Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Peloraina

NIM/PKK : 21101114/3
MAKUL : ILMU BUDAYA DAERAH DAN MULTIKULTUR

Diskriminasi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan


Larangan Ibadah di Rumah Warga Kristen di Mojokerto

Freedom of Religion or Belief (FoRB) atau Kebebasan Beragama dan


Berkeyakinan (KBB) adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan bagian dari
demokrasi. Demokrasi yang dimulai sejak 1998 telah memberikan ruang lebih luas bagi
KBB di Indonesia. Untuk merawat keberagaman agama, diperlukan komunikasi dalam
ruang diskusi berskala nasional maupun global sebagai langkah menjawab tantangan
intoleransi. “Diskriminasi dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dapat
dijembatani melalui toleransi”.dalam perspektif Hak Asasi Manusia sikap toleransi
merupakan pilar yang penting dalam merawat keberagaman. Sikap toleransi perlu
disebarluaskan di Indonesia sebagai negara multikultural yang terdiri dari berbagai
macam suku, agama, budaya dan bahasa serta sangat dekat dengan isu diskriminasi dan
intoleransi. “Ruang-ruang dialog untuk menjembatani keberagaman agama diharapkan
menjadi media untuk menumbuhkan sikap saling menghormati, menghargai, dan
toleransi,”
1. Saya mengangkat satu kasus yaitu Larangan Ibadah di Rumah Warga Kristen di
Mojokerto. Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Mojokerto mengecam kasus
larangan beribadah di rumah terhadap umat Kristen di Desa Ngastemi,
Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
JIADJIAD menilai, larangan tersebut jelas melanggar konstitusi Indonesia terkait
kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan. JIAD
juga menganalogikan larangan tersebut seperti larangan tahlilan bagi umat
muslim. Seperti diketahui, seorang warga yang tinggal di RT03 Dusun
Karangdami, Desa Ngastemi, bernama Sumarmi, mendapat surat peringatan dari
kepala desa setempat. Dalam surat bertanggal 21 September 2020 dan bersifat
sangat penting itu, Sumarmi diperingatkan untuk menghentikan aktivitas
peribadatan di rumahnya.
2. H Mustadi yaitu kepala desa, telah mengaku menulis surat itu setelah
bermusyawarah dengan perangkat desa, Muspika, Kepala KUA, MUI Bangsal,
perwakilan muslim, serta perwakilan umat Kristen di Desa Ngastemi. Sehingga
yang terjadi permasalahan nya juga iyalah Surat itu juga menyoroti renovasi
rumah Sumarmi yang dianggap menyerupai rumah ibadah Kristen, salah satunya
karena terdapat salib di depannya.

Dalam kasus ini menurut saya telah melanggar ferum internum hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan. selagi tidak merugikan masyarakat
disekitar nya kenapa harus dilarang, dan rumah tersebut rumah pribadi. Ham kita
memiliki hak masing-masing. Atas hidup kita sendiri.
Pada dasarnya kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap
warga negara. Dasar hukum yang menjamin kebebasan memeluk agama atau
kepercayaan di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”):
"Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali".

Dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 berbunyi:


"Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya".

Hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.[1] Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[2] Akan tetapi, meskipun kebebasan
memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara dan termasuk
sebagai hak asasi, ini bukan berarti tanpa pembatasan, karena setiap orang wajib
menghormati hak asasi orang lain.[3] Pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk
pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang.[4] Jadi, hak asasi
manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-
pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

3. Definisi agama di dalam Pasal 18 ICCPR sangat luas, mencakup kepercayaan-


kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut
agama atau kepercayaan apapun (a-teistik). Menurut Pasal 18 ayat (3) ICCPR,
kebebasan beragama seseorang hanya dapat dibatasi berdasarkan hukum
sepanjang diperlukan untuk melindungi secara terbatas hal-hal tertentu, yaitu:
(1) keamanan masyarakat; (2) masyarakat; (3) kesehatan masyarakat; (4) moral
masyarakat; atau (5) hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Sedangkan
cakupan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merujuk pada Komentar
Umum (General Comments) No. 22 yang dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) terkait Pasal 18 ICCPR. Pasal 18
melakukan pembedaan dengan melihat dimensinya, yakni membedakan
kebebasan berkeyakinan, dan beragama atau berkepercayaan, dan kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaannya.

Pembedaan tersebut didasarkan pada rasionalitas bahwa, pertama, dimensi


individual yang tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan spiritual
seseorang (forum internum) termasuk di dalam dimensi ini adalah memilih,
mengganti, mengadopsi, dan memeluk agama dan keyakinan. Kedua, dimensi
kolektif tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan seseorang untuk
mengeluarkan keberadaan spiritualnya dan mempertahankannya di depan publik
(forum externum).Secara hukum, pembedaan rasionalitas HAM menjadi penting
untuk memberikan pedoman atas “wilayah” negara tetang apa yang
diperbolehkan dan untuk membatasi. tersebut juga memberikan batasan bahwa
tidak satu pun pengamalan agama atau kepercayaan dapat digunakan sebagai
propaganda untuk berperang atau advokasi kebencian nasional, rasial, atau
agama, yang dapat mendorong terjadinya diskriminasi, permusuhan, atau
kekerasan. Pembedaan ini juga menghasilkan komponen dari hak atas kebebasan
beragama itu sendiri, yakni: pertama, adalah hak untuk pindah agama ( right to
change and maintain religion), private intervirum (internal religious freedom) ,
dan, kedua, adalah hak memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran,
praktik, beribadah dan melaksanakan ibadah.

Sumber informasi: https://www.indozone.id/news/N4sn9No/larangan-ibadah-di-rumah-


warga-kristen-di-mojokerto-jiad-itu-melanggar-ajaran-islam.

Anda mungkin juga menyukai