kelompok, yaitu :

a) Kelompok satisfiers, yaitu situasi yang dibuktikannya sebagai sumber

kepuasan kerja yang terdiri dari tanggung jawab, prestasi, penghargaan, promosi,

dan pekerjaan itu sendiri. Kehadiran faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi

tidak hadirnya ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan.

b) Kelompok dissatisfiers ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber

ketidakpuasan, yang terdiri dari kondisi kerja, gaji, penyelia, teman kerja,

kebijakan administrasi, dan keamanan. Perbaikan terhadap kondisi ini akan

mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan

kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja. Yang menarik dari teori ini

justru terletak pada konsep dasar tentang pemisahan kepuasan dan ketidakpuasan

kerja, karena dianggap kontroversial. Penelitian yang dilakukan oleh Mills (1967)

terhadap 155 orang karyawan dari dua buah pabrik besar di Australia, dimana

sampel terdiri dari berbagai tingkatan umur, kebangsaan, lama dinas, dan macam

jabatan. Hasilnya seratus persen mendukung teori dua faktor tersebut

(As’ad,1995:108-109).   

c.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

      Faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai

berikut: (1) Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan

harapan; (2)  Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan

masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan

berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (3) Faktor utama dalam pekerjaan,


meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan

untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di

dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan

diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. (As’ad, 2004:

114).

      Pendapat  dari Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja sebagai berikut: (1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada

tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan

kemampuan selama kerja; (2) Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai

penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan

yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja; (3) Gaji, lebih

banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan

kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya; (4) Perusahaan dan

manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu

memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan

kepuasan kerja karyawan; (5) Pengawasan (Supervise), Bagi karyawan,

supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang

buruk dapat berakibat absensi dan turn over; (6) Faktor intrinsik dari

pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu.

Sukar dan mudahnya serta kebanggaan tugas akan meningkatkan atau mengurangi

kepuasan; (7) Kondisi kerja, termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi,

penyinaran, kantin dan tempat parkir; (8)Aspek sosial dalam pekerjaan, 

merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai

faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam


kerja; (9)Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak

manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini

adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui

pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa

puas terhadap kerja. (10)Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau

perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan

menimbulkan rasa puas.(As’ad, 2004: 115) Harold E. Burt mengemukakan bahwa

ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: (As’ad, 1995:112)

1)    Faktor hubungan antar karyawan, antara lain :

a. Hubungan antara manager dengan karyawan

b. Faktor fisis dan kondisi kerja

c. Hubungan sosial diantara karyawan

d. Sugesti dari teman sekerja

e. Emosi dan situasi kerja

2)    Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan :

a. Sikap orang terhadap pekerjaannya

b. Umur orang sewaktu bekerja

c. Jenis kelamin

3)    Faktor luar (external), yang berhubungan dengan :

a. Keadaan keluarga karyawan

b. Rekreasi

c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)


        Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown(1950), bahwa ada lima

faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu :

(1)      Kedudukan (posisi)

Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada pekerjaan

yang lebih tinggi akan merasa lebih puas dari pada yang pekerjaannya lebih

rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan

dalam tingkat pekerjaannyalah yang mempengaruhi kepuasan kerja.

(2)      Golongan

Seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji,

wewenang, dan kedudukan yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga

menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas terhadap pekerjaannya.

(3)     Umur

Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kepuasan kerja, dimana

umur antara 25-34 tahun dan umur 40–45 tahun adalah merupakan umur yang

bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.

(4)     Jaminan finansial dan jaminan sosial

Jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh terhadap kepuasan

kerja.

(5)   Mutu Pengawasan

Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik

dari pimpinan dengan bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya

merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (Moh. As’ad,1995:113).


Dari berbagai pendapat diatas dapat dirangkum mengenai faktor –

faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (Moh. As’ad, 1995:115-116) :

(1)   Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan

karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja,

bakat, dan ketrampilan.

(2)   Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial

baik antar sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang

berbeda jenis pekerjaannya.

(3)   Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi

fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis

pekerjaan,pengaturan waktu kerja, dan waktu istirahat, perlengkapan kerja,

keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan

karyawan,umur dan sebagainya.

(4)   Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta

kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminansosial,

macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dansebagainya.

d.      Pengukuran Kepuasan Kerja

            Kita tidak akan pernah bisa mempelajari tentang kepuasan kerja, bila saja

kita tidak memiliki cara untuk mengukurnya. Untungnya ada beberapa ukuran

kepuasan kerja yang dapat digunakan. Biasanya ada empat macam ukuran yang

paling sering dipergunakan secara luas. Namun sebelum mempelajari tantang

ukuran-ukuran kepuasan kerja, akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana

sebuah ukuran dapat disebut valid.


            Meskipun ukuran-ukuran yang disebutkan di atas dilihat sebagai

ukuran construct valid dari kepuasan kerja, namun sangat tidak benar untuk

mengatakan ukuran apapun sebagai construct valid ataupun tidak construct valid.

Construct validity adalah masalah level. Ukuran-ukuran yang disebutkan

sebelumnya berasosiasi dengan level yang tinggi dari bukti-bukti construct

validitu sendiri.

            Lantas bagaimanakah cara untuk menyediakan bukti-bukti untuk construct

validity dari sebuah ukuran? Secara general ada tiga tes untuk construct

validity. Yang pertama, agar sebuah ukuran dapat disebut sebagai construct valid,

itu harus sangat berhubungan dengan ukuran-ukuran lain yang memiliki

konstruksi sama. Ini disebut juga dengan istilah convergence.  Kedua, sebuah

ukuran harus berbeda dari ukuran-ukuran dengan variabel yang berbeda. Nama

lainnya adalah discrimination. Cara ketiga yang biasa digunakan para peneliti

untuk menunjukkan bukti dari construct validity adalah melalui prediksi teoritikal

dasar. Dalam hal ini, para peneliti mengembangkan sebuah jaringan

nomologikal yang berbasis teori dari hubungan antara ukuran yang akan

dikembangkan dan variabel lain yang berkepentingan.

            Salah satu dari ukuran kepuasan kerja yang banyak dipergunakan secara

luas adalah  Face Scale yang dikembangkan oleh Kunin pada pertengahan

tahun 1950an. Face scale ini terdiri dari serangkaian wajah-wajah dengan

berbagai ekspresi emosi yang berbeda. Responden diminta untuk dapat

menunjukkan dari lima ekspresi wajah yang tersedia ekspresi wajah manakah 

yang paling mewakili perasaan mereka kepada kepuasan secara keseluruhan

terhadap pekerjaan mereka. Keuntungan utama dari face scale ini adalah


kesimpelannya dan responden tidak perlu melalui sebuah jenjang membaca yang

tinggi untuk dapat menyelesaikannya. Sementara, kerugian potensial dari face

scale ini adalah ia tidak menyediakan informasi mengenai kepuasan karyawan

dengan aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka.

            Skala lain yang juga banyak dipergunakan adalah Job Descriptive Index

(JDI) yang dikembangan pada akhir tahun 1960an oleh Patricia Cain Smith dan

kolega-koleganya di Universitas Cornell. Skala JDI dinamai dengan tepat,

karena skala tersebut membuat reponden mendeskripsikan pekerjaan

mereka. Perbedaannya dengan face scale, pengguna JDI bisa mendapatkan skor

untuk berbagai aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan kerja mereka.

Keuntungan utama dari JDI adalah banyak data yang menyuport construct

validitynya. Terlebih lagi, bila seorang peneliti atau konsultan ingin menggunakan

JDI untuk mengukur kepuasan kerja dari sekelompok pekerja maka ia akan dapat

membandingkan skor-skor sekelompok pekerja ini dengan seorang sampel

normatif dengan pekerjaan yang sama. Tidak banyak kerugian yang dimiliki oleh

skala JDI ini. Namun ada satu masalah yang muncul, yaitu biasanya pada suatu

kasus peneliti hanya berkeinginan untuk mengukur tingkat kepuasan pekerja

secara keseluruhan, dan skala JDI tidak dapat melakukan hal ini. Oleh karena

itulah, sang pengembang JDI ini kemudian membuat sebuah skala baru yang

bernama Job in General (JIG) Scale. Skala JIG ini dibuat dibentuk seperti JDI,

kecuali pada JIG ini terdiri dari beberapa adjektif dan frase tentang pekerjaan

secara general daripada secara aspek-aspek spesifik dari pekerjaan.

            Ukuran kepuasan kerja yang ketiga yang juga banyak dipergunakan dan

banyak diterima adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala


MSQ ini dikembangkan oleh sebuah tim peneliti yang berasal dari University of

Minnesota pada waktu hampir sama dengan pengembangan skala JDI. Form

panjang dari skala MSQ terdiri dari 100 item yang didesain untuk mengukur 20

macam aspek kerja. Adapula form pendek dari skala MSQ, terdiri dari 20 item.

Item-item pada skala MSQ terdiri dari statement-statement tentang berbagai

macam aspek pekerjaan, dan responden diminta untuk menunjukkan tingkat

kepuasan mereka terhadap masing masing aspek. Dibandingkan dengan JDI, skala

MSQ merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan

terhadap pekerjaan. Skala MSQ juga menyediakan informasi yang luas mengenai

kepuasan pekerja pada berbagai macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.

Satu-satunya kerugian terbesar dari MSQ adalah panjang dari skala tersebut. Pada

form dengan 100 item, versi penuh dari MSQ ini sangat sulit untuk

diadministrasikan, apalagi bila peniliti berkeinginan untuk mengukur variabel

lainnya. Bahan dengan versi form pendek (20 item) masih tergolong panjang bila

dibandingkan dengan ukuran-ukuran lain dari kepuasan yang pernah tersedia.

            Ukuran tingkat kepuasan kerja yang terakhir adalah Job Satisfaction

Survey (JSS) yang belum pernah dipergunakan sebanyak ukuran-ukuran yang

telah disebutkan sebelumnya, namun memiliki bukti yang menyuport properti

psikometrinya. Skala ini dikembangkan pertama kali oleh Spector (1985) sebagai

insturmen untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan Human Sercive. JSS

terdiri dari 36 item yang didesain untuk mengukur sembilan macam aspek

pekerjaan dan lingkungan kerja. Bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran

lainnya, JSS kurang lebih sama, yaitu mewakili statement mengenai pekerjaan

seseorang ataupun situasi kerjanya. JSS lebih mirip dengan JDI karena JSS juga
merupakan skala deskriptif. Namun hal yang membedakannya dengan JDI adalah

pada JSS skor kepuasan secara keseluruhan dapat dihasilkan dengan cara

menjumlahkan skor-skor aspek pekerjaan dan lingkungan kerja.

Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja

       Dalam meneliti kepuasan kerja, peneliti harus menggunakan ukuran. Ukuran

suatu konsep adalah variabel. Variabel satu dengan variabel lain ditentukan

berdasarkan dimensi konsep. Dimensi pengukuran kepuasan kerja cukup

bervariasi. Stephen Robbins mengajukan empat variabel yang mampu

mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu: (1) Pekerjaan menantang secara

mental; (2) Reward memadai; (3) Kondisi kerja mendukung; dan (4) Kolega

mendukung.(Jex. 2002:192-193)

        Pekerjaan yang menantang secara mental – Pekerja cenderung memiliki

pekerjaan yang memberikan kesempatan mereka menggunakan keahlian dan

kemampuan serta menawarkan variasi tugas, kebebasan, dan umpan balik seputar

sebaik mana pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang

cenderung membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu menantang cenderung

membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi moderat-menantang, sebagian

besar pekerja akan mengalami pleasure and kepuasan.

       Reward yang memadai – Kecenderungan pekerja dalam menginginkan

sistem penghasilan dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan

sejalan dengan harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa penghasilan yang


diterima setimpal dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian, dan sama berlaku

bagi pekerja lainnya, kepuasan akan muncul. Tidak semua pekerja mencari uang,

dan sebab itu promosi merupakan alternatif lain kepuasan kerja. Banyak pula

pekerja yang mencari kewenangan, promosi, perkembangan pribadi, dan status

sosial.

      Kondisi kerja yang mendukung – Perhatian pekerja pada lingkungan kerja,

baik kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan

pekerjaan secara baik. Studi-studi membuktikan bahwa pekerja cenderung tidak

memiliki lingkungan kerja yang berbahaya atau tidak nyaman. Temperatur,

cahaya, dan faktor-faktor lingkungan lain tidaklah terlampau ekstrim. Mereka juga

cenderung berkerja di lokasi yang dekat rumah, menggunakan fasilitas moderen,

serta peralatan kerja yang mencukupi.

      Kolega yang mendukung – Pekerja, selain bekerja juga mencari kehidupan

sosial. Tidak mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan

kepuasan kerja seorang pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi

kepuasan kerja seseorang. Studi membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat

tatkala supervisor dianggap bersahabat dan mau memahami, melontarkan pujian

untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan menunjukkan minat

personal terhadap mereka.


        Derek R. Allen and Morris Wilburn (2002:20) menyatakan kajian atas

kepuasan pekerja seharusnya komprehensif dan meliputi empat kategori yaitu:

1. Pekerja itu sendiri;

2. Pekerjaan itu sendiri;

3. Organisasi itu sendiri; dan

4. Lingkungan di mana pekerja dan organisasi berada.

        Keempat kategori Allen and Wilburn (2002:20-21) tersebut dapat diturunkan

menjadi 23 dimensi kepuasan kerja yang terdiri atas: (1) Supervisor langsung; (2)

Kebijakan dan Prosedur Perusahaan; (3) Pembayaran; (4) Keuntungan; (5)

Kesempatan kontribusi untuk perusahaan; (6) Dipertimbangkannya pendapat oleh

Perusahaan; (7) Kesempatan promosi; (8) Keamanan; (9) Pengakuan; (10)

Apresiasi; (11) Rekan kerja; (12) Demografis (usia, gender, pendidikan); (13)

Masa jabatan; (14) Persiapan awal pekerja dalam pekerjaan; (15) Kesempatan

pelatihan yang berlanjut; (16) Sifat pekerjaan yang harus dilakukan; (17) Konflik

tuntutan; (18) Ambiguitas peran; (19) Tekanan; (20) Kondisi kerja; (21) Alat dan

perlengkapan kerja; (22) Material dan Supply; dan (23) Beban kerja.

       Paul E. Spector (1997: 8-19) merangkum bahwa ukuran kepuasan kerja telah

memiliki instrumen-instrumen paten terstandardisasi yang terdiri atas:

a.         Job Satisfaction Survey (JDS);

b.        Job Descriptive Index (JDI);

c.         Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ);

d.        Job Diagnostic Survey (JDS);

e.         Job in General Scale (JGS); dan

f.         Michigan Organizational Assessment Questionnaire (MOAQ).


Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja

       Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi, baik dalam segi analisa

statistiknya maupun pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan

kerja bisa melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan

pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau menggunakan tanya jawab sebagai

alatnya maka karyawan diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap

aspek-aspek pekerjaan. Cara lain dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang

tersebut (Moh. As’ad, 1995:116).

        Penilaian kepuasan kerja seorang karyawan terhadap seberapa puas atau

tidak puasnya dia dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari

sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Ada

dua pendekatan yang paling banyak digunakan yaitu: (Stephen P. Robbins,

2003:101-102).

(1)      Angka nilai global tunggal

Metode ini meminta individu untuk menjawab satu pertanyaan, misalnya “Bila

semua hal dipertimbangkan, seberapa puaskah anda dengan pekerjaan

anda?”kemudian responden menjawab dengan melingkari suatu bilangan jawaban

1 sampai 5 yang berpadanan dengan jawaban dari “ sangat dipuaskan” sampai

“sangat tidak dipuaskan.

(2)  Skor penjumlahan yang tersusun atas aspek kerja.

      Metode ini lebih canggih yaitu dengan mengenali unsur – unsur utama dalam suatu

pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsur tersebut,


misalnya tentang sifat dasar pekerjaan, penyelia, upah, kesempatan promosi dan

hubungan dengan rekan kerja

Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja

Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan adalah :

1)        Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan, termasuk

kaitannya dengan tingkat urutan prioritasnya (urutan faktor atau atribut tolak ukur

kepuasan yang dianggap penting bagi karyawan). Prioritas yang dimaksud dapat

berbeda antara para karyawan dari berbagai bidang dalam organisasi yang sama

dan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya.

2)        Mengetahui persepsi setiap karyawan terhadap organisasi atau perusahaan.

Sampai seberapa dekat persepsi tersebut sesuai dengan harapan mereka dan

bagaimana perbandingannya dengan karyawan lain.

3)        Mengetahui atribut–atribut mana yang termasuk dalam kategori kritis

(critical perfoment attributes) yang berpengaruh secara signifikan terhadap

kepuasan karyawan. Atribut yang bersifat kritis tersebut merupakan prioritas

untuk diadakannya peningkatan kepuasan karyawan.

4)        Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat

membandingkannya dengan indeks milik perusahaan atau instansi saingan atau

yang lainnya (Kuswadi, 2004:55-56).

e.    Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja

Terhadap Produktivitas Kerja

       Banyak pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas dapat dinaikkan

dengan menaikkan kepuasan kerja, namun hasil penelitian tidak mendukung


pandangan ini, karena hubungan antara produktivitas kerja dengan kepuasan kerja

sangat kecil. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh banyak faktor – faktor

moderator disamping kepuasan kerja. Lawler dan Porter berpendapat

produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja jika

tenaga kerja mempresepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa telah

mencapai sesuatu) dan ganjaran intrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua -

duanya adil dan wajar dibuktikan dengan unjuk kerja yang unggul (Ashar

SunyotoM, 2001:364).

Terhadap Kemangkiran Dan Keluarnya Tenaga Kerja

Ketidak hadiran lebih bersifat spontan dan kurang mencerminkan ketidak

puasan kerja, berbeda dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Steersdan

Rhodes mengembangkan model pengaruh dari kehadiran. Ada dua faktor pada

perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka

percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja.

Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan Hollingworth

menunjukkan bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi beberapa

tahap (misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan

untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Menurut Robbins (1998) ketidak puasan

kerja pada karyawan dapat diungkapkan melalui berbagai cara misalkan selain

meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang,

mencuribarang milik organisasi, menghindar dari tanggung jawab (Ashar Sunyoto

M,2001:365-366).
Terhadap Kesehatan

      Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan

kesehatan fisik dan mental. Kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang

kesehatan mental dan kepuasan kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan,

persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif

dari kemampuan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi.

Skor – skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari

jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja dengan kesehatan,

namun hubungan kausalnya masih tidak jelas. Tingkat dari kepuasan kerja dan

kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu

dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai

akibat yang negatif juga pada yang lain (Ashar Sunyoto M,2001:368).

            Banyak peneliti dan manajer yang tertarik dengan kepuasan kerja,

terutama karena hubungannya dengan variabel-variabel lain yang berhubungan.

Antara lain ada empat macam variabel yang memiliki hubungan teoritikal dan

praktikal dengan kepuasan kerja, yaitu variabel

sikap, Variabel ketidakhadiran, Variabel pergantian karyawan,

dan Variabel performa kerja. (Jex, 2002)

            Variabel sikap. Sejauh ini kepuasan kerja diketahui berhubungan sangat

kuat berkorelasi dengan variabel sikap lain. Variabel-variabel ini merefleksikan

tingkat kesukaan dan ketidaksukaan karyawan. Beberapa contoh variabel-variabel

sikap yang sering dipergunakan dalam penelitian organisasional antara lain adalah
keikutsertaan dalam pekerjaan, komitmen organisasional, frustasi, tekanan

pekerjaan, dan kecemasan. Diketahui pula bahwa kepuasan kerja memiliki

hubungan yang positif dengan banyaknya ukuran yang menunjukkan dampak

positif, seperti keikutsertaan dalam pekerjaan maupun mood kerja yang positif.

Namun beberapa studi juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki

hubungan yang negatif dengan variabel-variabel seperti frustasi, kecemasan, dan

tekanan kerja.

            Variabel Ketidak hadiran. Dari sudut pandang teoritikal, ketidak hadiran

mewakili sebuah cara umum  seorang karyawan melakukan penarikan diri dari

pekerjaan mereka. Sementara dari sudut pandang praktikal, ketidak hadiran 

adalah sebuah masalah yang sangat merugikan untuk banyak organisasi. Ketika

karyawan tidak hadir, pekerjaan mungkin tidak akan selesai atau akan dikerjakan

oleh karyawan yang pengalamannya lebih sedikit. Hacket dan Guion (1985)

menjelaskan ada beberapa alasan mengapa hubungan antara kepuasan kerja dan

ketidak hadiran lemah. Alasan pertama adalah karena pengukuran dari ketidak

hadiran itu sendiri sedikit kompleks. Alasan lainnya adalah karena kepuasan kerja

mewakili sikap karyawan secara general, sementara ketidak hadiran hanyalah

salah satu bentuk spesifik dari perilaku karyawan. Alasan terakhir adalah karena

ketidak hadiran merupakan perilaku yang memiliki rate dasar rendah, karena

memprediksikan sebuah variabel dengan rate dasar yang rendah adalah sulit.

            Variabel Pergantian Karyawan. Hubungan lain dari kepuasan kerja

yang banyak menarik perhatian peneliti dan manajer adalah pergantian karyawan.

Beberapa pergantian di dalam organsasi tidak dapat dielakkan, dan dalam

beberapa kasus lainnya mungkin malah diinginkan oleh organisasi. Namun tingkat
pergantian karyawan yang terlalu tinggi dapat merugikan organisasi, karena

organisasi tersebut harus kembali memulai proses perekruitan, pemilihan, dan

sosialisais karyawan baru. Tingkat pergantian karyawan yang tinggi juga memiliki

dampak yang besar terhadap gambaran publik terhadap organisasi tersebut.

            Variabel Performa Kerja. Hubungan keempat yang berkorelasi dengan

kepuasan kerja adalah performa kerja.  Salah satu cara untuk membuat karyawan

lebih produktif adalah dengan membuat mereka lebih puas. Vroom’s Expectancy

Theory (1964) menyatakan bahwa karyawan akan menaruh usaha yang lebih 

bila mereka percaya bahwa usaha tersebut akan menjadi performa dengan

level tinggi, dan performa tersebut dapat menghasilkan hasil yang

memuaskan. Sementara bila performa kerja dengan level yang tinggi dapat

menghasilkan hasil yang memuaskan, karyawan akan menjadi lebih puas dengan

pekerjaan mereka ketika performa kerja mereka baik dan mereka mendapatkan

penghargaan atas itu. Ostroff (1992) menyebutkan bahwa meskipun karyawan

yang sangat puas dengan pekerjaan mereka mungkin belum tentu dapat

memiliki performa kerja yang lebih baik bila dibandingkan dengan

karyawan yang lebih tidak puas, namun organisasi yang memiliki karyawan

yang lebih puas dengan pekerjaan mereka cenderung memiliki performa kerja

yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi yang memiliki karyawan yang

sangat tidak puas dengan pekerjaannya.

Kepuasan Kerja : Perspektif Antar-Budaya

Pelajaran dari kepuasan pekerjaan sudah mendapat tempat di Amerika dan

negara-negara Eropa Barat. Bekerja adalah suatu hal yang universal dan ini
menjadi perkembangan positif atau negatif terhadap apa yang dirasakan dalam

bekerja. Pada bagian ini, secara singkat dijelaskan perbedaan antar-budaya dalam

tingkat kepuasan pekerjaan dan alasan-alasan potensial untuk perbedaan-

perbedaan tersebut. Beberapa para ahli menyimpulkan dari penelitiannya bahwa

manejer Amerika Latin lebih merasa puas daripada manajer Eropa. Pada

perbandingan karyawan Dominika dan Amerika yang bekerja di perusahaan yang

sama, ditemukan bahwa rekan kerja Dominika lebih merasa puas dibandingkan

rekan kerja Amerika. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa karyawan

Jepang cenderung kurang puas daripada karyawan Amerika.

Jika dilihat dari karakteristik perspektif pekerjaan, ada beberapa penjelasan

untuk perbedaan kepuasan pekerjaan antar-budaya. Contohnya, ada bukti yang

nyata pada perbedaan dalam nilai. Hasil dari penelitian Hofstede (1984) tentang

perbedaan dalam nilai, termasuk individualisme, maskulinitas, jarak

kekuasaan, dan menghindari ketidakpastian.  Besarnya individualisme

menggambarkan kepedulian orang-orang dengan keinginan dan kebutuhan

mereka. Maskulinitas menggambarkan tingkat fokus pada prestasi dan kinerja

sebagai perlawanan kepada kesejahteraan dan kepuasan yang lain. Jarak

kekuasaan menggambarkan tingkat dari hak untuk bertindak dan status yang

berbeda dari yang lain dengan level yang lebih rendah. Menghindari

ketidakpastian menggambarkan besarnya orang yang nyaman bekerja dalam

lingkungan yang tidak tentu. Contohnya adalah Amerika dan negara-negara Eropa

Barat cenderung untuk menempatkan nilai yang sangat tinggi pada

individualisme, sementara Hispanik dan negara-negara oriental cenderung

menempatkan nilai yang tertinggi. Pada maskulinitas ditemukan bahwa negara


Scandinavia cenderung menempatkan nilai yang tertinggi dibandingkan negara

lain. Pada jarak kekuasaan cenderung memiliki nilai yang sangat tinggi di negara

Hipatik tetapi berbanding terbalik di Australia dan Israel sedangkan pada

menghindari ketidakpastian ditemukan sangat tinggi di negara Yunani dan

Portugis sementara rendah di Singapura dan Denmark.

Implikasi utama dari perbedaan antar-negara dalam preferensi nilai

bahwa perbedaan antar-budaya dalam kepuasan pekerjaan mengarah pada

perbedaan dalam apa yang diinginkan karyawan dalam pekerjaan mereka.

Bagian ini menyatakan bahwa kepuasan pekerjaan menghasilkan isi pokok dari

perbandingan antara apa yang orang rasakan pada pekerjaan mereka dan apa yang

mereka inginkan.

2.   Komitmen Organisasi

      Selain perasaan tentang rasa puas / ketidakpuasan, pegawai mungkin juga

memiliki perasaan komitmen ke organisasinya. Seperti pada kepuasan /

ketidakpuasan, ada kecendurungan bahwa ikatan komitmen itu mengikat hingga

di luar tempat kerja itu. Misalnya orang bisa menjadi sedemikan komtmen kepada

institusi seperti gereja atau organisasi politik.

a.      Definisi Komitmen Organisasi

       Di dalam tingkatan yang paling umum, komitmen organisasi dapat diartikan

sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada

organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi

tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi

tersebut.
Meyer dan Allen (1991) kemudian mendefinisikan lebih jauh tentang komitmen

organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis

komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya),

yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.

Selain basis-basis yang berbeda, komitmen pegawai boleh jadi terfokus ke level-

level yang berbeda dalam organisasi, dan bahkan dapat ditujukan ke luar

organisasi. Banyak juga pegawai-pegawai dalam organisasi yang memiliki rasa

komitmen pada profesi yang mereka tekuni, misal seorang ahli fisika yang bekerja

dalam organisasi kesehatan akan memiliki komitmen kepada kesehatan pula.

Sekarang karena komitmen memiliki beragam basis dan focus, ini memberi kesan

bahwa ada beberapa macam komitmen yang berbeda. Meyer dan Allen (1997)

menyajikannya dalam bentuk matriks, yaitu sebuah cross product dari tiga basis

komitmen dengan enam focus berbeda dari sebuah komitmen.

b.      Membangun Komitmen Organisasi

        Apa yang membentuk level komitmen suatu pegawai terhadap

organisasinya? Karena kompleksitas dari susunan komitmen organisasi itu sendiri,

ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Kebanyakan peneliti mencoba

menjawab pertanyaan ini dari ketiga basis komitmen tersebut, yaitu afektif,

keberlanjutan, dan normatif.

Komitmen yang berbasiskan afektif biasanya terbentuk atas perasaan akan

organisasi/perusahaan tempat pegawai itu bekerja memperlakukannya dengan

baik dan/atau memberikan banyak dukungan kepadanya.


Komitmen yang berbasiskan keberlanjutan bahkan lebih sederhana, biasanya

merupakan perluasan dari perasaan pegawai yang memandang organisasinya

sekarang itu memiliki alternatif yang selalu berjalan.

c.       Pengukuran Komitmen Organisasi

      Seperti kebanyakan variabel sikap subjektif, komitmen organisasi diukur

dengan skala laporan diri. Secara historis, komitmen organisasi pertama untuk

memperoleh penggunaan secara luas adalah Organizational Commitment

Questionnaire (OCQ). OCQ asli terutama tercermin pada apa yang Meyer dan

Allen uraikan seperti komitmen afektif dan pada tingkat yang lebih rendah, yaitu

komitmen normatif. OCQ asli juga berisi satu bagian yang mengukur keinginan

pindah kerja seorang karyawan.

Mathieu dan Zajac melaporkan bahwa mean reliabilitas konsistensi internal untuk

berbagai bentuk OCQ itu semua adalah 0.80. Keterbatasan utama dari OCQ

adalah langkah-langkahnya terutama komponen afektif dari komitmen organisasi,

sehingga memberikan informasi yang sangat sedikit tentang kelanjutan dan

komponen normatif. Ini adalah batasan penting karena berbagai bentuk berbeda

dari komitmen berhubungan dengan hasil yang berbeda.

Baru-baru ini, Allen dan Meyer mengembangkan ukuran komitmen organisasi

yang berisi tiga subskala yang bersesuaian dengan komponen afektif, kelanjutan,

dan normatif dari komitmen. Sebuah contoh dari komitmen afektif adalah:

“Organisasi ini memiliki banyak makna bagi saya pribadi.” Sebuah contoh dari

komitmen kelanjutan adalah: “Ini akan terlalu mahal bagi saya untuk

meninggalkan organisasi saya dalam waktu dekat.” Sebuah contoh dari komitmen
normatif adalah: “Saya akan merasa bersalah jika saya meninggalkan organisasi

saya sekarang.”

Meyer dan Allen melaporkan bahwa median reliabilitas konsistensi internal untuk

skala komitmen afektif, kelanjutan, dan normatif adalah 0.85, 0.79, dan 0.73.

Adapula bukti yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komitmen organisasi

secara empiris dibedakan dari kontruksi terkait seperti kepuasan kerja, nilai dan

komitmen kerja.

Selain OCQ dan skala Allen dan Meyer, ada juga ukuran yang telah

dikembangkan oleh T. Becker. Dalam studi ini, komitmen organisasi diukur

dalam istilah basis ganda dan fokus ganda. Ada sedikit bukti empiris pada

variabel pendekatan ini untuk mengukur komitmen. Namun di masa depan,

ukuran ini dapat berguna untuk mengukur komitmen  dengan cara ini jika hasil

yang berbeda terkait dengan kombinasi yang berbeda dari komitmen basis dan

fokus.

d.      Variabel yang berhubungan Komitmen Organisasi

      Seperti kepuasan kerja, para peneliti dan manajer tertarik dalam komitmen

organisasi dikarenakan hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap,

kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja.

Variabel Sikap
Mathieu dan Zajac menemukan bahwa mean korelasi tepat antara komitmen

organisasi afektif dan kepuasan pekerjaan adalah 0.53. korelasi sikap konsistensi

lainnya dari komitmen afektif ditemukan dalam meta-analisis termasuk

keterlibatan pekerjaan (0.36), komitmen pekerjaan (0.27), komitmen gabungan

(0.24) dan stres (-0.29). Bandingkan dengan komitmen afektif, lebih sedikit

pekerjaan secara empiris telah diperiksa hubungannya antara korelasi sikap dari

kelanjutan maupun komitmen normatif.

Kehadiran

Mathieu dn Zajac menemukan bahwa korelasi yang tepat antara komitmen afektif

dan kehadiran adalah 0.12 dan korelasi dengan keterlambatan adalah -0.11.

Korelasi antara kehadiran dan kepuasan kerja besarnya sama. Dari sisi kenseptual,

tingkat tinggi komitmen afektif menunjukkan sebuah maksud untuk berkontribusi

pada sebuah organisasi. Bandingkan dengan komitmen afektif, sedikit bukti

mengenai hubungan antara kelanjutan atau komitmen normatif dan kehadiran.

Pindah Kerja Pegawai

Dengan komitmen organisasi alami, dapat dianggap lebih banyak buktinya pada

hubungan di antara ketiga bentuk komitmen dan pindah kerja, dibandingkan

dengan hasilnya. Seperti yang diharapkan, riset yang telah ditunjukkan secara

umum mempunyai hubungan negatif diantara ketiga komitmen dan pindah kerja.

Performa Kerja
Pada umumnya, komitmen afektif telah ditunjukkan positif berhubungan dengan

performa  kerja, walaupun besarnya dari hubungan ini tidak kuat. Menentukan

mekanisme dibelakang hubungan ini adalah sulit karena studi ini telah

menggunakan variasi luas dari ukuran kriteria performa. Satu keumuman diantara

studi ini adalah bahwa hubungan antara komitmen afektif dan performa tak

langsung oleh usaha pegawai.

e.         Aplikasi Praktis dari Penelitian Komitmen

        Satu cara untuk melihat aplikasi penelitian komitmen berorganisasi adalah

menguji bermacam cara dari organisasi mana yang dapat menyebabkan komitmen

tingkat tinggi di antara pengurusnya. Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa

adanya pengaruh antara kebijakan perekrutan anggota baru dengan komitmen

pengurus setelah diterima. Telah lama direkomendasikan bahwa kebijakan

perekrutan membutuhkan persyaratan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan

di lapangan. Gambaran pekerjaan dapat memberikan informasi kepada calon

pengurus tentang bagaimana jenis pekerjaan yang akan dia kerjakan. Bila calon

pengurus merasa cocok dan mampu mengerjakan maka akan timbul suatu

komitmen ketika dia menjadi pengurus. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa

adanya transparansi sehingga calon pengurus akan merasa diperlakukan secara

adil dan jujur. Hal itu akan menambah komitmen pengurusnya.

       Ketika pengurus masuk organisasi, masa orientasi dan pengalaman masa

magang dapat meningkatkan tingkat komitmen pengurusnya.  Meyer dan Allen

menegaskan bahwa pendekatan investiture dalam masa orientasi dapat


meningkatkan perasaan komitmen berorganisasi daripada pendekatan divestiture.

Ketika pendekatan investiture diterapkan, pengurus baru tidak diharuskan untuk

meninggalkan kepribadiannya yang dulu, dengan begitu pengurus baru dapat

menyadari bahwa menghormati hak-hak pengurus dalam suatu organisasi

merupakan suatu hal yang penting.

        Dalam pendekatan divesture, pendatang baru diharuskan untuk

meninggalkan beberapa aspek dalam masing-masing individu. Bentuk sosialisasi

ini dapat membuat pengurus baru mengganggap organisasi itu “elite” dan

merupakan suatu keistimewaan apabila menjadi pengurus tetap organisasi

tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan orang luar

terhadap organisasi ini dan dapan menyebabkan perasaan rendah diri bagi para

pengurus barunya.

       Suatu organisasi harus meyakinkan bahwa pengurus barunya mendapatkan

pelatihan yang sesuai kebutuhann untuk dapat mengerjakan pekerjaan mereka

nantinya. Pelatihan dapat terdiri dari pelatihan formal maupun informal. Pelatihan

atau Training ini dapat menambah komitmen berorganisasi karena dalam

pelatihan, pengurus baru dapat mengetahui bahwa suatu organisasi bertindak

suportif dan mempunyai kepentingan untuk kesuksesannya. Jika pelatihan ini

memfasilitasi pengurus baru agar dapat sukses, maka dapat menyebabkan

pengurus baru merasa bangga bergabung dalam organisasi tersebut. Pelatihan ini

juga berkontribusi untuk menambah komitmen yang berkelanjutan.

       Pengembangan kebijakan promosi internal merupakan area lain yang

digunakan suatu organisasi untuk meningkatkan komitmen pengurusnya. Namun,


apabila dalam prakteknya promosi internal ini berjalan secara tidak adil dan tidak

transparan maka dapat menyebabkan kemerosotan komitmen pengurusnya.

Banyak organisasi juga sering menggunakan  penelitian komitmen di dalam area

kompensasi dan keuntungan. Contohnya, terdapat beberapa persyaratan untuk

pengurusnya agar dapat memperoleh dana pensiun, salah satunya terdapat syarat

minimal usia. Persyaratan tersebut dapat membuat pengurus untuk tetap berada di

organisasi tersebut, namun tidak menjamin para pengurus tersebut bekerja lebih

giat. Selain dana pensiun, terdapat cara lain yang dapat digunakan suatu organisasi

dalam area kompensasi, yaitu menggunakan pembagian keuntungan atau sharing

profit. Metode lain dalam kompensasi yang dapat meningkatkan komitmen

berorganisasi adalah dengan menggunakan metode pembayaran berdasarkan

keterampilan atau skill-based-pay.

KESIMPULAN

a.         Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat

afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” kepuasan

kerja melulu berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut

berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja

adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan

b.        Teori Kepuasan Kerja adalah sebagai berikut :Teori Proses informasi

sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama

dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Self-Perception

Theory (Bem’s, 1972), karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan

membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya.Social


Comparison Theory (Festinger’s, 1954), karyawan mengembangkan sikap seperti

kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, yang

menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan

dan memahami lingkungan.

c.         Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956)

sebagai berikut : 

(1) Faktor individual, misalnya  umur, kesehatan, watak dan harapan;

(2)  Faktor sosial, misalnya hubungan kekeluargaan danpandangan masyarakat,

(3) Faktor utama dalam pekerjaan, misalnya upah, pengawasan, ketentraman

kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju.

d.        Dampak dari Meningkatnya Kepuasan Kerja : Produktivitas Kerja

Meningkat, Menurunnya kemangkiran dan permintaan berhenti, dan kesehatan

pegawai yang meningkat karena perasaan nyaman terhadap pekerjaan. ( Ashar

Sunyoto M,200).

e.         Komitmen   organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang

pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja

atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi

anggota organisasi tersebut. (Jex, 2002). Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan

tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat

beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan

organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.

f.         Seperti kepuasan kerja, dalam komitmen organisasi ada hubungannya

dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan


performa kerja. Komitmen organisasi yang tinggi akan berdampak positif

terhadap variable-variabel tersebut.

Enam Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Luthans (1998:144), terdapat tiga dimensi penting kepuasan kerja, yaitu :

1. kepuasan kerja adalah respon emosional terhadap situasi kerja

2. kepuasan kerja diartikan sebagai seberapa baik hasil yang diperoleh memenuhi

harapan

3. kepuasan kerja menyajikan perhatian atau attitude yang berkaitan dengan

pekerjaan.

 Smith, et. al. yang dikutip Luthans (1998:145-146) menunjukkan adanya 6 faktor

penting yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu :

 1) The work itself, the extent to which the job provides the individual with

interisting task, opportunities for learning, and the chance to accept resposibility.

Pekerjaan itu sendiri, sejauhmana karyawan memandang pekerjaannya sebagai

pekerjaan yang menarik, memberikan kesempatan untuk belajar, dan peluang

untuk menerima tanggung jawab.

 2) Pay, the amount of financial remuneration that is received and the degree to

which that is viewed aquitable vis-a-vis that of other in organization.

Upah atau gaji, merupakan jumlah balas jasa finansial yang diterima karyawan

dan tingkat di mana hal ini dipandang sebagai suatu hal yang adil dalam

organisasi.
 3) Promotion opportunities, the chance for advancement in the hierarchy.

Kesempatan untuk kenaikan jabatan dalam jenjang karir.

 4) Supervision, the abilities of the supervisor to provide tchnical assistance and

behavioral support.

Supervisi, merupakan kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan secara

teknis maupun memberikan dukungan.

 5) Co-worker, the degree to which fellow worker are technically proficient

socially suportive.

Rekan kerja, merupakan suatu tingkatan di mana rekan kerja memberikan

dukungan.

 6) Working condition, if the working condition are good (clean, attractive,

surrounding, for instance) the personnel will find it easier to carry out their job.

Kondisi kerja, apabila kondisi kerja karyawan baik (bersih, menarik, dan

lingkungan kerja yang menyenangkan) akan membuat mereka mudah

menyelesaikan pekerjaannya.

 Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) The work itself (Pekerjaan itu sendiri)

Menurut Luthans (1998:145), unsur ini menjelaskan pandangan karyawan

mengenai pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, melalui pekerjaan

tersebut karyawan memperoleh kesempatan untuk belajar, dan memperoleh

peluang untuk menerima tanggung jawab. Menurut Robbins (2001:149)

“karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka


kesempatan menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan

beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka

bekerja.…”. Adanya kesesuaian pekerjaan dengan ketrampilan dan kemampuan

karyawan diharapkan mampu mendorong karyawan untuk menghasilkan kinerja

yang baik.

2).Pay(Gaji)

Menurut Robbins (2001:149) bahwa para karyawan menginginkan sistem

upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak

meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai

adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan

standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan”.

Semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan, maka semakin tinggi pula tingkat

kemungkinan karyawan tersebut melakukan perbandingan sosial dengan

karyawan bandingan yang sama di luar perusahaan. Jika gaji yang diberikan

perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan gaji yang berlaku di perusahaan

yang sejenis dan memiliki tipe yang sama, maka akan timbul ketidakpuasan kerja

karyawan terhadap gaji. Oleh karena itu gaji harus ditentukan sedemikian rupa

agar kedua belah pihak (karyawan dan perusahaan) merasa sama-sama

diuntungkan. Karena karyawan yang merasa puas dengan gaji yang diterimanya,

maka dapat menciptakan kepuasan kerja yang diharapkan berpengaruh pada

kinerja karyawan.

Begitu pula Menurut Handoko (2001 : 6), yang menyatakan bahwa

“Ketidakpuasan sebagai besar karyawan terhadap besarnya kompensasi sering

diakibatkan adanya perasaan tidak diperlakukan dengan adil dan layak dalam
pembayaran mereka”. Pendapat serupa dikemukakan Hasibuan (2001 : 121)

bahwa dengan balas jasa atau kompensasi, karyawan akan dapat memenuhi

kebutuhan-kebutuhan fisik, status sosial, dan egoistiknya sehingga memperoleh

kepuasan kerja dari jabatannya.

3) Promotion opportunities( Kesempatan promosi )

Menurut Luthans (1998:145) menyatakan bahwa “Kesempatan

promosi mengakibatkan pengaruh yang berbeda terhadap kepuasan kerja karena

adanya perbedaan balas jasa yang diberikan”. Menurut Nitisemito (2000 : 81)

promosi adalah “Proses pemindahan karyawan dari satu jabatan ke jabatan yang

lain yang lebih tinggi”. Dengan demikian promosi akan selalu diikuti oleh tugas,

tanggung jawab, dan wewenang lebih tinggi daripada jabatan yang diduduki

sebelumnya. Melalui promosi, perusahaan akan memperoleh kestabilan dan moral

karyawanpun akan lebih terjamin. Sementara Robbins (2001:150) menyatakan

bahwa promosi akan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi,

tanggung jawab yang lebih banyak, dan status sosial yang meningkat. Apabila

promosi dibuat dengan cara yang adil diharapkan mampu memberikan kepuasan

kepada karyawan.

4) Supervision (Pengawasan)

Luthans (1998:145) berpendapat bahwa tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan

dengan fungsi kepemimpinan, yaitu usaha mempengaruhi kegiatan bawahan

melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan

organisasi. Menurut Hasibuan (2001:169), kepemimpinan yang ditetapkan oleh

seorang manajer dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan

mendorong gairah kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal. Oleh
sebab itu aktivitas karyawan di perusahaan sangat tergantung dari gaya

kepemimpinan yang diterapkan serta situasi lingkungan di dalam perusahaan

tempat mereka bekerja. Perlunya pengarahan, perhatian serta motivasi dari

pemimpin diharapkan mampu memacu karyawan untuk mengerjakan

pekerjaannya secara baik, seperti yang dikemukakan oleh Hasibuan (2001:170)

bahwa gaya kepemimpinan pada hakikatnya bertujuan untuk mendorong gairah

kerja, kepuasan kerja, dan produktivitas kerja karyawan yang tinggi, agar dapat

mencapai tujuan organisasi yang maksimal.

5) Co-worker ( Rekan kerja )

Luthans (1998:146) menyatakan bahwa “Rekan kerja yang bersahabat, kerjasama

rekan sekerja atau kelompok kerja adalah sumber kepuasan kerja bagi pekerja

secara individual. Sementara kelompok kerja dapat memberikan dukungan,

nasehat atau saran, bantuan kepada sesama rekan kerja. Kelompok kerja yang baik

mambuat pekerjaan lebih menyenangkan. Baiknya hubungan antara rekan kerja

sangat besar artinya bila rangkaian pekerjaan tersebut memerlukan kerja sama tim

yang tinggi. Tingkat keeratan hubungan mempunyai pengaruh terhadap mutu dan

intensitas interaksi yang terjadi dalam suatu kelompok. Kelompok yang

mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung menyebabkan para pekerja

lebih puas berada dalam kelompok. Kepuasan timbul terutama berkat kurangnya

ketegangan, kurangnya kecemasan dalam kelompok dan karena lebih mampu

menyesuaikan diri dengan tekanan pekerjaan.

6) Working condition (Kondisi kerja)

Menurut Luthans (1998:146), apabila kondisi kerja bagus (lingkungan yang bersih

dan menarik), akan membuat pekerjaan dengan mudah dapat ditangani.


Sebaliknya, jika kondisi kerja tidak menyenangkan (panas dan berisik) akan

berdampak sebaliknya pula. Apabila kondisi bagus maka tidak akan ada masalah

dengan kepuasan kerja, sebaliknya jika kondisi yang ada buruk maka akan buruk

juga dampaknya terhadap kepuasan kerja.

Anda mungkin juga menyukai