Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN

ABSES LEHER DALAM (PERITONSIL)

Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah III


Dosen Pembimbing : Mikawati, S.Kp.,M.Kes

Disusun oleh :

KELOMPOK IV.B

1. Nadiya Elsa 1901024


2. Nur Indah Hasman 1901027
3. Reski Awalia 1901035
4. Sri Ayu Kandi S 1901039
5. Wanda Wahyuni 1901046

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG MAKASSAR


PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan yang
berjudul “Abses Leher Dalam” Kami menyadari bahwa asuhan keperawatan ini masih jauh
dari sempurna, oleh karna itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini

Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan asuhan keperawatan ini dari awal sampai akhir. Semoga kami
mampu menambah ilmu untuk pembaca dan semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kami. Amin.

Wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.


DAFTAR ISI
Cover ..............................................................................................................
Kata Pengantar..................................................................................................
Daftar isi ..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang......................................................................................
B. Rumusan masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................
BAB II KONSEP MEDIS
A. Definisi ................................................................................................
B. Anatomi Fisiologis................................................................................
C. .Etiologi................................................................................................
D. Patofisiologis........................................................................................
E. Manifestasi klinis..................................................................................
F. Pemeriksaan penunjang........................................................................
G. Penatalaksanaan medis.........................................................................
H. Komplikasi............................................................................................
I. Pathway.................................................................................................
BAB III KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan......................................................................
B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul...................................
C. Intervensi Keperawatan (SLKI/SIKI....................................................
D. Evaluasi.................................................................................................
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajiank Keperawatan....................................................................
B. Penyimpangan KDM (dalam bentuk Pathway )...................................
C. Rumusan Diagnosa Keperawatan (SDKI)............................................
D. Intervensi & Tujuan Tindakan (SLKI/SIKI)........................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulasn.........................................................................................
B. Saran ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Abses leher dalam dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat infeksi pada gigi,
mulut, tenggorok, hidung, dan struktur lain disekitarnya. Kejadian abses leher dalam
menjadi lebih sedikit kejadiannya setelah ditemukan terapi antibiotik. Walaupun begitu,
bila terjadi suatu abses leher dalam harus segera waspada karena penganganan yang
terlambat sering diikuti penyebaran inflamasi bisa menyebabkan bermacam komplikasi
seperti mediastinitis, sepsis dan edema laring (Lee, 2011). Pembentukan abses
merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat
tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun
melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian
tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar
lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,
baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. (Fachruddin D, 2007). Angka
kejadian abses leher dalam mulai menurun secara bermakna sejak era pemakaian
antibiotik. Selain itu, kesehatan rongga mulut yang meningkat juga turut berperan dalam
hal tersebut. Sebelum era antibiotik, sebanyak 70% infeksi leher dalam berasal dari
penyebaran infeksi di faring serta tonsil ke parafaring. Yang et al, melaporkan dari 100
kasus abses leher dalam yang diteliti mulai April 2001 hingga Oktober 2006 didapatkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2.(Yang SW, 2008) Di RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta selama tahun 2014, ditemukan 17 penderita abses leher dalam dengan lokasi
abses tersering pada ruang submandibula yaitu 64,70%, dengan patogenesis tersering
adalah odontogenik 29,41% (Renny, 2016).
Menurut penelitian M. Arvin, di RSUP dr. M. Hoesin Palembang, dari 26 kasus yang
diteliti dari tahun 2012 hingga 2015 pasien abses leher dalam dengan hasil kultur paling
banyak adalah Klabsiella pneumoniae (75%), dan 23,1% kasus disertai penyakit diabetes
melitus dan tidak ada yang memiliki penyakit immunodefisiensi (M.Arvin, 2017).
Berdasarkan penelitian Syaiful Rizal pada tahun 2014 hingga 2017 di RSUP Dr Soetomo
Surabaya didapatkan bahwa meropenem merupakan antibiotik yang memiliki sensitivitas
terbaik (Rijal, 2017). Sedangkan di RSUP H. Adam Malik Medan, dari 40 kasus yang
diteliti dari tahun 2006 hingga 2012, 85% dijumpai abses leher dalam tanpa komplikasi,
dan 60% kasus diterapi dengan medikamentosa dan operatif, serta 10% dari hasil
penatalaksanaan dinyatakan meninggal (Sari, 2013). Abses leher dalam terjadi oleh
karena bermacam penyebab dan dalam karakteristik pasien tertentu angka kejadian abses
leher dalam lebih tinggi. Maka dari itu, penelitian mengenai prevalensi abses leher dalam
akan dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2013 – 31
Desember 2018 berdasarkan berbagai karakteristik pasien.
B. Rumusan masalah
1. Apa Definisi, Anatomo Fisiologis, Etiologi, Patofiologi, Manifestasi Klinis,
Pemeriksaan Penunjang, Penatalaksanaan Medis Komplikasi Dan Pathway Pada
Abses Leher Dalam?
2. Bagaimana Konsep Keperawatan Pada Abases Leher Dalam?
3. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Abses Leher Dalam ?
C. Tujuan
1. Mengidentifikasi Definisi, Anatomo Fisiologis, Etiologi, Patofiologi, Manifestasi
Klinis, Pemeriksaan Penunjang, Penatalaksanaan Medis Komplikasi Dan
Pathway Pada Abses Leher Dalam.
2. Mengidentifikasi pengkajian yang perlu dilakukan pada klien abses leher dalam
3. Mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien abses
leher dalam
4. Mengidentifikasi intervensi keperawatahn secara umum yang dapat diterapkan
pada abses leher dalam.
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat.
Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain
itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula
dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Ruang submandibula terdiri dari ruang
sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari rung submaksila
oleh otot miohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan
ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan
membagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses
dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan
infeksi dari daerah kepala leher.

B. Anatomi dan Fisiologis


Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu
tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil). Tonsil
palatina adalah suatu masa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior
(otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval denganpanjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kripte yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Permukaan sebelah dalam tonsil atau permukaan yang bebas, tertutup oleh
membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas ke dalam
kantung atau kripte yang membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi
seluruh fosa tonsil, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsil.
Bagian luar tonsil terikat longgar pada m.konstriktor faring superior, sehingga tertekan
setiap kali menelan. Muskulus palatoglosus dan m.palatofaringeus juga menekan tonsil.
Tonsil terletak di lateral orofaring, dibatasi oleh m.konstriktor faring superior pada sisi
lateral, m.palatoglosus pada sisi anterior, m.palatofaringeus pada sisi posterior, palatum
mole pada sisi superior dan tonsil lingual pada sisi inferior.
Fosa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi
oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah muskulus palatoglosus atau disebut
pilar posterior, batas lateral atau dinding luarnya adalah muskulus konstriktor faring
superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari
palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang
ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah
meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hatihati agar
pilar posterior tidak terluka.8 Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada
palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan
dinding lateral faring.
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang
disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para
klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian
tonsil. Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula
ini mengandung pembuluh darah, saraf-saraf dan pembuluh eferen.8 Kripte tonsil
berbentuk saluran yang tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil.
Umumnya terdiri dari 8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripte.
Permukaan kripte ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil.
Saluran kripte ke arah luar, biasanya bertambah luas. Pada fosa supratonsil, kripte
meluas kearah bawah dan luar, maka fosa ini dianggap pula sebagai kripte yang besar.
Hal ini membuktikan adanya sisa perkembangan berasal dari kantong brakial ke II.
Secara klinik terlihat bahwa kripte merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun
sistemik karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan kuman.
laris yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal
lidah. Kadang-kadang plika triangularis membentuk suatu kantong atau saluran buntu.
Keadaan ini dapat merupakan sumber infeksi lokal maupun umum karena kantong
tersebut terisi sisa makanan atau kumpulan debris.7,8 Tonsil mendapat perdarahan dari
cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri maksilaris eksterna atau arteri fasialis
dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden, arteri maksilaris interna
dengan cabangnya arteri palatina desenden, arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal dan arteri faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh arteri palatina asenden, vaskularisasi diantara kedua daerah tersebut
dilayani oleh arteri tonsilaris. Vaskularisasi kutub atas tonsil dilayani oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden.9 Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar
muskulus konstriktor superior dan bercabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri
palatina asenden, mengirimkan cabang-cabang melalui muskulus konstriktor superior
melalui tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui
bagian luar muskulus konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik kepangkal lidah
dan mengirimkan cabangnya ke tonsil, pilar anterior dan pilar posterior. Arteri palatina
desenden atau arteri palatina minor atau arteri palatina posterior memperdarahi tonsil dan
palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faring.8,9 Perdarahan adenoid berasal dari cabang-cabang arteri maksilaris interna.
Disamping memperdarahi adenoid pembuluh darah ini juga memperdarahi sinus
sfenoid.9 Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda atau deep jugular node bagian superior dibawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar torak dan akhirnya menuju duktus
torasikus. Infeksi dapat menuju ke seluruh bagian tubuh melalui aliran getah bening.
Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah
bening aferen tidak ada. Tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf ke V
atau nervus trigeminus melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf ke IX
atau nervus glosofaringeus.
Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun secara anatomi
terletak diantara fasia leher dalam. Ruang peritonsil merupakan salah satu dari ruang
leher dalam. Ruang leher dapat dibagi menjadi;
1) ruang yang mencakup seluruh panjang leher yaitu ruang retrofaring, ruang bahaya
dan ruang vaskular viseral;
2) ruang yang terbatas pada sebelah atas os hyoid yaitu ruang faringomaksila, ruang
submandibular, ruang parotis, ruang mastikator, ruang peritonsil, ruang temporal;
3) ruang yang terbatas pada sebelah bawah os hyoid yaitu ruang visceral anterior dan
ruang suprasternal.

Dinding medial ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang terbentuk dari fasia
faringobasilar dan menutupi bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang peritonsil
dibentuk oleh serabut horizontal otot konstriktor superior dan serabut vertikal otot
palatofaringeal.9 Pada sepertiga bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-serabut
otot palatofaringeal meninggalkan dinding lateral dan meluas secara horizontal
menyeberangi ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul tonsil. Hubungan ini
disebut ligament triangular atau ikatan tonsilofaring. Batas-batas superior, inferior,
anterior dan posterior ruang peritonsil ini juga dibentuk oleh pilar-pilar anterior dan
posterior tonsil

C. Etiologi
Infiltrasi kelenjar submandibula terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis
akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Proses ini
terjadi karena komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar
mukus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus
spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara
organisme aerobik dan anaerobic.

D. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa teori
yang mendukung, diantaranya teori mengenai progresivitas episode eksudatif
tonsilitis menjadi peritonsilitis lalu terjadi pembentukan abses. Daerah superior dan
lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi
supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian
inferior, namun jarang. Pada stadiumpermulaan, (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah
tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah,
depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses
terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada
m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga
dapat terjadi aspirasi ke paru.
Perluasan proses inflamasi dapat terjadi baik pada pasien tonsilitis yang
diobati maupun yang tidak diobati. Abses peritonsil juga terjadi secara de novu tanpa
adanya riwayat tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang. Abses peritonsil juga dapat
terjadi akibat infeksi mononukleosis, virus Epstein-barr. Teori lain menyatakan
hubungan abses peritonsil dengan glandula weber. Kelenjar-kelenjar ludah minor ini
ditemukan pada daerah peritonsil dan diperkirakan membantu membersihkan debris
dari tonsil. Jika terjadi obstruksi akibat adanya infeksi tonsil, jaringan nekrosis, dan
terjadi pembentukan abses maka terjadilah abses peritonsil.

E. Manifestasi Klinis
Pasien umumnya datang dengan riwayat faringitis akut bersama tonsillitis dan
nyeri faring unilateral yang semakin bertambah. Pasien juga mengalami malaise,
lemah dan sakit kepala. Mereka juga mengalami demam dan rasa penuh pada
sebagian tenggorokan. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Otot
pengunyah diselusupi oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka mulut yang
cukup lebar (trismus) untuk pemeriksaan tenggorok. Menelan jadi sukar dan nyeri.
Penyakit ini biasanya hanya pada satu sisi. Air ludah menetes dari mulut dan ini
merupakan salah satu penampakan yang khas. Pergerakan kepala ke lateral
menimbulkan nyeri, akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil. Selain gejala dan
tanda tonsilitis akut dengan odinofagia (nyeri menelan) yang lebih hebat biasanya
pada satu sisi, juga terdapat nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.

F. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).
Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan
jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat
dikirim untuk dibiakkan.
Pemeriksaan penunjang lainnya :
1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita
memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu
dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik
yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral
rim enhancement”.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

G. Penatalaksanaan Medis
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik
yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x
250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan
lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris
mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau
aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal
di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a”
chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut
tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses
disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan
Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone
pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname
di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan
trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat
terjadi jika diagnosis diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan
progress penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

I. Prognosis
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.
Tonsilektomi ditunda sampai 6 minggu setelah dilakukan insisi, Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat
operasi.
J. Pathway

Bakteri (aerob : streptococcus pyogenes,


straphylococcus aureus, dan haemophilus
influenza. Anaerob : fusobacterium.
Pravotella, porphyromonas, fusobacterium,
dan peptostreptococcus

Mengeluarkan enzim hyaluronidase


dan enzim koagulase

Merusak jembatan antar sel

Transfer nutrisi antar sel terganggu

Jaringan rusak/mati/nekrosis

Media bakteri yang baik

peradangan Jaringan terinfeksi

Demam Sel darah putih mati

hipertermi
Jaringan menjadi abses dan
pembedahan
berisi pus (abses peritonsil)

Reaksi
peradangan Pecah
(rubor, kalor,
tumor, dolor,
fungsionalaesea Resiko penyebaran
Luka insisi
infeksi (pre dan post op)

Nyeri akut
Nyeri post op
BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Informasi dari pasien (anamnesis) sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses
peritonsiler. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu
yang mendukung terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang
disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral. Pada pemeriksaan
fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis.
Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum
oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasitonsil, dan pergeseran uvula
kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan
laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas,
untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.
1. Identitas pasien
2. Riwayat kesehatan sekarang : mengalami malaise, lemah dan sakit kepala, demam, rasa
penuh di tenggorokan, nyeri, sulit membuka mulut, susah menelan, nyeri telinga, muntah,
mulut berbau, banyak ludah, dan suara sengau.
3. Riwayat kesehatan dahulu : Pernah menderita tonsilitis dan caries dentis.
4. Riwayat kesehatan keluarga : Penyakit yang berhubungan dengan telinga hidung dan
tenggorokan 5. Pemeriksaan fisik : Head to toe, tapi lebih fokus ke telinga hidung dan
tenggorokan.
6. Pemeriksaan penunjang : Nilai labor

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


Beberapa diagnosa yang mungkin dapat ditegakkan dari data yang ada menurut PPNI
(2016) antara lain :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik yaitu abses ditandai dengan
mengeluh nyeri (D.0077)
2. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan neuromuskuler ditandai dengan
mengeluh sulit menelan (D.0063)
3. Hipertermia berhubungan dengan infeksi ditandai dengan suhu tubuh melebihi batas
normal.
4. Defisit Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nyeri telan ditandai
dengan pasien enggan makan. (D.0019)
5. Risiko Infeksi berhubungan dengan Abses (D.0142)
6. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d akumulasi eksudat (D.0149)

C. Intervensi keperawatan (SLKI/SIKI)

No Diagnosa SLKI SIKI


1. Nyeri akut Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)
berhubungan Setelah dilakukan tindakan Tindakan
dengan agen keperawatan Selama 1x24 Observasi :
pencedera fisik yaitu jam maka diharapkan nyeri  Identifikasi lokasi nyeri,
abses dapat teratasi, karakteristik nyeri,
Dengan kriteria hasil : durasi, frekuensi,
 Keluhan nyeri intensitas nyeri
 Meringis  Identifikasi skala nyeri
 Sikap protektif  Monitor keberhasilan
 Gelisah terapi komplementer
 Kesulitan tidur yang sudah di berikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik :
 Berika teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(kompres hangat/dingin)
Edukasi :
 Jelaskan penyebab,
priode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Gangguan menelan Status Menelan (L.06052) Dukungan Perawatan diri :
berhubungan Setelah dilakukan tindakan makan/minum (I.11351)
dengan gangguan keperawatan Selama 1x24 Tindakan
neuromuskuler jam maka diharapkan Observasi :
gangguan menelan dapat  Monitor kemampuan
teratasi, menelan
Dengan kriteria hasil : Terapeutik :
 Mempertahankan  Atur posisi yang nyaman
makanan dimulut untuk makan/minum
 Reflek menelan  Lakukan oral hygiene
 Kemampuan sebelum makan, jika
mengosongkan mulut perlu
 Usaha menelan  Berikan bantuan saat
makan/minum sesuai
tingkat kemandirian
Edukasi :
 Jelaskan posisi makanan
pada pasien yang
mengalami gangguan
penglihatan dengan
menggunakan arah jarum
jam
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
obat analgesic sesuai
indikasi
3. Hipertermia Termogulasi (L.14134) Manajemen Hipertermia
berhubungan Setelah dilakukan tindakan (I.15506)
dengan infeksi keperawatan Selama 1x24 Tindakan
jam maka diharapkan Observasi :
hipertermia dapat teratasi,  Identifikasi penyebab
Dengan kriteria hasil : hipertermia
 Menggigil  Monitor suhu tubuh
 Kejang  Monitor komplikasi
 Pucat akibat hipertermia
 Takikardi (detak jantung Terapeutik :
melebihi batas normal)  Berikan cairan oral
 Takipnea (pernapasan  Lakukan pendinginan
melebihi batas normal) eksternal (kompres
 Bradikardi (jantung dingin pada dahi, dada,
berdetak lebih lambat) leher, abdomen, aksila)
Edukasi :
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena
4. Defisit Nutrisi (L.03030) Status Nutrisi (I. 03111) Manajemen
kurang dari Tujuan : gangguan makan
kebutuhan tubuh Setelah dilakukan tindakan Tindakann
berhubungan keperawatan 1x24 jam status Observasi :
dengan nyeri telan nutrisi terpenuhi. 1. Monitor asupan dan
ditandai dengan keluarnya makanan dan
pasien enggan Kriteria hasil : cairan serta kebutuhan
makan. (D.0019) 1. Porsi makan yang kalori
dihabiskan Terapeutik :
2. Berat badan atau IMT 1. Timbang berat badan
meningkat secara rutin
3. Frekuensi makan 2. Diskusikan perilaku
meningkat makan dan jumlah
4. Nafsu makan aktivitas fisik
meningkat termasuk olahraga
5. Perasaan cepat kenyang yang sesuai
3. Lakukan kontrak
perilaku misalnya
target berat badan,
tanggung jawab
perilaku
4. Dampingi ke kamar
mandi untuk
pengamatan perilaku
memuntahkan
kembali makanan
5. Berikan penguatan
positif terhadap
keberhasilan target
dan perubahan
perilaku
6. Berikan konsekuensi
jika tidak mencapai
target sesuai kontrak
7. Rencanakan program
pengobatan untuk
perawatan di rumah
misalnya medis,
konseling.
Edukasi :
1. Anjurkan membuat
catatan harian tentang
perasaan dan situasi
pemicu pengeluaran
makanan misalnya
pengeluaran yang di
sengaja, muntah dan
aktivitas berlebihan
2. Ajarkan pengaturan
diet yang tepat
3. Ajarkan keterampilan
koping untuk
penyelesaian masalah
perilaku makan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
target berat badan,
kebutuhan kalori dan
pemilihan makanan
5. Risiko Infeksi (L.14137) Tingkat Infeksi. (I. 14539) Pencegahan
berhubungan Tujuan : infeksi.
dengan Abses Setelah dilakukan tindakan Tindakan
(D.0142) keperawatan 1x24 jam Observasi :
glukosa derajat infeksi 1. Monitor tanda dan
menurun. gejala infeksi lokal
dan sistemik
Kriteria hasil : Terapeutik :
1. Demam menurun 1. Batasi jumlah
2. Kemerahan menurun pengunjung
3. Nyeri menurun 2. Berikan perawatan
4. Bengkak meurun kulit pada area adema
5. Kadar sel darah putih 3. Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
4. Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi :
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
5. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
6. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
imunisasi Jika perlu
6. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan intervensi Tindakan
tidak efektif b/d keperwatan selama 1x24 jam Observasi :
akumulasi eksudat maka bersihan jalan nafas 1. Identifikasi
(D.0149) meningkat dengan kriteria kemampuan batuk
hasil : 2. Monitor adanya
1. Batu efektif meningkat retemsi sputum
2. Produksi sputum 3. Monitor tanda dan
menurun gejala infeksi saluran
3. Weezing menurun nafas
4. Dyspnea menurun 4. Monitor input dan
5. Sulit berbicara menurun output cairan
6. Gelisah menurun misalnya jumlah dan
7. Frekuensi nafas karakteristik
membaik
8. Pola nafas membaik Terapeutik :
1. Atur posisi
semifowler/fowler
2. Pasang perlak dan
bengkok di pangkuan
pasien
3. Buang secret pada
tempat sputum
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk
efektif
2. Ajarkan tarik nafas
dalam melalui
hidung selama 4
detik, ditahan selama
2 detik, kemudian
dikeluarkan dari
mulut dengan bibir
di bulatkan selama 8
detik.
3. Anjurkan
mengulangi tarik
nafas dalam hingga 3
kali.
4. Anjurkan batuk
efektif dengan kuat
langsung setelah
tarik nafas dalam
ketiga.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian mukolitik
atau ekspektoran,
jika perlu.

D. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan yang merupakan
kegiatan sengaja dan terus menerus yang melibatkan klien perawat dan anggota tim
kesehatan lainnya Tujuan evaluasi adalah :
1. Untuk menilai apakah tujuan dalam rencana perawatan tercapai atau tidak
2. Untuk melakukan pengkajian ulang Untuk dapat menilai apakah tujuan ini tercapai
atau tidak dapat dibuktikan dengan prilaku klien :
 Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan
pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan
 Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan prilaku, tetapi
tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan
 Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali
menunjukkan prilaku yang telah ditentukan
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN

I. IDENTITAS KLIEN :
a. Nama Klien : Ny.B
b. TTL : 09-07-1992
c. Umur : 30 tahun
d. No. Rekam Medis : 966856
e. Agama : islam
f. Pekerjaan : wiraswasta
g. Diagnosis Medis : Abses Leher Dalam

II. KELUHAN UTAMA :


Bengkak pada daerah mandibular sudah 5 hari, awalnya berukuran kecil dan lama-
lama membesar.

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:


Nyeri tekan ada, awalnya mengeluh nyeri pada gusi dan bengkak pada gusi. Serta
trismus. Mengalami nyeri saat menelan disertai bengkak pada leher.

IV. RIWAYAT PENYAKIT MASA LALU:


Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.

V. RIWAYAT PSIKOSOSIAL:
Tidak ada kelainan dan hubungan klien dengan keluarga baik.

VI. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA:


Keluarga mengatakan tidak ada yang mengalami penyakit yang sama seperti yang
di alami klien

VII. PEMERIKSAAN FISIK :


a. Kesadaran : composmentis, GCS : 15
b. Tanda-tanda vital :
TD : 120/50 mmHg
S : 36,6 0C
N : 86/menit
P : 22/menit
c. Tinggi badan : 150 cm
d. Berat badan  : 57 kg
e. Kepala        : normal
f.  Mata          : normal
g. Hidung : tidak ada kelainan
h. Mulut          : sulit membuka mulut
i. Telinga     : tidak ada kelainan
j. Turgor kulit : baik
k. Dada    : tidak ada kelainan
l. Jantung        : tidak ada kelainan
m. Abdomen    : tidak ada kelainan
n. Ekstremitas  : tidak ada kelainan

VIII.Pemeriksaan Penunjang :
Jenis pemeriksaan Hasil
WBC 17.000
HB 11,7
HCT 35
UREUM 19
CREATININ 0.70
MCV 84
PLT 307
SGOT 32
SGPT 32
ALBUMIN 40
GDS 145

IX. Pengobatan
Nama obat Dosis Rute
cettriaxon 1 gram IV
metronidazole 500 miligram IV
Ketorolac 30 miligram IV
Ranitidine 30 miligram IV
dexametason 5 miligram IV

A. Pengkajian Keperawatan :
DS DO
 pasien merasa nyeri pada leher  Pada leher pasien terdapat
 pasien tampak meringis pembengkakan
 pasien mengatakan enggan makan  Pasien tampak bengkak pada daerah
karena nyeri saat menelan mandibular sejak 5 hari yang lalu
 Pasien merasa kurang minat/sering  Pasien tampak enggan makan
merasa kelelahan  Nyeri tekan ada
 Tenggorokan pasien merasa penuh  Disfagia ada
 Pasien mengatakan susah membuka  Odinofagia
mulut  Trismus ada
 Pasien merasakan sakit kepala  Pasien tampak meringis
 Pasien mengatakan nyeri saat menelan  Pasien tampak hipersaliva
 Pasien mengatakan air liur selalu  pasien tampak susah membuka mulut
menetes  HGB : 11,7

B. Analisa Data
Batasan Karakteristik Data (DO & DS) Masalah Keperawatan
DS Nyeri akut
 pasien merasa nyeri pada leher
 pasien tampak meringis
 Pasien mengatakan nyeri saat menelan
DO
 Nyeri tekan ada
 Pasien tampak meringis
 pasien tampak susah membuka mulut
 Disfagia ada
 Odinofagia
DS Gangguan menelan
 Pasien mengatakan nyeri saat menelan
 Tenggorokan pasien merasa penuh
 Pasien mengatakan air liur selalu
menetes
 pasien tampak meringis
DO
 Pada leher pasien terdapat
pembengkakan
 Pasien tampak bengkak pada daerah
mandibular sejak 5 hari yang lalu
 Disfagia ada
 Odinofagia
 Trismus ada
 Pasien tampak meringis
 Pasien tampak hipersaliva
DS Defisit nutrisi
 pasien mengatakan enggan makan
karena nyeri saat menelan
 Pasien mengatakan nyeri saat menelan
 pasien tampak meringis
 Pasien merasa kurang minat/sering
merasa kelelahan
 Tenggorokan pasien merasa penuh
 Pasien mengatakan susah membuka
mulut
 Pasien merasakan sakit kepala
 Pasien mengatakan nyeri saat menelan
DO
 Pasien tampak enggan makan
 Disfagia ada
 Odinofagia
 Trismus ada
 Pasien tampak meringis
 Pasien tampak hipersaliva
 pasien tampak susah membuka mulut
 HGB : 11,7
Ds : Risiko Infeksi
1. pasien merasa nyeri pada leher
2. Pasien mengatakan nyeri menelan

Do :
1. Pasien tampak bengkak pada daerah
mandibula sejak 5 hari yang lalu
2. Nyeri tekan ada
3. disfagia ada
4. Odinofagia ada
C. Penyimpangan Kebutuhan Dasar Manusia (dalam bentuk Pathway )

D. Rumusan Diagnosa Keperawatan (SDKI) (minimal 3 Diagnosis Keperawatan )


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik abses ditandai dengan klien
tampak meringis mengeluh nyeri. (D.0077)
2. Gangguan menelan berhubungan dengan neuromuskuler di tandai dengan pasien
mengeluh nyeri saat menelan. (D.0063)
3. Defisit Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nyeri telan
ditandai dengan pasien enggan makan. (D.0019)
4. Risiko Infeksi berhubungan dengan Abses (0142)

E. Intervensi & Tujuan Tindakan (SLKI/SIKI)


Diagnosa SLKI SIKI
Nyeri akut berhubungan Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri
Setelah dilakukan tindakan (I.08238)
dengan agen pencedera
keperawatan Selama 1x24 Tindakan
fisik abses ditandai jam maka diharapkan nyeri Observasi :
dapat teratasi,  Identifikasi lokasi
dengan klien tampak
Dengan kriteria hasil : nyeri, karakteristik
meringis mengeluh nyeri.  Keluhan nyeri nyeri, durasi,
 Meringis frekuensi, intensitas
 Sikap protektif nyeri
 Gelisah  Identifikasi skala nyeri
 Kesulitan tidur  Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah di berikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik :
 Berika teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(kompres
hangat/dingin)
Edukasi :
 Jelaskan penyebab,
priode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Gangguan menelan Status Menelan (L.06052) Dukungan Perawatan
Setelah dilakukan tindakan diri : makan/minum
berhubungan dengan
keperawatan Selama 1x24 (I.11351)
neuromuskuler di tandai jam maka diharapkan Tindakan
gangguan menelan dapat Observasi :
dengan pasien mengeluh
teratasi,  Monitor kemampuan
nyeri saat menelan. Dengan kriteria hasil : menelan
 Mempertahankan Terapeutik :
makanan dimulut  Atur posisi yang
 Reflek menelan nyaman untuk
 Kemampuan makan/minum
mengosongkan mulut  Lakukan oral hygiene
 Usaha menelan sebelum makan, jika
perlu
 Berikan bantuan saat
makan/minum sesuai
tingkat kemandirian
Edukasi :
 Jelaskan posisi
makanan pada pasien
yang mengalami
gangguan penglihatan
dengan menggunakan
arah jarum jam
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
obat analgesic sesuai
indikasi
Defisit Nutrisi kurang dari Status Nutrisi Manajemen Nutrisi
L.03030 I.03119
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi Observasi :
selama 1 x 24 jam, maka  Identifikasi status
nyeri telan ditandai diharapkan status nutrisi nutrisi
dengan pasien enggan membaik dengan kriteria  Identifikasi alergi dan
hasil : intoleransi makanan
makan.
 Porsi makanan yang  Identifikasi makanan
dihabiskan meningkat yang disukai
 Kekuatan otot  Identifikasi kebutuhan
pengunyah meningkat kalori dan jenis nutrien
 Kekuatan otot menelan  Identifikasi perlunya
meningkat penggunaan selang
 Serum albumin nasogastrik
meningkat  Monitor asupan
 Verbalisasi keinginan makanan
untuk meningkatkan  Monitor berat badan
nutrisi meningkat  Monitor hasil
 Pengetahuan tentang pemeriksaan
pilihan makanan yang laboratorium
sehat meningkat
 Pengetahuan tentang Terapeutik :
pilihan minuman yang  Lakukan oral hygiene
sehat meningkat sebelum makan, jika
 Pengetahuan tentang perlu
standar asupan nutrisi  Fasilitasi menentukan
yang tepat meningkat pedoman diet (mis.
 Penyiapan dan piramida makanan)
penyimpanan makanan  Sajikan makanan
yang aman meningkat secara menarik dan
 Penyiapan dan suhu yang sesuai
penyimpanan minuman  Berikan makanan
yang aman meningkat tinggi serat untuk
 Sikap terhadap mencegah konstipasi
makanan/minumannya  Berikan makanan
sesuai dengan tujuan tinggi kalori dan tinggi
kesehatan meningkat protein
 Perasaan cepat kenyang  Berikan suplemen
menurun makanan, jika perlu
 Nyeri abdomen  Hentikan pemberian
menurun makan melalui selang
 Sariawan menurun nasogatrik jika asupan
 Rambut rontok menurun oral dapat ditoleransi
 Diare menurun
 Berat badan membaik Edukasi :
 Indeks Massa Tubuh  Anjurkan posisi duduk,
(IMT) membaik jika mampu
 Frekuensi makan  Ajarkan diet yang
membaik diprogramkan
 Nafsu makan membaik
 Bising usus membaik Kolaborasi
 Tebal lipatan kulit trisep  Kolaborasi pemberian
membaik Membran medikasi sebelum
mukosa membaik makan (mis. pereda
nyeri, antiemetik), jika
perlu
 Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu
Risiko Infeksi Tingkat Infeksi Pencegahan Infeksi
L14137 I.14539
berhubungan dengan
Abses Setelah dilakukan intervensi Observasi :
selama 1x24 jam, maka  Monitor tanda dan
diharapkan tingkat infeksi gejala infeksi local dan
menurun dengan kriteria sistemik
hasil :
 Kemerahan menurun Terapeutik :
 Nafsu makan  Berikan perawatan
meningkat kulit pada daerah
 Nyeri menurun edema
 Bengkak menurun  Cuci tangan sebelum
 Periode malaise dan sesudah kontak
menurun dengan pasien dan
 Latergi menurun lingkungan pasien
 Kultur darah membaik  Pertahankan teknik
aseptic pada pasien
berisiko tinggi

Edukasi :
 Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
 anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
 anjurkan meningkatkan
asupan cairan

Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Abses leher dalam dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat infeksi pada gigi,
mulut, tenggorok, hidung, dan struktur lain disekitarnya. Kejadian abses leher dalam
menjadi lebih sedikit kejadiannya setelah ditemukan terapi antibiotik. Walaupun begitu,
bila terjadi suatu abses leher dalam harus segera waspada karena penganganan yang
terlambat sering diikuti penyebaran inflamasi bisa menyebabkan bermacam komplikasi
seperti mediastinitis, sepsis dan edema laring.
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh.
Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan
langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal
yang ada di bagian tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat
diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
B. Saran
Abses leher dalam merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme.
Sumber infeksi paling banyak berasal dari infeksi gigi. Untuk itu, diharapkan petugas
kesehatan dapat meningkatkan penyuluhan mengenai abses leher dalam, pentingnya
menjaga kesehatan gigi dan mulut, dan meningkatkan penatalaksanaan abses leher dalam
agar risiko komplikasi dapat terjadi seminimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Adrianro, Petrus. 2014. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC, Jakarta.

Adams, G.L. 2015. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring, Dalam: Boies. Buku Ajar
Penyakit THT, hal.333, EGC, Jakarta.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1 . Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 . Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1 . Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai