Anda di halaman 1dari 28

LILI UMAYA (1711201023)

SUB MODUL KEDOKTERAN KEHAKIMAN TRIGGER 1 KERACUNAN

Seorang dokter PTT di Puskesmas X diminta oleh polisi untuk melakukan pemeriksaan pada Ny. N (65
tahun). Ny. N melapor pada polisi bahwa ia merasa diracuni oleh keluarganya supaya keluarganya dapat
menikmati harta warisan Ny. N tampak berbaring lemas di meja periksa. Dari pemeriksaan didapatkan nadi
lemah dan tekanan darah tidak terukur. Beberapa lama kemudian, dokter memastikan Ny. N telah meninggal
dunia. Dari allo anamnesis pada pembantu Ny. N, diketahui Ny. N mengalami muntah-muntah sejak 3 jam
yang lalu dan sudah 3 kali buang air besar. Ia merasa tenggorokannya kering dan pusing-pusing. Ny.N
memang sering bertengkar dengan putra dan menantunya masalah harta. Menurut prmbantunya, Ny.N
merasa makanan dan minuman yang dimakannya tidak berbau atau berubah rasa, makanya awalnya ia tidak
curiga. Namun belum selesai makan, ia langsung muntah-muntah dan minta diantar oleh pembantunya ke
polisi. Polisi meminta dokter mencoba mengidentifikasi jenis racun yang dikonsumsi oleh Ny. N.

STEP I: TERMINOLOGI

1. Keracunan  masuknya suatu zat atau senyawa toxic kedalam tubuh manusia yang menimbulkan
efek merugikan spt gangguan kesadaran, kognitif perilaku, & respon psikologis

2. Kematian keadaan insani yg diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fx otak,
pernapasan, dan denyut nadi seseorang telah berhenti

3. Racun  zat yg bekerja dlm tubuh secara kimiawi & fisiologis yg pd dosis berlebh mengakibatkan
gangguan kesehatan atau bahkan kematian

STEP II: PERTANYAAN

1. Mengapa pd pemfis nadi lemah & TD tdk terukur?

2. Bgm cara dr mengetahui bahwa Ny. N telah meninggal dunia?

3. Apasaja pemeriksaan yg dpt dilakukan pd kasus? (pd jenazah dan pd px hidup)

4. Apa jenis racun yg menyebabkan px meninggal?

5. Apasaja jenis” racun! (asam basa kuat pd rumah tangga)

6. Bgm tanda & gejala yg timbul berdasarkan jenis racun?

7. Bgm penatalaksaan awal pd kasus?

8. Bgm mekanisme Keracunan pd kasus?

STEP II: KEYWORDS

1. Keracunan

2. Nadi lemah & TD tdk teratur


3. Muntah” sejak 3 jam yll, 3x bab, tenggorokan kering & pusing

4. Makanan & minuman yg tdk berbau atau berasa

5. Jenis racun yg dikonsumsi

STEP III: BRAINSTORMING

STEP IV: SPIDERWEB

STEP V: LO

1. Menjelaskan definisi mati & Menjelaskan tanda-tanda klinis kehidupan (nadi karotis, pupil, pengisian
perifer)  adit

2. Menjelaskan tanda-tanda kematian dan perkiraan waktu kematian  lili

3. Membedakan tanda dan gejala keracunan yang sering terjadi dalam masyarakat (arsenik,
organopospat, atropin, efek samping obat, bisa ular, strychnin, sianida, botulinum dll)  putri&nia

4. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologis pada organ akibat zat-zat racun di atas  gek&febri

5. Mengidentifikasi sumber bahan beracun yang tersedia di rumah (racun serangga, racun tikus, obat-
obatan, makanan kaleng, buah-buahan binatang, dll)  imam

6. Pemeriksaan penunjang  vela

7. Kriteria diagnosis  frensi


8. Tatalaksana/antidotum pada keadaan gawat darurat (korban masih hidup)  bg dewa

1. Definisi kematian
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi danrespirasi secara
permanen (mati klinis). Dengan adanya perkembangan teknologi ada alatyang bisa menggantikan fungsi
sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi kematian
batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak

Tanda Klinis Kehidupan


Permeriksaan sederhana memastikan kematian

Ada beberapa pemeriksaan (subsidairy test) yang dapat dilakukan untuk memastikan kematian pada
seseorang, di samping pemeriksaan fisik pada umumnya. Pemeriksaan fisiksederhana ini untuk menilai 3
sistem penunjang kehidupan, yaitu:

a. Terhentinya sirkulasi darah

Untuk menyatakannya harus di periksa inspeksi, palpasi, auskultasi yang teliti terus menerus selama 5
menit. Hati hati pada orang gemuk karena bisa suara jantung yanglemah atau ritme jantung yang rendah
sehingga tidak terdengar dan tidak teraba, jika dirumah sakit bisa dilakukan pemeriksaan EKG. Dengan
berhentinya jantung yang berdenyut, maka aliran darah arteri juga berhenti. Denyut nadi tidak dapat lagi
diraba dan pada auskultasi juga tidak dapat didengar bunyi jantung.

b. Berhentinya pernafasan

Dengan inspeksi dan palpasi tidak terlihat dan teraba adanya gerakan pernapasan, dengan stetoskop
selama 5 menit tidak terdengar suara pernafasan. Biasanya untuk memastikan berhentinya fungsi
pernafasan cukup hanya dengan auskultasi pada bagian dada.

c. Berhentinya inervasi

Fungsi motorik dan sensorik berhenti, dapat dilihat dengan hilangnya semua reflex pada tubuh tersebut,
seperti tidak ada reflek cahaya pada pupil, pupil melebar kecuali pada keracunan morfin menjadi sangat
kecil. Subsidairy test yang dilakukan, dengan menguji reflek motoroik dan sensorik itu sendiri. Misal :
refleks kornea, refleks cahaya, reflex menelan atau batuk ketika tuba endo trakeal di dorong ke dalam,
reflex vestibulookularis rangsangan air es yang di masukkan ke dalam telinga.

2. Tanda-tanda Kematian
A. Tanda kematian tidak pasti
1. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi).

2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.

3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin terjadi spasme
agonal sehingga wajah tampak kebiruan.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul
sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah
kematian disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerahdaerah yang tertekan,
misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang.

5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian. Segmensegmen
tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.

6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat dihilangkan
dengan meneteskan air.

B. Tanda Pasti Kematian

a. Lebam mayat (Livor mortis)

Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya tarik bumi
(gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terbawah
tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap cair karena adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit
pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam.
Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi
mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila penekanan atau
perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Lebam mayat dapat
digunakan untuk tanda pasti kematian; memperkirakan sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah
terang pada keracunan CO atau CN, warna kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal;
mengetahui perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan
memperkirakan saat kematian. Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh yang terletak rendah. Bila
terdapat penekanan, pembukuh darah di daerah tersebut tertutup dan karenanya tidak dapat terisi darah
dan daerah tersebut akan bebas dari lebam mayat.

b. Kaku mayat (rigor mortis)

Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler masih berjalan
berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk
mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila
cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan
otot menjadi kaku. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak
kirakira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah dalam
(sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12
jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan
yang sama. Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum mati,
suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot kecil dan suhu lingkungan tinggi. Kaku
mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan memperkirakan saat kematian.
Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat:

1. Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian
dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas
sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen
dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat
sebelum meninggal.

2. Heaf stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna
merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar.
Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha
dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude).

3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan
tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk
akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.

c. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)

Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke benda yang lebih
dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi. Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir
berbentuk kurva sigmoid atau seperti huruf S. Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh suhu keliling,
aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuh, pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu
diketahui untuk perhitungan perkiraan saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu
keliling yang rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi
terlentang, tidak berpakaian atau berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua serta anak kecil.
Meskipun demikian dapat dikemukakan oleh Marshall dan Hoare (1962) yang dibuat dari hasil penelitian
terhadap mayat telanjang dengan suhu lingkungan 15.5 derajat Celcius, yaitu penurunan suhu dengan
kecepatan 0.55 derajat Celcius tiap jam pada 3 jam pertama pasca mati, 1,1 derajat Celcius tiap jam pada
6 jam berikutnya, dan kira-kira 0.8 derajat Celcius tiap jam pada periode selanjutnya. Kecepatan
penurunan suhu ini menurun hingga 60% bila mayat berpakaian. Penggunakan formula ini harus dilakukan
dengan hati-hati mengingat suhu lingkungan di Indonesia biasanya lebih tinggi (kurva penurunan suhu
lebih landai).

d. Pembusukan (decomposition, putrefaction)

Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri. Autolisis
adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja
digestif oleh enzim yang dilepaskan sel pascamati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan.
Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk ke jaringan. Darah
merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari
usus dan yang terutama adalah Clostridium welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas
alkana, H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak. Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca
mati berupa warna kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan
penuh dengan bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh
terbentuknya sulfmethemoglobin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut
dan dada, dan bau busukpun mulai tercium. Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk
gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk. Pembentukan gas di dalam tubuh, dimulai di dalam
lambung dan usus, akan mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya cairan kemerahan dari mulut dan
hidung. Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan terbesar
terdapat di daerah dengan jaringan longgar, seperti skrotum dan payudara. Selanjutnya, rambut menjadi
mudah dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah menggembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak
mata membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah membengkak dan sering terjulur diantara gigi. Alat
dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan yang berbeda. Pembusukan akan timbul
lebih cepat bila suhu keliling optimal (26.5 derajat Celcius hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban
dan udara yang cukup, banyak bakteri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan
sepsis. Mayat yang terdapat di udara akan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang terdapat
dalam air atau dalam tanah. Perbandingan kecepatan pembusukan mayat yang berada dalam tanah : air:
udara adalah 1 : 2 : 8. Bayi baru lahir umumnya lebih lambat membusuk, karena hanya memiliki sedikit
bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat pada bayi akan menghambat
pertumbuhan bakteri.

e. Adiposera atau lilin mayat

Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak, berbau tengik
yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati. Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak
tak jenuh yang terbentuk oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam
lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, jaringan saraf yang
termumifikasi (Mant dan Furbank, 1957) dan kristal-kristal sferis dengan gambaran radial (Evans, 1962).
Adiposera terapung di air, bila dipanaskan mencair dan terbakar dengan nyala kuning, larut di dalam
alkohol panas dan eter. Adiposera dapat terbentuk di sembarang lemak tubuh, bahkan di dalam hati,
tetapi lemak superfisial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan berbentuk bercak, dapat terlihat
di pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh atau ekstremitas. Jarang seluruh lemak tubuh berubah
menjadi adiposera. Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan
lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang membuang
elektrolit. Udara yang dingin menghambat pembentukan, sedangkan suhu yang hangat akan
mempercepat. Invasi bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati juga akan mempercepat
pembentukannya.

f. Mummifikasi

Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi
pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras
dan kering, berwarna gelap, berkeriput dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat berkembang pada
lingkungan yang kering. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik,
tubuh yang dehidrasi dan waktu yang lama (12-14 minggu). Mumifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang
normal.
Perkiraan Waktu Kematian
1. Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea akan
berwarna kecolkatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea {taches noires
sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat
dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak
dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati.
Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10-12 jam pasca mati
dan dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas. Setelah kematian tekanan bola mata menurun,
memungkinkan distorsi pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil
dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca
mati. Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus optikus.
Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama dua jam
pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning. Warna kuning juga tampak
disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-
bercak dengan latar belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca
mati menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira-kira 6 jam pasca mati,
batas diskus kabur dan hanya pembuluhpembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat
dengan latar belakang kuning-kelabu. Da-lam waktu 7-10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan
batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali dengan adanya
konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi
gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.

2. Perubahan dalam lambung. Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat
digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat mati. Namun keadaan
lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat kepu-tusan. Ditemukannya makanan tertentu
(pisang, kulit tomat, biji-bijian) dalam isi lambung dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban
sebelum meninggal telah makan makanan tersebut.

3. Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0.4 mm/hari,
panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara ini
hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan
diketahui saat terakhir ia mencukur.

4. Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang diperkirakan
sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat diketahui saat
terakhir yang bersangkutan memotong kuku.

5. Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan
ke-matian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80mg% menunjukkan kematian
belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masingmasing menunjukkan kematian belum
mencapai 10 jam dan 30 jam.
6. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar Kalium yang cukup akurat untuk memperkirakan saat
kematian antara 24 hingga 100 jam pasca mati.

7. Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah pasca mati tidak
memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan
oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu
gangguan fungsi tubuh selama proses ke-matian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan
sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang dapat
digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.

8. Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi
jaringan tubuh pada seseorang yang hidup.

3. Tanda dan Gejala Keracunan

a. Arsenik
Gejala yang dapat timbul akibat paparan akut adalah mual, muntah, nyeri perut, diarrhae,
kedinginan, kram otot serta oedeme dibagian muka (facial). Paparan dengan dosis besar dapat
menyebabkan koma dan kolapsnya peredaran darah. Dosis fatal adalah jika sebanyak 120 mg arsenik
trioksid masuk ke dalam tubuh.
Pada paparan kronis arsen secara klinis yang nampak adalah peripheral neuropathy (rasa
kesemutan atau mati rasa), lelah, hilangnya refleks, anemia, gangguan jantung, gangguan hati,
gangguan ginjal, keratosis telapak tangan maupun kaki, hiperpigmentasi kulit dan dermatitis. Gejala
khusus yang dapat terjadi akibat terpapar debu yang mengandung arsen adalah nyeri tenggorokan
serta batuk yang dapat mengeluarkan darah akibat terjadinya iritasi. Seperti halnya akibat terpapar
asap rokok, terpapar arsen secara menahun dapat menyebabkan terjadinya kanker paru.

b. Organopospat
 Manifestasi klinis utama : gangguan penglihatan, kesukaran pernafasan, hiperaktif
gastrointestinal.
 Keracunan akut : gejala timbul dalam 30-60 menit,dan mencapai puncaknya dalam 2-8 jam.
 Keracunan ringan : anoreksia, sakit kepala, pusing, gelisah, tremor lidah dan kelopak mata,
miosis dan penglihatan kabur.
 Keracuanan sedang: mual, salivasi, lakrimasi, kejang perut, muntah, banyak berkeringat, nadi
lambat, fasikulasi oto-otot.
 Keracunan berat : diare, pupil pinpont, dan tidak bereaksi, pernafasan sukar, edem paru,
sianosis, kendali sfingter hilang, kejang,koma

c. Atropine
Meskipun agen antikolinergik sering memiliki aktivitas selain muscarinic reseptor, klinis
utama toksisitas dari agen ini adalah sindrom antikolinergik. Manifestasi dibagi menjadi peripheral
dan efek antimuscarinic pusat.
 Manifestasi perifer termasuk (1) kehausan, selaput lendir kering dan panas, kulit kering,
penghambatan sekresi dari kelenjar ludah, bronchioles, dan kelenjar keringat; (2) hiperpireksia
dari ketidakmampuan untuk keringat dan neuromuskular hiper-reaktivitas; (3) mydriasis,
respon cahaya pupil yang buruk, dan buram visi dari sfingter pupil dan kelumpuhan otot siliaris;
(4) takikardia dari efek vagolytic; (5) retensi urin dari penghambatan ureter dan kontraksi
kandung kemih dan (6) penurunan suara usus dari penghambatan pengosongan lambung dan
motilitas GI. Sinus takikardia adalah salah satu tanda paling awal dan paling dapat diandalkan
dari muscarinic reseptor blockade. Gangguan motilitas usus menghasilkan ileus dan tertunda
dan penyerapan obat yang lebih. Efek yang terakhir ini dapat mengakibatkan gejala sekunder
untuk penyerapan obatberlarut-larut
 Antikolinergik delirium, atau sindrom antikolinergik pusat, ditandai dengan hiperaktif pasien;
kegelisahan; disorientasi, gangguan memori jangka pendek, delirium, visual dan pendengaran
halusosis; bicara tidak masuk akal, atau tidak koheren; kejang dan koma.

d. Sianida
Pada keracunan akut racun yang ditelan cepat menyebabkan kegagalan pernafasan dan
kematian dapat timbul dalam beberapa menit, korban mengeluh rasa terbakar pada
kerongkongan dan lidah, sesak nafas, hipersalivasi, mual, muntah, sakit kepala, vertigo, fotofobia,
tinitus, pusing dan kelelahan, ditemukan juga sianosis pada muka, busa keluar dari mulut, nadi
cepat dan lemah, pernafasan cepat dan kadang-kadang tidakb teratur, pupil dilatasi dan refleks
melambat, udara pernafasan dapat berbau amandel, dan juga muntahan tercium bau amandel.
Pada keracunan kronik korban tampak pucat, berkeringat dingin, pusing rasa tidak enak
dalam perut, mual dan kolik, rasa tertekan pada dada dan sesak nafas.

e. Keracunan Bisa Ular


Ciri khas serangan oleh ular berbisa adalah kehadiran tanda bekas taring, biasanya dua
tetapi hanya satu yang mungkin jelas atau kadang-kadang, tanda taring mungkin tidak terlihat.
Tanda digigit oleh ular yang tidak beracun dapat gambaran berbentuk U yang khas tanda gigi. Ular
berbisa dapat menggigit tanpa menyuntikkan bisa ular. Tingkat Keracunan Akibat Gigitan ular
tergantung pada usia, ukuran gigitan, jumlah racun yang disuntikkan, jenis kelamin dan spesies
ular dan waktu gigitan.
 Pada gigitan uar Colubridae (Ular Taring Belakang) biasanya mengalami muntah berulang, nyeri
perut kolik dan perdarahan sistemik luas termasuk ecchymoses yang luas, hemolisis
intravaskular, dan gagal ginjal.
 Pada Atractaspididae (Burrowing Asps atauStiletto Snakes) efek lokal termasuk rasa sakit,
bengkak, melepuh, nekrosis dan pembesaran kelenjar getah bening lokal. Gejala
gastrointestinal termasuk mual, muntah dan diare. Anafilaksis (dyspnoea, gagal napas) dan
terjadi perubahan EKG.
 Gigitan Elapidae (Cobras, Kraits, Mambas,Ular Karang, dll.) menghasilkan efek lokal yang
minimum, seperti bengkak, melepuh dan dangkal. Awal gejala biasanya muntah- muntah,
hipersalivasi, sakit kepala, beratnya kelopak mata, penglihatan kabur, parestesia sekitar mulut,
hyperacusis, pusing, vertigo. Kelumpuhan pertama kali terdeteksi sebagai ptosis dan
oftalmoplegia eksternal muncul beberapa menit setelah gigitan, tetapi kadang- kadang mungkin
tertunda selama beberapa jam. Kemudian, wajah, langit-langit, mungkin rahang, lidah, otot
leher menjadi lumpuh serta kegagalan pernafasan.
 Gigitan oleh Hydrophidae (Ular Laut dan Sea Kraits) biasanya mengeluh sakit kepala, perasaan
lidah yang tebal, haus, berkeringat dan muntah. Kekakuan, dan nyeri otot secara menyeluruh
mungkin mengikuti. Trismus biasa terjadi, paralisis flaksit pada neurotoksisitas elapid.
Myoglobinuria muncul biasanya setelah beberapa jam gigitan.
 Gigitan oleh Viperidae biasanya menghasilkan efek lokal yang lebih parah dari racun ular
lainnya. Pembengkakan bisa dideteksi di dalam 15 menit, tetapi kadang-kadang mungkin
tertunda selama beberapa jam. Kemudiam menyebar dengan cepat dan melibatkan seluruh
anggota badan yang berdekatan, memar, lepuh dan nekrosis dapat muncul selama beberapa
tahun berikutnya jika tidak ada pembengkakan selama beberapa jam setelah gigitan ular
berbisa biasanya aman untuk kita mengkonsumsi bahwa. Kelainan hemostatic adalah
karakteristik dari gigitan oleh Viperidae. Pendarahan terus-menerus dari bekas gigi, perdarahan
sistemik spontan paling sering terdeteksi pada sulci gingiva. Epistaksis, hematemesis,
hemoptisis, subkonjungtiva, retroperitoneal dan perdarahan intrakranial telah dilaporkan.

f. Barbiturat
 Gejala keracunan akut : Ataksia, vertigo, pembicaraan kacau, nyeri kepala, halusinasi, kemerahan
pada kulit, pernafasan lambat dan dangkal, pupil mengecil, suhu badan menurun .
 Gejala keracunan kronik: depresi melankolik, wajah kusut, emosi tidak stabil.
 Kelainan neurologik : Pembicaraan kacau, kelemahan intelektual, diplopia, kelemahan otot-
otot rangka
 Kelainan dermatologic : Urtikaria, eritema

g. Keracunan Carbon Monoksida

Gejala keracunan CO berkaitan dengan kadar COHb dalam darah.


% Saturasi COHb Gejala-gejala
10 Tidak ada
10-20 Rasa berat pada kening, mungkin sakit kepala ringan, pelebaran
pembuluh darah subkutan, dipsnu, gangguan koordinasi.
20-30 Sakit kepala, berdenyut pada pelipis, emosional
30-40 Sakit kepala keras, lemah, pusing, penglihatan buram, mual dan
muntah, kollpas.
40-50 Sama dangan yang tersebut diatas tetapi dengan kemungkinan besar
untuk kollaps atau sinkop. Pernafasan dan nadi bertambah
cepat, ataksia.
50-60 Sinkop, pernafasan dan nadi bertambah cepat, koma dengan
kejang intermiten, pernafasan Cheyne Stokes.
60-70 Koma denga kejang, depresi jantung dan pernafasan, mungkin
mati.
70-80 Nadi lemah, pernafasan lambat, gagal pernafasan dan mati.
Pada korban koma dapat ditemukan sianosis dan pucat, pernafasan cepat, mungkin
pernafasan Cheyne-Stokes, menjelang kematian pernafasan menjadi lambat. Nadi cepat dan lemah,
TD rendah, pupil melebar, dan reaksi cahaya menghilang, suhu badan dibawah normal, tetapi pada
keadaan terminal mungkin malah terjadi hipertermia. Keracunan kronik dalam arti penimbunan CO
dalam tubuh tidak terjadi. Akan tetapi paparan CO berulang-ulang yang menyebabkan hipoksia
berulang-ulang pada susuan saraf pusat akan menyebabkan kerusakan yang berangsur-angsur
bertambah berat. Gejala yang mungkin ditemukan adalah anestesia pada jari-jari tangan, daya ingat
berkurang, Romberg dan gangguan mental.
4. Patogenesis dan patofisiologis pada organ akibat zat-zat racun di atas
a. Patofisiologi CO

CO hanya diserap melalui paru dan sebagian besar diikat oleh hemoglobin secara reversibel,
membentuk karboksi-hemoglobin. Selebihnya mengikat diri dengan mioglobin dan beberapa protein
heme ekstravaskular lain. Afinitas CO terhadap hemoglobin adalah 208-245 kali afinitas O2. Ikatan CO
dengan Hb tidak tetap (reversibel) dan setelah CO dilepaskan oleh Hb, sel darah merah tidak mengalami
kerusakan.

CO bereaksi dengan Fe dari porfirin dan karena itu CO bersaing dengan O2 dalam mengikat protein
heme yaitu hemoglobin, mioglobin, sitokrom oksidase (sitokrom a, a3) dan sitokrom p-450, peroksidase
dan katalase. Dengan diikatnya Hb menjadi COHb mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga darah
berkurang kemampuannya untuk mengangkut O2. Selain itu adanya COHb dalam darah akan
menghambat disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan mengalami hipoksia. Reaksi CO dengan
sitokrom a3 yang merupakan link yang penting dalam sistem enzim pernafasan sel yang terdapat dalam
mitokondria, akan menghambat pernafasan sel dan mengakibatkan hipoksia jaringan.

Selain kosentrasi CO dalam udara, lamanya inhalasi, ventilasi paru dan kadar COHb sebelum terkena
CO, terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi toksisitas CO yaitu aktifitas fisik, penyakit yang
menyebabkan gangguan gangguan oksigenisasi jaringan seperti arterosklerosis pembuluh darah otak an
jantung, emfisema paru, asma bronkial, tbc paru dan penyakit hipermetabolik

Pada korban koma dapat ditemukan sianosis dan pucat, pernafasan cepat, mungkin pernafasan
Cheyne-Stokes, menjelang kematian pernafasan menjadi lambat. Nadi cepat dan lemah, TD rendah,
pupil melebar, dan reaksi cahaya menghilang, suhu badan dibawah normal, tetapi pada keadaan
terminal mungkin malah terjadi hipertermia. Keracunan kronik dalam arti penimbunan CO dalam tubuh
tidak terjadi. Akan tetapi paparan CO berulang-ulang yang menyebabkan hipoksia berulang-ulang pada
susuan saraf pusat akan menyebabkan kerusakan yang berangsur-angsur bertambah berat. Gejala yang
mungkin ditemukan adalah anestesia pada jari-jari tangan, daya ingat berkurang, Romberg dan
gangguan mental.

b. Sianida

Sianida dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, inhalasi dan kulit. Setelah diabsorpsi, masuk
kedalam sirkulasi darah sebagai CN bebas dan tidak dapat berikatan dengan hemoglobin, kecuali dalam
bentuk methemoglobin. Sianida dalam tubuh akan menginaktifkan beberapa enzim oksidatif seluruh
jaringan secara radikal, terutama sitikrom oksidase dengan mengikat bagian ferric heme group dari
oksigen yang dibawa oleh darah. Sianida juga secara refleks merangsang pernafasan dengan bekerja
pada ujung saraf sensorik sinus (kemoreseptor) sehingga pernafasan bertambah cepat dan
menyebabkan gas racun yang diinhalasi makin banyak. Dengan demikian proses oksidasi-reduksi dalam
sel tidak dapat berlangsung dan oksi-Hb tidak dapat berdisosiasi melepaskan O2 ke sel jaringan sehingga
timbul anoksia jaringan (anoksia histotoksik). Takaran toksik peroral untuk HCN adalah 60-90 mg
sedangkan takaran toksik untuk KCN atau NaCN adalah 200 mh. Kadar sianida dalam udara lingkungan
dan lama inhalasi akan menentukan kecepatan timbul gejala keracunan dan kematian.

c. Arsen

Senyawa arsen dapat masuk ke dalamtubuh melalui 3 cara, yaitu peroral, inhalasi, dan absorpsi
melalui kulit / mukosa membran. Senyawa arsen yang paling sering digunakan untuk meracuni orang
adalah Arsentrioksida (As2O3)
Senyawa arsen mempunyai tempat predileksi pada endotel pembuluh darah, khususnya di dearah
splanknik dan menyebakan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas yang patologis. Pembuluh
darah jantung yang terkena menyebabkan timbulnya petekie subepikardial dan subendokardial yang
jelas serta ekstravasasi perdarahan. Efek lokal arsen pada kapiler menyebabkan serangkaian respons
mulai dari kongesti, stasis serta trombosis sehingga menyebabkan nekrosis dan iskemia jaringan.
Didalam darah, arsen yang masuk akan mengikat globulin dalam darah. Dalam waktu 24 jam
setelah dikonsumsi, arsen dapat ditemukan dalam konsentrasi tinggi di berbagai organtubuh, seperti
hati, ginjal, limpa, paru-paru serta saluran cerna, dimana arsen akan mengikatgugus syulfhidril dalam
protein jaringan. Hanya sebagian kecil dari arsen yang menembus blood-brain barrier sebagian arsen
dibuang melalui urin dalam bentuk methylated arsenic dan sebagianlainnya ditimbun dalam kulit, kuku
dan rambut. Fakta terakhir ini penting, karena setiap kaliada paparan arsen, maka menambah depot
arsen di dalam kulit, kuku dan rambut. Dalam penyidikan kasus pembunuhan dengan menggunakan
arsen, adanya peracunan kronis dan berulang dapat dilacak dengan melakukan pemeriksaan kadar arsen
pada berbagai bagian (fragmen) potongan rambut dari pangkal sampai ke ujungnya.
Bentuk fisik senyawa arsen yang masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi efeknya pada tubuh.
Menelan senyawa atau garam arsen dalam bentuk larutan lebih cepat penyerapannya dibandingkan
penyerapan arsen dalam bentuk padat. Penyerapan senyawa arsen dalam bentuk padat halus lebih
cepat dibandingkan bentuk padat kasar, sehingga gejala klinis yang terjadi pun lebih berat juga. Secara
umum efek arsen terhadap tubuh tergantung dari sifat fisik dan kimiawi racun, jumlah racun yang
masuk, kecepatan absorpsi, sertakecepatan dan jumlah eliminasi, baik yang terjadi alamiah (melalui
muntah dan diare) maupun buatan, misalnya akibatpengobatan (lavase)

d. Organofosfat

Setelah masuk kedalam tubuh akan mengikat enzim asetilkolinesterase (AChe), sehingga AChe
menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin. Asetilkolin bekerja pada ganglion simpatik dan
parasimpatik, reseptor parasimpatik, neuromuscular junction, neurotransmitter sel-sel saraf dan medula
kelenjar suprarenal. Keadaan ini akan menimbulkan efek yang luas. Potensiasi aktivitas parasimpatik
postganglion, mengakibatkan kontraksi pupil, stimulasi otot saluran cerna, stimulasi saliva dan kelenjar
keringat, kontraksi otot bronkial, kontraksi kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-
ventrikular dihambat. Depolarisasi yang menetap pada otot-otot rangka, sehingga mula-mula terjadi
fasikulasi yang disusul dengan blok neuromuskular dan paralisis. Mula-mula stimulus disusul dengan
depresi pada sel SSP sehingga menghambat pusat pernafasan dan pusat kejang. Stimulasi dan blok yang
bervariasi pada ganglion, sehingga tekanan darah dapat naik atau turun serta dilatasi atau miosis pupil

e. Striknin
Strychnine baik diserap dari mukosa gastrointestinal dan mukosa hidung tetapi tidak melalui kulit
serta di metabolism di hati oleh enzim microsomal hepatic dan di ekskresi melalui urin. Striknin bekerja
dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap neurotransmitter penghambatan yaitu glisin
di daerah penghambatan pasca sinaps. Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP.
Racun ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini
berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda
dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang
striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu
pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya
mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas
dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut
konvulsi spinal.

f. Botulinum (clostridum botulinum)


Clostridum botulinum merupakan bakteria berspora, berbentuk batang, gram positif dan bersifat
anaerobik. Spora dari c. Botulinum tersebar dalam tanah, tumbuh-tumbuhan,isi usus hewan mamalia,
unggas dan ikan. Dalam kondisi tertentu, spora dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif yang dapat
menghasilkan toksin. Hal ini yang menyebabkan c.botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan
neurotoksin dalam kondisi anaerobik seperti pada bangkai hewan ataupun dalam makanan kaleng.
Mekanisme masuknya c.botulinum toksigenik kedalam tubuh dapat melalui kontaminasi luka,
mulut/makanan dan inhalasi. C.botulinum yang sudah masuk dapat memproduksi toksin dalam saluran
pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena lingkungannya mendukung untuk pertumbuhnannya.
Toksin tidak diabsorbsi melalui kulit yang utuh.
Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan ditransportasika menuju
synaps cholinergik perifer terutama neuromuscular junction. Pada tempat ini, heavy chain toksis
berikatan dengan membran neuronal pada bagian presynaptic synaps perifer. Toksin kemudian
memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated endocytosis. Light chain dari toksis menyeberangi
membran vesikel endocytic dan memasuki sitoplasma. Didalam sitoplasma, light chain toksin (yaitu
senyawa zinc-yang mengandung endopeptidase) memecah beberapa protei yang membentuk synaptic
fusion complex. Protein synaptic ini disebut sebagai protein soluble N-ethylmalemeimide-sensitive
factor attachment protein receptors (SNARE). Neurotoksin clostridial mula-mula tampak terikat pada
kompleks SNARE sebelum terjadi pemecahan . kompleks synaptic fussion akan menyatukan vesikel
synaptic (yang berisi acetyl choline) dengan membaran terminal neuron. Pecahnya komoleks synaptic
fussion mencegah vesikel mengalami fusi dengan membran, yang akan mencegah pelepasan
acetylcholine kedalam celah synaptic. Tanpa pelepasan acetylcholine neuronal, otot yang berhubungan
tidak dapat berkontraksi dan menjadi lumpuh. Blokade pelepasan acetylcholin dapat berlangsung
beberapa bulan. Fungsi normal akan kembali dengan lambat melalui kembalinya protein SNARE ke
dalam sitoplasma atau melalui produksi synaps yang baru. Kematian akibat botulismus secara akut
terjadi karena obstruksi udara pernafasan atau kelumpuhan otot-otot pernafasan.

5. Mengidentifikasi Sumber Bahan Beracun Yang Tersedia Di Rumah


a. Racun serangga
Didalam rumah tanggga racun serangga (insektisida ) sering sekali digunakan, biasanya untuk
membunuh atau mengusir nyamuk, kecoa, lalat, atau semut. Racun serangga ini terdapat dalam
beberapa sediaan yaitu berbentuk semprotan (cairan/aerosol), lotion, elektrik, lingkaran dan
kepingan/butiran. Insektisida yang digunakan didalam rumah tangga kebanyakan mengandung
bahan aktif piretrin/piretroid. Piretrin merupakan ekstrak oleoresin yang berasal dari bunga krisan
yang telah dikeringkan dan bersifat insektisida, sedangkan piretroid merupakan sintetik dari
piretrin. Umumnya senyawa ini mempunyai toksisitas akut yang rendah pada manusia, hal ini
disebabkan kecepatan metabolisme tubuh menginaktifkan senyawa ini, walaupun demikian
insektisida ini merupakan agen pencetus alergi, oleh karena itu menyebabkan bersin, batuk, nafas
pendek dan sakit di bagian dada pada anak-anak yang mengidap asma dan alergi.
Walaupun senyawa ini toksisitasnya rendah, tetapi dapat menyebabkan keracunan dan kematian
dengan dosis tertentu dan tergantung kepada cara masuknya racun ke dalam tubuh manusia. Tanda-
tanda keracunan karena kontak dengan kulit menyebabkan iritasi lokal dan kulit menjadi kering,
bila tertelan menyebabkan mual, muntah serta diare sedangkan bila terhirup melalui saluran
pernafasan menyebabkan iritasi saluran nafas atas seperti rhinitis, radang kerongkongan. Pada
pasien yang sensitive terpapar racun ini secara berulang dapat menyebabkan serangan asma.
Keracunan juga menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat dan dapat mengakibatkan koma, serta
sesak nafas.
b. Racun tikus
Rodentisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membunuh hewan pengerat, seperti
tikus dan musang2, masyarakat awam sering menyebut sebagai racun tikus. . Beberapa rodentisida
akan menghentikan pembekuan darah atau sering disebut sebagai antikoagulan dan ada beberapa
yang tidak termasuk dalam kelompok antikoagulan dengan cara kerja yang berbeda, seperti
misalnya zinc fosfida, brometalin, cholecalciferol dan strikhnin. Rodentisida antikoagulan baik
generasi pertama maupun kedua memiliki mekanisme aksi menghambat vitamin K 2,3-epoksida
reduktase dan vitamin K quinine reduktase, yaitu 2 enzim yang bertanggung jawab untuk merubah
vitamin K menjadi bentuk aktifnya, yang diperlukan dalam proses pembekuan darah (koagulasi).
Akibat penghambatan dalam pembekuan darah dapat menyebabkan timbulnya perdarahan.
c. Obat-obatan (Parasetamol)
Efek toksik parasetamol yang paling penting adalah nekrosis hati yang menyebabkan gagal hati
setelah overdosis. Parasetamol cepat dimetabolisme di hati. Konjugat sulfat dan glikoida utama
(yang mengandung sekitar 95% dosis parasetamol) diekskresikan dalam urin. Ketika parasetamol
dikonsumsi overdosis, kapasitas mekanisme konjugasi terlampaui dan metabolit toksik, Nasetil
benzoinquinimin (NABQI), terbentuk melalui metabolisme melalui enzim sitokrom P450
(CYP450) (Ritter, et al., 2008).
d. Makanan kaleng
Foodborne botulism merupakan bentuk keracunan makanan berat karena menelan makanan yang
mengandung neurotoksin poten, yang dibentuk selama pertumbuhan organisme Clostridium
botulinum. Makanan yang berhubungan dengan penjangkitan penyakit ini adalah makanan kaleng
dengan proses pengolahan yang inadekuat untuk menghancurkan spora Clostridium botulinum,
seperti ikan tuna kalengan dan sayuran kalengan. Toksin botulinum adalah substansi paling poten
yang diketahui. Toksin ini sangat spesifik terhadap saraf kolinergik. Rantai ringan dari toksin
memotong protein-protein yang membentuk synaptic fusion complex. Protein tersebut adalah
protein SNARE, termasuk VAMP, SNAP-25 dan syntaxin. Perusakan synaptic fusion complex
mencegah vesikel untuk berfusi dengan membran presinaps, yang kemudian mencegah pelepasan
asetilkolin. Tanpa pelepasan asetilkolin, otot tidak dapat berkontraksi dan menjadi flaccid paralysis.
Foodborne botulism yang bersumber dari makanan kaleng komersial dapat dikontrol melalui proses
pengalengan yang aman dan pengolahan makanan di pabrik. Pemanasan makanan kaleng sebelum
dikonsumsi dapat mengurangi risiko intoksikasi botulisme. Makanan kaleng dengan kemasan yang
menggembung atau tidak berbau sebaiknya tidak dibuka dan tidak langsung dimakan atau dicicipi.
e. Buah-buahan
Ada banyak contoh racun yang berpotensi berbahaya dalam produk makanan alami: sianogenik
glikosida pada tanaman seperti biji almond, singkong dan sorgum, alkaloid dalam teh herbal dan
komprei, racun lathyrus pada kacang polong.
g. Binatang
Keracunan ciguatera. Ini adalah keracunan manusia yang serius, yang disebabkan oleh makan ikan
yang terkontaminasi, menyebabkan gangguan pencernaan, masalah neurologis dan, dalam kasus
yang parah, kematian. Ada lebih dari 400 spesies ikan yang mungkin menjadi ciguatoxic, tetapi
hampir semua kasus fatal disebabkan oleh barakuda. Keracunan ini terutama berbahaya karena
terjadi di daerah tropis dan ikan subtropis yang biasanya aman untuk dimakan, tetapi hanya ketika
mereka makan dinoflagellata tertentu yang menghasilkan racun yang menumpuk di dalam daging.

6. Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah petunjuk pengambilan sampel pada korban tewas:
1 . Lambung dan isinya;
2. Seluruh usus dan isinya, sekat setiap 60 cm;
3. Darah sentral Jantung dan perifer, masing-masing 50 cc, dibagi dua dengan dan tanpa
pengawet;
4. Hati sebanyak 100 gram;
5. Kedua ginjal (khususnya pada kasus keracunan logam berat atau jika tidak ada urin);
6. Otak 100 gram (khusus pada keracunan kloroform dan sianida);
7. Seluruh urin;
8. Empedu diekstirpasi bersama vesika felea;
9. Pada kasus khusus: jaringan sekitar suntikan 5-10 cm, jaringan otot 200 gram, lemak
subkutan dinding perut 200 gram, rambut yang dicabut dan kuku yang dipotong masing-
masing 10 gram (terutama pada kecurigaan intoksikasi arsen), cairan otak sebanyak-
banyaknya, jaringan paru-paru pada keracunan inhalasi gas.

Apabila sampel dapat segera diperiksa, tidak diperlukan bahan pengawet dan sampel cukup
disimpan dalam lemari es. Jika tidak dapat segera diperika, sampel diawetkan dengan
volume bahan pengawet minimal 2 kali volume sampel. Bahan pengawet yang dapat
digunakan adalah alkohol absolut atau larutan garam jenuh (untuk sampel padat/organ) ,
formalin, NaF 1 % atau campuran 7 5 g NaF dan 50 mg Na sitrat untuk 10 mL sampel
(sampel cair) , serta Na benzoat atau fenil merkurinitrat (untuk pengawet urin). Hal yang
perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel:
1. Pengambilan sampel dilakukan sebelum tubuh korban diawetkan;
2. Tiap sampel disimpan dalam kemasan terpisah dan diberi label;
3. Penyegelan dilakukan oleh dokter dan dibuatkan berita acara;
4. Permintaan pemeriksaan toksikologi dilakukan oleh dokter dengan menyertakan informasi
singkat mengenai dugaan racun;
5. Setiap pengiriman disertai contoh bahan pengawet;
6. Apabila sampel diambil dari korban hidup, gunakan desinfektan saat pengambilan darah
berupa sublimat 1:1000 atau merkuri klorida 1 %.
Pemeriksaan berdasarkan jenis racun :
a. Keracunan Carbonmonoksida
 Uji dilusi alkali. Ambil 2 tabung reaksi, masukkan kedalam tabung pertama 1-2
tetes darah korban dan tabung kedua 1-2 tetes darah normal sebagai kontrol.
Encerkan masing-masing darah dengan menambahkan 10 ml air sehinga warna
merah pada kedua tabung kurang lebih sama. Tambahkan masing-masing tabung 5
tetes larutan NaOH 10-20%, lalu kocok. Darah normal segera berubah warna
menjadi merah hijau kecoklatan karena segera terbentuk hematin alkali, sedangkan
darah yang mengandung COHb tidak berubah warnanya untuk beberapa waktu,
tergantung pada kosentrasi COHb, karena COHb bersifat lebih resisten terhadap
reaksi alkali. Perlu diperhatkan darah yang digunakan sebagai kontrol harus darah
dengan Hb yang normal.
 Uji formalin (Eachlolz-Liebmann). Darah yang akan diperiksa ditambahkan dengan
larutan formalin 40% sama banyaknya. Bila darah mengandung COHb 25%
saturasi maka akan terbentuk koagulat berwarna merah yang mengendap pada dasar
tabung reaksi. Semakin tinggi kadar COHb, semakin merah warna koagulatnya.
Sedangkan pada darah normal akan terentuk koagulat berwarna coklat.
 Spektrofotometrik adalah cara yang terbaik untuk melakukan analisis CO atas darah
segar korban keracunan CO yang masih hidup, karena hanya dengan cara ini dapat
ditentukan COHb : OxiHb. Dan cara kromatografi gas banyak dipakai untuk
mengukur kadar CO dari sampel darah mayat (darah tidak segar) dan cukup
dipercaya.

b. Keracunan sianida
 Uji kertas saring. Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan asam pikrat jenuh,
biarkan hingga menjadi lembab. Teteskan satu tetes isi lambung atau darah korban,
diamkan sampai agak mengering, kemudian teteskan Na2CO3 10% 1 tetes. Uji
positif bila terbentuk warna ungu.
 Reaksi Schonbein-Pagenstecher (Reaksi Guajacol). Masukkan 50 mg isi
lambung/jaringan ke dalam botol Erlenmeyer. Kertas saring (panjang 3-4cm, lebar
1-2cm) dicelupkan ke dalam larutan guajacol 10% dalam alkohol, keringkan. Lalu
celupkan ke dalam larutan 0,1% CuSO4 dalam air dan kertas saring digantungkan
di atas jaringan dalam botol. Bila isi lambung alkalis, tambahkan asam tartrat untuk
mengasamkan, agar KCN mudah terurai. Botol tersebut dihangatkan. Bila reaksi
positif, akan terbentuk warna biru-hijau pada kertas saring.
 Reaksi Prussian Blue (Biru Berlin). Isi lambung?jaringan didestilasi dengan
destilator. 5ml destilat + 1ml NaOH 50% + 3 tetes FeSO4 10% rp + 3 tetes FeCI3
50%, panaskan sampai hampir mendidih lalu dinginkan dan tambahkan HCI pekat
tetes demi tetes sampai terbentuk endapan Fe(OH)3, teruskan sampai endapan larut
kembali terbentuk niru berlin.
c. Keracunan Arsen

Pemeriksaan laboratorium

Pada kasus keracunan As,kadar dalam darah,urin,rambut dan kuku meningkat. Nilai
batas normal kadar As adalah sebagai berikut:
Rambut kepala normal: 0.5 mg/kg
Curiga keracunan : 0.75 mg/kg
Keracunan akut : 30 mg/kg
Kuku normal : sampai 1 mg/kg
Curiga keracunan : 1 mg/kg
Keracunan akut : 80 ug/kg
Dalam urin, arsen dapat ditemukan dalam waktu 5 jam setelah diminum, dan dapat terus
ditemukan hingga 10-12 hari. Pada keracunan kronik,mungkin ditemukan titik titik
basofil pada eritrosit dan leukosit muda pada darah tepi, menunjukkan beban sumsum
tulang yang meningkat. Uji Kopro-porfirin urin akan memberikan haisl positif.

Pemeriksaan toksikologik
Uji Reinsch
Celupkan batang tembaga ke dalam larutan, akan terbentuk endapan kelabu sampai
hitam dari As pada permukaan batang tembaga tersebut. Untuk membedakan dari
Ba,digunakan sifat sublimasi As.
Uji Gutzeit : Noda coklat sampai hitam pada kertas saring.
Uji Marsh : Zat+HCl+Zn(logam)--- cermin As.
Fisika : As menunjukkan nyala api yang khas.

d. Keracunan Organofosfat
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk pemeriksaan toksikologik perlu diambil darah, jaringan hati, limpa, paru-paru
dan lemak badan. Penentuan kadar AchE dalam darah dan plasma dapat dilakukan
dengan cara tintometer (Edson) dan cara paper-strip (Acholest)
 Cara Edson: berdasarkan perubahan PH darah.
Ambil darah korban dan tambahkan indikator brom-timol-biru, diamkan beberapa saat
maka akan terjadi perubahan warna. Bandingkan warna yang timbul dengan warna
standar pada comparator disc (cakram pembanding), maka dapat ditentukan kadar
AchE dalam darah.

% aktivitas AchE Interpretasi


darah
75%-100% dari Tidak ada
normal keracunan
50%-75% dari Keracunan ringan
normal
25%-50% dari Keracunan
normal
0%-25% dari Keracunan berat
normal

 Cara Acholest:
Ambil serum darah korban dan teteskan pada kertas Acholest bersamaan dengan
kontrol serum darah normal. Pada kertas Acholest sudah terdapat Ach dan indikator.
Waktu perubahan warna pada kertas kertas tersebut dicatat. Perubahan warna harus
sama dengan perubahan warna pembanding (serum normal) yaitu warna kuning telur.
Interpretasi:
kurang dari 18 menit, tidak ada keracunan
20-35 menit, keracunan ringan
35-150 menit, keracunan berat

e. Keracunan Botulinum

Toksin dapat diidentifikasi dalam feses, muntah, aspirasi lambung, dan makanan yang
dicurigai. Clostridium botulinum dapat ditanam pada media selektif dari sampel feses
atau makanan yang dicurigai.

f. Keracunan Narkotika dan Barbiturat


Pemeriksaan Laboratorium
 Narkotika
o Uji Nalorfin: Pemberian nalorfin pada pecandu morfin akar mem- perlihatkan
midriasis dan gejala putus obat lainnya. Tetapi bia midriasis tidak terjadi, maka
belum tentu ia bukan pecandu.
o Analisa urin dapat dikerjakan tersendiri atau bersama-sara dengan uji nalorfin bila
masih meragukan hasil uji nalorfin. Analsi urin ini sekurang-kurangnya dikerjakan
dengan Kromatografi Laps Tipis (TLC).
o Gejala putus obat (withdrawal symptom/sindrom abstinensi) terjad bila pemakaian
narkotika dihentikan secara mendadak. Gejala disebut dapat berupa menggigil, mual,
kehilangan nafsu makan, kelelahan, insomnia, hiperhidrosis, lakrimasi, kedutan otot,
muntah, rare dan dilatasi pupil.
 Barbiturat
o Uji kristal, dilakukan terhadap sisa obat yang ditemukan dalam isi lambug Masing-
masing barbiturat mempunyai kristal yang khas bila dilihat dengan mikroskop.
o Pemeriksaan semikuantitatif dan kuantitatif dapat dilakukan -angan kromatografi
lapis tipis (Thin Layer Chromatography), kromatografi gas cair (Gas Liquid
Chromatography), spektrofotometri ultraviolet dan spektrofotofluorimetri.

g. Keracunan Bisa Ular


Diagnosis laboratorium tentang gigitan ular didasarkan pada perubahan yang terjadi
pada korban yang dirasuki. Ini termasuk deteksi perubahan abnormal pada parameter
darah (mis., Darah yang tidak dapat dioagulasi seperti yang diperiksa menggunakan tes
pembekuan darah seluruh tempat tidur sederhana 20 menit, WBCT20, penurunan
dramatis dalam jumlah trombosit, perubahan jumlah sel darah merah dan putih), ada /
tidaknya mioglobinuria, perubahan kadar enzim tertentu (seperti kreatin fosfokinase)
dan deteksi dalam darah korban antigen racun tertentu (metode biodeteksi menggunakan
imunologis- teknik berbasis).

Metode Biodetection
Selama bertahun-tahun sejumlah sistem uji berbasis imunologis telah diterapkan
untuk mendeteksi racun tertentu dan juga untuk mendeteksi antibodi racun tertentu. Ini
termasuk immunodiffusion, immunofluorescence, hemaglutinasi,
immunoelectrophoresis, radioimmunoassay (RIA), enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA / EIA), dan immunoassay optik, serta kemungkinan aplikasi PCR dan
mikroarray antibodi dalam hal ini.

Tes presipitasi agar-stabil pertama kali digunakan untuk mendeteksi racun king cobra (
Ophiophagus hannah ) dalam jaringan situs gigitan yang dipotong dan, kemudian,
immunodiffusion gel digunakan untuk mendeteksi racun dari empat ular Nigeria yang
umum dalam aspirasi luka, cairan blister, serum, dan sampel urin dari pasien
envenomed. Walaupun secara umum berhasil mendeteksi racun tertentu, sistem itu tidak
cukup sensitif untuk mendeteksi racun dalam serum dan, oleh karena itu,
penggunaannya terbatas.

Immunofluoresensi telah digunakan untuk mendeteksi racun spesifik dalam sampel


jaringan tetapi tidak dalam cairan tubuh. Hemaglutinasi pasif dari sel-sel merah domba
yang peka terhadap racun oleh prosedur penggabungan bis-diazo benzidine digunakan
untuk menunjukkan racun dan antivenom pada pengenceran tinggi dalam sistem uji,
tetapi masalah termasuk ketidakstabilan agen penggandeng dan penentuan titik akhir
yang tidak tepat. Baru-baru ini uji imunofluoresensi berbasis manik tunggal telah
dikembangkan untuk mendeteksi racun dengan sensitivitas deteksi 5-10 g / mL dalam
waktu pengujian 3 jam.

Immunoelectrophoresis juga digunakan tetapi ditemukan tidak mungkin untuk


penggunaan praktis dalam uji rutin antibodi racun dan racun karena tingginya tingkat
band endapan umum antara racun dan antibodi dari spesies terkait erat
Radioimmunoassay digunakan untuk mendeteksi racun dalam serum hewan dan pasien
yang terindikasi, tetapi, meskipun sangat sensitif, metode ini terbukti tidak praktis pada
pasien dan juga sangat mahal, membutuhkan peralatan membaca yang khusus dan rumit
untuk mengukur tingkat isotop di samping masalah yang berkaitan dengan waktu paruh
125
I. Ditekankan bahwa penggunaannya terutama sebagai alat penelitian.
Theakston dan rekan pertama kali melaporkan penggunaan alat immunosorbent
enzyme-linked (ELISA) atau EIA (enzyme immunoassay), menggunakan teknik
sandwich ganda yang dilakukan di 96 piring Microtitre dengan baik untuk mendeteksi
racun tertentu dan metode tidak langsung untuk mendeteksi antibodi spesifik (termasuk
antivenom) dalam darah korban yang dirasuki.

7. Kriteria Diagnosis
- Anamnesis
Harus dilakukan dengan teliti beberapa hal yang harus dicari dan ditanyakan. Pada kasus
keracunan seringkali petugas penolong atau petugas medis tidak bisa mendapatkan informasi
yang akurat dari pasien, oleh karena itu diperlukan informasi tambahan dari anggota keluarga,
teman, atau saksi lain yang melihat kejadiaan keracunan. Jika memungkinkan cari informasi
jenis racun dari wadah atau botol racun, jarum suntik, sampul zat kimia dan hal lain yang
punya nilai diagnostik terhadap keracunan disekitar lokasi kejadian. Jika hal ini diketahui,
maka informasi yang harus ditanyakan adalah:
- Jenis, jumlah dan waktu terminum atau terpapar racun
- Gejala sejak terpapar
- Keadaan penyebab terpapar (kecelakaan atau kesengajaan)
- Riwanyat penyakit atau riwayat psikiatri
- Apa ada riwayat alergi
- Obat-obatan yang rutin diminum
- Pekerjaan pasien
- Apakah pasien menggunakan terapi alternatif

- Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan mata
Perubahan ukuran pupil, serta posisi pupil (nistagmus) dapat terjadi tergantung jenis
racun atau obatnya. Miosis yaitu kolinergik, klonidin, opiates, organofosfat,
phenothiazines, pilokarpin, pontine bleed, sedatif hipnotik (COPS). Midriasis yaitu
antihistamin, antidepressan, antikolinergik, atropin, simpatomimetik (AAAS).
b. Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan yang harus diperiksa adalah peristaltik, ileus, distensi abdomen,
muntah(hematemesis) dan lain-lain. Ileus dapat disebabkan oleh faktor mekanik seperti
luka pada saluran cerna berupa perforasi dan peritonitis atau obstruksi mekanik akibat
tertelan benda asing. Distensi abdomen dan ileus merupakan manifestasi dari infark akut
usus, meskipun jarang namun dapat juga sebagai komplikasi berat dari hipotensi lama
atau vasospasme arteri mesenterikum. Muntah terutama bila terjadi hematemesis dapat
menjadi indikasi keracunan bahan korosif.
c. Pemeriksaan kulit
Warna kulit kemerahan ditemukan pada keracunan CO, asam borak, zat kimia korosif atau
hidrokarbon atau obat antikolinergik, namun gejala ini bisa terjadi karena vasodilatasi
obat fenotiazin atau dislufiran dengan etanol. Kulit berwarna pucat dengan diaforesis
sering karena obat simpatomimetik. Wajah pucat karena vasospasme akibat keracunan
ergot atau amfetamin. Sianois indikasi terjadinya hipoksia, sulfahemoglobin atau
methemoglobin.

- Pemerikaan Penunjang
a. Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan rutin yang direkomendasikan untuk skreening pasien keracunan atau
overdosis adalah Serum osmolaritas dan osmolar gap, elektrolit, darah lengkap, blood
urea nitrogen (BUN), kreatinin untuk menilai funsi ginjal, enzim hati dan fungsi hati,
urinalisa untuk memeriksa kristaluria, hemoglobinuria atau mioglobinuria, kadar
asetaminofen dan etanol serum.
b. Radiologi
Dilakukan bila curiga aadanya aspirasi zat racun melalui inhalsi atau dugaan adanya
perforasi lambung.

8. Tatalaksana/antidotum pada keadaan gawat darurat


1. Prioritas utama adalah ABC
2. Vital sign, Saturasi O2 dan hipoglikemia harus dikoreksi
3. Hanya pada kondisi yang sangat jarang, pemberian antidotum mendahului prosedur untuk
menstabilkan ABC dan vital sign
- VITAL SIGN
1. Hypoventilation/hyperventilation
2. Bradycardia – PACED
3. Tachycardia – FAST
4. Hypotension – CRASH
5. Hypertension – CT SCAN
6. Hyperthermia – NASA
7. Hypothermia – COOLS
8. Seizures – OTIS CAMPBEL
- KONTAMINASI MATA
1. Paparan pada mata harus segera ditangani dengan irigasi10-15 menit (biasanya dengan 2L NS,
tetrakain kadang diperlukan untuk membantu irigasi).
2. Balikkan kelopak mata dan pastikan semua terbilas.
3. Periksa kembali pH setelah 15-20 menit irigasi pada penganan paparan terhadap zat asam/alkali.
- KONTAMINASI KULIT
1. Melepas semua baju pasien kemudian membasuh seluruh tubuh pasien
2. Gunakan sabun dan air untuk bahan berminyak
3. Seluruh handuk dan baju yang sudah terkena eksposur harus dibuang ke tempat sampah medis
4. Pasien harus terlebih dahulu diisolasi di dalam ruang isolasi
- KERACUNAN TERHADAP RACUN YANG TERTELAN
Terdapat 4 metode secara umum untuk menghilangkan racun dari saluran cerna yaitu:
1. Dekontaminasi lambung
2. Mengikat racun di saluran cerna
3. Whole bowel irrigation
4. Enhance elimination
- KERACUNAN TERHADAP RACUN YANG TERHIRUP
1. Jauhkan dari sumber pajanan
2. Beri oksigen
3. Intubasi endotrakheal, bronkodilator dan bantuan ventilator (pembengkakan saluran nafas atas,
bronkhospasme, delayed pneumonitis)

Anda mungkin juga menyukai