4F KELOMPOK 7 FIQIH MUNAKAHAD DAN MAWARIS y
4F KELOMPOK 7 FIQIH MUNAKAHAD DAN MAWARIS y
Makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Munahaqat dan Mawaris
Dosen Pengampu : Ainun Yudhistira, S.H.I., M.H.I.
1
KATA PENGANTAR
Pada pembuatan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan karena
kami hanyalah manusia biasa baik dalam segi penulisan,pengambilan materi,atau segi
penyampaian. Mohon dimaafkan, karena kami sudah berusaha dengan sebaik dan
semaximal mungkin untuk mengerjakan makalah ini disertai studi kasus di lapangan.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu teman-teman semua dalam
memahami materi yang ada dirps disertai penelitiannya dan menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi kita semua.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
A. Latar Belakang .................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 4
C. Tujuan ............................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 5
A. Pengertian Waris ............................................................................................... 5
B. Sejarah Hukum Kewarisan Islam...................................................................... 5
1. Kewarisan Pada Masa Pra-Islam ................................................................ 5
2. Kewarisan Pada Masa Awal Islam ............................................................. 6
C. Dasar Hukum Waris Dalam Al-Qur’an dan Hadits .......................................... 7
D. Kewarisan Islam dan Permasalahannya ............................................................ 8
1. Sebab-sebab Menerima Warisan................................................................. 9
2. Halangan Menerima Warisan ..................................................................... 9
E. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam .................................................................. 10
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 12
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 15
B. Saran ................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada prinsipnya, setiap manusia mengalami proses perjalanan, mulai dilahirkan,
hidup dibumi dan diakhiri dengan kematian. Tentu tahap-tahap tersebut akan membawa
dampak hukum atau pengaruh bagi lingkungannya, terutama bagi orang yang ada
hubungan dengannya, baik hubungan darah (nasab), maupun hubungan karena
pernikahan.Manusia lahir bersama dengan hak dan kewajibannya sebagai individu yang
berinteraksi dengan orang lain. Hubungan interaksi tersebut bisa dengan orang tuanya,
kerabatnya, keluarganya, dan juga masyarakat lingkungannya. Sejak bayi, anak-anak,
tamyiz, usia baligh, dan lanjut usia, manusia tidak pernah lepas dari hak dan kewajibannya.
Manusia me miliki hak dan menanggung kewajiban baik sebagai pribadi, sebagai
anggota keluarga, sebagai warga negara, dan sebagai pemeluk agama, yang harus taat,
tunduk dan patuh terhadap syariat agama. Demikian juga jika manusia meninggal. Ia
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan
lingkungannya. Kematian juga menimbulkan kewajiban baru bagi manusia yang lainnya,
yaitu pengurusan jenazah yang merupakan fardhu kifayah bagi orang yang
ditinggalkannya, di samping akibat-akibat hukum lain yang salah satunya menyangkut hak
para keluarga yang ditinggalkannya (ahli waris) terhadap seluruh harta yang ditinggalkan.
Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial memiliki dua fungsi, fungsi pertama
sebagai kontrol sosial, yaitu hukum Islam diletakkan sebagai hukum Tuhan, yang selain
sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu
komunitas masyarakat. Sedang kontrol yang kedua adalah sebagai nilai dalam proses
perubahan sosial yaitu hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batasbatas
tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan
politik.Sehingga dalam konteks ini hukum Islam dituntut untuk akomodatif terhadap
persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Berdasarkan uraian di atas
Makalah ini akan membahas Perbedaan warisan dalam Islam dengan pra Islam.Dasar
hukum waris dalam al Quran dan hadis.
A. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Waris ?
2. Apa Perbedaan warisan dalam islam dan pra islam ?
3. Bagaimana Hukum waris dalam Alquran dan Hadist ?
4. Apa Saja Masalah dalam Kewarisan ?
5. Apa Asas-Asas Hukum Kewarisan??
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian Waris.
2. Untuk mengetahui Perbedaan Waris dalaam Islam dan Pra Islam
3. Untuk Mengetahui Hukum Waris dalam Al Quran dan Hadist
4. Untuk MMengetahui Masalah dalam Kewarisan
5. Untuk Mengetahui Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
4
BAB II
KETENTUAN TENTANG WARIS DALAM ISLAM
A. Pengertian Waris
Di dalam bahasa Arab kata waris berasal dari kata ورثا-يرث- ورثyang artinya adalah
Waris. Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya.dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud
adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam
istilah lain waris disebut juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang dibagi
menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan
bagian-bagiannya.Adapun beberapa istilah tentang waris yaitu :
1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabarnya.
3. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan hutang, serta pelaksanaan
wasiat.
4. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.
5
laga serta jiwanya yang sangat lemah bila melihat darah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, satu-satunya orang pada masa jahiliyah yang
mewariskan hartanya kepada anak perempuan dan anak laki-laki adalah Amir bin
Jusyaim bin Ganam bin Habib. Dia adalah seorang pemuka bangsa Arab pada masa
jahiliyah yang mewariskan hartanya sesuai dengan aturan Islam. Ia membagi harta
warisan dengan ketentuan bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.
b. Sumpah setia
Pengakuan yang berupa ucapan atau sumpah-setia antara dua orang yang
mengikatkan keduanya, pada masa Jahiliyah berhak mendapatkan harta warisan.
Misalnya berupa ucapan: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan
darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu
karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku
terhadapmu.”
Sumpah setia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum apabila
kedua belah pihak telah mengadakan ijab qabul. Setelah kedua pihak saling menyetujui,
maka kedua orang itu berhak saling mewarisi. Ketentuan seperti ini sampai masa awal-
awal Islam masih berlaku, dan masih dibenarkan menurut Alquran surat an-Nisa' ayat
33.
c. Anak angkat
Pengangkatan anak merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
Arab jahiliyah, walaupun anak tersebut mempunyai orang tua yang masih hidup. Pada
masa jahiliyah, dengan mengangkat anak maka anak tersebut akan berstatus sebagai
anak kandung bagi orang yang mengangkatnya dan dinasabkan kepada bapak
angkatnya, bukan kepada bapak kandungnya.
Ini berarti, seorang anak laki-laki yang menjadi anak angkat, jika telah dewasa dapat
menjadi ahli waris dari bapak angkatnya. Karenanya, dalam segala, hal anak yang
diangkat ini mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya
nasab dan warisan.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas
dasar ikatan sumpah setia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-
laki yang sudah dewasa. Sebab, alasan yang melatarbelakangi mereka untuk
mengadakan sumpah setia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling
membela jiwa raga dan kehormatan mereka.
Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang
mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka
melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta
memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.
6
meninggal dunia, maka yang mewarisinya adalah keluarganya yang ikut hijrah.
Sedangkan, kerabat yang tidak ikut hijrah, tidak mewarisi.
Sementara jika sahabat Muhajirin yang meninggal dunia itu tidak mempunyai
kerabat yang ikut hijrah, maka sahabat dari golongan Anshar-lah yang mewarisinya. Inilah
makna yang terkandung dalam perbuatan Nabi SAW mempersaudarakan sahabat Anshar
dengan sahabat Muhajirin.Pada masa itu juga diperlakukan pewarisan harta orang yang
memerdekakan budak (mu'tiq) terhadap mantan budak yang telah dimerdekakannya ('atiq)
dengan sistem yang disebut dengan wala' (yaitu hak mewarisi pada mantan majikan
terhadap mantan budak yang pernah dimerdekakannya. Dengan catatan, sistem wala' ini
tidak berlaku timbal balik.
Hak waris-mewarisi pada masa permulaan Islam juga diberlakukan antara
pasangan suami-istri (zaujiyah). Karenanya, yang berlaku dalam kewarisan Islam pada
masa permulaan adalah sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran (nasab, qarabah,
rahm), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Anfal (8):75.
Dengan sistem tersebut diatas, maka dihapuslah hak mewarisi yang didasarkan atas
sumpah setia, kecuali bagi pihak-pihak yang tetap memperlakukannya. Adapun mengenai
warisan atas alasan pengangkatan anak memang sejak awal telah dihapuskan Islam. Hal ini
tertuang dalam perintah Allah SWT yang ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW
sendiri mengenai penghapusan akibat hukum yang timbul dari pengangkatan Zaid bin
Haritsah sebagai anak angkatnya Q.S. al-Ahzab (33): 5, 37, dan 40).
7
"Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar)
utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat)
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada
ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.
(Q.S. An-Nisa': 12)
Adapun dasar hukum waris dalam hadis Rasulullah saw sangat banyak sekali.
Penulis menemukan ada sekitar 300 hadis yang ber kenaan tentang kewarisan Islam yang
dijelas kan oleh Rasulullah. Di dalam beberapa hadis, pengertian waris disamakan dengan
wasiat. Sebagai penjelasan, penulis hanya memasuk kan dua saja dari hadis-hadis tersebut
:
Artinya, “Berikanlah bagian-bagian itu (harta warisan) kepada keluarganya yang berhak
(mendapatkannya), jika masih ada yang tersisa maka yang utama mendapatkannya adalah
lelaki terdekat (kekerabatannya).” (Muttafaqun ‘alaihi)
8
1. Sebab-Sebab Menerima Warisan
Menerima warisan merupakan perbuatan pengalihan hak dan kewajiban, dari orang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya sebagai penerima warisan dalam memiliki dan
memanfaatkan harta peninggalan. Orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
atau harta warisan (mewarisi) orang yang meninggal disebut ahli waris.
a. Perkawinan ()الزوجیة
Perkawinan yang menjadi sebab menerima warisan tersebut disyaratkan harus menjadi
akad yang sah menurut syariat.
Sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. an-nisa'(4): 12
Artinya :"Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi)
wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-
utangmu".
b. Kekerabatan ()الترابة
Kekerabatan merupakan sebab menerima warisan karena kelahiran, suatu unsur kausalitas
adanya seorang yang tidak dapat dihilangkan, baik untuk anak turun (cabang) dari si mayit
(furu’ul mayyit), leluhur (pokok) yangmenyebabkan adanya si mayit (ushulul mayyit), atau
keluarga yang dihubungkan dengan simayyit melalui garis menyamping (al-hawasyi).
Mereka yang memiliki kekerabatan dengan simayyit, sebagai sebab dalam menerima harta
peninggalan, adalah ayah dan ibu si mayyit,anak-anak, dan orang-orang yang
bernasabkepada mereka.
c. Wala’ ()الوالء
Wala’ secara bahasa adalah penolong atau pertolongan, biasanya ditujukan untuk
menunjukkan kekerabatan. Menurut istilah syariat, wala’ adalah hubungan kekerabatan
menurut hukum sebagaimana ditetapkan oleh syariat antara mu’tiq (yang membebaskan)
dan mu’taq (yang dibebaskan) atau yang muncul antara seseorang dan yang lain
disebabkan oleh akan muwalah dan sumpah. Jadi, kekerabatanitu ada dua macam. Pertama,
kekerabatan yang disebabkan oleh hubungan nasab yang se sungguhnya. Dia mempunyai
hubungan per-anakan, per-ayahan, persaudaraan, dan per-pamanan. Kedua, hubungan
kekerabatan yang disebabkan oleh hukum, seperti wala’ al-muwalah dan wala’
perbudakan. Adapun yang menjadi dasar bahwa wala’ dapat menerima warisan adalah dari
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim:
“Abu Abbas Muhammad ibn Yakub menceritakankepada kami sekembali kepada
ar-Rabi’ menceritakan ibn Sulaiman menceritakan as-Syafi’i ayah Muhammad ibn Hasan
dari Abu Yusuf ibn Dinar dari ibn Umar ra. Bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Wala’
mempunyai bagian sebagaimana kerabat mempunyai bagian. Tidak dijual dan tidak boleh
diberikan”.
9
menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan
almuwarris.
a. Perbudakan
Seorang budak, sekalipun budak mukattab,tidak dapat mewarisi dan mewariskan
harta peninggalan dari dan kepada ahli warisnya. Ia tidak dapat mewarisi karena dipandang
tidak cakap mengurusi harta-harta milik, dan status kekeluargaanya terputus dengan ahli
warisnya, ia tidak dapat mewariskan harta peninggalan karena ia dianggap orang yang tidak
memiliki harta sedikit pun.
b. Pembunuhan
Jumhur fuqaha telah sepakat dalam menetapkan pembunuhan sebagai penghalang
pewarisan. Hanya Fuqaha dari golongan Khawarij yang mengingkarinya.Pembunuhan
yang telah disepakati sebagai penghalang kewarisan adalah pembunuhan yang disengaja
dan disertai permusuhan. Sedangkan selainnya masih diperselisihkan oleh para ulama.
c. Perbedaan Agama
Adapun yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah berlainannya agama orang
yang menjadi pewaris dengan orang yang manjadi ahli waris. Mengenai kedudukan
perbedaan agama sebagai pengahalang pewarisan,para ulama telah sepakat (ijma’). Hal ini
dikarenakan hadis Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
Yang artinya : “Tidak ada saling mewarisi bagi dua agama dengan suatu apapun,
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang
kafir mewarisi harta seorang muslim”
Selain perbudakan, pembunuhan, berlainan agama, berbeda negara bahkan ada
yang berpendapat bahwa hal-hal yang dapat meng-halangi seseorang untuk menerima
warisan adalah karena murtad dan hilang tanpaberita.
2. Asas Bilateral
10
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih jelasnya asas bilateral in
dapat dilihat dalam Q.S. an-Nisa ayat 7 dan 11.
3.Asas Individual
Yang dimaksud asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan
demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua
harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini terdapat dalam Q.S. an-Nisa ayat 7
11
LAMPIRAN
12
1/3 dari sisa (setelah dikurangi hak Istri/Suami),
jika ada Istri/ Suami dan Ayah
9 Kakek 0 Ada Ayah
1/6 Ada Anak lk atau Cucu lk
1/6 dan sisa Ada Anak pr atau Cucu pr
Sisa Tidak ada Anak atau Cucu,tetapi
ada Ahli waris lain
Ashabah Tidak ada Ahli waris lainnya
10 Nenek 0 Ada Ayah atau Ibu (untuk Nenek
dari Ayah)
- Ada Ibu (untuk Nenek dari Ibu)
1/6 Tidak ada Anak atau Cucu, tetapi
ada Ahli waris lain
1/6 dibagi rata Nenek lebih dari seorang
11 Saudara lk kandung 0 Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk (dari
Anak lk)
Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil
Furudh - 2 x bagian Sdr pr
kandung (jika ada Saudara lk dan
Saudara pr kandung)
Dibagi rata Saudara lk kandung lebih dari
seorang
= bagian saudara Ahli waris: Suami, Ibu, Saudara
seibu kandung dan dua orang atal lebih
Saudara seibu
12. Saudara pr kandung 0 Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk (dari
Anak lk)
½ Saudara pr kandung hanya seorang
2/3 Saudara pr kandung lebih dari
seorang (dibagi rata)
Ashabah Bersama dengan Saudara lk
kandung (bagian perempuan ½
bagian laki-laki)
- Bersama Anak pr atau Cucu pr
13. Saudara lk sebapak 0 Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk (dari
Anak lk)/ Saudara lk
kandung/Saudara pr kandung
bersama Anak pr atau Cucu pr
Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil
Furudh
dibagi rata Saudara lk sebapak lebih dari
seorang
14 Saudara pr sebapak 0 Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk
13
kandung/ Saudara pr kandung
bersama Anak pr atau Cucu pr/ dua
atau lebih Saudara pr kandung
½ Saudara pr sebapak hanya seorang
2/3 Saudara pr sebapak lebih dari
seorang (dibagi rata)
1/6 Saudara pr sebapak lebih dari
seorang (dibagi rata)
Ashabah Bersama Saudara lk sebapak (bagian
perempuan ½bagian laki-laki)
-Bersama Anak pr atau Cucu pr
15. Saudara lk/ pr seibu 0 Ada: Ayah/ Anak/ Cucu/ Kakek
1/6 Saudara seibu hanya seoran
1/3 Saudara seibu lebih dari seorang
(dibagi rata)
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpul- kan bahwa, secara historisitas,
pembagian harta warisan sudah ada sebelum Islam (pra- Islam). Sistem pewarisannya
adalah sistem ke- turunan dan sistem sebab. Pembagian harta warisan bersifat patrilinear
di mana anak-anak yang belum dewasa dan perempuan tidak men- dapatkan harta warisan,
sekalipun mereka me- rupakan ahli waris. Seseorang baru mendapat- kan harta apabila
memiliki pertalian kerabat, janji ikatan prasetia, dan pengangkatan anak. Sementara pada
masa awal Islam seseorang bisa mendapatkan harta warisan apabila ada pertalian
kerabat, pengangkatan anak, per- taliah hijrah dan persaudaraan.
Dasar hukum kewarisan Islam bersumber pada al-Qur’an dan hadis. Dasar hukum
ke- warisan itu ada yang tegas, tersirat, bahkan ada yang hanya berisi pokok-pokoknya
saja.
Dari sisi historis, hukum waris pra-Islam dan awal Islam dapat disebutkan bahwa:
(1) Pewarisan baru terjadi jika ada sebab-sebab yang mengikat pewaris dengan ahli
warisnya, seperti adanya perkawinan, kekerabatan, dan wala’; (2) Hal-hal yang dapat
menggugurkan atau menghilangkan hak seseorang menerima warisan adalah
perbudakan, pembunuhan, berlainan agama dan berlainan negara. Selain itu, ada yang
berpendapat bahwa murtad dan hilang tanpa berita menghalangi seseorang untuk
menerima warisan; dan (3) sebelum pembagian warisan ada beberapa hak yang harus
dipenuhi terlebih dahulu, seperti; hak yang berkaitan dengan zat harta peninggalan, biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pemberian wasiat.
B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
15
DAFTAR PUSTAKA
16