Anda di halaman 1dari 16

PERBEDAAN WARISAN DALAM ISLAM DAN PRA ISLAM DAN DASAR HUKUM

WARIS DALAM AL QUR’AN DAN HADIST

Makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Munahaqat dan Mawaris
Dosen Pengampu : Ainun Yudhistira, S.H.I., M.H.I.

Disusun Oleh Kelompok 5 :


1. Esti Nur Arrochmah 203111178
2. Muhammad Khoiruddin 203111184
3. Nafis Adri Fikri N 203111208

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2022/2023

1
KATA PENGANTAR

ُ‫اَلس َََّل ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َركَا تُه‬


Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
karunia,rezeki, dan hidayahnya. Sholawat dan salam kita berikan kepada Rasulluloh
SAW yang telah membawa risalah islam sehingga bisa menjadi bekal kita untuk
kehidupan baik didunia dan diakhirat. Terimakasih kepada Bapak Ainun Yudhistira,
S.H.I., M.H.I. selaku dosen Fiqih Munahakaq dan Mawaris yang sudah memberikan
kepercayaan kepada kelompok 7 untuk mengerjakan makalah ini.

Pada pembuatan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan karena
kami hanyalah manusia biasa baik dalam segi penulisan,pengambilan materi,atau segi
penyampaian. Mohon dimaafkan, karena kami sudah berusaha dengan sebaik dan
semaximal mungkin untuk mengerjakan makalah ini disertai studi kasus di lapangan.

Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu teman-teman semua dalam
memahami materi yang ada dirps disertai penelitiannya dan menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi kita semua.

ُ‫سَلَ ُم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َركَاتُه‬


َّ ‫َو َعلَ ْي ُك ُم ال‬

Boyolali, 1 April 2022

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
A. Latar Belakang .................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 4
C. Tujuan ............................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 5
A. Pengertian Waris ............................................................................................... 5
B. Sejarah Hukum Kewarisan Islam...................................................................... 5
1. Kewarisan Pada Masa Pra-Islam ................................................................ 5
2. Kewarisan Pada Masa Awal Islam ............................................................. 6
C. Dasar Hukum Waris Dalam Al-Qur’an dan Hadits .......................................... 7
D. Kewarisan Islam dan Permasalahannya ............................................................ 8
1. Sebab-sebab Menerima Warisan................................................................. 9
2. Halangan Menerima Warisan ..................................................................... 9
E. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam .................................................................. 10
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 12
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 15
B. Saran ................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada prinsipnya, setiap manusia mengalami proses perjalanan, mulai dilahirkan,
hidup dibumi dan diakhiri dengan kematian. Tentu tahap-tahap tersebut akan membawa
dampak hukum atau pengaruh bagi lingkungannya, terutama bagi orang yang ada
hubungan dengannya, baik hubungan darah (nasab), maupun hubungan karena
pernikahan.Manusia lahir bersama dengan hak dan kewajibannya sebagai individu yang
berinteraksi dengan orang lain. Hubungan interaksi tersebut bisa dengan orang tuanya,
kerabatnya, keluarganya, dan juga masyarakat lingkungannya. Sejak bayi, anak-anak,
tamyiz, usia baligh, dan lanjut usia, manusia tidak pernah lepas dari hak dan kewajibannya.
Manusia me miliki hak dan menanggung kewajiban baik sebagai pribadi, sebagai
anggota keluarga, sebagai warga negara, dan sebagai pemeluk agama, yang harus taat,
tunduk dan patuh terhadap syariat agama. Demikian juga jika manusia meninggal. Ia
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan
lingkungannya. Kematian juga menimbulkan kewajiban baru bagi manusia yang lainnya,
yaitu pengurusan jenazah yang merupakan fardhu kifayah bagi orang yang
ditinggalkannya, di samping akibat-akibat hukum lain yang salah satunya menyangkut hak
para keluarga yang ditinggalkannya (ahli waris) terhadap seluruh harta yang ditinggalkan.
Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial memiliki dua fungsi, fungsi pertama
sebagai kontrol sosial, yaitu hukum Islam diletakkan sebagai hukum Tuhan, yang selain
sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu
komunitas masyarakat. Sedang kontrol yang kedua adalah sebagai nilai dalam proses
perubahan sosial yaitu hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batasbatas
tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan
politik.Sehingga dalam konteks ini hukum Islam dituntut untuk akomodatif terhadap
persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Berdasarkan uraian di atas
Makalah ini akan membahas Perbedaan warisan dalam Islam dengan pra Islam.Dasar
hukum waris dalam al Quran dan hadis.
A. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Waris ?
2. Apa Perbedaan warisan dalam islam dan pra islam ?
3. Bagaimana Hukum waris dalam Alquran dan Hadist ?
4. Apa Saja Masalah dalam Kewarisan ?
5. Apa Asas-Asas Hukum Kewarisan??
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian Waris.
2. Untuk mengetahui Perbedaan Waris dalaam Islam dan Pra Islam
3. Untuk Mengetahui Hukum Waris dalam Al Quran dan Hadist
4. Untuk MMengetahui Masalah dalam Kewarisan
5. Untuk Mengetahui Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam

4
BAB II
KETENTUAN TENTANG WARIS DALAM ISLAM

A. Pengertian Waris
Di dalam bahasa Arab kata waris berasal dari kata ‫ورثا‬-‫يرث‬-‫ ورث‬yang artinya adalah
Waris. Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya.dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud
adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam
istilah lain waris disebut juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang dibagi
menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan
bagian-bagiannya.Adapun beberapa istilah tentang waris yaitu :

1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabarnya.
3. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan hutang, serta pelaksanaan
wasiat.
4. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.

B. Sejarah Hukum Kewarisan Islam


1. Kewarisan Pada Masa Pra-Islam
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi, masyarakat Arab jahiliyah
telah mengenal sistem kewarisan. Dalam hal pembagian harta warisan, mereka berpegang
teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Pada masa ini, waris-mewarisi terjadi karena tiga sebab, yaitu karena adanya
pertalian kerabat atau hubungan darah, pengakuan atau sumpah setia, dan pengangkatan
anak. Sebab-sebab itu masih belum mencukupi sebelum ditambah dengan dua syarat
tambahan, yakni sudah dewasa dan merupakan laki-laki.
a. Perempuan dan anak-anak
Pada masa Jahiliyah, anak laki-laki yang belum dewasa serta perempuan, tidak
berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan
mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu dianggap sebagai
warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Masyarakat Arab jahiliyah menganggap, anak-anak tidak mungkin menjadi ahli
waris karena belum mampu berperang, menunggang kuda, memanggul senjata ke
medan perang serta memboyong harta rampasan perang. Disamping itu, status
hukumnya juga masih berada di bawah perlindungan.
Sementara kaum perempuan tidak masuk dalam kelompok ahli waris karena
fisiknya yang tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat di medan

5
laga serta jiwanya yang sangat lemah bila melihat darah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, satu-satunya orang pada masa jahiliyah yang
mewariskan hartanya kepada anak perempuan dan anak laki-laki adalah Amir bin
Jusyaim bin Ganam bin Habib. Dia adalah seorang pemuka bangsa Arab pada masa
jahiliyah yang mewariskan hartanya sesuai dengan aturan Islam. Ia membagi harta
warisan dengan ketentuan bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.

b. Sumpah setia
Pengakuan yang berupa ucapan atau sumpah-setia antara dua orang yang
mengikatkan keduanya, pada masa Jahiliyah berhak mendapatkan harta warisan.
Misalnya berupa ucapan: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan
darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu
karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku
terhadapmu.”
Sumpah setia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum apabila
kedua belah pihak telah mengadakan ijab qabul. Setelah kedua pihak saling menyetujui,
maka kedua orang itu berhak saling mewarisi. Ketentuan seperti ini sampai masa awal-
awal Islam masih berlaku, dan masih dibenarkan menurut Alquran surat an-Nisa' ayat
33.

c. Anak angkat
Pengangkatan anak merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
Arab jahiliyah, walaupun anak tersebut mempunyai orang tua yang masih hidup. Pada
masa jahiliyah, dengan mengangkat anak maka anak tersebut akan berstatus sebagai
anak kandung bagi orang yang mengangkatnya dan dinasabkan kepada bapak
angkatnya, bukan kepada bapak kandungnya.
Ini berarti, seorang anak laki-laki yang menjadi anak angkat, jika telah dewasa dapat
menjadi ahli waris dari bapak angkatnya. Karenanya, dalam segala, hal anak yang
diangkat ini mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya
nasab dan warisan.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas
dasar ikatan sumpah setia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-
laki yang sudah dewasa. Sebab, alasan yang melatarbelakangi mereka untuk
mengadakan sumpah setia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling
membela jiwa raga dan kehormatan mereka.
Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang
mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka
melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta
memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.

2. Kewarisan Pada Awal Islam


Pada masa awal Islam, seseorang bisa mewarisi harta dari orang yang meninggal
dunia karena keturunan, pengangkatan anak, dan sumpah setia. Selanjutnya, ditambah
lagi dengan orang yang ikut berhijrah dan dipersaudarakannya orang-orang Muhajirin
(hijrah dari Makkah ke Madinah) dengan orang Anshar (yang menolong orang-orang
Muhajirin).Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah ialah jika seorang sahabat Muhajirin

6
meninggal dunia, maka yang mewarisinya adalah keluarganya yang ikut hijrah.
Sedangkan, kerabat yang tidak ikut hijrah, tidak mewarisi.
Sementara jika sahabat Muhajirin yang meninggal dunia itu tidak mempunyai
kerabat yang ikut hijrah, maka sahabat dari golongan Anshar-lah yang mewarisinya. Inilah
makna yang terkandung dalam perbuatan Nabi SAW mempersaudarakan sahabat Anshar
dengan sahabat Muhajirin.Pada masa itu juga diperlakukan pewarisan harta orang yang
memerdekakan budak (mu'tiq) terhadap mantan budak yang telah dimerdekakannya ('atiq)
dengan sistem yang disebut dengan wala' (yaitu hak mewarisi pada mantan majikan
terhadap mantan budak yang pernah dimerdekakannya. Dengan catatan, sistem wala' ini
tidak berlaku timbal balik.
Hak waris-mewarisi pada masa permulaan Islam juga diberlakukan antara
pasangan suami-istri (zaujiyah). Karenanya, yang berlaku dalam kewarisan Islam pada
masa permulaan adalah sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran (nasab, qarabah,
rahm), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Anfal (8):75.
Dengan sistem tersebut diatas, maka dihapuslah hak mewarisi yang didasarkan atas
sumpah setia, kecuali bagi pihak-pihak yang tetap memperlakukannya. Adapun mengenai
warisan atas alasan pengangkatan anak memang sejak awal telah dihapuskan Islam. Hal ini
tertuang dalam perintah Allah SWT yang ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW
sendiri mengenai penghapusan akibat hukum yang timbul dari pengangkatan Zaid bin
Haritsah sebagai anak angkatnya Q.S. al-Ahzab (33): 5, 37, dan 40).

C. Dasar Hukum Waris Dalam Al Quran Dan Hadist

1. Q.S An-Nisa ayat 11

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)


anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka
bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua
ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau
(dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Q.S. An-Nisa' : 11)

2. Q.S An-Nisa ayat 12

7
"Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar)
utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat)
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada
ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.
(Q.S. An-Nisa': 12)

Adapun dasar hukum waris dalam hadis Rasulullah saw sangat banyak sekali.
Penulis menemukan ada sekitar 300 hadis yang ber kenaan tentang kewarisan Islam yang
dijelas kan oleh Rasulullah. Di dalam beberapa hadis, pengertian waris disamakan dengan
wasiat. Sebagai penjelasan, penulis hanya memasuk kan dua saja dari hadis-hadis tersebut
:

Artinya, “Berikanlah bagian-bagian itu (harta warisan) kepada keluarganya yang berhak
(mendapatkannya), jika masih ada yang tersisa maka yang utama mendapatkannya adalah
lelaki terdekat (kekerabatannya).” (Muttafaqun ‘alaihi)

D. Kewarisan Islam dan Permasalahannya


Sistem kewarisan pada masa sebelum Islam sangat tidak adil. Oleh karena itu, hak
waris hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang sudah mampu memanggul senjata
untuk berperang dan dengan itu dapat memperoleh rampasan perang. Semantara itu, laki-
laki yang belum dewasa dan perempuan tidak mendapatkan hak waris walaupun orang
tuanya kaya raya. Dalam Islam, setiap pribadi baik laki-laki ataupun perempuan berhak
mendapatkan hak waris. Hal ini membuktikan bahwa sejarah tidak bisa dibohongi dan
dilupakan.

8
1. Sebab-Sebab Menerima Warisan

Menerima warisan merupakan perbuatan pengalihan hak dan kewajiban, dari orang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya sebagai penerima warisan dalam memiliki dan
memanfaatkan harta peninggalan. Orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
atau harta warisan (mewarisi) orang yang meninggal disebut ahli waris.
a. Perkawinan (‫)الزوجیة‬
Perkawinan yang menjadi sebab menerima warisan tersebut disyaratkan harus menjadi
akad yang sah menurut syariat.
Sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. an-nisa'(4): 12
Artinya :"Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi)
wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-
utangmu".
b. Kekerabatan (‫)الترابة‬
Kekerabatan merupakan sebab menerima warisan karena kelahiran, suatu unsur kausalitas
adanya seorang yang tidak dapat dihilangkan, baik untuk anak turun (cabang) dari si mayit
(furu’ul mayyit), leluhur (pokok) yangmenyebabkan adanya si mayit (ushulul mayyit), atau
keluarga yang dihubungkan dengan simayyit melalui garis menyamping (al-hawasyi).
Mereka yang memiliki kekerabatan dengan simayyit, sebagai sebab dalam menerima harta
peninggalan, adalah ayah dan ibu si mayyit,anak-anak, dan orang-orang yang
bernasabkepada mereka.
c. Wala’ (‫)الوالء‬
Wala’ secara bahasa adalah penolong atau pertolongan, biasanya ditujukan untuk
menunjukkan kekerabatan. Menurut istilah syariat, wala’ adalah hubungan kekerabatan
menurut hukum sebagaimana ditetapkan oleh syariat antara mu’tiq (yang membebaskan)
dan mu’taq (yang dibebaskan) atau yang muncul antara seseorang dan yang lain
disebabkan oleh akan muwalah dan sumpah. Jadi, kekerabatanitu ada dua macam. Pertama,
kekerabatan yang disebabkan oleh hubungan nasab yang se sungguhnya. Dia mempunyai
hubungan per-anakan, per-ayahan, persaudaraan, dan per-pamanan. Kedua, hubungan
kekerabatan yang disebabkan oleh hukum, seperti wala’ al-muwalah dan wala’
perbudakan. Adapun yang menjadi dasar bahwa wala’ dapat menerima warisan adalah dari
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim:
“Abu Abbas Muhammad ibn Yakub menceritakankepada kami sekembali kepada
ar-Rabi’ menceritakan ibn Sulaiman menceritakan as-Syafi’i ayah Muhammad ibn Hasan
dari Abu Yusuf ibn Dinar dari ibn Umar ra. Bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Wala’
mempunyai bagian sebagaimana kerabat mempunyai bagian. Tidak dijual dan tidak boleh
diberikan”.

2. Halangan Menerima Warisan


Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang

9
menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan
almuwarris.
a. Perbudakan
Seorang budak, sekalipun budak mukattab,tidak dapat mewarisi dan mewariskan
harta peninggalan dari dan kepada ahli warisnya. Ia tidak dapat mewarisi karena dipandang
tidak cakap mengurusi harta-harta milik, dan status kekeluargaanya terputus dengan ahli
warisnya, ia tidak dapat mewariskan harta peninggalan karena ia dianggap orang yang tidak
memiliki harta sedikit pun.

b. Pembunuhan
Jumhur fuqaha telah sepakat dalam menetapkan pembunuhan sebagai penghalang
pewarisan. Hanya Fuqaha dari golongan Khawarij yang mengingkarinya.Pembunuhan
yang telah disepakati sebagai penghalang kewarisan adalah pembunuhan yang disengaja
dan disertai permusuhan. Sedangkan selainnya masih diperselisihkan oleh para ulama.

c. Perbedaan Agama
Adapun yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah berlainannya agama orang
yang menjadi pewaris dengan orang yang manjadi ahli waris. Mengenai kedudukan
perbedaan agama sebagai pengahalang pewarisan,para ulama telah sepakat (ijma’). Hal ini
dikarenakan hadis Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
Yang artinya : “Tidak ada saling mewarisi bagi dua agama dengan suatu apapun,
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang
kafir mewarisi harta seorang muslim”
Selain perbudakan, pembunuhan, berlainan agama, berbeda negara bahkan ada
yang berpendapat bahwa hal-hal yang dapat meng-halangi seseorang untuk menerima
warisan adalah karena murtad dan hilang tanpaberita.

3. Hak-hak Sebelum Pembagian Warisan


Adapun pewarisan harta meliputi semua harta yang dimiliki berkaitan dengan harta
kekayaan dan hak-hak yang harus dipenuhi sebelum pembagian warisan. Para Fuqaha
berbeda pendapat mengenai jumlah hak sebelum pembagian warisan tersebut. Sebagian
menyatakan ada empat hak, yaitu: a) hak yang berkaitan dengan zat harta peninggalan,
b)biaya perawatan jenazah ,c) pelunasan hutang, dan d) pemberian wasiat apabila hutang
atau wasiat pewaris telah terpenuhi,maka harta yang tersisa itulah yang dapat kita bagii
sesuai syariat islam. Pelunasan hutang tersebut berujuan agar pewaris dan ahli waris
selamat dari siksa api neraka.

E. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam.


Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan harta
kepada ahli warist, cara pemililkan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta dan waktu
terjdinya peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:
1. Asas Ijbari
Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah.

2. Asas Bilateral

10
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih jelasnya asas bilateral in
dapat dilihat dalam Q.S. an-Nisa ayat 7 dan 11.

3.Asas Individual
Yang dimaksud asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan
demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua
harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini terdapat dalam Q.S. an-Nisa ayat 7

4.Asas Keadilan Berimbang


Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara antara hak
dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan
kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak
menentukan dalam hak kewarisan.

5. Kewarisan Akibat Kematian


Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-
mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih
apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat
dilakukan dengan pewarisan

11
LAMPIRAN

No Ahli waris Bagian Kondisi


1 Suami ½ Tidak ada anak/cucu
¼ Ada anak/cucu

2. Istri ¼ Tidak ada Anak/ Cucu


1/8 Ada Anak/ Cucu
Dibagi rata Dari ¼ atau 1/8 bagian tsb (jika Istri
lebih dari seorang)
3. Anak lk Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil
Furudh
- 2 x bagian Anak pr (jika ada Anak
lk dan Anak pr)
dibagi rata Anak lk lebih dari seorang
4. Anak pr ½ Anak pr hanya seorang
2/3 Anak pr lebih dari seorang (dibagi
rata)

Ashabah ½ bagian Anak lk (jika ada Anak lk


dan Anak pr)
5. Cucu lk (dari anak lk) 0 Ada Anak lk
Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil
Furudh
- 2 x bagian Cucu pr (jika ada Cucu
lk dan Cucu pr)
dibagi rata Cucu lk lebih dari seseorang
6 Cucu pr(dari Anak lk) 0 Ada Anak lk Ada dua orang atau
lebih Anak pr (kecuali Cucu pr
bersama Cucu lk)
½ Cucu pr hanya seorang
2/3 Cucu pr lebih dari seorang (dibagi
rata)
1/6 Cucu pr bersama Anak pr
Ashabah ½ bagian Cucu lk (jika ada Cucu lk
dan Cucu pr)
7 Ayah 1/6 Ada Anak lk atau Cucu lk
1/6 dan sisa Ada Anak pr atau Cucu pr
2/3 Ahli waris hanya Ayah dan Ibu
2/3 dari sisa (setelah dikurangi hak Istri/ Suami),
jika ada Istri/ Suami dan Ibu
Ashabah Tidak ada ahli waris lainnya
8. Ibu 1/6 Ada Anak/ Cucu/ dua orang atau
lebih Saudara
1/3 Ahli waris hanya Ibu, atau Ayah dan
Ibu

12
1/3 dari sisa (setelah dikurangi hak Istri/Suami),
jika ada Istri/ Suami dan Ayah
9 Kakek 0 Ada Ayah
1/6 Ada Anak lk atau Cucu lk
1/6 dan sisa Ada Anak pr atau Cucu pr
Sisa Tidak ada Anak atau Cucu,tetapi
ada Ahli waris lain
Ashabah Tidak ada Ahli waris lainnya
10 Nenek 0 Ada Ayah atau Ibu (untuk Nenek
dari Ayah)
- Ada Ibu (untuk Nenek dari Ibu)
1/6 Tidak ada Anak atau Cucu, tetapi
ada Ahli waris lain
1/6 dibagi rata Nenek lebih dari seorang
11 Saudara lk kandung 0 Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk (dari
Anak lk)
Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil
Furudh - 2 x bagian Sdr pr
kandung (jika ada Saudara lk dan
Saudara pr kandung)
Dibagi rata Saudara lk kandung lebih dari
seorang
= bagian saudara Ahli waris: Suami, Ibu, Saudara
seibu kandung dan dua orang atal lebih
Saudara seibu
12. Saudara pr kandung 0 Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk (dari
Anak lk)
½ Saudara pr kandung hanya seorang
2/3 Saudara pr kandung lebih dari
seorang (dibagi rata)
Ashabah Bersama dengan Saudara lk
kandung (bagian perempuan ½
bagian laki-laki)
- Bersama Anak pr atau Cucu pr
13. Saudara lk sebapak 0 Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk (dari
Anak lk)/ Saudara lk
kandung/Saudara pr kandung
bersama Anak pr atau Cucu pr
Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil
Furudh
dibagi rata Saudara lk sebapak lebih dari
seorang
14 Saudara pr sebapak 0 Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk

(dari Anak lk)/ Saudara lk

13
kandung/ Saudara pr kandung
bersama Anak pr atau Cucu pr/ dua
atau lebih Saudara pr kandung
½ Saudara pr sebapak hanya seorang
2/3 Saudara pr sebapak lebih dari
seorang (dibagi rata)
1/6 Saudara pr sebapak lebih dari
seorang (dibagi rata)
Ashabah Bersama Saudara lk sebapak (bagian
perempuan ½bagian laki-laki)
-Bersama Anak pr atau Cucu pr
15. Saudara lk/ pr seibu 0 Ada: Ayah/ Anak/ Cucu/ Kakek
1/6 Saudara seibu hanya seoran
1/3 Saudara seibu lebih dari seorang
(dibagi rata)

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpul- kan bahwa, secara historisitas,
pembagian harta warisan sudah ada sebelum Islam (pra- Islam). Sistem pewarisannya
adalah sistem ke- turunan dan sistem sebab. Pembagian harta warisan bersifat patrilinear
di mana anak-anak yang belum dewasa dan perempuan tidak men- dapatkan harta warisan,
sekalipun mereka me- rupakan ahli waris. Seseorang baru mendapat- kan harta apabila
memiliki pertalian kerabat, janji ikatan prasetia, dan pengangkatan anak. Sementara pada
masa awal Islam seseorang bisa mendapatkan harta warisan apabila ada pertalian
kerabat, pengangkatan anak, per- taliah hijrah dan persaudaraan.
Dasar hukum kewarisan Islam bersumber pada al-Qur’an dan hadis. Dasar hukum
ke- warisan itu ada yang tegas, tersirat, bahkan ada yang hanya berisi pokok-pokoknya
saja.
Dari sisi historis, hukum waris pra-Islam dan awal Islam dapat disebutkan bahwa:
(1) Pewarisan baru terjadi jika ada sebab-sebab yang mengikat pewaris dengan ahli
warisnya, seperti adanya perkawinan, kekerabatan, dan wala’; (2) Hal-hal yang dapat
menggugurkan atau menghilangkan hak seseorang menerima warisan adalah
perbudakan, pembunuhan, berlainan agama dan berlainan negara. Selain itu, ada yang
berpendapat bahwa murtad dan hilang tanpa berita menghalangi seseorang untuk
menerima warisan; dan (3) sebelum pembagian warisan ada beberapa hak yang harus
dipenuhi terlebih dahulu, seperti; hak yang berkaitan dengan zat harta peninggalan, biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pemberian wasiat.

B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.

15
DAFTAR PUSTAKA

Muhibbudin, Moh., dkk, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika,


2009.
Ramulyo, Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2004
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,
1982
Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002.

16

Anda mungkin juga menyukai