Anda di halaman 1dari 13

Ambon City of Music: Menjadikan Musik Sebagai Daya Tarik Wisata

August Johannes Ricolat Ufie (Politeknik Negeri Ambon)

Dalam Seminar Nasional dengan Tema Strategi dan Kolaborasi dalam


Mewujudkan Pariwisata Maluku Berkelas Dunia yang dilaksanakan di Hotel Manise
pada Sabtu 15 Februari 2020, Wawan Gunawan selaku Direktur Pengembangan
Destinasi Regional II Kemenparekraf mengucapkan hal yang sampai saat ini masih saya
ingat. Kurang lebih yang beliau sampaikan sebagai berikut, “Ambon telah menjadi City
of Music! Orang yang akan melakukan kunjung ke Ambon memiliki beragam
ekspektasi terkait City of Music. Yang paling sederhana ialah ketika mereka tiba,
mereka dapat merasakan aura musik di seluruh penjuru kota.” Mungkin pernyataan
yang beliau sampaikan pada saat itu merupakan kegelisahan yang didasari oleh
pengalaman beliau: belum dijumpai aura musik di kota ini.
Awal Maret 2020, dalam diskusi kecil bertempat di Hotel City, Nicky Fahrizal,
salah satu peneliti CSIS, meyampaikan kegelisahaan temannya yang merupakan musisi
asal Maluku. “Ambon City of Music itu lebih besar landmark-nya dibandingkan kondisi
(baca: aktivitas musik) di lapangan,” ungkapnya. Kegelisahan terkait realita Ambon City
of Music juga tampak dari postingan warga Kota Ambon di media sosial pada tahun
2019 dengan memplesetkan kalimat Ambon City of Music menjadi Ambon City of(f)
Music. Lantas apa yang menjadi pertimbangan UNESCO dalam menetapkan Ambon
sebagai City of Music?
Terdapat beberapa informasi terkait dengan pertanyaan tersebut. Pertama, orang
Ambon memiliki DNA musik dalam diri mereka. Hal ini tampak pada kemampuan
menghasilkan bunyi (baik suara/nyanyian maupun menggunakan alat musik) yang
harmonis “hanya berdasarkan” perasaan. Kemampuan menghasilkan bunyi “secara
otomatis” ini tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Kemampuan yang berikut yakni
memiliki pendengaran yang mutlak terharap kontrol nada atau frekuensi tertentu dan
yang terakhir adalah memiliki timbre (warna suara) yang beragam. Kemampuan inilah
yang melahirkan penyanyi dan musisi skala nasional bahkan internasional seperti Glenn
Fredly, Andre Hehanussa, Broery Marantika, Selly Gomes, Barry Likumahuwa, hingga
Daniel Sahuleka (https://citiesofmusic.net, 2019; https://kompas.id, 2019). Kedua,
musik bukan hanya dipandang sebagai sebuah seni tapi sudah menjadi budaya di Kota
Ambon. Musik juga menjadi media bagi pesan perdamaian. Seperti yang dikemukakan
oleh Rance Alfons, musisi asal Kota Ambon, musik yang “tidak memiki agama” dapat
menyatukan segala perbedaan (https://citiesofmusic.net, 2019; https://kompas.com,
2015). Ketiga, Kota Ambon melaksanakan Festival Seni Musik dan Fesfival Makanan
turut melibatkan perwakilan kota dan wilayah lain. Festival yang dilakukan, seperti
Festival dan Konferensi Musik Bambu Internasional Amboina tidak hanya berfokus
pada musik tetapi juga pada penampilan instrumen tradisional (https://citiesofmusic.net,
2019).
Beberapa pertimbangan tersebut yang menjadi dasar bagi UNESCO penetapkan
Kota Ambon menjadi salah satu kota kreatif musik dunia tahun 2019 dan bergabung
dalam Jaringan Kota Kreatif UNESCO, yang sampai saat ini sudah beranggotakan 246
kota di seluruh dunia. Kota-kota ini memiliki level pendapatan ekonomi dan populasi
yang berbeda, serta memiliki cara tersediri dalam menjadikan budaya sebagai pilar
bukan hanya sekedar aksesoris semata. Jaringan Kota Kreatif UNESCO bekerja
bersama menuju misi bersama yakni menempatkan kreativitas dan ekonomi kreatif
sebagai inti dari rencana pembanguan perkotaan mereka untuk membuat kota-kota aman,
tangguh, inklusif, dan berkelanjutan, sejalan dengan Agenda PBB 2030 untuk
pembangunan yang berkelanjutan (https://kompas.com, 2017; https://kompas.id, 2019).
Ambon City of Music telah dideklarasikan oleh pemerintah setempat sejak tahun
2011 namun baru diajukan ke UNESCO pada tahun 2018. Hal ini disebabkan karena
dilakukan pembenahan dari segi infrastruktur dan SDM (https://kompas.com, 2017).
Tahun 2014, ketika masih menempuh studi di Magister Kajian Pariwisata UGM, pernah
sekali waktu Penulis mengerjakan tugas salah satu mata kuliah terkait city branding
dengan melakukan perbadingan antara Kota Ambon dan Kota Vienna terkait brand
“City of Music”.
Vienna (Wina) merupakan tempat berkarya dari beberapa komposer terkenal
pada masanya, yakni Mozart, Beethoven, Strauss, dan Schubert yang menjadikan kota
ini sabagai pusat musik klasik dan opera. Vienna memiliki beberapa lembaga
pendidikan musik diantaranya University of Music and Performing Arts (sejak tahun
1817), The Music and Arts University of the City of Vienna (sejak tahun 1938). Vienna
memiliki beberapa museum terkait musik diantaranya Haus der Musik, Wien Museum
Mozart Apartment, dan Wien Museum Beethoven Pasqualatihaus. Vienna juga
memiliki beberapa tempat untuk pementasan musik, diantaranya Wiener Musikverein,
Wiener Staatsoper, dan Wiener Konzerthaus. Warisan musik yang kaya terlihat jelas
dimana-mana, mulai dari pengamen yang memperdengarkan musiknya di jalanan
hingga pertunjukan formal di tempat pementasan musik. Sepannjang tahun terdapat
banyak festival musik dengan berbagai genre (https://www.lonelyplanet.com, 2020).
Ambon, pada saat itu (2014), tentu jauh tertinggal dibandingkan dengan Vienna terkait
dengan branding “City of Music”.
Dalam wawancara bersama dengan Ronny Lopies, Direktur Ambon Music
Office, Dalenz Utrak dari Babengka Ambon mengajukan salah satu pertanyaan yang
juga merupakan pertanyaan dari beberapa kenalan terkait Ambon City of Music. “Mana
kota musik? Seng biking apa-apa, seng ada hingar bingar, seperti di Kute, satu street tu
musik pukul sampe” (Mana kota musik? Tidak ada yang dibuat, tidak ada hingar-bingar
seperti di Kute, ada salah satu jalan yang full musik), tanya Dalenz (https://youtube.com,
2020). Ronny Lopies mengemukakan bahwa, “Ambon Kota Musik versi UNESCO
bukanlah kota seni pertunjukan. Dalam pembahasan di Jakarta, Ambon sempat
menawarkan tiga (konsep) kota kreatif yakni musik, kuliner, dan seni pertunjukan
namun yang disetujui yakni musik dan kuliner. Yang menjadi perhatian adalah kultur
bermusik tetap hidup di masyarakat tanpa perlu ada pertunjukan. Ekosistem bermusik di
Ambon dalam telah terbentuk dan dalam kondisi baik. Terkait kondisi seperti yang
ditanyakan, dalam proses perbaikan. Keterbatasan infrastruktur (dan event) bukan
menjadi hambatan bagi masyarakat dalam bermusik,” kata Ronny Loppies.

Wisata Musik
Musik menjadi potensi wisata yang bisa dikembangkan. Data tentang wisata
musik tahun 2016 yang dirilis oleh UK Music (badan yang mengurus segala hal tentang
industri musik di Britania Raya) menunjukan bahwa sektor wisata musik di Inggris
meraup keuntungan lebih dari Rp. 76 triliun, meningkat 11 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke UK pada tahun 2016
sebanyak 19 juta orang, dan 32 ribu orang berasal dari Indonesia. Ibiza (Spanyol),
Thailand, Singapura, dan India adalah negara yang memulai konsep wisata musik
(https://www.cnnindonesia.com, 2018).
Konsep wisata musik (music tourism) diartikan sebagai suatu perjalanan wisata
yang dimotivasi oleh keinginan untuk mendengarkan musik secara langsung (Azhar dan
Nurhidayati, 2018). Di Indonesia, konsep wisata musik dikumandangkan oleh
Kementerian Pariwisata di bawah kepemimpinan Menteri Pariwisata Arief Yahya. Java
Jazz, Prambanan Jazz, Synchronize Festival, dan Soundrenaline Festival adalah satu
diantara sekian banyak event musik di Indonesia berskala besar yang terpusat di Pulau
Jawa dan mampu mendatangkan puluhan ribu orang ke event tersebut.
Dalam perkembangannya, wisata musik tidak hanya memperhatikan aspek
musik-nya saja tapi juga memperhatikan aspek lainnya yang menjadi satu kesatuan
dalam pelaksanaan event musik, yakni lingkungan! Jazz Gunung Bromo, Melodi Alam,
Bogor Eco Music Camp, Lalala Festival, Musik Alam Fest 2k19 (Tanjung Selor), dan
Konser Musik Alam “From and To Infinity” (Ambon) adalah satu diantara sekian
banyak festival di Indonesia yang dikemas dengan unik, memadukan suasana alam
dengan alunan musik yang dihasilkan. Penonton diajak untuk menikmati musik dengan
cara lain, tidak seperti event lain pada umumnya. Secara singkat, keunikan yang
disajikan sebagai berikut: Jazz Gunung Bromo, event musik jazz yang dipadukan
dengan keindahan Gunung Bromo; Melodi Alam, event musik yang dipadukan dengan
suasana sejuk di Gunung Pancar; Bogor Eco Music Camp, event musik dengan berbagai
genre dan kadang disertai workshop dan coaching clinic dimana penonton-nya
berkemah di lokasi TN Gunung Halimun; Lalala Festival, event musik di tengah hutan
pinus; Musik alam fest 2k19 adalah perhelatan seni dan budaya yang disuguhkan di
alam terbuka dalam komposisi musik, tari, diskusi, dan seni kreatifitas lainnya dan tetap
memegang teguh kearifan dan budaya lokal kalimantan utara sehingga menumbuhkan
kembali kecintaan serta kepedulian pemuda terhadap pelestarian lingkungan; dan
Konser Musik Alam “From and To Infinity” (Ambon) merupakan proyek kolaborasi
Boi Akih dengan Molucca Bamboowind Orchestra di dalam hutan. Sudah barang tentu,
dengan konsep seperti ini, jumlah penonton pasti akan dibatasi sesuai dengan kapasitas
lingkungan sehingga tujuan menikmati musik dan lingkungan sekitar dapat tercapai.
Dari hasil kajian Azhar dan Nurhidayati (2018) terkait Jazz Gunung Bromo
diketahui bahwa faktor penarik wisatawan untuk menghadiri event musik (lebih tepat
dikatakan event musik alam) yakni tempat (lokasi) kegiatan dan pengisi acara. Disisi
lain, faktor pendorong wisatawan yakni ingin relaksasi, ingin menikmati sentuhan
musik etnik pada event, ingin keluar dari rutinitas sehari-hari, dan yang terakhir yakni
ingin mencari pengalaman baru.
Kertajaya dan Nirwandar (2013) dalam konsep Tourism Marketing 3.0
mengemukakan konsep bahwa aktivitas pariwisata dapat dikelompokan ke dalam tidak
tingkatan yakni enjoy, experience, dan engage. Tingkatan yang paling dasar adalah
enjoy dan bersifat one-way activities. Peran produsen lebih dominan dan tujuan turis
hanyak sekedar ingin menikmati. Di tingkat selanjutnya yang berfungsi untuk keep the
tourist adalah level experience. Customer oriented menjadi pedoman bagi produsen.
aktivitas tourism lebih interaktif karena produsen menciptakan hiburan dan atraksi yang
menonjol pada penciptaan pengalaman dan menambahkan berbagai macam pelayanan
yang disesuaikan dengan keinginan turis. Level tertinggi yakni engage, suatu bentuk
tourism yang berfokus pada aktualisasi diri dan pemenuhan atas kekhawatiran serta
hasrat mereka terhadap dunia. Akan terdapat banyak proses pembelajaran (learning
activities) bagi setiap individu untuk ikut serta lebih dalam dengan aspek kebudayaan,
alam, dan kehidupan. Pembelajaran ini membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan
dengan dua tingkatan sebelumnya.

3.0
2.0
1.0
WOW!
AHA!
OK!

 Authentic product  Customer experience  Human spirit actualization


 One-way activities  Interactive activities  Learning activities
 Local-based area  Regular events  Long-term involvement
 (His) stories  Expert guidance  Community development
 Historic heritage  Tourism hub  Economic and
environmental impact

Get the tourist Keep the tourist Grow the tourist

Creative Tourism (Kertajaya dan Nirwandar, 2013)

Terkait dengan wisata musik (Kertajaya mengelompokan musik dikelompokan


ke dalam culture tourism), lebih lanjut dikemukakan oleh Kertajaya dan Nirwandar
(2013) bahwa pada tahap pertama (enjoy) adalah hasil cipta manusia yang bersifat dapat
dinikmati manusia diantaranya adalah souvenir, pertunjukan musik dan atau tarian,
kerajinan tangan, makanan, dan lainnya. Tahap ini diberi nama pleasure tourism. Effort
yang dibutuhkan untuk menikmati tourism ini tidak terlalu banyak. Tahap kedua
(experience), diberi nama event tourism yang mana merupakan pengembangan dari
pleasure tourism. Produk-produk pariwisata dibungkus dalam satu acara yang
mengkombinasikan berbagai macam produk dari produsen yang berbeda. Biasanya
ditampilkan dalam bentuk festival, special event, pameran, dan lainnya. Penciptaan
event tourism ini membantu para turis untuk lebih mudah memperoleh pengalaman saat
berkunjung ke suatu daerah secara lengkap. Seluruh event atau festival yang diciptakan
tersebut memiliki satu kesamaan, yakni akan menjadi hub dimana para turis dari
berbagai maacam dunia akan bertemu satu sama lain untuk merasakan pangalaman yang
luar biasa. Tahap terakhir (engage) adalah enrichment tourism dimana merupakan salah
satu bentuk aktualisasi diri dengan cara meletarikan musik, baik dengan peningkatan
pengetahuan dan keterampilan melalui pembelajaran personal maupun dengan
pemberian pengetahuan dan perbaikan ekonomi kepada masyarakat atau komunitas
setempat untuk lebih maju.
Dengan demikian, wisata musik bukan semata terkait dengan
“menikmati/menonton musik” (melalui festival) tetapi juga terkait dengan peningkatan
pengetahuan soal musik, menampilkan musik dan bahkan pelestarian musik. Wisata
musik dapat diartikan sebagai kegiatan wisata yang menjadikan musik sebagai daya
tarik utama dalam bentuk menikmati musik, mempelajari musik, menampilkan musik,
dan melestarikan musik. Produk wisata musik dalam bentuk menikmati musik (festival)
inilah yang seringkali menjadi perhatian berbagai pihak (mungkin karena mendapatkan
pendapatan yang besar dalam waktu yang relatif singkat). Produk wisata dalam bentuk
mempelajari, menampilkan dan melestarikan musik yang menurut penulis belum
menjadi perhatian. Lantas bagaimana Kota Ambon sebagai Kota Musik menjadikan
musik bukan hanya sebagai daya tarik pertunjukan tetapi sebagai sebagai daya tarik
untuk dipelajari, ditampilkan, dan dilestarikan?!

Desa Wisata Berbasis Musik


Kota Ambon memiliki beragam alat musik tradisional yang dimainkan oleh
masyarakat setempat yakni tahuri (alat musik tiup dari kulit kerang), floit atau suling
bambu, ukulele (alat musik yang terbuat dari tempurung kelapa, kayu, dan senar),
totobuang (alat musik yang terbuat dari kuningan yang dimainkan dengan cara dipukul),
rumba (jenis perkusi), dan tifa (alat musik yang terbuat dari kayu, rotan, dan kulit
binatang) (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id, 2019). Selain alat musik tradisional,
ada juga banyak alat musik non tradisional yang dimainkan, salah satu diantaranya
adalah hawaiian.
Beberapa negeri (desa adat) di Ambon memiliki kelompok yang memainkan alat
musik tersebut, yakni Negeri Hutumuri (Sanggar Kakoya dengan ciri khas alat musik
tahuri yang dikombinasikan dengan suling bambu dan tifa), Negeri Tuni (Rance Alfons,
Molucca Bamboowind Orchestra dengan ciri khas orkestra dari suling bambu), Negeri
Amahusu (Amboina Ukulele Kids Community dengan ciri khas ukulele dan Sanggar
Booyratan), Negeri Soya dan Negeri Nusaniwe (dengan ciri khas alat musik tifa dan
totobuang) (https://ambon.antaranews.com, 2018; https://kumparan.com. 2019;
https://www.satumaluku.id, 2020). Selain itu, masih ada kelompok-kelompok pada
negeri lain di Kota Ambon yang belum disebut. Kelompok ini berlatih secara mandiri
dan tampil ketika ada acara adat maupun agama, festival, dan acara pernikahan. Di
negeri (desa adat) inilah musik tradisional tetap hidup dan bertahan.
Terkait dengan kondisi tersebut, pada tahun 2020, Ambon Music Office (AMO)
memprogramkan Negeri Tuni dan Negeri Amahusu menjadi Desa Musik di Kota
Ambon. Kedua desa ini dipilih sebagai program awal dengan pertimbangan aktivitas
bermusik di kedua negeri telah dimulai sejak usia anak-anak
(https://www.satumaluku.id, 2020). AMO merupakan pihak menyelenggarakan Ambon
Kota Musik berdasarkan Perda Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2019 yang dalam
pelaksanaan tugasnya berkoordinasi dengan perangkat daerah bidang pariwisata dan
kebudayaan (pasal 10, ayat 1 dan 3). Dalam melaksanakan tugasnya, AMO
mengembangkan konsep Sound of Green (SoG) yang memadukan unsur musik dan
kelestarian lingkungan. Lebih lanjut, pencanangan desa musik selaras dengan Pasal 8
dari Perda tersebut yakni pengembangan Ambon Kota Musik yang didasarkan pada
musik berbasis seni budaya lokal.
Pengembangan desa dalam konteks wisata menjadi desa wisata didasarkan pada
kekhasan yang dimiliki, yakni menjadikan desa sebagai obyek wisata dimana desa
meliputi sumber daya alam, masyarakat, budaya, dan segala potensi yang ada
didalamnya (Herdiana, 2019) termasuk musik. Di Indonesia, dapat dijumpai berbagai
kisah mengagumkan dimana desa wisata muncul sebagai kekuatan yang menyokong
pariwisata dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Bahkan pada tahun 2019,
empat desa di Indonesia berhasil masuk dalam 100 besar Destinasi Berkelanjutan di
Dunia versi Global Green Destinations Days (GGDD). Desa Pemuteran (Bali), Desa
Penglipuran (Bali), Desa Wisata Nglanggeran (Yogyakarta), dan Desa Pentingsari
(Yogyakarta) telah memanfaatkan sisi tradisional, budaya, alam dan kelestarian
lingkungan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Desa wisata yang
memanfaatkan musik sebagai daya tarik utama masih tergolong sedikit di Indonesia.
Pada umumnya yang banyak dijumpai adalah adalah desa wisata berbasis alam dan
budaya. Musik sekedar menjadi tempelan yang dimunculkan dalam aktivitas
pertunjukan dan festival pada desa tersebut.
Musik memiliki daya tarik yang oleh masyarakat pada umumnya (khususnya
wisatawan) dinikmati dengan caranya masing-masing. Dalam konteks wisata, musik -
khususnya musik daerah setempat, dapat menarik wisatawan untuk mendengarkan
alunan musik. Tak jarang, setelah mendengarkan alunan musik yang ditampilkan,
muncul keinginan mencoba memainkan alat musik tersebut. Berawal dari coba-coba,
lambat-laun mengarah ke keinginan untuk mempelajari alat musik, mengetahui cara
pembuatannya, dan mengetahui kisah (sejarah) kemunculan alat musik tersebut
(https://manado.tribunnews.com, 2018). Bahkan dijumpai keinginan wisatawan untuk
mengambil kursus penguasaan alat musik tradisional tersebut. Muncul keinginan untuk
menjadi profesional dalam penggunaan alat musik tersebut dan sampai membuka
sanggar musik tradisional yang dipelajari di di negara asalnya, misalnya saja Sanggar
“Bali Sekar Jaya” di Amerika.
Bukan perkara mudah untuk menjadi desa wisata - apalagi desa wisata berbasis
musik - yang berkembang dan sukses serta dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan
masyarakat. Dibutuhkan kreatifitas pengelola desa wisata, kerja keras, keterlibatan
masyarakat setempat, dukungan berbagai pihak, dan modal yang tidak sedikit.
Berdasarkan konsep Tourism Marketing 3.0 dan diselaraskan dengan arah
pengembangan Kota Ambon sebagai Kota Musik yang didasarkan pada seni dan budaya
lokal maka beberapa atraksi dan aktivitas berikut dapat menjadi piliham dalam
mendukung realisasi desa wisata berbasis musik.
Dari sisi atraksi dan aktivitas wisata, produk wisata terkait musik yang dapat
disiapkan oleh pengelola desa wisata yakni,
1. Album Musik
Pengelola desa wisata dapat menyiapkan produk album musik yang menampilkan
permainan musik tradisional yang dimainkan oleh masyarakat setempat maupun
kolaborasi dengan pihak lain. Album musik dapat menjadi sesuatu yang dibeli oleh
wisatawan ketika berkunjung. Selain untuk tujuan tujuan komersil, album musik
dapat membantu promosi desa wisata. Pengelola dapat memanfaatkan media sosial
(YouTube, Facebook, dan lain sebagainya) untuk menyebarluaskan karya mereka
kepada masyarakat umum. Telah banyak konten di Youtube yang menyajikan
beragam musik baik itu full alat musik tradisional maupun kolaborasi bersama alat
musik modern dengan beragam tema dan dengan tampilan visual yang menarik.
2. Alat Musik Tradisional
Pengelola desa wisata dapat menyiapkan produk alat musik tradisional yang
dihasilkan oleh masyarakat setempat dan dapat digunakan dalam aktivitas bermusik.
Produk ini menjadi sesuatu yang dapat dibeli oleh wisatawan.
3. Partitur Musik
Pengelola desa wisata dapat menjual partitur musik yang dihasilkan oleh
masyarakat setempat maupun hasil karya musisi-musisi di Kota Ambon. Produk ini
menjadi sesuatu yang dapat dibeli oleh wisatawan.
4. Souvenir
Pengelola desa wisata dapat menyiapkan souvenir terkait musik yang dihasilkan
oleh masyarakat setempat dan dapat dibeli oleh wisatawan, misalnya miniatur alat
musik, kalung besi putih (khas Ambon), makanan ringan, dan lain sebagainya.
5. Pusat Informasi Musik
Pengelola desa wisata dapat informasi yang memadai terkait cara penggunaan alat
musik, cara pembuatan, dan sejarah alat musik tersebut. Jika memungkinkan,
informasi ini dapat disajikan dalam pusat informasi musik tradisional dan untuk
memudahkan akses informasi dibuat dalam web. Ada baiknya jika informasi ini
terintegrasikan dengan web desa wisata yang memuat informasi tentang peket
wisata, ketersediaan akomodasi, dan akses serta informasi lainnya.
6. Tim Musik Tradisional
Pengelola desa wisata dapat menyiapkan tim musik yang berasal dari masyarakat
setempat yang siap tampil pada acara-acara tertentu yang dilakukan oleh pengelola.
Misalnya, tim musik ini dapat ditampilkan saat penyambutan wisatawan ke desa
wisata maupun saat makan wisatawan, perpisahan, dan acara-acara lainnya yang
direncanakan oleh pengelola. Dalam penampilannya, tim ini dapat berkolaborasi
dengan tim seni tari sebagai satu kesatuan.
7. Festival Musik Alam
Pengelola desa wisata dapat melaksanakan event tahunan dengan konsep festival
musik di alam bebas. Event ini menampilkan tim musik dari masyarakat setempat
dan juga berbagai artis dari berbagai genre. Pengelola dapat mengkombinasikan
beragam kegiatan selama rangkaian festival tersebut.
8. Bengkel Alat Musik
Selain menyediakan produk alat musik, pengelola desa wisata dapat menyiapkan
aktivitas pembuatan alat musik tradisional yang dihasilkan oleh masyarakat
setempat sebagai daya tarik wisata. Wistawan diajak untuk ikut membuat alat
musik tradisional mulai dari proses pencarian dan seleksi bahan baku, proses
pembuatan sampai pada tahap akhir. Konsep serupa dapat dijumpai dalam aktivitas
membatik maupun aktivitas pembuatan gerabah yang dilakukan oleh wisatawan di
Yogyakarta.
9. Suara Alam
Pengelola desa wisata dapat menyiapkan aktivitas bermusik yang dihasilkan dari
aktivitas manusia dan alam sekitar. Sebagai contoh adalah musik batu kreatif,
sebuah konsep yang dikemukakan oleh Pdt. Christian Izaac Tamaela, Ph.D (Alm.)
(https://www.youtube.com, 2018). Wisatawan diajak untuk mencari sumber musik
dari alam sekitar dan disusun menjadi suatu musik yang dapat ditampilkan.
10. Workshop Musik Tradisional
Pengelola desa wisata dapat mengadakan workshop musik tradisional yang dapat
melibatkan berbagai genre musik. Workshop ini bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman serta pengalaman pada musik tradisional dan
menghasilkan karya musik tradisional baru yang nantinya akan didokumentasikan
dan dipasarkan. Keterlibatan genre musik lain bertujuan untuk memunculkan karya
musik hasil kolaborasi lintas genre.
11. Proyek Kreasi Musik
Pengelola desa wisata dapat mengadakan program kreasi musik yang merupakan
program pelatihan dengan output yakni karya musik yang siap disebarkan maupun
ditampilkan. Konten dalam pelatihan diantaranya adalah pelatihan musik
tradisional, pelatihan musik alam, kolaborasi antar genre, penulisan partitur musik,
perekaman audio musik, pelatihan pengambilan video, pelatihan edit video, dan
beragam konten lain yang dapat ditawarkan kepada wisatawan.

Atraksi dan Aktivitas Desa Wisata Berbasis Musik


Atraksi dan Aktivitas
Pleasure Tourism (1.0) Album Musik
Alat Musik Tradisional
Partitur Musik
Souvenir
Pusat Informasi Musik
Tim Musik Tradisional
Event Tourism (2.0) Festival Musik Alam
Bengkel Alat Musik
Suara Alam
Workshop Musik Tradisional
Enrichment Tourism (3.0) Proyek Kreasi Musik

Atraksi dan aktivitas tersebut di atas dalam pelaksanaan aktivitas wisata-nya, dapat
digabungkan dengan potensi lain yang dimiliki oleh desa yakni alam, budaya, kuliner,
dan lain sebagainya, disertai dengan beragam aktivitas yang menarik. Dari sudut
pandang pariwisata, masih ada sisi aksesibilitas dan amenitas yang perlu dikaji untuk
mendukung pengembangan Kota Ambon sebagai Kota Musik. Namun dalam tulisan ini,
penulis hanya melihat sisi atraksi dan aktivitas. Semoga apa yang ditulis dapat
berkontribusi bagi pengembangan Ambon City of Music.

Daftar Pustaka
Azhar Melati Putri, D. dan Nurhidayati, H. 2018. Faktor Pendorong dan Penarik
Wisatawan terhadap Jazz Gunung Bromo sebagai Atraksi Music Tourism di
Jawa Timur. Journal of Tourism Destination and Attraction . 6, 1 (Jun. 2018),
26-38. DOI:https://doi.org/10.35814/tourism.v6i1.761.
Herdiana, D. 2019. Peran Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata Berbasis
Masyarakat. Jurnal Magister Pariwisata (JUMPA), Vol. 6, No. 1 (Juli 2019), Hal.
63-86.
Kertajaya, H. dan Nirwandar, S. 2013. Tourism Marketing 3.0. Kompas Gramedia:
Jakarta.
Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2019 tentang Ambon Kota Kreatif
Berbasis Musik.

Website:
https://ambon.antaranews.com. 2018. Sanggar Kakoya Hutumuri Lestarikan Alat Musik
Tahuri,
<https://ambon.antaranews.com/berita/43938/sanggar-kakoya-hutumuri-lestarik
an-alat-musik-tahuri> diakses pada tanggal 28 April 2020.
https://www.antaranews.com. 2007. Banyak Wisman Belajar Gamelan dan Tari Bali,
<https://www.antaranews.com/berita/57716/banyak-wisman-belajar-gamelan-da
n-tari-bali> diakses pada tanggal 30 April 2020.
https://citiesofmusic.net. 2019. Ambon - Indonesia: UNESCO City of Music since 2019,
<https://citiesofmusic.net/city/ambon/> diakses pada tanggal 20 April 2020.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id. 2019. Musik Tradisional: Kriteria Ambon Menjadi
Kota Musik Dunia,
<https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbmaluku/musik-tradisional-kriteria-a
mbon-menjadi-kota-musik-dunia/> diakses pada tanggal 28 April 2020.
https://kompas.com. 2015. Kota Ambon: Musik Pun Jadi Perekat Sosial,
<https://regional.kompas.com/read/2015/07/06/15000081/Kota.Ambon.Musik.P
un.Jadi.Perekat.Sosial> diakses pada tanggal 20 April 2020.
https://kompas.com. 2017. Bekraf Akan Ajukan Ambon sebagai "City of Music" ke
Unesco,
<https://entertainment.kompas.com/read/2017/03/10/165543110/bekraf.akan.aju
kan.ambon.sebagai.city.of.music.ke.unesco?page=all> diakses pada tanggal 21
April 2020.
https://kompas.com. 2019. 4 Desa Wisata Indonesia Masuk 100 Besar Destinasi
Berkelanjutan Dunia,
<https://travel.kompas.com/read/2019/10/29/131500127/4-desa-wisata-indonesi
a-masuk-100-besar-destinasi-berkelanjutan-dunia?page=all> diakses pada
tanggal 30 April 2020.
https://kompas.id. 2019. UNESCO Tetapkan Ambon sebagai Kota Kreatif Musik Dunia,
<https://kompas.id/baca/utama/2019/10/31/unesco-tetapkan-ambon-sebagai-kota
-kreatif-musik-dunia/> diakses pada tanggal 20 April 2020.
https://kumparan.com. 2019. Jalan Persaudaraan Lewat Festival Brass, Totobuang dan
Hadrat 2019,
<https://kumparan.com/lenteramaluku/jalin-persaudaraan-lewat-festival-brass-to
tobuang-dan-hadrat-2019-1rnrd1ZYXFF/full> diakses pada tanggal 28 April
2020.
https://manado.tribunnews.com. 2018. Turis Tiongkok Minta Kursus Kulintang,
<https://manado.tribunnews.com/2018/11/19/turis-tiongkok-minta-kursus-kolint
ang?page=2> diakses pada tanggal 28 April 2020.
https://www.cnnindonesia.com. 2018. Wisata Musik Potensi Diabaikan,
<https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180309095041-269-281666/wisa
ta-musik-potensi-yang-diabaikan> diakses pada tanggal 22 April 2020.
https://www.lonelyplanet.com. 2020. Vienna in detail: City of Music,
<https://www.lonelyplanet.com/austria/vienna/background/other-features/5d9ea
4cb-fd0d-4eca-80a7-4e58161aecf9/a/nar/5d9ea4cb-fd0d-4eca-80a7-4e58161aecf
9/358656> diakses pada tanggal 22 April 2020.
https://www.satumaluku.id. 2020. Ambon Music Office Programkan Negeri Tuni dan
Amahusu Jadi Desa Musik,
<https://www.satumaluku.id/2020/01/23/ambon-musik-office-programkan-neger
i-tuni-dan-amahasu-jadi-desa-musik/> diakses pada tanggal 22 April 2020.
https://www.youtube.com. 2018. Musik Batu Kreatif dari Maluku (Maeluku) Oleh
Christian Izaac Tamaela, Ph.D,
<https://youtu.be/5wmKo4oNKaQ> diakses pada tanggal 5 Mei 2020.
https://www.youtube.com. 2020. Babenka - Cerita Om Ronny Lopies Tentang Proses
Ambon Menjadi Kota Kreatif Berbasis Musik,
<https://youtu.be/T8GNsrMiIgY> diakses pada tanggal 23 April 2020.

Anda mungkin juga menyukai