Abses Leher Dalam
Abses Leher Dalam
Disusun oleh :
KELOMPOK IV.B
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan yang
berjudul “Abses Leher Dalam” Kami menyadari bahwa asuhan keperawatan ini masih jauh
dari sempurna, oleh karna itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan asuhan keperawatan ini dari awal sampai akhir. Semoga kami
mampu menambah ilmu untuk pembaca dan semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kami. Amin.
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat.
Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain
itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula
dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Ruang submandibula terdiri dari ruang
sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari rung submaksila
oleh otot miohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan
ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan
membagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses
dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan
infeksi dari daerah kepala leher.
Dinding medial ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang terbentuk dari fasia
faringobasilar dan menutupi bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang peritonsil
dibentuk oleh serabut horizontal otot konstriktor superior dan serabut vertikal otot
palatofaringeal.9 Pada sepertiga bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-serabut
otot palatofaringeal meninggalkan dinding lateral dan meluas secara horizontal
menyeberangi ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul tonsil. Hubungan ini
disebut ligament triangular atau ikatan tonsilofaring. Batas-batas superior, inferior,
anterior dan posterior ruang peritonsil ini juga dibentuk oleh pilar-pilar anterior dan
posterior tonsil
C. Etiologi
Infiltrasi kelenjar submandibula terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis
akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Proses ini
terjadi karena komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar
mukus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus
spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara
organisme aerobik dan anaerobic.
D. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa teori
yang mendukung, diantaranya teori mengenai progresivitas episode eksudatif
tonsilitis menjadi peritonsilitis lalu terjadi pembentukan abses. Daerah superior dan
lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi
supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian
inferior, namun jarang. Pada stadiumpermulaan, (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah
tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah,
depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses
terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada
m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga
dapat terjadi aspirasi ke paru.
Perluasan proses inflamasi dapat terjadi baik pada pasien tonsilitis yang
diobati maupun yang tidak diobati. Abses peritonsil juga terjadi secara de novu tanpa
adanya riwayat tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang. Abses peritonsil juga dapat
terjadi akibat infeksi mononukleosis, virus Epstein-barr. Teori lain menyatakan
hubungan abses peritonsil dengan glandula weber. Kelenjar-kelenjar ludah minor ini
ditemukan pada daerah peritonsil dan diperkirakan membantu membersihkan debris
dari tonsil. Jika terjadi obstruksi akibat adanya infeksi tonsil, jaringan nekrosis, dan
terjadi pembentukan abses maka terjadilah abses peritonsil.
E. Manifestasi Klinis
Pasien umumnya datang dengan riwayat faringitis akut bersama tonsillitis dan
nyeri faring unilateral yang semakin bertambah. Pasien juga mengalami malaise,
lemah dan sakit kepala. Mereka juga mengalami demam dan rasa penuh pada
sebagian tenggorokan. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Otot
pengunyah diselusupi oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka mulut yang
cukup lebar (trismus) untuk pemeriksaan tenggorok. Menelan jadi sukar dan nyeri.
Penyakit ini biasanya hanya pada satu sisi. Air ludah menetes dari mulut dan ini
merupakan salah satu penampakan yang khas. Pergerakan kepala ke lateral
menimbulkan nyeri, akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil. Selain gejala dan
tanda tonsilitis akut dengan odinofagia (nyeri menelan) yang lebih hebat biasanya
pada satu sisi, juga terdapat nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
F. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).
Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan
jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat
dikirim untuk dibiakkan.
Pemeriksaan penunjang lainnya :
1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita
memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu
dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik
yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral
rim enhancement”.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.
G. Penatalaksanaan Medis
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik
yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x
250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan
lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris
mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau
aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal
di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a”
chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut
tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses
disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan
Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone
pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname
di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan
trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.
H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat
terjadi jika diagnosis diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan
progress penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
I. Prognosis
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.
Tonsilektomi ditunda sampai 6 minggu setelah dilakukan insisi, Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat
operasi.
J. Pathway
Jaringan rusak/mati/nekrosis
hipertermi
Jaringan menjadi abses dan
pembedahan
berisi pus (abses peritonsil)
Reaksi
peradangan Pecah
(rubor, kalor,
tumor, dolor,
fungsionalaesea Resiko penyebaran
Luka insisi
infeksi (pre dan post op)
Nyeri akut
Nyeri post op
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Informasi dari pasien (anamnesis) sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses
peritonsiler. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu
yang mendukung terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang
disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral. Pada pemeriksaan
fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis.
Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum
oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasitonsil, dan pergeseran uvula
kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan
laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas,
untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.
1. Identitas pasien
2. Riwayat kesehatan sekarang : mengalami malaise, lemah dan sakit kepala, demam, rasa
penuh di tenggorokan, nyeri, sulit membuka mulut, susah menelan, nyeri telinga, muntah,
mulut berbau, banyak ludah, dan suara sengau.
3. Riwayat kesehatan dahulu : Pernah menderita tonsilitis dan caries dentis.
4. Riwayat kesehatan keluarga : Penyakit yang berhubungan dengan telinga hidung dan
tenggorokan 5. Pemeriksaan fisik : Head to toe, tapi lebih fokus ke telinga hidung dan
tenggorokan.
6. Pemeriksaan penunjang : Nilai labor
D. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan yang merupakan
kegiatan sengaja dan terus menerus yang melibatkan klien perawat dan anggota tim
kesehatan lainnya Tujuan evaluasi adalah :
1. Untuk menilai apakah tujuan dalam rencana perawatan tercapai atau tidak
2. Untuk melakukan pengkajian ulang Untuk dapat menilai apakah tujuan ini tercapai
atau tidak dapat dibuktikan dengan prilaku klien :
Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan
pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan
Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan prilaku, tetapi
tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan
Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali
menunjukkan prilaku yang telah ditentukan
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
I. IDENTITAS KLIEN :
a. Nama Klien : Ny.B
b. TTL : 09-07-1992
c. Umur : 30 tahun
d. No. Rekam Medis : 966856
e. Agama : islam
f. Pekerjaan : wiraswasta
g. Diagnosis Medis : Abses Leher Dalam
V. RIWAYAT PSIKOSOSIAL:
Tidak ada kelainan dan hubungan klien dengan keluarga baik.
VIII.Pemeriksaan Penunjang :
Jenis pemeriksaan Hasil
WBC 17.000
HB 11,7
HCT 35
UREUM 19
CREATININ 0.70
MCV 84
PLT 307
SGOT 32
SGPT 32
ALBUMIN 40
GDS 145
IX. Pengobatan
Nama obat Dosis Rute
cettriaxon 1 gram IV
metronidazole 500 miligram IV
Ketorolac 30 miligram IV
Ranitidine 30 miligram IV
dexametason 5 miligram IV
A. Pengkajian Keperawatan :
DS DO
pasien merasa nyeri pada leher Pada leher pasien terdapat
pasien tampak meringis pembengkakan
pasien mengatakan enggan makan Pasien tampak bengkak pada daerah
karena nyeri saat menelan mandibular sejak 5 hari yang lalu
Pasien merasa kurang minat/sering Pasien tampak enggan makan
merasa kelelahan Nyeri tekan ada
Tenggorokan pasien merasa penuh Disfagia ada
Pasien mengatakan susah membuka Odinofagia
mulut Trismus ada
Pasien merasakan sakit kepala Pasien tampak meringis
Pasien mengatakan nyeri saat menelan Pasien tampak hipersaliva
Pasien mengatakan air liur selalu pasien tampak susah membuka mulut
menetes HGB : 11,7
B. Analisa Data
Batasan Karakteristik Data (DO & DS) Masalah Keperawatan
DS Nyeri akut
pasien merasa nyeri pada leher
pasien tampak meringis
Pasien mengatakan nyeri saat menelan
DO
Nyeri tekan ada
Pasien tampak meringis
pasien tampak susah membuka mulut
Disfagia ada
Odinofagia
DS Gangguan menelan
Pasien mengatakan nyeri saat menelan
Tenggorokan pasien merasa penuh
Pasien mengatakan air liur selalu
menetes
pasien tampak meringis
DO
Pada leher pasien terdapat
pembengkakan
Pasien tampak bengkak pada daerah
mandibular sejak 5 hari yang lalu
Disfagia ada
Odinofagia
Trismus ada
Pasien tampak meringis
Pasien tampak hipersaliva
DS Defisit nutrisi
pasien mengatakan enggan makan
karena nyeri saat menelan
Pasien mengatakan nyeri saat menelan
pasien tampak meringis
Pasien merasa kurang minat/sering
merasa kelelahan
Tenggorokan pasien merasa penuh
Pasien mengatakan susah membuka
mulut
Pasien merasakan sakit kepala
Pasien mengatakan nyeri saat menelan
DO
Pasien tampak enggan makan
Disfagia ada
Odinofagia
Trismus ada
Pasien tampak meringis
Pasien tampak hipersaliva
pasien tampak susah membuka mulut
HGB : 11,7
Ds : Risiko Infeksi
1. pasien merasa nyeri pada leher
2. Pasien mengatakan nyeri menelan
Do :
1. Pasien tampak bengkak pada daerah
mandibula sejak 5 hari yang lalu
2. Nyeri tekan ada
3. disfagia ada
4. Odinofagia ada
C. Penyimpangan Kebutuhan Dasar Manusia (dalam bentuk Pathway )
Edukasi :
Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Abses leher dalam dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat infeksi pada gigi,
mulut, tenggorok, hidung, dan struktur lain disekitarnya. Kejadian abses leher dalam
menjadi lebih sedikit kejadiannya setelah ditemukan terapi antibiotik. Walaupun begitu,
bila terjadi suatu abses leher dalam harus segera waspada karena penganganan yang
terlambat sering diikuti penyebaran inflamasi bisa menyebabkan bermacam komplikasi
seperti mediastinitis, sepsis dan edema laring.
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh.
Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan
langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal
yang ada di bagian tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat
diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
B. Saran
Abses leher dalam merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme.
Sumber infeksi paling banyak berasal dari infeksi gigi. Untuk itu, diharapkan petugas
kesehatan dapat meningkatkan penyuluhan mengenai abses leher dalam, pentingnya
menjaga kesehatan gigi dan mulut, dan meningkatkan penatalaksanaan abses leher dalam
agar risiko komplikasi dapat terjadi seminimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianro, Petrus. 2014. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC, Jakarta.
Adams, G.L. 2015. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring, Dalam: Boies. Buku Ajar
Penyakit THT, hal.333, EGC, Jakarta.
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1 . Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 . Jakarta: DPP PPNI