Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Icu


1. Defenisi ICU
ICU adalah ruang rawat di rumah sakit yang dilengkapi dengan staf dan
peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa
oleh kegagalan atau disfungsi satu organ atau ganda akibat penyakit, bencana
atau komplikasi yang masi ada harapan hidupnya (Reversible), (Monosari,
2016).
Dalam mengelola pasien ICU, diperlukan dokter ICU yang memahami
teknologi kedokteran,fisiologi, farmakologi dan kedokteran konvensional
dengan kolaborasi erat bersama perawat terdidik dan terlatih untuk critical
care. Pasien yang semula dirawat karena masalah bedah / trauma dapat
berubah menjadi problem medik dan sebaliknya (Monosari, 2016).
2. Sejarah ICU
ICU mulai muncul dari ruang pulih sadar paska bedah pada tahun 1950.
ICU modern berkembang dengan mencakup penanganan respirasi dan
jantung menunjang ftal organ dan penanganan jantung koroner mulai tahun
1960. Pada tahun 1970, perhatian terhadap ICU di Indonesia semakin besar,
(ICU pertama kali adalah RSCM Jakarta), terutama dengan adanya penelitian
tentang proses patofisiologi, hasil pengobatan pasien kritis dan program
pelatihan ICU. Dalam beberapa tahun terakhir ICU mulai menjadi spesialis
tersendiri, baik untuk dokter maupun perawatnya (Khusna, 2017).
3. Level ICU
1) Level I (di Rumah Sakit Daerah dengan Tipe C dan D)
Pada rumah sakit di daerah yang kecil, ICU lebih tepat disebut sebagai
Unit Ketergantungan Tinggi (High Dependency). Di ICU Level I ini
dilakukan obsevasi perawatan ketat dengan monitor EKG, resusitasi
segera dapat dikerjakan, tetapi ventilator hanya diberikan kurang dari 24
jam.
2) Level II
ICU Level II mampu melakukan ventilasi jangka lama, punya dokter
residen yang selalu siap di tempat dan mempunyai hubungan dengan
fasilitas fisioterapi, patologi dan radiologi. Bentuk fasilitas lengkap untuk
menunjang kehidupan (misalnya dialisis), monitor invasif (monitor
tekanan intrakarnial) dan pemeriksaan canggih (Ct Scan) tidak perlu harus
selalu ada.
3) Level III
ICU Level III biasanya pada rumah sakit Tipe A yang memiliki semua
aspek yang dibutuhkan ICU agar dapat memenuhi peran sebagai rumah
sakit rujukan. Personil di ICU Level III meliputi intensivist dengan trainee,
perawat spesialis, profesional kesehatan lain, staf ilmiah dan sekretariat
yang baik. Pemeriksaan canggih tersedia dengan dukungan spesialis dari
semua disiplin ilmu (Khusna, 2017).
4. Fungsi ICU
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :
1) ICU medik
2) ICU trauma/ bedah
3) ICU umum
4) ICU pediatrik
5) ICU neonatus
6) ICU respiratorik
Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengelola
pasien yang sakit kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia
umumnya berbentuk ICU umum, dengan pemisahan untuk ICCU (jantung),
unit dialisis dan neonatus ICU. Alasan umum untuk hal ini adalah segi
ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi peralatan dan
pelayanan dibandingkan pemisahan antara ICU medik dan bedah (Khusna,
2017).
5. Tipe, Ukuran dan Lokasi ICU
Jumlah bed ICU rumah sakit idealnya adalah 1-4 % dari kapasitas bad rmah
sakit. Jumlah ini tergantung pada peran dan Tipe ICU. Lokasi ICU sebaiknya
di wilayah penanggulangan gawat darurat (Critical Care Area), jadi di ICU
harus berdekatan dengan Unit Gawat Darurat, kamar bedah, dan akses
laboratorium dan radiologi. Transportasi dari semua aspek tersebut harus
lancar, baik untuk alat maupun untuk tempat tidur (Khusna, 2017).
1) Ruang pasien
Setiap pasie membutuhkan wilayah tempat tidur seluas 18,5 M2. Untuk
kamar isolasi perlu ruangan yang lebih luas. Perbandingan ruang terbuka
dengan kamar isolasi tergantung pada jenis rumah sakit.
2) Fasilitas bed
Untuk ICU Level III, setiap bed dilengkapi dnegan 3 colokan oksigen, 2
udara tekan, 4 penghisap dan 16 sumber listrik dengan lampu penerangan.
Peralatan tersebut dapat menempel di dindin atau menggantung di plafon.
3) Monitor dan Emergency Troli
Monitor dan emergency troli harus mendapat tempat yang cukup di pusat
siaga, sebaiknya ditempatkan sentral monitor, obat-obatan yang
diperlukan, catatan medik, telepon dankomputer.
4) Tempat cuci tangan
Tempat cuci tangan harus cukup memudahkan dokter dan perawat untuk
mencapainya setiap sebelum dan sesudah bersentuhan dengan pasien (bila
memungkinkan 1 tempat tidur mempunyai 1 wastafel).
5) Gudang dan tempat tidur.
Gudang meliputi 25-30 % dari luas ruangan pasien dan pusat siaga
petugas, barang bersih dan kotor harus terpisah.
6. Peralatan
Jumlah dan tingkat peralatan tergantung pada peran dan tipe ICU. ICU
Level I dan II peralatannya akan lebih sederhana dibandingkan dengan ICU
Level III, misalnya monitor samping bed di ICU Level I dan II cukup 2
saluran, sedangkan di ICU Level III minimal 4 saluran (Khusna, 2017).
7. Peralatan
Tenaga dokter, perawat, paramedik lain dan tenaga non medik tergantung
pada level ICU dan kebutuhan masing-masing ICU. Peran perawat di ICU
dapat diperluas dalam menangani pasien-pasien di ICU, antara lain :
1) Dalam proses sapih ventilator dapat menyesuaikan frekuensi nafas atau
tekanan, dengan mengacu pada data laboratorium atau monitor bed sede.
2) Dalam pengobatan sedatif, analgesik, insulin dan obat lain dapat dilakukan
berdasarkan data klinis dan laboratorium.
3) Menghadapi kasus hipotensi dapat melakukan challenge test.
4) Aspek lain pada fungsi perawat di ICU adalah perawat dapat bertindak
dalam segi administrasi, fisioterapis dan pengawas ruangan (Khusna,
2017).
8. Etik di ICU
Etik dalam penanganan pasien riset, dan hubungan dengan kolega harus
dilaksanakan secara cermat. Etik di ICU perlu dipertimbangkan berbeda
dengan etik di pelayanan kesehatan atau bangsal lain. Terkadang muncul
kontroversi etik dalam legislatis moral di ICU, misalnya tentang euthanasia
(Khusna, 2017).
9. Prosedur masuk ICU
Pasien yang masuk ICU dikirim oleh dokter disiplin lain di luar ICU
setelah berkonsultasi dengan dokter ICU. Konsultasi sifatnya tertulis, tetapi
dapat juga didahului secara lisan (misalnya lewat telepon), terutama dalam
keadaan mendesak, tetapi harus segera diikuti dengan konsultasi tertulis,
keadaan yang mengancam jiwa akan menjadi tanggung jawab dokter
pengirim.
Transportasi ke ICU masih menjadi tanggung jawab dokter pengirim,
kecuali transportasi pasien masih perlu bantuan khusus dapat dibantu oleh
pihak icu. Sselama pengobatan di ICU maka dimungkinkan untuk konsultasi
dengan berbagai spesialis diluar dokter pengirim atau dokter ICU bertindak
sebagai koordinator terhadap pasien atau keluarga pasien wajib diberikan
penjelasan tentang perlunya masuk ICU dengan segala konsekuensinya
dengan menandatangani informed concern (Khusna, 2017).
10. Indikasi masuk ICU
Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam
jiwanya sewaktu-waktu karena kegagalan atau disfungsi satu atau multiple
organ atau sistem dan masih ada kemungkinan dapat disembuhkan kembali
melalui perawatan, pemantauan dan pengobatan intensif. Selain adanya
indikasi medik tersebut, masih ada indikasi sosial yang memungkinkan
seorang pasien dengan kekritisan dapat dirawat di ICU (Khusna, 2017).
11. Kontraindikasi masuk ICU
Yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah pasien dnegan penyakit yang
sangat menular, misalnya gas gangren. Pada prinsipnya pasien yang masuk
ICU tidak boleh ada yang mempunyai riwayat penyakit menular (Khusna,
2017).
12. Kriteria keluar dari ICU
Pasien tidak perlu lagi berada di ICU apabila :
1) Meninggal dunia
2) Tidak ada kegawatan yang mengancam jiwa sehingga dirawat diruang
biasa atau dapat pulang.
3) Atas permintaan keluarga atau pasien, untuk kasus seperti ini keluarga atau
pasien harus menandatangani surat keluar ICU atas permintaan sendiri
(Khusna, 2017).
13. Perlakuan terhadap pasien ICU
Pasien di ruang ICU berbeda dengan pasien diruang rawat inap biasa,
karena pasien ICU mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
perawat dan dokter. Di ICU pasien kritis atau kehilangan kesadaran atau
mengalami kelumpuhan sehingga sesuatu yang terjadi dalam diri pasien
hanya dapat diketahui melalui monitor yang baik dan teratur. Perubahan yang
tejadi harus dianalisa secara cermat untuk mendapati tindakan yang cepat dan
tepat (Khusna, 2017).
14. Tujuan akhir pengobatan ICU
Hasil yang paling baik dari pengobatan di ICU adalah keberhasilan dalam
mengembalikan pasien pada aktifitas kehidupan sehari-hari seperti keadaan
sebelum pasien sakit, tanpa efek atau cacat (Khusna, 2017).
15. Reaksi pasien dan keluarga pasien ICU
Reaksi pasien di ICU antara lain kecemasan, ketidakberdayaan,
disorientasi dan kesulitan komunikasi. Untuk meminimalkan reaksi negatif
dari pasien ICU dapat dilakukan beberapa hal, antara lain :
1) Memberikan penjelasan setiap akan melakukan tindakan
2) Memberikan sedasi atau analgesi bila perlu
3) Keluarga dapat diijinkan bertemu pasien untuk memberikan dukungan
moral
4) Diberikan alat bantu semaksimal mungkin, keluarga pasien juga dapat
mengalami hal serupa dengan pasien, antara lain cemas, sampai dengan
insomnia. Untuk meminimalkan reaksi negatif keluarga pasien dapat
dilakukan bebrapa hal, antara lain :
a) Dapat dibuatkan selebaran / pamflet tentang ICU
b) Penjelasa tentang kondisi terkini pasien
c) Keluarga pasien dapat diikutkan pada konferensi klinik bersama semua
staf dan perawat (Khusna, 2017).
16. Pengelolaan pasien ICU
1) Pendekatan pasien ICU
a) Anamnesa
Sering kali pasien sebelum masuk ICU sudah mendapat tindakan
pengobatan sebelum diagnosis definitif ditegakkan.
b) Serah terima pasien
Untuk mengetahui riwayat tindakan pengobatan sebelumnya dan
sebagai bentuk aspek legal.
c) Pemeriksaan fisik
Meliputi pemeriksaan fisik secara umum, penilaian neurologi, sistem
pernafasan, kardiovaskuler, gastro intestinal, ginjal dan cairan, anggota
gerak, haematologi dan posisi pasien.
d) Kajian hasil pemeriksaan
Meliputi biokimia, hematologi, gas darah, monitoring TTV, foto
thorax, ct scan,efek pengobatan.
e) Identifikasi masalah dan strategi penanggulangan
f) Informasi kepada keluarga
2) Pemeriksaan fisik
Walaupun keadaan stabil, pasien tetap harus dilakukan pemeriksaan fisik :
a) ABC
b) Jalan nafas dan kepala
c) Sistem pernafasan
d) Sistem sirkulasi
e) Sistem gastrointestinal
f) Anggota gerak
g) Monitoring rutin
h) Intubasi da pengelolaan trakhea
i) Cairan : dehidrasi
j) Perdarahan gastrointestinal
k) Stress ulcer dapat merupakan kompensasi dari penyakit akut.
l) Nutrisi
m) Utamakan pemberian nutrisi enteral
n) Usia lanjut
o) Cadangan fisiologi terbatas
p) Peningkatan penyakit penyerta
q) Riwayat pemakaian obat
r) Riwayar perokok, alkhololisme, obat-obatan
s) Interaksi obat pada usia lanjut (Khusna, 2017).

B. Konsep Dasar Ca Tiroid


1. Defenisi
Ca tiroid adalah suatu keganasan pada tiroid yang memiliki 4 tipe yaitu
papiler, folikuler, anaplastik dan meduler. Ca tiroid jarang menyebabkan
pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul)
dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kelenjar
tiroid bisa disembuhkan. Ca tiroid sering kali membatasi kemampuan
menyerap yodium dan membatasai kemampuan menghasilkan hormon tiroid,
tetapi kadang menghasilkan cukup banyak hormon tiroid sehingga terjadi
hipertiroidisme.
2. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini belum pasti, yang berperan khususnya untuk
terjadi well differentiated (papiler dan folikuler) adalah radiasi dan goiter
endemis, dan untuk jenis meduler adalah factor genetik. Belum diketahui
suatu karsinoma yang berperan untuk kanker anaplastik dan meduler.
Diperkirakan kanker jenis anaplastik berasal dari perubahan ca tiroid
berdiferensia baik (papiler dan folikuler) dengan kemungkinan jenis folikuler
dua kali lebih besar.
Radiasi merupakan salah satu faktor etiologi ca tiroid. Banyak kasus
kanker pada anak-anak sebelumnya mendapatkan radiasi pada kepala dan
leher karena penyakit lain. Biasanya efek radiasi timbul setelah 5-25 tahun,
tetapi rata-rata 9-10 tahun. Stimulasi THS yang lama juga merupakan salah
satu faktor etiologi ca tiroid. Faktor resiko lainnya adalah adanya riwayat
keluarga yang menderita ca tiroid dan gondok menahun.
3. Manifestasi Klinis
Kecurigaan klinis adanya ca tiroid didasarkan pada observasi yang
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan patologis dan dibagi dalam kecurigaan
tinggi, sedang dan rendah.
Yang termasuk kecurigaan tinggi adalah :
a) Riwayat neoplasma endokrin multiple dalam keluarga
b) Pertumbuhan tumor cepat
c) Nodul teraba keras
d) Fiksasi daerah sekitar
e) Paralisis pita suara
f) Pembesaran kelenjar limpa regional
g) Adanya metastasis jauh
Kecurigaan sedang adalah :
a) Usia <20 tahun atau >60 tahun
b) Riwayat radiasi leher
c) Jenis kelamin pria dengan nodul soliter
d) Tidak jelas adanya fiksasi daerah sekitar
e) Diameter lebih besar dari 4 cm dan kistik
Kecurigaan rendah adalah tanda dan gejala diluar/selain yang disebutkan
diatas.
Gejala klinis yang dijumpai dapat berupa penekanan organ sekitar,
gangguan dan rasa sakit waktu menelan, sulit bernafas, suara serak,
limfadenopati leher serta dapat terjadi merastasi jauh. Paling sering ke paru-
paru, tulang dan hati.
4. Patofisiologi
Neoplasma tiroid sering timbul sebagai pembesaran tiroid yang diskret.
Kadang-kadang mirip goiter noduler jinak. Nodule-nodule tiroid dapat diraba,
kebanyakan nodule tersebut jinak, namun beberapa nodule goiter bersifat
karsinoma. Untuk menentukan apakah nodule tiroid ganas atau tidak, harus
dinilai faktor-faktor resiko dan gambaran klinis massa tersebut, dan harus
dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium.
Carsinoma tiroid biasanya kurang menangkap yodium radioaktif
dibandingkan kelenjar tiroid normal yang terdapat disekelilingnya. Dengan
cara scintiscan. Nodule akan tampak sebagai suatu daerah dengan
pengambilan yodium radioaktif yang berkurang, tehnik yang lain adalah
dengan echografi tiroid untuk membedakan dengan cermat massa padat dan
massa kistik. Ca tiroid biasanya padat, sedangkan massa kistik biasanya
merupakan kista jinak. Carsinoma tiroid harus dicurigai berdasarkan tanda
klinis jika hanya ada satu nodule yang teraba, keras, tidak datap digerakkan
pada dasarnya dan berhubungan dengan limfadenopati satelit.
Ca tiroid secara klinis dapat dibedakan menjadi satu kelompok besar
neoplasma berdiferensiasi baik dengan kecepatan pertumbuhan yang lambat
dan kemungkinan penyembuhan yang tinggi, dan suatu kelompok kecil tumor
anaplastik dengan kemungkinan fatal.
5. WOC
Terapi penyinaran di kepala, leher, dada, riwayat keluarga, endomis, konsumsi
minim yodium

Timbul neoplasma, pertumbuhan kecil (nodul) di kelenjar tiroid

Hipotalamus melepas TRH

Hipofisis anterior akan merangsang peningkatan sekresi TSH

T3, T4, Kalsitonin meningkat

Massa tiroid meningkat, berdisferensi

Ca Tiroid

Pembengkakan laring Menyebar melalui aliran darah


dan saluran getah bening
Prosedur invasif Metastase sel kanker ke Meluas dengan
Cedera pita suara, serak
(pembedahan) jantung metastase ke paru-paru

Hambatan Penumpukan cairan di Hipersekresi kelenjar


Risiko Infeksi Nyeri Akut rongga perikardium
komunikasi verbal mukus

Penurunan pengisian Produksi sputum


Intoleransi Aktivitas jantung meningkat

Ketidakmampuan
memenuhi ADLs Cardiac outut menurun Obstruksi jalan nafas

Defisit Perawatan
Penurunan aliran darah Ketidakefektifan
Diri
skemik bersihan jalan nafas

Risiko penurunan
curah jantung
6. Klasifikasi
Klasifikasi ca tiroid menurut WHO :
a) Carsinoma Papilar
Merupakan tipe ca tiroid yang sering ditemukan, banyak pada wanita
atau kelompok usia diatas 40 tahun. Ca papilar merupakan tumor yang
perkembangannya lambat dan dapat muncul bertahun-tahun sebelum
menyebar ke daerah limpa. Ketika tumor terlokalisir di kelenjar tiroid,
prognosisnya baik apabila dilakukan tindakan tiroidektomi parsial atau
total.
b) Carsinoma Folikuler
Terdapat kira-kira 25% dari seluruh ca tiroid yang ada, terutama
mengenai kelompok usia 50 tahun menyerang pembuluh darah yang
kemudian menyebar ke tulang dan jaringan paru. Jarang menyebar ke
daerah nodes limpa tapi dapat melekat/menempel di trakea, otot, leher,
pembuluh darah besar dan kulit, yang kemudian menyebabkan dispnea
serta disfagia. Bila tumor mengenai “The Recurrent Laringeal Nerves”,
suara klien menjadi serak. Prognosisnya baik bila metastasenya masih
sedikit pada saat diagnosa ditetapkan.
c) Carsinoma Medular
Timbul di jaringan tiroid parafolikular, banyaknya 5-10% dari seluruh
ca tiroid dan umumnya mengenai orang yang berusia diatas 50 tahun.
Penyebarannya melewati nodes limpa dan menyerang struktur di
sekelilingnya. Tumor ini sering terjadi dan merupakan bagian dari
Multiple Endocrine Neoplasia (MEN) Tipe ii yang juga bagian dari
penyakit endokrin, dimana terdapat sekresi yang berlebihan dari
kalsitonin, ACTH, prostaglandin dan serotonin.
d) Carsinoma Anaplastik
Merupakan tumor yang berkembang dengan cepat dan luar biasa
agresif. Kanker jenis ini secara langsung menyerang strukstur yang
berdekatan, yang menimbulkan gejala seperti :
1) Stridor (suara serak/parau, suara nafas terdengar nyaring)
2) Suara serak
3) Disfagia
Prognosisnya jelek dan hampir sebagian besar klien meninggal kira-kira
1 tahun setelah diagnosa ditetapkan. Klien dengan diagnosa carsinoma
anaplastik dapat diobati dengan pembedahan paliatif, radiasi dan
kemotrapi.
7. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Human thyroglobulin, suatu petanda tumor (tumor marker) untuk
keganasan tiroid, jenis yang berdiferensiasi baik, terutama untuk follo
up.
b) Pemeriksaan kadar FT4 dan TSHS untuk menilai fungsi tiroid
c) Kadar calcitonin hanya untuk pasien yang dicurigai carsinoma meduler
2) Pemeriksaan radiologis
a) Dilakukan pemeriksaan foto paru posteroanterior, untuk menilai ada
tidaknya metastasis. Foto polos leher antero-posterior dan lateral
dengan mode soft tissue technique dengan posisi leher hiperekstensi,
bila tumornya besar, untuk melihat ada tidaknya mikrokalsifikasi
b) Esofagogram dilakukan bila secara klinis terdapat tanda-tanda adanya
infiltrasi ke esefagus
c) Pembuatan foto tulang dilakukan bila ada tanda-tanda metastasis ke
tulang yang bersangkutan
3) Pemeriksaan ultrasonografi
Diperlukan untuk mendeteksi nodule yang kecil atau nodule di
posteriuor yang secraa klinis belum dapat di palpasi. Disamping itu dapat
dipakai untuk membedakan nodul yang padat dan kistik serta dapat
dimanfaatkan untuk penuntun dalam tindakan biopsi aspirasi jarum halus.
4) Pemeriksaan sidik tiroid
Bila nodul menangkap yodium lebih sedikit dari jaringan tiroid yang
normal disebut nodul dingin (cold nodule), bila sama afinitasnya maka
disebut nodul hangat (warm nodule) dan bila anfinitasnya lebih maka
disebut nodul panas (hot nodule)
5) Pemeriksaan sitologi melalui biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH)
Ketetapan pemeriksaan sitologi untuk ca tiroid anaplastik, medulare dan
papilare hampir mendekati 100% tetapi untuk jenis folikuler hampir tidak
dapat dipakai karena gambaran sitologi untuk aasenomatous goiter,
adenoma folikuler dan adeno karsinoma folikuler adalah sama, tergantung
dari gambaran invasi ke kapsil dan vaskuler yang hanya dapat dilihat dari
gambaran histopatologi.
6) Pemeriksaan histopatologi
Merupakan pemeriksaan diagnostik utama jaringan diperiksa setelah
dilakukan tindakan lobektomi atau isthmolobektomi. Secara klinis, nodul
tiroid dicurigai ganas apabila :
a) Usia dibawah 20 tahun atau diatas 50 tahun
b) Riwayat radiasi daerah leher sewaktu kanak-kanak
c) Disfagia, sesak nafas, perubahan suara
d) Nodul soliter, pertumbuhan cepat, konsistensi keras
e) Ada pembesaran kelenjar getah bening leher
f) Ada tanda-tanda metastasis jauh
8. Penatalaksanaan Medis
1) Therapi radiasi (chemotherapi)
2) Operasi (tiroidectomi partial) maupun seluruhnya (tiroidectomi total)
Peran perawat adalah dalam penatalaksanaan pre-operatif, intra operatif
dan post operatif
1) Penatalaksanaan Pre Operatif yang perlu dipersiapkan adalah :
a) Inform Concern (surat persetujuan operasi) yang telah ditanda tangani
oleh penderita atau penanggung jawab penderita
b) Keadaan umum meliputi semua sistem tubuh terutama sistem
respiratory dan cardiovaskuler
c) Hasil pemeriksaan / data penunjang serta hasil biopsy jaringan jika ada
d) Persiapan mental dengan suport mental dan pendidikan kesehatan
tentang jalannya operasi oleh perawat dan suport mental oleh
rohaniawan
e) Konsul anastesi untuk kesiapan pembiusan
f) Sampaikan hal-hal yang mungkin terjadi nanti setelah dilakukan
tindakan pembedahan terutama jika dilakukan tiroidectomi total
berhubungan dnegan minum suplemen hormone tiroid seumur hidup
2) Penatalaksanaan Intra Operatif
Peran perawat hanya membantu kelancaran jalannya operasi karena
tanggung jawab sepenuhnya dipegang oleh Dokter operator dan Dokter
anastesi.
3) Penatalaksanaan Post Operatif (di ruang sadar)
a) Observasi tanda-tanda vital pasien (GCS) dan jaga tetap stabil
b) Observasi adanya perdarahan serta komplikasi post operasi
c) Dekatkan peralatan Emergency Kit atau paling tidak mudah dijangkau
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan atau terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan
d) Sesegera mungkin beri tahu penderita jika operasi telah selesai
dilakukan setelah penderita sadar dari pembiusan untuk lebih
menenangkan pasien
e) Lakukan perawatan lanjutan setelah pasien pindah keruang perawatan
umum
9. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian perawatan ca tiroid
a) Riwayat kesehatan klien dan keluarga
Sejak kapan klien menderita penyakit tersebut dan apakah ada anggota
keluarga yang menderita penyakit yang sama
b) Kebiasaan hidup sehari-hari seperti pola makan, pola tidur (klien
menghabiskan banyak waktu untuk tidur), pola aktivitas
c) Tempat tinggal klien sekarang pada waktu balita
d) Keluhan utama klien, mencakup gangguan pada berbagai sistem tubuh:
1) Sistem pulmonary
2) Sistem pencernaan
3) Sistem kardiovaskuler
4) Sistem musculoskeletal
5) Sistem neurologik dan emosi/psikologis
6) Sistem reproduksi
7) Meabolik
e) Pemeriksaan fisik mencakup :
1) Penampilan secara umum, amati wajah klien terhadap adanya
edema disekitar leher, adanya nodule yang membesar disekitar
leher
2) Perbesaran jantung, distritmia dan hipotensi, nadi turun, kelemahan
fisik
3) Parastesia dan reflek tendon menurun
4) Suara parau dan kadang sampai tak dapat mengeluarkan suara
5) Bila nodule besar dapat menyebabkan sesak nafas
f) Pengkajian psikososial
1) Klien sangat sulit membina hubungan sosial dengan
lingkungannya, mengurung diri/ bahkan mania
2) Keluarga mengeluh klien sangat malas beraktivitas, dan ingin tidur
sepanjang hari
3) Kajilah bagaimana konsep diri klien mencakup kelima komponen
konsep diri
g) Pengkajian yang lain menyangkut terjadinya hipotiroidime atau
hipertiroidisme
2) Diagnosa Keperawatan
a) Bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trachea akibat
desakan massa tumor
b) Nyeri berhubungan dnegan adanya desakan / pembengkakan oleh
nodule tumor
c) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara
d) Gangguan kenyamanan berhubungan dengan kesulitan menelan
e) Ansietas berhubungan dengan perubahan kesehatan
f) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan
menelan
g) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan luka insisi sekunder akibat
operasi ca tiroid
h) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
penyakit

C. Konsep Gagal Nafas


1. Definisi
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup
masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung dan otak,
membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik.
Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat membuang
karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida dalam darah
dapat membahayakan organ tubuh (Putu Aksa, 2017). Keadaan ini
disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang tidak adekuat
sehingga tidak dapat mempertahankan pH, pO2, dan pCO2, darah arteri
dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai
hiperkapnia.
Gagal napas merupakan suatu kondisi gawat darurat pada sistem respirasi
berupa kegagalan sistem respirasi dalam menjalankan fungsinya, yaitu
oksigenasi dan eliminasi karbon dioksida (Putu Aksa, 2017). Gagal nafas
merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas darah (AGD),
gagal nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang
nyata dalam bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam
pengeluaran CO2 (hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan
kegagalan kedua fungsi tersebut
2. Anatomi Fisiologi Paru
Paru-paru manusia terletak pada rongga dada, bentuk dari paruparu adalah
berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan
dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu bagian yaitu,
paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan
paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Setiap paruparu terbagi lagi menjadi
beberapa sub-bagian, terdapat sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut
bronchopulmonary segments. Paru-paru bagian kanan dan bagian kiri
dipisahkan oleh sebuah ruang yang disebut mediastinum .(Evelyn, 2009).
Paru-paru manusia dibungkus oleh selaput tipis yang bernama pleura.
Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis
yaitu selaput tipis yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura
parietal yaitu selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua
pleura terdapat rongga yang disebut cavum pleura (Guyton, 2007).
Menurut Juarfianti (2015) sistem pernafasan manusia dapat dibagi ke
dalam sistem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah.
a) Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal,
dan faring.
b) Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
alveolus paru.
Menurut Alsagaff sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua proses, yaitu
inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan udara dari atmosfer ke
dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke
atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang
baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan
dibagi menjadi dua yaitu :
a) Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma dan.
b) Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus
(Mukti, 2015).
Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam
keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada
sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena
memiliki struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara paru-
paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton 2007).
Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbondioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme
seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan
kandungan oksigen dan karbondioksida bisa normal.
Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa
yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah
paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung- gelembung
paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen
dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada
lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia dan bersifat elastis.
Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia
surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis.
Menurut Guyton (Guyton 2007) untuk melaksanakan fungsi tersebut,
pernafasan dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu:
a) Ventilasi paru yang berfungsi untuk proses masuk dan keluarnya udara
antara alveoli dan atmosfer.
b) Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.
c) Transport dari pasokan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan
cairan tubuh ke dan dari sel.
d) Pengaturan ventilasi pada sistem pernapasan.
Pada waktu menarik nafas atau inspirasi maka otot-otot pernapasan
berkontraksi, tetapi pengeluaran udara pernafasan dalam proses yang pasif.
Ketika diafragma menutup, penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali
memperbesar paru-paru dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan
tulang dada menutup dan berada pada posisi semula (Evelyn 2009).
Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Selama bernafas
tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg relatif lebih tinggi terhadap
atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai nilai -6mmHg dan paru-
paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam dalam jalan udara
sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam paru-paru. Pada
akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi dimana
tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan
pernafasan seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar
dari paru-paru (Mukti 2015).
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga
udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir
menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.
Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari
alveoli ke dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk
karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke
tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada difusi gas dalam
paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor sirkulasi. Selanjutnya
adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke jaringan dan
dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton, 2007).
3. Etiologi
Etiologi gagal napas sangat beragam tergantung jenisnya. Gagal napas
dapat disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan,
atau medulla oblongata. Penyebab gagal nafas adalah sebagai berikut :
1) Gagal Nafas Tipe 1
a) Asma akut
b) ARDS
c) Pneumonia
d) Emboli pary
e) Edema paru
f) PPOK
g) Obstrukti Sleep Apnea (OSA)
h) Kelainan dinding dada
2) Gagal Nafas Tipe 2
a) Kelainan SSP
b) Koma
c) Peningkatan TIK
d) Cidera kepala
e) Opioid dan obat sedasi
f) Kelainan
g) Neuromuskular
h) Lesi medula spinalis (trauma, polio, atau tumor)
4. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda gagal nafas yaitu adanya takipnea dan pernapasan dangkal
tanpa retraksi dan tanda dan gejala tambahan berupa gagal napas dapat
diamati, tergantung pada tingkat hipoksemia dan hiperkapnia. Dikatakan
gagal napas jika memenuhi salah satu keriteria yaitu PaO2 arteri 45 mmHg,
kecuali peningkatan yang terjadi kompensasi alkalosis metabolik (Arifputra,
2014). Selain itu jika menurut klasifikasinya gagal napas bisa terbagi menjadi
hipoksemia yaitu bila nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan
nilai normal atau rendah.
Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri dan hipoksia
jaringan, antara lain:
a) Dispneu (takipneu, hipeventilasi).
b) Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat.
c) Sinosis di distal dan sentral (mukosa,bibir).
d) Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi.
e) Hipotensi, bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga gagal
jantung dapat terjadi pada hipoksia berat.
Berikutnya adalah gagal napas hiperkapnia, yaitu bila kadar PCO2 yang
cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan pO2 alveolus dari arteri turun. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh gangguan di dinding dada, otot pernapasan,
atau batang otak. Contoh pada PPOK berat, asma berat, fibrosis paru stadium
akhir, ARDS berat atau landry guillain barre syndrome. Gejala hiperkapnia
antara lain penurunan kesadaran, gelisah, dispneu (takipneu, bradipneu),
tremor, bicara kacau, sakit kepala, dan papil edema.
5. Patofisiologi
Merupakan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi paru yang
menyebabkan hipoksemia atau peningkatan produksi karbon dioksida dan
gangguan pembuangan karbon dioksida yang menyebabkan hiperkapnia.
(Lamba, 2016).
Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru
kembali ke asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan
yang irreversibel. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan
kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/menit. Kapasitas
vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab
terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan
nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di
bawah batang otak (pons dan medulla).
6. Klasifikasi
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal napas dapat dibagi menjadi 2
tipe yaitu gagal napas tipe 1 dan 2. Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru
untuk mengoksigenasi darah, ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2
normal atau menurun. Gagal napas tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner
dan tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya
hipoksemia terutama terjadi akibat
a) Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir
ke bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling
sering. Contohnya adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS,
atelektasis, pneumonia, emboli paru, dysplasia bronkupulmonal.
b) Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane alveolar
atau pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler.
Contohnya adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstitial.
c) Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru- paru
yang tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malformasi
arteriovena paru, malformasi adenomatoid kongenital.
Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2,
pada umumnya disebabkan oleh ke gagalan ventilasi yang ditandai dengan
retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia) disertai dengan penurunan
PH yang abnormal dan penurunan PaO2 atau hipoksemia. Kegagalan ventilasi
biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmonal.
Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan ekstrapulmonal dapat disebabkan
karena: penekanan dorongan pernapasan sentral atau gangguan pada respon
ventilasi.
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki masalah ancaman
kehidupan dengan segera, salah satunya adalah pemberian oksigen. Untuk
mengatasi hipoksemia, cara pemberian oksigen bergantung FiO2, yang
dibutuhkan. Masker rebreathing dapat digunakan jika hipoksemia desertai
kadar PaCO2 rendah. Perbaikan Ventilasi dilakukan dengan memperbaiki
jalan napas (Airway). Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi,
dan pemberian obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan
pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas.
Pertimbangan untuk insersi jalan napas buatan seperti endotracheal tube
(ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas buatan dibandingkan jalan
napas alami.
a) Ventilasi : Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik. Aspek penting
lainnya dalam perawatan adalah ventilasi mekanis. Terapi modalitas ini
bertujuan untuk memmberikan dukungan ventilasi sampai integritas
membrane alveolakapiler kembali membaik.
b) Tujuan tambahan adalah : memelihara ventilasi dan oksigenisasi yang
adekuat selama periode kritis hipoksemia berat dan mengatasi peneyebab
yang mengawali terjadinya distress pernapasan. Positif End Expiratory
Breathing (PEEB) Ventilasi dan oksigen adekuat diberikan melaui
volume ventilator dengan tekanan aliran yang tinggi, di mana PEEB
dapat ditambahkan. PEEB di pertahankan dalam alveoli melalui siklus
pernapasan untuk mencegah alveoli kolaps pada akhir ekspirasi.
c) Terapi suportif lainnya yaitu fisioterapi dada yang ditujukan untuk
membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk
mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Selain itu juga
ada bronkodilator (beta-adrenergik agonis/simpatomimetik) yang lebih
efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan
secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama,
efek samping secara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat
diberikan secara inhalasi.

Anda mungkin juga menyukai