1
LEMBAR PENGESAHAN
1. Alviani (213203001)
2. Andi Setiawan (213203002)
3. Ovilia Nabila (213203032)
Mahasiswa
(Kelompok 1)
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Silver et.al (2019) berpendapat bahwa cedera kepala adalah gangguan fungsi
struktur otak akibat adanya kekuatan fisik eksternal yang dapat menghasilkan tanda dan
gejala disfungsi otak pada periode cedera akut.
Berdasarkan data Defense and Veterans Brain Injury Center of United States
pada tahun 2015 derajat keparahan cedera kepala terbanyak terjadi adalah cedera kepala
ringan yaitu 18.666 kasus, lalu diikuti oleh cedera kepala sedang sebanyak 2.763 kasus,
dan cedera kepala berat sebanyak 174 kasus. Derajat keparahan cedera kepala dapat
dihitung dengan beberapa cara, salah satu yang paling sering digunakan adalah Glasgow
Coma Scale (GCS) yang menilai tiga komponen dari fungsi neurologis yaitu: bukaan
mata, respon verbal, dan respon motorik. Hasil penilaian berupa skor 3-15. dengan
klasifikasi cedera kepala ringan (14-15), cedera kepala sedang ( 9- 13), dan cedera
kepala berat <8.
Riskesdas (2018) menyatakan bahwa Di Indonesia cedera kepala menduduki
peringkat ketiga dengan angka 11,9% dari seluruh cedera. Angka kejadian tertinggi
pada kelompok umur 1-4 tahun lalu diikuti oleh kelompok umur 75 tahun keatas dan
cedera kepala lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.
Pada cedera kepala dampak yang dialami oleh pasien dapat berbeda-beda
tergantung dari derajat dan jenis cedera kepala yang terjadi. Contoh dampak akibat
cedera kepala yang mungkin dialami oleh pasien yaitu: sakit kepala, disorientasi tempat
dan waktu, penglihatan berkurang atau kabur, tinnitus, perubahan mood, mual muntah,
dan penurunan kesadaran. Untuk mengatasi permasalah dalam cedera kepala langkah
awal yang dilakukan yaitu pemeriksaan tanda vital merupakan tindakan yang pertama
kali dilakukan pada cedera kepala. Setelah pemeriksaan dan perawatan darurat, pasien
dengan cedera kepala sedang hingga berat memerlukan pemantauan neurologis dan
fisiologis (Gupte, 2019).
Dalam menegakkan diagnosis cedera kepala biasanya dilakukan pemeriksaan
penunjang pada cedera kepala dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu Sinar X,
Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Computerized Tomography (CT) scan.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan pada pasien cedera kepala dan
3
menjadi standar emas adalah pemeriksaan CT-Scan karena mampu melihat seluruh
jaringan otak dan membedakan jenis cedera kepala, seperti Subdural Hematoma (SDH),
Epidural Hematoma (EDH), dan Intracerebral Hemoragik (ICH).
B. Tujuan
1. Mengetahui penanganan pada cidera kepala berat
2. Mengetahui dan mengimplementasikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala berat.
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Cidera Kepala Berat
Traumatic Brain Injury (TBI), merupakan suatu bentuk cedera otak yang terjadi
ketika trauma mendadak yang menyebabkan kerusakan pada otak (NIH, 2018).
Centers for Disease Control and Prevention (2017) menyatakan bahwa cedera
kepala merupakan sebagai gangguan pada fungsi normal otak yang dapat
disebabkan oleh benturan, pukulan, atau sentakan di kepala, atau penetrasi benda
asing ke kepala.
B. Etiologi Cidera Kepala Berat
1. Trauma tajam Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat
dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4
bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.
3. Akibat trauma tergantung pada : Kekuatan benturan (parahnya kerusakan),
Akselerasi dan Deselerasi, Cup dan kontra cup Cedera cup adalah kerusakan
pada daerah dekat yang terbentur : Lokasi benturan, Rotasi Pengubahan posisi
pada kepala menyebabkan trauma regangan dan robekan substansia alba dan
batang otak, Depresi fraktur Kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun
menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro Spinal) mengalir
keluar ke hidung, telinga → masuk kuman → kontaminasi dengan CSS →
infeksi →kejang
C. Manifestasi Cidera Kepala Berat
Menurut Kurniawati, Trisyanti dan Theresia (2018) manifestasi cidera kepala
sebagai berikut :
1. Adanya penurunan kesadaran yang dapat dinilai melalui skala GCS (Glasgow
Coma Scale) GCS (Glasgow Coma Scale) merupakan skala universal untuk
5
mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang menyebabkan
penurunan kesadaran. GCS terdiri dari pemeriksaan respon membuka mata (1-
4), respon motorik (1-6), respon verbal (1-5). Berdasarkan nilai GCS, maka
penderita cedera kepala dengan nilai GCS 3-8 dikategorikan sebagai cidera
kepala berat. GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera kepala sedang, dan
penderita dengan nilai GCS 14- 15 dikategorikan sebagai cedera ringan ringan.
2. Adanya laserasi kulit kepala Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan
oleh benda tumpul atau runcing dimana dengan kata lain, pada luka yang
disebabkan oleh benda tajam lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek
adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit.
Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien cedera kepala.
3. Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur
dibagi menjadi:
a. Fraktur Linier. Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal
atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala.
b. Fraktur Diastasis. Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada
sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang
kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura
belum menyatu dengan erat.
c. Fraktur kominutif. Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d. Fraktur impresi. Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada
tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau aserasi pada duramater
dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula
eksterna segmen tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
e. Fraktur basis cranii. Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang
terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racoon eyes sign
6
pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada
fraktur basis cranii fossa media.
4. Adanya luka memar (kontusio) Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan
jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh
darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal,
temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang
mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika pembengkakan cukup besar
dapat menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah tingkat kesadaran.
5. Adanya luka abrasi Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya
superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak
sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak
ujung-ujung saraf yang rusak.
6. Adanya luka avulsi Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit
terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial dimana
dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera. Adapun kriteria
cedera kepala berat antara lain: a. Skor Glasgow Coma Scale 3-8 (koma) b.
Penurunan derajat kesadaran secara progresif c. Tanda neurologis fokal d.
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
D. Pemeriksaan Diagnostic Cedera Kepala Berat
1. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang mungkin
sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.
2. CT – Scan Indikasi CT Scan adalah : a. Nyeri kepala menetap atau muntah-
muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia atau
antimuntah. b. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
7
3. MRI Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang
memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI
telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi
lesi difus non hemoragik cedera aksonal.
4. EEG Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis.
5. X – Ray Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan atau edema), fragmen tulang (Dewanto, 2016).
E. Patofisiologi Cidera Kepala Berat
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak
25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral seperti
kesulitan dalam berbicara,nyeri di kepakla dan bola mata, tampak berkeringat, bisa
muntah, dan terjadi kerusakan fungsi motorik. Dari sini dapat muncul masalah
keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral. Pada saat otak mengalami
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam
keadaan normal cerebral bood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100 gr jaringan
otak yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala menyebakan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan
tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah
perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel,
takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
8
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuuh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Cedera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada funsi otak dan seluruh sistem dalam
tubuh. Bila trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya
leserasi pada kulit kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila
perdarahan yang terjadi terus– menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran
darah sehingga terjadi hipoksia. Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri
dan peningkatan volume darah di otak sehingga tekanan intra kranial akan
meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan fraktur
yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan perdarahan pada otak, kondisi ini
dapat menyebabkan cidera intra kranial sehingga dapat meningkatkan tekanan intra
kranial, dampak peningkatan tekanan intra kranial antaralain terjadi kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Kastilong, 2018)
F. Pathway
9
dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk
menyingkirkan hematom.
2. Drainase Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang
dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretic
a. Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik
air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan.Cara pemberiannya : Bolus 0,5 -1 gram/kgBB dalam 20 menit
dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24 -48 jam. Monitor
osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.
b. Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek
menghambat pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan
interstisial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai
efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis
40 mg/hari/IV.
c. Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus -kasus yang
tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara
pemberiannya adalah bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg
dengan dosis sekitar 1 mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol 20 mmHg
selama 24-48 jam dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
d. Steroid Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang
tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
Tindakan Keperawatan Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
10
1) Sirkulasi (Circulation) Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat
mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh
kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial, yakni
berupa hipovolemik akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tempo nadi jantung atau peumotoraks dan syok
septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan
plasma.
2) Jalan nafas (Air way) Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke
belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir
atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik
untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
3) Pernafasan (Breathing) Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh
kelainan sentral atau perifer. Kelainansentral adalah depresi pernafasan
pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan
central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari
gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan
dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator (Bahrudin, 2019).
H. Pengkajian Cidera Kepala Berat
Menurut Fitriana (2018) pengkajian cidera kepala sebagai berikut :
1. Airway : Mengkaji bagaimana kondisi jalan nafas pasien dimana dilakukan
dengan memeriksa apakah adanya obstruksi jalan nafas akibat dari adanya
benda asing, oedema, darah, muntahan, lidah, cairan. Jika pasien saat
diberikan pertolongan tidak responsif, stabilkan kepala dan leher dan
gunakan manuver dorong rahang untuk memastikan jalan napas terbuka. Jika
tidak dicurigai adanya cedera tulang belakang, gunakan head tilt, chin lift
manuver. Mengkaji bagaimana suara nafas pasien dan amati apakah terdapat
snoring, gurgling, maupun crowning.
11
2. Breathing : Mengkaji apakah pasien dapat bernafas dengan spontan atau
tidak, Memperhatikan gerakan dada pasien apakah simetris atau tidak,
Mengkaji irama nafas apakah cepat, dangkal atau normal, Mengkaji
keteraturan pola nafas, Mendengarkan, mengamati, serta mengkaji suara
paru apakah terdapat wheezing, vesikuler, maupun ronchi, Mengkaji apakah
pasien mengalami sesak nafas, Mengkaji respiratory rate pasien.
3. Circulation : 1) Mengkaji nadi pasien apakah teraba atau tidak, jika teraba
hitung berapa denyut nadi permenit 2) Mengkaji tekanan darah pasien 3)
Mengamati apakah pasien pucat atau tidak 4) Menghitung CRT pasien
perdetik 5) Menghitung suhu tubuh pasien dan rasakan akral pasien apakah
teraba dingin atau hangat 6) Mengamati apakah terdapat perdarahan pada
pasien, dan kaji lokasinya serta jumlah perdarahan 7) Mengkaji turgor pasien
8) Mengkaji adanya diaphoresis 9) Mengkaji riwayat kehilangan cairan
berlebihan
4. Disability : 1) Mengkaji tingkat kesadaran pasien 2) Mengkaji nilai GCS
pasien yang meliputi mata, verbal, dan motoriknya 3) Mengkaji pupil pasien
apakah isokor, unisokor, pinpoint, atau medriasis 4) Mengkaji adanya reflek
cahaya.
5. Esposure Mengkaji adanya cedera lain yang dapat mempengaruhi kondisi
pasien, seperti ada tidaknya laserasi, edema dan lainnya.
Pengkajian sekunder dilakukan jika kondisi pasien telah membaik dan telah
mendapatkan penanganan untuk mengatasi masalah keperawatan yang muncul
pada pengkajian primer. Pengkajian sekunder dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui apakah terdapat permasalahan keperawatan lain yang timbul setelah
kondisi pasien membaik dimana meliputi five intervention, give comfort, H1
(SAMPLE), dan H2 (head to toe). Pada pasien dengan cedera kepala, pengkajian
sekunder dilakukan dengan berfokus pada area kepala pasien sehingga jika
terdapat gangguan maupun permasalahan dapat diberikan penanganan secara
tepat sesuai kebutuhan pasien (Hariyono & Bahrudin, 2019).
12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Sumber Data : Korban lawan kecelakaan dan rekamedis
Tanggal masuk IGD : 02-04-2022
Tanggal/jam Pengkajian : 12.37 wib
Diagnosis Medis : CKB
Keluhan Utama : tidak sadar
1. IDENTITAS
a. Identitas Pasien
Nama : Ny M
Umur : 46 Th
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Triharjo Sleman
No Reg : 134272
a. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn X
Umur :
Alamat : Sleman
Hubungan : Ponakan
2. PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway : Jalan nafas klien terdapat sumbatan yaitu cairan berupa darah,
terdapat fraktur cervical, dan tidak ada trauma laring dan trachea.
13
b. Breathing : Klien terpasang OPA, terpasang ventilator menggunakan
BVM, pernapasan dangkal RR : 32 x/menit, suara napas gurgling, pasien
terlihat sesak napas, ada otot bantu pernapasan, pengembangan dada simetris,
pernapasan dangkal.
3. PENGKAJIAN SEKUNDER
a. SAMPLE
Sign and symptom Klien masuk ke IGD tidak sadar dan
tidak mengenali keberadaan dan
lingkungannya.Voice Response Klien
tidak dapat berkomunikasi ataupun
menjawab pertanyaan ketika ditanya
oleh perawat. Klien juga mengalami
cedera kepala, sumbatan jalan napas,
dicurigai fraktur pada bagian
klafikula.
Allergi Keluarga pasien mengatakan, pasien
tidak mempunyai riwayat alergi
makanan dan obat.
Medication Pengantar PMI mengatakan pasien
belum mendapat pengobatan atau
tindakan pasien langsung dibawa
kerumah sakit setelah terjadi
kecelakaan lalu lintas.
Past Illness Keluarga pasien mengatakan, pasien
14
memiliki riwayat penyakit
Paru :
Inspeksi : pasien terpasang OPA, ventilator, pengembangan
Dada dada tidak teratur, bentuk simetris tidak ada lebam,
tidak ada luka di bagian dada, terdapat otot bantu
15
nafas
Palpasi : dada kanan dan kiri serta anterior dan posterior tidak
terdapat kelainan
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium (kalau ada) :
16
- HB : 5.5
- HT : 23
- Leukosit : 16.7
- Eritrosit : 4.41
- Trombosit : 334
- Basophil : 0.2
- Monosit 3.8
- Eosinophil : 0.2
- Limfosit : 46.6
- Neutrophil : 49.2
- Ureum : 23.0
- Enzim : 0.50
3) Rontgen Thorax : pulmo dbn, besar cor normal, fraktur complit klafikula
sinistra.
d. Therapy dan obat-obatan
Jam Jenis Mekanisme kerja Indikasi/kontra Efek
Terapi/dosi obat indikasi samping
s
13.0 Infus RL 20 Ringer laktat Indikasi : jenis dada terasa
0 tpm adalah larutan steril cairan infus nyeri, detak
yang digunakan golongan kristaloid jantung tidak
sebagai penambah yang dapat normal,
cairan dan digunakan oleh tekanan darah
elektrolit tubuh pasien dewasa dan menurun,
untuk anak-anak sebagai sulit bernafas,
mengembalikan sumber elektrolit batuk, bersin,
keseimbangannya dan air. Umumnya, muncul ruam
ringer laktat (RL) dan terasa
diberikan kepada gatal di
pasien yang bagian tubuh
mengalami dehidra tertentu serta
si atau kehilangan sakit kepala
17
cairan tubuh saat
mengalami cedera
13.0 Infus Mengurangi Indikasi : Demam,
0 manitol 125 penumpukan cairan mengurangi mengggil,
cc di tubuh tekanan dalam otak sakit kepala,
(tekanan pilek
dan menurunkan intrakranial),
tekanan darah tekanan dalam bola
tinggi. Obat mata (tekanan
Manitol diberikan intraokular), dan
melalui jalur infus pembengkakan
(intravena). otak (cerebral
Pemberian lewat edema)
infus dapat
membantu
mempercepat
penyerapan obat ke
dalam aliran darah.
13.0 Mecobalami bentuk vitamin B12 Indikasi : Mual,
0 n1A yang aktif secara mengobati penyakit muntah,
neurologis serta yang disebabkan diare, sakit
vitamin yang larut karena kekurangan kepala
dalam air. Senyawa vitamin B12.
ini Mecobalamin bisa
merupakan kofakto mengobati penyakit
r dari enzim anemia
methionin sintase megaloblastik.
yang berfungsi Indikasi obat
mentransfer Mecobalamin yang
kelompok methyl lainnya yaitu
yang berfungsi sebagai obat untuk
dalam regenerasi mengatasi
metionin dari penyakit neuropati
homosistein. perifer
13.0 Citicolin meningkatkan Indikasi : penyakit Sakit perut,
0 500 mg senyawa kimia di Parkinson, penyakit kelelahan
otak bernama Alzheimer,
phospholipid gangguan bipolar,
phosphatidylcholin mata malas
e. Senyawa ini
memiliki efek
untuk melindungi
otak,
mempertahankan
fungsi otak secara
normal, serta
mengurangi
18
jaringan otak yang
rusak akibat cedera
13.0 As obat anti- Indikasi : trauma Gangguan
0 tranexsamat fibrinolitik yang disertai perdarahan, visual dan
500 mg mampu perdarahan okular
menghambat intrakranial, (misalnya:
plasminogen, perdarahan Gangguan
sehingga postpartum, penglihatan
mengurangi menorrhagia, warna), vena
konversi persiapan operasi retina atau
plasminogen ortopedi dan oklusi arteri,
menjadi plasmin bypass arteri konjungtivitis
(fibrinolisin koroner, hifema, lignus,
epistaksis dan kejadian
hemoptisis tromboembol
i, kejang-
kejang
19
ANALISA DATA
DO
Klien terpasang OPA, terpasang ventilator menggunakan BVM,
pernapasan dangkal RR : 32 x/menit, suara napas gurgling,
pasien terlihat sesak napas, ada otot bantu pernapasan,
pengembangan dada simetris, pernapasan dangkal.
Tekanan darah: 156/121 mmHg, nadi: 123 x/menit teraba kuat,
SPO2 97%, kapilery refill < 2 detik suhu 37,7ºc, warna kulit sao
matang, turgor kulit elastic dan akral hangat.
GCS 7 (apatis).
20
3 DS Resiko perfusi serebral Cedera kepala
DO: tidak efektif
CT SCAN : epidural hematoma luar temporal parietal sinistra,
edema cerebri
Terdapat jejas pada bagian mata dan pelipis kiri
GCS 7 (apatis)
GCS 7 (apatis)
21
SPO2 97%, kapilery refill < 2 detik suhu 37,7ºc.
5 DS Resiko Aspirasi Penurunan tingkat
DO : kesadaran
Jalan nafas klien terdapat sumbatan yaitu cairan berupa darah
Suara napas gurgling
Perdarahan di mulut
GCS 7 (apatis)
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif b.d Hipersekresi Jalan Napas
2. Pola napas tidak efektif b.d Hambatan Upaya Napas
3. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d faktor resiko cedera kepala
4. Penurunan kapasitas adaptif intracranial b.d edema cerebral
5. Resiko aspirasi b.d faktor risiko Penurunan tingkat kesadaran
22
INTERVENSI KEPERAWATAN
23
Pola napas (L.01004) 2. Identifikasi perubahan posisi terhadap status
1. Ventilasi semenit dari cukup menurun pernapasan
(2) ditingkatkan menjadi sedang (3) 3. Monitor ststus respirasi dan oksigenasi
2. Dyspnea dari meningkat (1) diturunkan 4. Pertahankan kepatenan jalan napas
menjadi sedang (3) 5. Gunakan bag valve mask
3. Penggunaan otot bantu napas cukup Pemantauan Respirasi (I.01014)
meningkat (2) diturunkan menjadi 1. Monitor irama, frekuensi, kedalaman dan
sedang (3) upaya napas
4. Frekuensi napas dari memburuk (1) 2. Monitor adanya produksi sputum
ditingkatkan menjadi sedang (3) 3. Monitor pola napas
5. Kedalaman napas dari memburuk (1) 4. Aukskultasi bunyi paru
ditingkatkan menjadi sedang (3) 5. Monitor saturasi oksigen
6. Dokumentasi hasil pemantauan
7. Informasikan hasil pemantauan
3 Risiko perfusi cerebral tidak Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Manajemen Peningkatan Tekanan
efektif b.d Faktor risiko cedera 1 jam, diharapkan klien tidak mengalami Intrakranial (I.06194)
kepala resiko perfusi cerebral tidak efektif dengan 1. Identifikasi penyebab TIK
kriteria hasil : 2. Monitor tanda gejala peningkatan TIK
Perfusi Serebral (L.02014) (tekanan darah meningkat)
24
1. Tingkat kesadaran dari menurun (1) 3. Monitor status pernapasan
ditingkatkan menjadi sedang (3) 4. Berikan posisi semi fowler
2. Gelisah dari cukup meningkat (4) 5. Pertahankan suhu tubuh normal
diturunkan menjadi menurun (5) 6. Kolaborasi pemberian sedasi/diuretik
3. Nilai rata-rata tekanan darah dari
cukup memburuk (2) ditingkatkan
menjadi cukup membaik (4).
4 Penurunan kapasitas adaptif Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Pemantauan tekanan intracranial (I.06198)
intracranial b.d edema cerebral 1 jam, diharapkan masalah penurunan 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
kapasitas adaptif intracranial dapat teratasi (edema cerebral )
dengan kriteria hasil: 2. Monitor peningkatan TD
Kapasitas adaptif intracranial (L.06049) 3. Monitor penurunan tingkat kesadaran
1. Tingkat kesadaran dari menurun (1) 4. Monitor tekanan perfusi cerebral
ditingkatkan menjadi sedang (3) 5. Pertahankan posisi kepala dan leher netral
2. Tekanan darah dari cukup memburuk 6. Dokumentasi hasil pemantauan
(2) ditingkatkan menjadi sedang (3)
3. Tekanan nadi dari memburuk (1)
ditingkatkan menjadi sedang (3)
4. Tekanan intracranial dari cukup
25
memburuk (2) ditingkatkan menjadi
sedang (3)
5. Respon pupil dipertahankan membaik
(5)
5 Resiko aspirasi b.d faktor Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Pencegahan aspirasi (I.01018)
risiko Penurunan tingkat 20 menit, diharapkan masalah klien resiko 1. Monitor tingkat kesadaran
kesadaran aspirasi tidak terjadi dengan kriteria hasil : 2. Monitor status pernapasan
Tingkat Aspirasi (L.01006) 3. Monitor bunyi napas
1. Kebersihan mulut dari menurun (1) 4. Pertahankan kepatenan jalan napas
ditingkatkan menjadi sedang (3) 5. Lakukan suction jika secret meningkat
2. Akumulasi secret dari cukup meningkat
(2) diturunkan menjadi sedang (3)
26
NO TGL/ IMPLEMENTASI EVALUASI TTD
JAM
Pindah ICU
27
2 02/04/ Pola napas tidak efektif b.d Hambatan 13.45 wib
2022 Upaya Napas
S : pasien tidak sadarkan diri
1. Melakukan mempertahankan
12.38
kepatenan jalan napas O : pasien belum sadarkan diri, suara napas
2. Menggunakan bag valve mask untuk gurgling, secret/sputum masih tetapi sudah
memberikan napas berkurang, Tekanan darah: 156/121 mmHg, nadi:
3. Memonitor irama, frekuensi, 123 x/menit teraba kuat, SPO2 97%, kapilery refill
Team
kedalaman dan upaya napas < 2 detik suhu 37,7ºc
4. Memonitor pola napas
A : masalah pola napas pasien teratasi sebagian
5. Mengaukskultasi bunyi paru (Ronki)
ditandai dengan saturasi oksigen setelah diberikan
6. Monitor saturasi oksigen (97-99%)
bantuan dnegan BVM (97-99%)
7. Mendokumentasi hasil pemantauan &
menginformasikan hasil pemantauan P : Lanjutkan intervensi (memasang ventilator)
28
3 02/04/ Penurunan kapasitas adaptif S : pasien tidak sadarkan diri
2022 intracranial b.d edema cerebral
O : pasien belum sadarkan diri, 12. 38 wib : TD :
1. Mengidentifikasi penyebab
12.38 189/98, HR 112, RR 32, SPO2: 80 x/menit
peningkatan TIK (edema
cerebral ) 13.00 WIB : Tekanan darah: 156/121 mmHg,
2. Memonitor peningkatan TD nadi: 123 x/menit teraba kuat, SPO2 97%,
3. Memonitor penurunan tingkat kapilery refill < 2 detik suhu 37,7ºc,
kesadaran
14.00 WIB : TD : 180/77, HR 103, RR 32, SPO2:
4. Mempertahankan posisi kepala
90 x/menit
dan leher netral
5. Mendokumentasi hasil 14.20 : TD : 180/77, HR 100, RR 32, SPO2: 100
pemantauan x/menit (Intubasi)
29
30
BAB IV
PEMBAHASAN (Analisa teori dengan kasus yang didapat)
31
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
32
DAFTAR PUSTAKA
CDC (Centers for Disease Control and Prevention). Traumatic brain injury &
concussion. 2017. https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury/index.html.
Fitriana, N. F. (2018). Hubungan mekanisme cedera dan trauma organ lain dengan
prognosis pasien cedera kepala berat. Jurnal Penelitian Keperawatan,
4(2), 101-109.
Dewanto, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2009). Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Gupte RP, Brooks WM, Vukas RR, Pierce JD, Harris JL. Sex differences in
traumatic brain injury: What we know and what we should know. Journal
of Neurotrauma. 2019;36(22):3063–91.
Kastilong, M. (2018). Rasio Neutrifil Limfosit dan Luaran Cidera Kepala. Jurnal
Sinaps. 1(2). 20-28
Nasution SH. Mild Head Injury. Jurnal Medula. 2014 Jun 1;2(04):89-96.
Silver, J., McAllister, T. and Arciniegas, D.. Textbook of Traumatic Brain Injury.
3rd ed. Washington D.C: American Psychiatric Association Publishing.
2019.
33