Diabetes insipidus adalah suatu masalah kesehatan yang ditandai dengan kerap merasa haus dan
lebih sering buang air kecil dengan volume yang lebih banyak, bahkan bisa mencapai 20 liter dalam
satu hari. Meski memiliki gejala yang mirip dengan diabetes melitus, tetapi dua kondisi ini ternyata
memiliki perbedaan yang sangat signifikan.
Baik diabetes insipidus maupun diabetes melitus memang menimbulkan gejala lebih sering minum
dan buang air kecil. Meski demikian, diabetes insipidus tidak memiliki hubungan dengan kadar gula
darah, tidak seperti diabetes melitus. Proses terjadinya diabetes insipidus juga tidak ada
hubungannya dengan pola makan maupun gaya hidup seperti diabetes melitus.
Diabetes insipidus menjadi masalah kesehatan yang bisa dibilang jarang terjadi. Diduga, penyakit ini
hanya menyerang satu dari 25 ribu orang.
Hormon antidiuretik atau ADH merupakan hormon yang berperan untuk membatasi pembuangan
cairan tubuh berupa urine dilihat dari tingkat kebutuhan cairan tubuh. Apabila tubuh memerlukan
cairan lebih banyak, hormon ini akan mulai bekerja dan tubuh bisa memproduksi urine lebih sedikit.
Diabetes insipidus bisa muncul saat tubuh mengalami kekurangan hormon ADH atau apabila kinerja
hormon tersebut mengalami gangguan. Artinya, semua keadaan yang menjadi penyebab kurangnya
atau terganggunya kinerja hormon ini bisa berujung pada diabetes insipidus. Adapun penyebab
diabetes insipidus dilihat dari jenisnya:
Disebut juga diabetes insipidus sentral, diabetes insipidus kranial terjadi karena kerusakan pada
kelenjar pituitari atau hipotalamus. Bagian ini berfungsi untuk membuat hormon ADH, sementara
kelenjar pituitari bertugas untuk menyimpan hormon tersebut. Rusaknya kelenjar pituitari atau
hipotalamus akan mengakibatkan terganggunya produksi ADH. Penyebabnya bisa karena:
Tumor otak.
Terjadinya kerusakan pada otak karena kurangnya aliran darah maupun oksigen, seperti saat
mengalami stroke atau tenggelam.
Namun, sepertiga dari semua kasus diabetes insipidus kranial tidak diketahui penyebabnya. Diduga,
ini karena adanya masalah autoimun, suatu kondisi ketika sistem imunitas tubuh mengalami
masalah dan menyerang sel sehat yang membuat hormon ADH.
Jenis diabetes insipidus ini terjadi karena kelainan pada struktur organ ginjal, sehingga organ
tersebut tidak mampu merespons hormon ADH dengan optimal. Masalah ini bisa terjadi karena
kelainan genetik yang terjadi sejak lahir atau congenital nephrogenic diabetes insipidus.
Tak hanya itu, diabetes insipidus jenis ini juga bisa terjadi karena masalah kesehatan lain yang
muncul setelah seseorang berusia dewasa atau acquired nephrogenic diabetes insipidus. Misalnya:
Diabetes insipidus dipsogenik disebabkan karena masalah pada pengiriman sinyal dari otak yang
berkaitan dengan rasa haus. Hal ini membuat pengidapnya selalu merasa haus dan minum dalam
jumlah lebih banyak, bahkan melebihi kebutuhan harian tubuhnya. Tak berbeda dengan diabetes
insipidus kranial, jenis diabetes insipidus ini juga terjadi karena:
Tumor otak.
Selain itu, diabetes insipidus dipsogenik atau polidipsia primer juga diyakini berhubungan dengan
konsumsi obat tertentu atau kelainan mental, seperti skizofrenia.
Diabetes Insipidus Gestasional
Diabetes insipidus gestasional hanya terjadi pada ibu hamil. Masalah kesehatan ini muncul saat
plasenta memproduksi enzim yang mengakibatkan kerusakan pada hormon ADH. Tak hanya itu,
produksi hormon prostaglandin yang mengalami peningkatan turut mengakibatkan ginjal menjadi
kurang sensitif terhadap hormon ADH. Kondisi ini bisa dibilang jarang terjadi dan bisa membaik
setelah ibu melahirkan. Meski demikian, tetap perlu waspada karena masalah kesehatan ini bisa
berulang pada kehamilan berikutnya.
Umumnya, pengidap diabetes insipidus akan mengalami beberapa gejala berikut ini.
Sering bangun pada malam hari hanya untuk buang air kecil atau justru mengompol saat tidur.
Sementara itu, diabetes insipidus yang menyerang bayi dan anak cenderung lebih sulit dikenali,
terlebih pada anak yang belum dapat berkomunikasi dengan baik. Meski demikian, bayi dan anak
yang menunjukkan diabetes biasanya mengalami beberapa gejala berikut:
Susah tidur.
Diagnosis
Guna mendapatkan diagnosis yang lebih akurat, dokter akan memberikan beberapa pertanyaan
terkait gejala dan riwayat kesehatan pengidap serta keluarga. Selanjutnya, akan dilakukan
pemeriksaan fisik guna mengetahui apabila ada tanda dehidrasi, misalnya kulit kering. Jika memang
diperlukan, dokter akan menyarankan pengidap melakukan pemeriksaan lanjutnya, seperti:
Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tingkat kepekatan maupun keenceran urine. Dokter akan
meminta pengidap menampung urine dalam satu hari, sehingga bisa diketahui berapa banyak urine
yang keluar selama 24 jam.
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kadar gula dalam darah dan kadar elektrolit.
Pemeriksaan darah bisa membantu dokter mengetahui apakah keluhan lebih sering minum dan
buang air kecil memang disebabkan karena diabetes insipidus atau diabetes melitus. Melalui
pemeriksaan kadar ADH di dalam darah, dokter juga bisa menentukan jenis diabetes insipidus yang
dialami pengidap.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur kadar sodium dalam darah, berat badan, dan volume
urine setelah pengidap tidak minum untuk beberapa waktu. Dokter juga dapat melakukan
pengukuran kadar ADH dalam darah atau memberikan tambahan ADH dalam bentuk sintetis selama
pemeriksaan berlangsung.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana reaksi tubuh pengidap setelah
mendapatkan suntikan hormon ADH. Prosedur hormon antidiuretik akan dilakukan setelah pengidap
menjalani pemeriksaan deprivasi air. Apabila suntikan hormon ADH bisa membantu mengurangi
produksi urine, pengidap memiliki diabetes insipidus karena defisiensi ADH.
Sementara itu, apabila pengidap tetap berkemih lebih banyak meski telah mendapatkan suntikan
hormon, masalah bisa berasal dari organ ginjal atau diabetes insipidus nefrogenik.
MRI
Apabila pengidap diduga mengalami diabetes insipidus kranial karena kerusakan pada kelenjar
pituitari atau hipotalamus, dokter akan melakukan MRI untuk mendapatkan diagnosis yang lebih
akurat. Melalui pemeriksaan ini, dokter dapat mengetahui penyebab terjadinya kerusakan.
Komplikasi
Apabila tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya, diabetes
insipidus bisa berujung pada komplikasi yang cukup serius, di antaranya:
Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Elektrolit merupakan mineral seperti sodium, kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat yang
berada di dalam darah. Semua mineral tersebut memiliki peran penting dalam menjaga
keseimbangan cairan di dalam tubuh sekaligus berperan dalam fungsi sel. Apabila tubuh mengalami
defisiensi elektrolit, gejala yang muncul berupa:
Sakit kepala.
Dehidrasi
Dehidrasi
Tubuh pengidap diabetes insipidus tak mampu mempertahankan kadar cairan tubuh yang normal.
Dampaknya, pengidap sangat rentan mengalami dehidrasi yang ditandai dengan kondisi berikut:
Sakit kepala.
Dehidrasi ringan bisa ditangani dengan mengonsumsi oralit. Namun, dehidrasi yang parah perlu
segera ditangani di rumah sakit untuk mendapatkan tambahan cairan melalui infus.
Pengobatan
Diabetes insipidus kranial dikatakan ringan apabila pengidap berkemih sebanyak 3 hingga 4 liter
sehari. Kondisi ini tidak membutuhkan penanganan khusus. Meski begitu, gejala bisa dikurangi
dengan mengonsumsi air putih setidaknya sebanyak 2,5 liter setiap hari untuk mencegah terjadinya
dehidrasi.
Sementara itu, pengidap diabetes insipidus kranial berat akan ditangani dengan pemberian obat
yang fungsinya serupa dengan hormon antidiuretik atau ADH. Obat yang disebut desmopressin ini
memiliki tujuan mengontrol produksi urine, mencegah dehidrasi, dan menjaga kadar cairan tubuh.
Perlu diingat bahwa konsumsi desmopressin berlebihan dapat berdampak pada penumpukan cairan
tubuh dan kadar sodium di dalam darah menjadi lebih rendah. Kondisi ini tentu sangat berbahaya,
sehingga dianjurkan untuk tidak mengonsumsi obat tersebut tanpa resep dokter.
Pengobatan diabetes nefrogenik bertujuan untuk mengurangi produksi urine pada organ ginjal.
Biasanya, dokter akan menganjurkan pengidap untuk mengonsumsi makanan rendah garam dan
mengonsumsi air putih lebih banyak untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Apabila kondisi yang terjadi disebabkan karena penggunaan lithium, dokter akan menghentikan
pemakaian obat tersebut dan meresepkan obat lain untuk menggantikannya. Sementara itu, untuk
membantu meredakan gejala yang muncul, dokter bisa meresepkan beberapa obat lainnya untuk
membantu menurunkan produksi urine sehingga frekuensi berkemih pun akan berkurang.
Sayangnya, tidak ada metode penanganan yang spesifik untuk mengatasi masalah diabetes insipidus
dipsogenik. Meski begitu, pengidap bisa mengonsumsi permen untuk membantu meningkatkan
produksi air liur, sehingga keinginan untuk minum bisa dikurangi. Sementara pada pengidap yang
sering terbangun pada malam hari untuk berkemih, dokter bisa meresepkan obat desmopressin
dalam dosis yang rendah.
Lalu, untuk kasus diabetes insipidus dipsogenik yang terjadi karena masalah mental tertentu, dokter
akan merujuk pengidap ke ahli kesehatan jiwa supaya masalah kesehatan mental bisa ditangani
terlebih dahulu.
Pengidap diabetes insipidus gestasional akan ditangani dengan obat desmopressin selama
kehamilan. Setelah melahirkan, biasanya kondisi ini akan membaik dengan sendirinya, sehingga
pengobatan atau konsumsi obat desmopressin sudah tidak diperlukan.