Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Peradilan Masa Umayyah dan Abassiyah

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Sistem Peradilan
Agama di Indonesia

Dosen Pengampu : Ai Wati, M.H

Disusun Oleh:

Sri Hayati Ningsih

Asydad Malik Muhammad

Ilham Nurul Fauzi

Raka Riyandi Maulana Yusuf

Saepul Hidayatullah

HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)

STAI AL-MUSADDADIYAH GARUT

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.


Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang mana berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan tugas terstruktur berupa makalah di mata kuliah
Sistem Peradilan Agama di Indonesia dengan Judul “Peradilan Masa Umayyah dan
Abassiyah" ini. Sungguh tiada daya dan upaya, tiada pemahaman dan pengetahuan
kecuali atas welas asih-Nya.
Shalawat bertangkaikan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Baginda
Alam, Paduka Rasulullah SAW, beliaulah pelita di setiap langkah dalam hidup ini.
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen kami tercinta Ibu Ai Wati, M.H yang
selalu setia membimbing kami, mendengar keluh kesah kami, memberi solusi di setiap
kebingungan yang kami dapatkan selama menuntut ilmu di kampus ini. Juga kepada
teman-teman sekalian yang memberi banyak support kepada kami.
Seperti kata pepatah “Tidak ada gading yang tak retak”, makalah ini sangat
jauh dari kata sempurna, banyak kekurangan. Namun lebih dari itu, kami harap usaha
kami dalam menyusun makalah ini dapat bermanfaat demi menambah pengetahuan kita.
Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala bentuk kritik dan saran
yang membangun dari kalian semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Garut, 8 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2

C. Tujuan ............................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3

A. Peradilan Masa Umayyah .................................................................................................. 3

B. Peradilan Masa Abassiyah ................................................................................................. 6

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 15

A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 15

B. Saran ............................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradaban hukum dan peradilan sejatinya sudah mulai dipraktikan


sejak ribuan tahun silam, seiring dengan peradaban kehidupan manusia,
meskipun masih dalam konteks yang sangat sederhana. secara praktis proses
peradilan pertama kali dipraktikan dalam sejarah umat manusia adalah proses
peradilan terhadap pertikaian antara Qabil dan Habil, di mana pada saat itu
Nabi Adam as sendiri yang menjadi hakim untuk memutuskan dan
menyelesaikan pertikaian diantara keduan putranya. Apa yang dilakukan Nabi
Adam as terhadap kedua putranya sejatinya sudah mencerminkan praktik
peradilan dalam konteks yang sangat sederhana. Sedangkan istilah “hakim”
sendiri pertama kali disematkan dalam sejarah manusia adalah kepada Nabi
Daud as dan Nabi Sulaiman as. Kisah tersebut terekam dalam Q.S. Shad ayat
17-26 dan Al-Anbiya ayat 78-79.1

Penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara


perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana
Sementara Tahir Azhari menyebutnya dengan istilah nomokrasi Islam, yakni
suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum Islam dan merupakan rule of Islamic law.2

Kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan


Islammerupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Hal tersebut mengingat bahwa pemerintahan Islam yang dibangun
Nabi Muhammad merupakan bentuk negara hukum, maka tegaknya keadilan
merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan dalam kehidupan

1
Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan,
Peradilan dan Adat dalam Islam,(Jakarta : Khalifa, 2004), hlm. 285.
2
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia ,(Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 146-148. 3

1
bernegara. Melihat urgensi lembaga tersebut Muhammad Salam Madkur
berpandangan bahwa keberadaan lembaga yudikatif dipandang sebagai
lembaga yang suci, mengingat bahwa upaya menegakan peradilan juga dapat
diartikan sebagai upaya memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya
kedzaliman, menyampaikan hak kepada yang punya, mengusahakan islah
diantara manusia, dan menyelamatkan manusia dari kesewenang-wenangan.3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peradilan Pada Masa Umayyah?
2. Bagaimana Peradilan Pada Masa Abassiyah?
C. Tujuan
Agar Setiap Mahasiswa/i yang mengikuti perkulihan Sistem Peradilan
Agama di Indonesia dapat mengetahui dan memahami mengenai bagaimana
sistem peradilan pada Masa Dinasti Umayyah dan Abassiyah.

3
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, terj. Imron AM, (Surabaya : PT.
Bina Ilmu, 1993), hlm. 31

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan di Masa Bani Umayah

Dinasti Umayyah berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dari tahun


661H–750H. Pada dinasti Umayyah, al-qadha dikenal dengan al-Nizham al-
Qadhaaiy (organisasi kehakiman), dimana kekuasaan peradilan telah
dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada dua ciri khas bentuk peradilan pada
masa Umayyah, yaitu:

a. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-


hal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan
belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu
hakim hanya berpedoman kepada Al-Qur‟an dan Sunnah.
b. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa.
Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh
keinginan-keinginan penguasa sendiri. Dalam hal itu, khalifah selalu
mengawasi gerak gerik hakim dan memecat hakim yang menyeleweng
dari garis yang ditentukan.4
1. Manajemen Peradilan Pada Masa Umayyah
Pada masa Umayyah, khalifah mengangkat qadhi-qadhi untuk
bertugas di ibukota pemerintahan. Sedangkan qadhi-qadhi yang bertugas
di daerah pengangkatannya diserahkan kepada penguasa-penguasa daerah.
Namun, kedudukan hakim ibukota dan hakim daerah sederajat. Pada masa
ini belum ada tingkatan-tingkatan lembaga peradilan atau belum ada
qadhil qudhat. Maka masing-masing hakim berdiri sendiri, namun secara
hierarki mereka berada di bawah kekuasaan khalifah dan wakil-wakilnya. 5

4
Muhammad Salam Madkur, Op.cit., h. 20.
5
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 152

3
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman di masa Daulah
Umayah ini dapat di kategorikan menjadi tiga badan, yaitu: Pertama, al-
Qadha’ merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkara
yang berhubungan dengan agama. Di samping itu, badan ini juga mengatur
institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental Kedua,
merupakan tugas al-muhtasib (kepala hisbah).
Dalam menyelesaikan perkara umum dan soal-soal pidana yang
memerlukan tindakan cepat. Menurut Al-Syaqathi dalam bukunya Fi
Adaab al-Hisbah, menerangkan bahwa tugas al-Muhtasib selain
mengarahkan polisi juga bertindak sebagai pengawas perdagangan pasar,
memeriksa takaran dan timbangan serta ikut mengurusi kasus-kasus
perjudian, seks amoral, dan busana yang tidak layak pakai di depan
umum. 6
Ketiga, al-Nadhar fi al-Mazhalim. Merupakan mahkamah tinggi
atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya (al-qadha dan
alhisbah) lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar
negara yang berbuat salah. Pengadilan ini langsung di bawah pimpinan
Khalifah. Ketika itu Abdul Malik bin Marwan atau orang yang ditunjuk
olehnya, yang pada awalnya diadakan di dalam masjid. 7
Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para
penguasa tidak mencampuri urusan peradilan dan peradilan bebas
memutuskan dengan seadil-adilnya. Khalifah hanya mengawasi keputusan
yang mereka keluarkan, selain itu, ada ancaman pemecatan bagi siapa
yang berani melakukan penyelewengan.
2. Kondisi Sosial
Pada masa Bani Umayah segala pendapatan negara menjadi
meningkat, karena mereka meningkatkan jumlah pajak dan retribusi yang
diambil dari penduduk, pedagang, kelompok non muslim. Mu'awiyah bin
Abi Sofyan memerintahkan untuk menaikkan jumlah pungutan bagi

6
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) , h. 81.
7
Ibid., h. 82.

4
penduduk Mesir asli (coptik), sebanyak 200 miligram perkepala yang
terdiri dari emas murni. Pemungut pajak yang bernama Wardan bertanya
kepada Mu'awiyah dalam suratnya "bagaimanakah saya akan meminta
lebih pada mereka sedangkan dalam surat perjanjian tidak boleh meminta
lebih dari itu?". 8
Pajak-pajak baru yang tidak pernah dipungut mulai dari masa
Rasulullah sampai Khulafa lr-Rasyidin telah dipungut pada masa Bani
Umayah, mereka menaikkan seenaknya. Kalau tidak mau membayar,
seluruh perabotan rumah mereka diambil paksa. Banyak penduduk yang
protes dengan perlakuan seperti ini, contohnya di Yaman. Kelompok non
muslim tidak saja dipungut jizyah akan tetapi juga ada pajak-pajak lain
yang dipungut dari mereka. Begitu juga halnya dengan penduduk Iraq,
Asia Tengah, masing-masing mereka dinaikkan pajaknya sebanyak tiga
dinar (uang emas/denari).9
Penindasan-penindasan seperti ini tidak menyebabkan
pertumbuhan ekonomi atau penghasilan negara yang melonjak akan tetapi
yang terjadi sebaliknya. Para penduduk menjadi enggan melakukan
aktifitas perdagangan karena hanya untuk memperkaya penguasa, para
pedagang yang datang dari Cina melalui jalur sutra merubah jalur
perdagangannya atau menyeludupkan barangnya karena menghindari
pajak yang sangat tinggi.
Kegiatan pertanian pun menjadi mundur. Semakin sedikit
penghasilan negara semakin gigih para penguasa Bani Umayah menaikkan
pajaknya dan mengambil paksa uang serta perabotan yang ada di rumah-
rumah penduduk, siapa yang menentang di penggal batang lehernya oleh
Gubernur yang bernama al-Hajaj. Begitulah kehidupan sosial bagi
masyarakat berkehidupan menengah ke bawah yang senantiasa menderita
oleh perlakuan penguasa. Setelah Umar bin Abdul Aziz, datang peraturan-
peraturan pajak ini dihapuskan dan dikembalikan kepada masa khalifah

8
M.Ag Dr. Az’ari, “Tranformasi Peradilan Pada Masa Umar Bin Abdul Aziz” 17 (2017): 13–42.
9
Ibid.

5
Umar bin Khatab, yang dipungut hanyalah sebanyak dua setengah dirham
(mata uang Persia).10
Kondisi sosial masyarakat kala itu dapat dibagi menjadi beberapa
klasifikasi; agama, etnis, serta hubungan interaksi antara mereka.
Kemudian aturan dalam keluarga, kehdupan individu, kebebasan, istana,
majlis para khalifah, seremonial, pesta, adat istiadat, tempat-tempat wisata,
bentuk rumah dan isinya yang berupa perabotan rumah tangga. 11
Pada masa khulafa ar-Rasyidun tidak ada perbedaan antara etnis,
yang membedakannya hanyalah taqwa kepada Allah S.W.T. Rasulullah
mengatakan “tidak ada keutamaan Arab dari Persia kecuali dengan
taqwa13. Bani Umayah memandang rendah bangsa selain Arab. Mereka
menganggap bangsa yang ada pada wilayah-wilayah yang ditaklukan itu
budak-budak mereka.
Hal ini membangkitkan rasa kesukuan yang ada pada diri mereka
yang akhirnya mengakibatkan kerusuhan yang berkepanjangan. Mereka
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Bani Umayah dan
bergabung dengan siapa saja yang menentang Bani Umayah, setiap saat
mereka selalu menanti-nanti kesempatan untuk menghancurkan Negara
Bani Umayah. 12
B. Peradilan Pada Masa Abassiyah
1. Manajemen peradilan pada masa Abassiyah
Pada masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad
dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab
mazhab yang empat atau mazhab yang lainnya. Dengan demikian, syarat
hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian, organisasi kehakiman
juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabata penuntut
umum (kejaksaan) di samping telah di bentuk instansi diwan qadhi al-
qudhah, sebagai berikut:

10
Ibid.
11
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Kairo, Maktabah Nahdah Misriyah, 1990), Jilid II, hal.
431
12
Syaikh khudari Beik, Tarikh Daulah Amawiyah, (Kairo,Dar al-Qalam, 1988), hal 282

6
a. Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan
Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qudhah (ketua
Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-bada
lain yang ada hubungan dengan kehakiman berada di bawah diwan
qadhi al-qudhah.
b. Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi).
c. Qudhah al-Amsaar (Hakim Kota yang mengetuai Pengadilan negeri;
al- Qadha atau al-Hisbah).
d. Al-Suthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota negara di
pimpin oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh
Naib Ummy (Jaksa).13

Apabila di-identikkan dengan Indonesia, pada zaman Abbasiyah


sudah ada Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta peradilan-peradilan di
tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah
memiliki peradilan.14

Adapun badan-badan Peradilan pada zaman Abasiyah ada tiga


macam15 yaitu sebagai berikut:

a. Al-Qadha, hakimnya bergelar al-Qadhi. Bertugas mengurus perkara-


perkara yang berhubungan dengan agama pada umumnya. Al-Qadha
adalah lembaga yang berfungsi memberi penerangan dan pembinaan
hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah
wakaf. Pada masa Abbasiyah setiap perkara diselesaikan dengan
berpedoman pada mazhab masing-masing yang dianut oleh
masyarakat.16
b. Al-Hisbah, hakim yang bergelar Muhtasib, bertugas menyelesaikan
perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah-masalah umum

13
A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5, hlm. 234-235.
39
14
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 159.
15
A. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 231
16
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 130.

7
dan tindak pidana yang memerlukan pengurusan segera. Tugas pejabat
al- hisbah adalah amar ma’ruf nahi munkar,baik yang berkaitan dengan
hak Allah, hak hamba, atau hak keduanya.
c. Wilayat al-Mazhalim, hakim yang bergelar Shahibul atau Qadhi al-
Mazhalim, yaitu kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari
kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas memeriksa kasus-kasus
yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa, tetapi pada kasus-
kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa
terhadap rakyat biasa. Seperti kezaliman dan ketidakadilan yang
dilakukan oleh para kerabat khalifah, pegawai pemerintahan, dan
hakim-hakim. Contohnya ada seorang wanita yang mengadukan anak
khalifah al-Abbas yang telah menzaliminya dengan merampas tanah
haknya. 17
2. Kebijakan-Kebijakan Peradilan Masa Khalifah Abbasiyah
Pada masa ini ada beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah
dalam bidang peradilan, antara lain adalah: 1. Lembaga Qadhi al-Qudhah
(Mahkamah Agung) Meskipun secara politis qadhi al-qudhah diangkat dan
kedudukannya berada di bawah sultan, akan tetapi sebenarnya ia adalah
penyeimbang kekuasaan sultan dan pelaksana kekuasaan lainnya, seperti
diwan dan wizarat. Mengingat sultan sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, tidak mungkin melaksanakan seluruh kekuasaan negara. Karena
itu beberapa kekuasaan eksekutif kemudian didelegasikan kepada
pelaksana kekuasaan lainnya. 18
Lembaga Qadhi al-Qudhah yang merupakan instansi tertinggi
dalamperadilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mahkamah
Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun al-
Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai
pengangkat hakim-hakim daerah. Apabila diidentikan dengan Indonesia,
pada zaman Abbasiyah sudah ada Mahkamah Agung dan Jaksa Agung
17
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 136. 7
18
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 163. 13

8
serta peradian-peradilan di tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Artinya
setiap wilayah sudah memiliki peradilan. 19
Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah
sebagai berikut:
a. Abu Yusuf , Ya’kuq bin Ibrahim (lahir tahun 131 H/ 731 M - wafat
tahun 182 H/ 789 M) beliau adalah qadhi qudhah Harun al-Rasyid.
b. Yahya bin Aksam (lahir tahun 159 H/755 M - wafat tahun 242 H/857
M) beliau adalah qadhi qudah al-Makmun.
c. Ahmad bin Abu Daud (lahir tahun 160 H/777 M - wafat tahun 240 H/
854 M) beliau adalah qadhi al-Mu‟tashim.
d. Sahnun al-Maliki (lahir tahun 160 H/ 777 M - wafat tahun 240 H/ 854
M) beliau adalah qadhi Maghrib.
e. Al-Izz bin Abd. Al-Salam (lahir 578 H/ 1181 M – wafat tahun 660 H/
1262 M) beliau adalah qadhi Mesir.
f. Ibnu Khillikaan (lahir tahun 608 H/ 1211 M – wafat tahun 660 H/ 1282
M) beliau adalah qadhi Damaskus.
g. Ibnu Daqiqi Ied (lahir tahun 625 H/ 1228 M – wafat tahun 702 H/ 1302
M) beliau adalah qadhi Mesir dan Shaid.

Inilah sebagian qadhi qudhah dan qadhi yang banyak mendapatkan


perhatian umum terkenal dalam masyarakat fikih dan di pandang sebagai
pebimbing ilmu al-furu’ dalam periode kedua dari bani Abbasiyah. 20

3. Kasus Hukum Masa Abassiyah


Dalam catatan sejarah, al-Mansur khalifah Abbasiyah yang
mempunyai nama Abu Ja’far menyuruh pengawalnya membunuh Abu
Muslim al-Khurasani dan Sulaiman bin Katsir. Al-Manshur juga
menangkap pemimpin-pemimpin kelompok Rawandiyah dan
memenjarakan 200 orang pengikut kelompok tersebut.21

19
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 159.
20
Siti Nuraviva, “Manajemen Peradilan Islam Di Era Abbasiyah,” Uin Syarif Hidayatullah 1 (2015).
21
A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, hlm. 73

9
Masa pemerintahan Khalifah al-Mahdi memutar balik jarum jam,
ia memulai pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan kecuali
yang dipenjara menurut Undang-undang. Ia juga memerhatikan pengaduan
dan penganiayaan. Miswar bin Musawir menceritakan bahwa ia telah
dianiaya oleh seorang pegawai al-Mahdi yang merampas kebunnya. Ia
mengadukan perkara tersebut kepada al-Mahdi sehingga kebun tersebut
dikembalikan kepadanya. Al- Mahdi juga mengembalikan harta-harta yang
dirampas oleh ayahnya, al-Mansur, kepada pemiliknya masing-masing
sesuai pesan ayahnya sendiri dan membatalkan pemungutan pajak.
Al-Mahdi telah mengadili pengaduan, menghentikan pembunuhan,
memberi jaminan kepada pihak yang bimbang dan takut, dan membela
pihak yang teraniaya. Al-Mahdi mengadili dan menghukum Ya’kub bin
Daud (menteri pengganti Abu Abdullah) yang akhirnya dipenjara
sepanjang masa pemerintahannya, menghukum Isa bin Musa. Pada masa
pemerintahan al-Ma‟mun (813-833 M), putra dari Khalifah.
Harun al-Rasyid (766-809 M) pada tahun 827 M menjadi kan
teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Karena
menjadi aliran resmi dari pemerintah, kaum Mu’tazilah mulai bersikap
menyiarkan ajaran-ajaran mereka secara paksa, terutama paham mereka
bahwa al-qur’an bersifat makhluk dalam arti diciptakan dan bukan bersifat
qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan. 22
Kaum Mu’tazilah telah mendukung khalifah menentang ahl as-
sunnah dan ulama- ulama hadits dalam perkara ini. Masalah ini berlanjut
sampai masa pemerintahan al-Mutawakkil. Banyak korban karena masalah
ini. Baik yang dibunuh maupun yang dipenjara. Raja Musa bin Jenghis
Khan memenjarakan tiga orang yang masih bersaudara dan
membebaskannya karena kesaksian yang diberikan oleh seorang wanita.

22
Harun Nasutio, Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, cet. 5,
(Jakarta: UI-Press, 1986), hlm 10.

10
Nama-nama hakim ketika itu adalah Abi laila, Yahya bin Aktsan at-
Tamimi, Ahmad bin Abu Daud al-Mu’tazili, Abu Yusuf, Abu Walid.23
Dari uraian di atas beberapa kasus hukum yang terjadi pada masa
Abbasiyah tampak sekali khalifah pada masa ini juga menjadi qadhi
menyelesaikan permasalah yang ada pada masa kepemimpinannya
menjadi khalifah.

23
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 163

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para
penguasa tidak mencampuri urusan peradilan dan peradilan bebas
memutuskan dengan seadil-adilnya. Khalifah hanya mengawasi keputusan
yang mereka keluarkan, selain itu, ada ancaman pemecatan bagi siapa yang
berani melakukan penyelewengan.
Pada masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad dalam
memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab
yang empat atau mazhab yang lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus
mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian, organisasi kehakiman juga mengalami
perubahan, antara lain telah diadakan jabata penuntut umum (kejaksaan) di
samping telah di bentuk instansi diwan qadhi al-qudhah.
B. Kritik dan Saran
Alhamdulillah upaya kami untuk menyusun makalah ini tentu amat
bermanfaat bagi diri kami pribadi karena banyak aspek yang bisa kami fahami
lewat tugas ini. begitupun kami harap makalah ini senantiasa bermanfaat bagi
semua orang yang membacanya. Akhir kata, mohon maaf jika terdapat banyak
kekeliruan dalam diksi juga tulisan dalam makalah kami, dengan tangan
terbuka kami selalu siap menerima kritik dan saran dari teman-teman semua.

12
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Az’ari, M.Ag. “Tranformasi Peradilan Pada Masa Umar Bin Abdul Aziz” 17
(2017): 13–42.

Nuraviva, Siti. “Manajemen Peradilan Islam Di Era Abbasiyah.” Uin Syarif


Hidayatullah 1 (2015).

Nasution, Harun, “Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan” ,


cet. 5, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm 10.
Aripin, Jaenal, “Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia”,
(Jakarta:Kencana, 2008), hlm. 163. 13
Madkur, M.Salam, “Peradilan Dalam Islam, terj. Imron AM”, (Surabaya :
PT.Bina Ilmu, 1993), hlm. 31

13

Anda mungkin juga menyukai