Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang di dalamnya hidup masyarakat dengan

berbagai suku bangsa, ras, agama dan adat istiadat yang berbeda-beda. Setiap

daerah dan suku bangsa mempunyai adat kebiasaan sendiri-sendiri yang hingga

kini tetap melekat dan masih dijalankan warganya. Tingkatan peradaban

maupun cara hidup yang modern tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan

yang hidup dalam setiap masyarakat, tetapi dengan adanya proses kemajuan ini

adat hanya disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan, sehingga adat

yang hidup dalam masyarakat tersebut tetap kekal. Adanya keragaman adat

daerah dan suku bangsa di Indonesia memperkaya budaya bangsa Indonesia,

oleh karena itu adat istiadat harus selalu dipelihara kelestariannya.

Terdapat keragaman dalam tradisi pernikahan di seluruh Nusantara,

contohnya dalam hal seberapa besar uang atau mahar yang harus dikeluarkan

untuk mempersunting seorang wanita. Ada daerah yang tidak mematok jumlah

maharnya, tetapi ada juga yang menetapkan mahar dengan jumlah yang sangat

mahal. Bahkan lebih dari Rp.100 juta rupiah, diantaranya adalah

http://www.boombastis.com/adat-pernikahan-paling-mahal/22507 (diakses

pada tanggal 8 Mei 2016):

1. Nias

Mahar pernikahan di Nias dikenal dengan sebutan Bowo. Bowo ini

malah menjadi tantangan ters

1
endiri bagi mereka yang ingin melangsungkan pernikahan di pulau

Nias. Bagaimana tidak, bagi masyarakat suku Nias yang kebanyakan

sebagai seorang petani, akan terasa cukup berat apabila harus memenuhi

mahar pernikahan yang cukup mahal. Adat pernikahan di Nias, Bowo

diukur dengan hewan babi yang bisa mencapai 25 ekor, sedangkan satu ekor

harganya bisa mencapai 1 juta rupiah. Jadi paling tidak harus menyiapkan

dana sebesar 25.000.000 untuk menikah di tempat ini.

2. Kalimantan Selatan

Sebagian besar daerah di Indonesia mengenal tradisi memberikan

mahar kepada calon pengantin perempuan. Hal ini sudah seperti kewajiban

yang tidak bisa dilepaskan dari pernikahan itu sendiri. Begitu juga di

Kalimantan Selatan yang mengenal mahar dengan sebutan Jujuran. Jumlah

maharnya pun tidak sedikit, masyarakat setempat mematoknya antara Rp.

5.000.000 hingga Rp. 20.000.000, bahkan ada juga yang lebih dari itu.

Jumlah ini belum termasuk memberikan barang-barang lainnya, seperti

tempat tidur dan biaya pesta pernikahan. Banyaknya undangan yang akan

hadir juga disesuaikan dengan jumlah uang yang diberikan. Semakin sedikit

maharnya, maka semakin sedikit pula orang yang diundang, begitu juga

sebaliknya.

3. Aceh

Kota yang dikenal sebagai Serambi Mekah ini juga memiliki tradisi

yang serupa dalam hal jumlah mahar yang harus dikeluarkan, akan tetapi

yang membedakan mahar di tempat ini diukur menggunakan emas.

2
Masyarakatnya sering menyebutnya sebagai mayam yang standarnya satu

mayam bernilai 3,3 gram emas atau setara dengan uang Rp 1. 750. 000.

Meminang gadis Aceh, seorang pria harus siap mengeluarkan sekitar

25 mayam atau paling rendah Rp. 6 juta. Nilai yang cukup besar bagi

seorang yang berpenghasilan rendah jika ingin memperistri seorang gadis

Aceh.

4. Suku Sasak, Lombok Tengah

Masyarakat Suku Sasak di Kampung Sade, Lombok Tengah masih

mempertahankan dan melaksanakan tradisi asli Suku Sasak, termasuk dalam

urusan tata cara pernikahan. Perkampungan yang berjarak sekitar 20

kilometer dari pusat kota ini, kebanyakan menikah dengan kerabat mereka

sendiri.

Hal ini karena mereka percaya bahwa jika menikah dengan orang lain

di luar kampung, akan dikenakan biaya yang cukup mahal. Biayanya bisa

lebih dari ukuran dua ekor kerbau, tetapi jika menikah dengan gadis yang

sekampung maka jumlah mahar pun berkisar antara Rp. 2 juta hingga Rp. 3

juta saja. Di beberapa daerah di Lombok Tengah, mahar pernikahan cukup

mahal. Hal ini tidak jauh berbeda dengan suku bugis yang melihat atau

menjadikan status kebangawanan, tingkat pendidikan, dan pekerjaan gadis

sebagai tolak ukur. Jika menikah dengan wanita yang sudah bekerja sebagai

pegawai negeri, maharnya berkisar antara Rp. 10.000.000 sampai

Rp.250.000.000.

5. Bugis

3
Menikahi gadis Bugis, seorang pria harus siap dengan jumlah mahar

yang harus diberikan kepada calon istri. Masyarakat Bugis mematok mahar

sesuai dengan tingkatan derajat hingga tingkat pendidikannya. Semakin

tinggi pendidikannya, maka semakin mahal pula maharnya. Misalnya,

mahar untuk seorang gadis yang telah menyelasaikan pendidikan S-1,

patokan maharnya seharga lebih dari Rp 50.000.000. Lalu bagaimana

dengan lulusan S-2, tentu saja harganya lebih mahal, bisa mencapai Rp.

75.000.000.

Berbagai macam perkawinan yang ada dengan patokan harga mahar

yang sudah menjadi kesepakatan tentu membuat seseorang yang ingin

menikah membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk memenuhi mahar

dan siap melakukan apa saja agar bisa melakukan pernikahan. Akibat belis

atau mahar yang mahal, pasangan suami istri bukan lagi bekerja untuk

memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi mereka bekerja untuk membayar

utangnya, membayar mahar atau belis yang masih belum dilunasi untuk

pihak perempuan. Mempelai laki-laki yang tidak mampu mencukupi nilai

mahar atau belis yang harus dibayar, tidak ada pilihan lain selain meminjam

atau mengutang untuk bisa mencukupi pembayaran mahar yang sudah

disepakati. Ini akan sangat mempengaruhi hubungan rumah tangga suami

istri dan kesejahteraan keluarga itu sendiri.

Masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah masyarakat yang terdiri dari

berbagai suku-suku yang mempunyai bermacam-macam ritual dan tahapan

dalam melaksanakan pernikahan, namun yang cukup unik dari itu semua yaitu

4
seluruh suku mengenal “belis”. Belis merupakan mas kawin atau mahar yang

diberikan oleh pihak keluarga pria yang nantinya akan dibalas oleh keluarga

pihak wanita. Apabila dari pihak laki-laki menyerahkan tujuh macam belis

maka pihak wanita juga wajib memberikan tujuh macam belis walaupun isinya

tidak harus sama persis, karena apabila tidak sama dalam jumlah maka pihak

wanita akan dianggap berhutang. Belis yang merupakan mahar atau mas kawin

ini merupakan kesepakatan antara dua keluarga pengantin, biasanya merupakan

beberapa ternak kerbau atau kuda yang harganya cukup mahal atau perhiasan-

perhiasan.

Penelitian yang dilakukan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores

(TRUK-F) di Maumere, tahun 2003, menemukan lima kasus pernikahan, yakni

terdapat pasangan yang tidak dapat melaksanakan pernikahan Katolik karena

belis belum dibayar, pada 2005 terdapat 12 kasus perempuan diperlakukan

dengan kekerasan oleh suami. Saat istri melarikan diri ke keluarganya, suami

dan keluarganya memaksanya untuk kembali sebab belis sudah dibayar lunas.

Sementara temuan tahun 2006 sebanyak 104 kasus kekerasan yang terjadi.

Disimpulkan bahwa belis menjadi alasan suami melakukan kekerasan dan

terdapat 19 kasus suami yang merantau untuk mencari uang guna melunasi

belis. akibatnya istri dan anak ditelantarkan. Sebanyak lima kasus lainnya,

keluarga istri mengintimidasi suami untuk melunasi belis dan suami yang

merasa tertekan melakukan kekerasan terhadap istrinya.

(http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Marginalisasi+Peremp

uan+dalam+Perkawinan+Lamalohot&dn, di akses pada tanggal 30 Mei 2016).

5
Belis pada dasarnya bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat

seorang perempuan, namun belis juga dapat menjadi sumber persoalan dalam

rumah tangga yang pada akhirnya dapat melahirkan kekerasan terhadap

perempuan. Hal ini terjadi bila tuntutan belis yang terlampau tinggi melampaui

kemampuan finansial seorang laki-laki dan keluarganya. Selain itu, belis yang

mahal akan berdampak pada beban seorang laki-laki untuk menikahi

perempuan dari status sosial yang tinggi sehingga banyak perempuan yang

pada akhirnya tidak menikah disebabkan faktor belis yang terlalu tinggi. Belis

juga telah menjadi penyebab seorang suami menelantarkan istri dan anak-

anaknya, dan dapat membebani ekonomi keluarga sehingga berdampak

terhadap kesejahteraan keluarga itu sendiri.

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria

yang bakal menikah saja, tetapi juga orang tua, saudara-saudara bahkan

keluarga-keluarga dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, dalam

melaksanakan suatu pernikahan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan,

karena perkawinan adalah suatu proses kehidupan manusia yang bersifat sakral

yang aturannya telah ditetapkan dalam hukum agama, hukum negara maupun

hukum masyarakat atau adat, maka setiap perkawinan mengandung hukum

yang mengatur proses, tata pelaksanaan, juga apabila adanya kendala-kendala

dalam perkawinan tersebut.

Sumba merupakan salah satu pulau yang berada di Propinsi Nusa

Tenggara Timur yang hingga kini meskipun zaman dan peradaban telah maju,

namun adat kebiasaan yang dianut masyarakat masih tetap terjalin, salah

6
satunya adalah perkawinan adat. Untuk melaksanakan suatu perkawinan di

daerah tersebut harus melalui tata aturan adat yang sudah ada turun-temurun,

meskipun ada kalanya disesuaikan dengan keadaan perkembangan dan

kemajuan saat ini.

Adat istiadat di Sumba telah berlangsung lama yang diwariskan nenek

moyang dengan menggunakan hewan dalam mengurus atau menyelesaikan

satu masalah adat. Perkawinan misalnya, seorang gadis dipinang oleh calon

mempelai prianya, harus melewati beberapa prosesi adat. Salah satunya yaitu

buka surat, pihak gadis harus memotong ayam untuk menyambut sang pria

yang sudah membawa parang. Dalam proses ini desepakatilah sejumlah hewan

sebagai belis/mahar yang akan di cicil pada proses tunangan, pindah dan

sampai punya cucu cicit.

Belis yang sudah disepakati minimal 15-100 ekor yang disesuaikan

dengan prestasi-prestasi atau pendidikan gadis tersebut, rata-rata 45 ekor untuk

seorang gadis. Satu ekor kerbau yang umur sedang seharga ± Rp. 3.500.000,-,

sedangkan kuda seharga ± Rp. 2.000.000. Seandainya belis yang jumlahnya 45

ekor itu, dibagi menjadi 20 ekor kerbau berarti Rp. 70.000.000 ditambah

dengan 25 ekor kuda seharga Rp. 50.000.000 maka total keseluruhan biaya

belis yang dikeluarkan adalah Rp. 120.000.000, harga itu baru perhitungan

secara kasar. (Wurru L. Lidya (2010). Adat Istiadat, Benarkah Memicu

Kemiskinan, http://www.ilovesumba.com/2010-11-01-archive.html, diakses

pada tanggal 31 Mei 2016).

Adat istiadat tersebut tidak muncul begitu saja. Satu hal yang diketahui,

bahwa nenek moyang dahulu telah mewariskan adat yang selalu mengorbankan

7
hewan untuk prosesi adat apapun. Warisan inilah yang patut orangtua terus

pertahankan dan umumnya warisan dianggap sebagai suatu hal yang baik.

Inilah sebenarnya yang harus disadari bahwa terdapat satu masalah dalam

warisan budaya ini yang bisa menjadi tombak namun pelan-pelan tapi pasti

bisa menimbulkan permasalahan yang menyangkut taraf hidup, pendidikan,

bahkan kesejahteraan keluargan itu sendiri. Akan tetapi, kita juga tidak bisa

menyalahkan orang tua zaman sekarang, sebab mereka belum tahu apa efek

samping dari warisan tersebut. Mereka hanya menjalankan sebuah pesan nenek

moyang yang harus dilakukan dan tetap dilestarikan. Ini menjadi satu

kebiasaan permanen yang sulit untuk ditolak sampai puluhan generasi. Bahkan,

generasi muda sekarang sudah terjerat dengan kebiasaan yang demikian.

Dalam tradisi perkawinan masyarakat Sumba terdapat sebuah benda yang

disebut Mamoli. Mamoli memegang peranan penting dalam tradisi perkawinan

karena merupakan belis utama dan sebagai lambang perdamaian antara pihak

laki-laki dan wanita. Artinya bahwa mempelai laki-laki mempunyai tujuan dan

maksud baik terhadap mempelai wanita dalam keseriusan menjadikan

pendamping hidup. Hal ini akan berpengaruh pada hubungan baik pihak laki-

laki dan pihak wanita, selain itu juga dalam tatacara upacara adat perkawinan

dalam meminang perempuan, diperlukan mamoli emas yang diartikan sebagai

pengganti air susu ibu dan sebagai penghargaan jeripayah orang tua dalam

membesarkan anaknya. Begitu pentingnya peran mamoli dalam upacara adat

perkawinan sehingga bila pihak laki-laki tidak dapat memenuhi syarat maka

atas kesepakatan kedua keluarga mamoli harus diganti dengan nilai yang

setara, misalnya satu ekor kerbau jantan atau bahkan lebih.

8
Pembayaran belis memang jarang dilakukan sekaligus, sebagian

diberikan saat pindah rumah, sebagian lagi diberikan sedikit-sedikit setiap kali

pihak keluarga istri mengadakan pesta dan lain sebagainya. Mengingat

mahalnya harga hewan, jarang pula ada satu keluarga yang bisa memenuhi

belis berjumlah besar dengan kemampuannya sendiri. Lebih sering hewan-

hewan ini diperoleh sebagai sumbangan dari keluarga-keluarga lain yang

merupakan anggota kabisu keluarga bersangkutan, tetapi tidak secara gratis

karena pihak penerima harus membayar kembali saat keluarga penyumbang

membutuhkan di lain waktu. Belis tidak saja menjadi urusan pihak laki-laki

karena pihak perempuan juga harus menyediakan balasannya. Belis yang

diberikan pihak laki-laki sering diartikan dengan benda-benda maskulin seperti

kerbau dan kuda di mana hewan yang pemeliharaannya menjadi urusan kaum

laki - laki, parang dan tombak sebagai senjata perang. Sementara itu, balasan

yang diberikan pihak perempuan dikaitkan dengan benda-benda feminin seperti

babi atau hewan yang dipelihara kaum wanita dan kain tenun yang dibuat kaum

wanita.

Dalam hal ini yang menjadi perhatian dengan banyaknya biaya yang

dikeluarkan untuk membayar belis baik itu dari pihak laki-laki maupun

perempuan adalah bagaimana kelangsungan kehidupan keluarga yang baru

melakukan pernikahan. Apakah mereka merasa terbebani dengan adanya Belis

yang di pertukarkan, dan merasa sejahtera dengan kehidupan yang di jalani.

9
B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan judul, maka permasalahan yang akan dikaji dalam

penulisan ini yaitu; Bagaimana bentuk Pertukaran Sosial dalam perkawinan

Adat Sumba Sebagai Upaya Pemenuhan Kesejahteraan Keluarga?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana Bentuk

Pertukaran Sosial dalam Perkawinan Adat Sumba Sebagai Upaya Pemenuhan

Kesejahteraan Keluarga.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi perkembangan ilmu kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan Bentuk

Pertukaran Sosial dalam Adat Perkawinan Sebagai Pemenuhan

Kesejahteraan Keluarga.

2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan referensi bagi prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial dan

bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin membahas pertukaran

sosial dalam perkawinan adat sebagai upaya pemenuhan kesejahteraan

keluarga.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Fungsi ruang lingkup dalam penelitian ini dimaksudkan agar penelitian

tidak terlalu luas sehingga proses penteorian yang akan mengikuti penelititan

juga memenuhi ketepatannya (Yanuar Ikbar, 2012:123). Ruang lingkup

penelitian ini mendeskripsikan bagaiamana bentuk pertukaran sosial dalam

10
perkawinan adat sebagai upaya pemenuhan kesejahteraan keluaraga. Ruang

lingkup penelitian ini sebagaimana dimaksudkan dalam rumusan masalah

meliputi:

1. Pertukaran sosial dalam perkawinan adat Sumba

a. Profil ketua adat atau tokoh adat

b. Profil calon pasangan suami istri

c. Bentuk-bentuk pertukaran sosial dalam adat perkawinan adat sumba

2. Kesejahteraan Keluarga dalam Adat Sumba

a. Konsep Kesejahteraan Keluarga

b. Tradisi Adat Sumba dalam Upaya Kesejahteraan Keluarga

11

Anda mungkin juga menyukai