Anda di halaman 1dari 8

Nama : Muhammad Farhan Mubaraq

NIM : 2010103010091

Tugas : UTS Mata Kuliah Politik Identitas Kelas 01

Peninjauan Teori Politik Etnis


Pada Keberpihakan Negara Terhadap Jawa Dan Papua

Pengantar
Struktur masyarakat Indonesia jika ditinjau lebih jauh selalu ditandai atas

dua ciri yang paling mendasar, yaitu secara horizontal dan vertikal. Secara

horizontal masyarakat Indonesia dibangun atas suatu kesatuan komunitas sosial

yang didasari oleh kelompok agama, adat istiadat, kebudayaan, dan kedaerahan.

Secara vertikal, masyarakat diklasifikasikan dalam perbedaan kelas sosial yang

sangat kentara perbedaannya. Kedua ciri latar belakang masyarakat ini, sangat

punya pengaruh dalam menentukan kondisi sosial politik. Akibatnya perbedaan-

perbedaan yang ada sangat membutuhkan keterampilan khusus untuk

mengelolanya dengan baik agar terhindar dari perpecahan atau polarisasi ditengah

masyarakat.

Dalam hubungan politik secara horizontal, masyarakat yang

dikelompokkan atas budaya, agama, adat istiadat, dan kedaerahan, secara alamiah

akan menghasilkan konflik kepentingan akibat kebutuhan yang berbeda

diantaranya. Mereka akan saling bersaing untuk memenangkan suatu persaingan

politik yang tak jarang didasari kepentingan kelompoknya. Maka tidak heran lagi

kita sering melihat perpecahan yang makin hari makin menjadi-jadi. Walau
demikian, J.S. Furnivall menyebut bahwa kondisi semacam ini merupakan

identitas yang unik bagi Indonesia, dan menyebutnya sebagai ciri utama

Indonesia, majemuk. Sekali lagi, jika perbedaan kepentingan ini dikelola dengan

baik pemerintah akan dianggap sukses menjalankan perintah konstitusi.

Secara vertikal, perbedaan kepentingan politik yang ditimbulkan adalah

perjuangan kelas yang dilakukan oleh masyarakat lapisan bawah untuk mencapai

kesejahteraan hidupnya dengan masyarakat lapisan atas yang ingin mempertahan

eksistensinya bahkan meningkatkan kualitas hidupnya. Masyarakat lapisan atas

cendeung menguasai banyak hal, jauh dari apa yang dimiliki lapisan bawah.

Persoalan kontra kepentingan semacam, ini memicu banyak pergolakan sosial

terutama pada kalangan bawah yang termanifestasi dalam kegiatan ujuk rasa,

demontrasi, bahkan tindakan separatis.

Sebagai pihak yang diamanahkan negara untuk menjadi pelaksana

konstitusi, pemerintah berkewajiban untuk mengelola konflik kepentingan diatas.

Pemerintah dilarang memprioritaskan identitas tertentu, baik itu secara horizontal

maupun vertikal. Pemerintah dituntut adil memperlakukan setiap individua tau

kelompok-kelompok yang ada. Namun kalimat tersebut hanyalah kondisi ideal

yang diharapkan semua orang di Indonesia. Dari segi implementasi, kondisi ideal

tersebut masih belum selesai dan final hingga saat ini. karena hingga sekarang kita

masih dapat menyaksikan bagaimana pemerintah berlaku tidak adil terhadap kelas

sosial dan etnis tertentu. Untuk itu kami tertarik untuk meninjau tindakan

pemerintah dalam suatu kasus yang menarik, yaitu prioritas pembangunan pulau

jawa jika dibandingkan dengan papua melaui sudut pandang teori politik etnis.
Teori Politik Etnis
Dalam persfektif pendekatan instrumentalis, identitas adalah instrumen

yang dipandang dan digunakan elit dalam aspek-aspek politik seperti merubut

kekuasaan. Identitas dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamis yang

dipengaruhi oleh wacana politik yang diproduksi oleh kepentingan-kepentingan

politik yang terus berkembang. Pendekatan Instrumentalisme dalam konteks ini

lebih fokus pada proses manipulasi dan mobilisasi politik kelompok-kelompok

sosial yang bagun atas dasar etnisitas seperti kebangsaan, agama, ras, dan Bahasa.

Sedangkan etnisitas merupakan bagian dari identitas yang berkaitan erat

dengan kebudayaan diantaranya kebangsaan, agama, ras, dan Bahasa. Etnisitas

sering digunakan kelompok yang beritan dengannya untuk mencapai suatu

kepentingan tertentu. Melalui politik identitas yang diperjuangkan, kelompok

etnis melakukan upaya untuk mencapai legitimasi oleh banyak kelompok yang

menjadi targetnya. Menurut Brown (Barker, 2004) etnis merupakan suatu asosiasi

sosial yang didalam konteks politik digunakan sebagai instrumen mecapai

kepentingan individu atau kelompok tertentu. Kepentingan yang dimaksud terkait

dengan kekuasaan, ekonomi, dan lainnya.

Apabila kita memaknai defenisi yang diutarakan brown, dalam praktiknya

politik etnis digunakan orang-orang berkepentingan untuk memenuhi hasratnya

akan kepentingan politik dan ekonominya. Hal ini sangat buruk jika kita nilai

bersama, karena seutuhnya makna dari demokrasi adalah menjamin kebebasan

dan dalam konteks kontitusi Indonesia, setiap orang berhak mendapatkan


kesejahteraan. Namun disisi lain para pejuang kepentingan ini, menggunakan

identitas atau etnis yang melekat padanya untuk kepentingan

Sentralisme Jawa Dalam Pembangunan Nasional


Sudah sejak lama bahkan sejak awal negara ini diproklamasikan

kemerdekaan, jawa memang menjadi lokasi pembangunan berskala nasional yang

ditetapkan pemerintah. Disaat daerah-daerah diluar pulau ini masih tertinggal,

jawa malah dijadikan pusat pembangunan nasional, bangunan-bangunan yang

dibangun menjulang tinggi, proyek pertanian berpusat, industri-industri dibangun

masif, dan banyak hal lain yang menjadi “kecemburuan sosial” bagi masyarakat

Indonesia yang tidak tinggal atau bahkan tidak beretnis jawa. Seolah-olah

pembangunan yang tidak merata tersebut menjadi kepuasan bagi segenap

masyarakat Indonesia.

Jika kita mengingat kebelakang, banyak sekali kasus separatism yang

dilatarbelakangi sentralisme pembangunan ini. Seperti pemberontakan yang

beberapa kali muncul di Sumatera (Aceh, Sumatera barat) dan di bagian timur

Indonesia. Bukti sejarah yang ada menyebut bahwa memang ada semacam “pilih

kasih” oleh pemerintah terhadap jawa dibanding daerah-daerah lain. Padahal

dalam proses pembentukan dan kemerdekaan negara ini, banyak sekali kerelaan

daerah-daerah untuk Bersatu dalam mencapai kemerdekaan, bukan hanya jawa

semata.

Saat pra-kemerdekaan, para pendiri dan pemimpin bangsa yang beretnis

jawa, sering menyampaikan pidato-pidatonya dengan membawa kesamaan


perjuangan diantara beragamnya etnis di Hindia belanda saat itu. Namun ketika

kepentingan politiknya tercapai, seakan-akan kesamaan perjuangan tersebut

hilang seketika, dan hanya memperjuangkan etnisnya saja.

Ketertinggalan Papua dan Kasus Rasisme


Sering kita mendengar bagaimana tertinggalnya Papua dalam segi

pembangunan, baik itu kita kutip dari berita nasional maupun internasional. Papua

dianggap sebagai daerah yang tak layak berkembang sehingga tidak menjadi

prioritas atau setidaknya diperhatikan oleh pemerintah pusat. Tindakan ini adalah

tindakan pelecehan paling buruk selama kita mulai mengetahui apa itu pelecehan.

Bahkan ketika pembangunan ingin dilaksanakan, jawa akan menjadi patokan

tentang bagaimana papua harus dibangun. Hal ini bisa kita lihat ketika dimasa

orde baru, disaat soeharto ingin meningkatkan program swasembada pangan.

Ratus ribuan hektar lahan di Papua digarap pemerintah untuk menjadi lubung padi

nasional. Padahal disaat yang bersamaan, masyarakat Papua tidak terbiasa dalam

Bertani sawah dan tidak mengonsumsinya dalam jumlah banyak seperti yang ada

di Jawa dan pulau-pulau lain. Mereka mengonsumsi sagu sebagai makanan

pokoknya.

Dalam kasus lain, banyak terjadi rasisme yang dilakukan berbagai

masyarakat terhadap masyarakat Papua yang merantau. Terutama terjadi pada

mahasiswa yang belajar di pulau Jawa. Mereka mendapatkan perlakukan tidak

pantas disaat mereka hanya ingin belajar dan berharap dapat membangun

daerahnya lebih baik. Ada baiknya saya mengingatkan kita semua mengenai kasus

rasisme terhadap masyarakat Papua belakangan ini di Surabaya. Pada bulan


agustus 2019 di Surabaya, kelompok mahasiswa Papua yang tinggal di asrama

mendapatkan perlakuan biadab oleh masyarakat sekitar karena asumsi mereka

yang tidak berdasar. Masyarakat menganggap bahwa masyarakat papua tidak

nasionalis. Hal ini benar-benar membingungkan kita semua, karena disaat inipun

kita masih menyaksikan betapa mayoritas dari mereka menggunakan Bahasa

Indonesia dengan baik dalam kehidupan sehari-harinya.

Baru-baru inipun kita mungkin masih mengingat bagaimana terdapat

seorang pegiat media sosial yang menyamakan hewan dengan rupa seorang

papua. Bukankah tindakan tersebut seharusnya diproses hukum? Namun

sayanganya pemerintah tidak turun dalam menyelesaikan maslah-masalah ini.

masalah tersebut masih dianggap bisa diselesaikan dengan berjalannya waktu.

Dalam konteks politik, padahal papua adalah sumber suara terbesar yang

memenangkan rezim ini dikursi kekuasaan dalam dua periode.

Kesimpulan
Jokowi dalam suatu kesempatan ditahun 2019 menyebut bahwa Jawa dan

Papua bagaikan bumi dan langit. Dari apa yang disampaikannya, kita merasa

rezim ini peka akan kepedihan yang dirasakan masyarakat papua sekarang.

Namun tetap saja kita masiih menyaksikan jarak yang dibuat pemerintah diantara

Jawa dan Papua.

Berharapnya seorang calon penguasa terhadap suatu etnis untuk

mendukungnya adalah suatu bentuk politisasi etnis. Calon penguasa akan

menggambarkan suatu situasi, di mana dia akan berpihak pada etnis tersebut jika
kemudian dia terpilih. Namun ketika mencapai kursi kekuasaan, dia melupakan

harapan-harapan suatu etnis untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Menurut

hemat Saya, ini adalah tindakan politik etnis yang paling tidak beradab.

Memanfaatkan kuantitas etnis untuk mencapai kepentingan sosial, politik, dan

ekonominya, lalu meninggalkannya seketika.

Diakhir kesimpulan ini, saya ingin menyangkutpautkan tindakan rasisme

dan ketertinggalan papua, dengan tindakan separatis yang mereka lakukan baru-

baru ini. Hal ini sesuai dengan teori politik etnis yang saya sampaikan diawal,

bahwa jika perbedaan identitas yang ada tidak dikelola dengan baik, baik itu

secara horizontal (etnis) maunpun secara vertikal (kelas sosial ekonomi),

kemarahan kelompok-kelompok sosial akan mereka wujudkan dalam kegiatan

ujuk rasa, demontrasi, hingga tindakan separatis seperti yang terjadi di Papua saat

ini.
Referensi:

Bitang, Vio. 2022. Praktik Multikulturalisme Antara Masyarakat Surabaya Dan


Mahasiswa Papua Dalam Mewujudkan Harmonisasi Sosial. Kajian Moral dan
Kewarganegaraan. Vol. 10 (2): 304 - 318

La ode, M.D. 2012. Etnis Cina Indonesia Dalam Politik. Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia.

Nawir dan Mukramin. 2019. Identitas Etnis Dalam Ranah Politik (Studi Kasus
Pilkades Siru Kecamatan Lembor Kabupaten Manggarai Barat). Phinisi
Integration Review, Vol. 2 (2): 348-354

Anda mungkin juga menyukai