MODUL PERKULIAHAN
P322130002
PERENCANAAN PAJAK
Abstrak Sub-CPMK 6
Pendahuluan
DEFINISI PPN
06
Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Fakutas Ekonom dan Bisnis Akuntansi
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi, Badan, dan Pemerintah. Dalam penerapannya, Badan atau perorangan yang
membayar pajak ini tidak diwajibkan untuk menyetorkan langsung ke kas negara,
melainkan lewat pihak yang memotong PPN.
Pajak Pertambahan Nilai bersifat objektif, tidak kumulatif, dan merupakan pajak tidak
langsung. Subjek pajaknya terdiri dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non PKP, harus
dipahami subjek pajak ini berbeda dengan Wajib Pajak. Subjek pajak belum memiliki
kewajiban untuk membayar pajak sedangkan Wajib Pajak sudah memiliki kewajiban untuk
membayar pajak.
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi
jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan
yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
4. Untuk setiap Masa Pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara paling lama
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Dan sebaliknya, apabila
jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut
dapat dikompensasi ke masa pajak berikutnya. Restitusi hanya dapat diajukan pada
akhir tahun buku. Hanya PKP yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (4b) UU Nomor 42
Tahun 2009 saja yang dapat mengajukan restitusi untuk setiap Masa Pajak.
Sedangkan sesuai Pasal 1A ayat (2) Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai
bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam
hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang
Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
4. jasa keuangan;
5. jasa asuransi;
6. jasa keagamaan;
7. jasa pendidikan;
10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum;
Sesuai ketentuan pasal tersebut, penentuan suatu penyerahan jasa kena pajak
didasarkan kepada tempat terjadinya/dilakukannya penyerahan jasa atau tempat
kegiatan/aktivitas/pengerjaan pelayanan (jasa) tersebut oleh pemberi jasa, dan tidak
didasarkan kepada tempat kedudukan/domisili penerima jasa.
Dengan demikian, PPN dikenakan atas penyerahan JKP yang dilakukan dalam daerah
pabean oleh PKP kepada pihak manapun termasuk kepada orang pribadi atau badan
yang berada di luar negeri.
Namun sesuai ayat (2) bahwa dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal
pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah
pada saat pembayaran. Atau saat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak
(Pasal 3)
Sesuai Pasal 12 Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa tempat
terutang Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut :
1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang
pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha
dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau
tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
2) Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak
terutang.
3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak
dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
4) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e
terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha.
Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak yang Menyetor dan Melaporkan PPN
Kewajiban PKP:
Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
Memungut PPN dan PPnBM yang terutang
Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan PPnBM yang
terutang
Jika dilihat dari sudut pandang bisnis, menjadi PKP ataupun memilih untuk tidak menjadi
PKP (Non PKP) memiliki konsekuensinya masing-masing. Beberapa keuntungan apabila
wajib pajak memilih menjadi PKP di antaranya adalah:
Pengusaha dianggap memiliki sistem yang sudah baik dianggap legal secara hukum
karena sudah menjadi PKP dan tertib membayar pajak,
Menjadi PKP berarti perusahaan dianggap besar dan tentunya akan berpengaruh
saat menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang tergolong besar,
Dapat melakukan transaksi penjualan kepada Bendaharawan Pemerintah,
Selain keuntungan yang diterima, mendaftarkan diri menjadi PKP juga memiliki beberapa
kerugian di antaranya adalah:
Pembayaran pajak semakin besar, karena bagi wajib pajak Non PKP, perlakuan
pajak masukan akan merugikan apabila dibandingkan sebagai biaya,
Mengurangi daya saing karena harga jual lebih tinggi, hal ini karena harus memungut
PPN , dari lawan transaksi, apabila wajib pajak dikukuhkan sebagai PKP maka setiap
penyerahan BKP/JKP harus ditambah dengan PPN
Menambah kerumitan dan pengenaan sanksi yang lebih besar, kerumitan di sini
terkait dengan aturan pelaporan PPN serta sanksi-sanksi di depan terkait
keterlambatan maupun kesalahan faktur.
Apabila Pengusaha telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tetapi tidak
membuat faktur faktur pajak atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak maka akan
dikenakan sanksi administrasi berupa denda 2% dari DPP
1. Menerbitkan dan/ atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak dan/ atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi
yang sebenarnya, atau
2. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhan sebagai pengusaha kena pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (2) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun serta denda paling sedikit 2x jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajat, bukti pemotongan pajak dan/ atau bukti setoran pajak dan
paling banyak 6x jumlah jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajat,
bukti pemotongan pajak dan/ atau bukti setoran pajak
Sebagai Pengusaha Kena Pajak, jika menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak wajib menerbitkan faktur pajak keluaran kepada pembeli Barang Kena Pajak /
Jasa Kena Pajak sebagai bukti atau sarana pemungutan PPN.
Adapun faktur pajak keluaran harus dibuat pada:
a) Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan / atau Jasa Kena Pajak
b) Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
c) Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan
Faktur pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak harus mencantumkan
keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, paling
sedikit memuat:
a) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f) Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g) Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Namun jika identitas pembeli pada point (b) tidak diketahui, faktur pajak tetap dapat
diterbitkan, hanya saja PPN tidak dapat dikreditkan oleh pembeli.
Sesuai Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9) Undang - Undang Pajak Pertambahan Nilai
menjelaskan bahwa Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan material yaitu berisi
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, Ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena
Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Sesuai dengan Pasal 13 Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa setiap
Pengusaha Kena Pajak wajib menerbitkan faktur pajak untuk setiap penyerahan Barang
Kena Pajak / penyerahan Jasa Kena Pajak dan memungut PPN dari pembeli BKP /
penerima JKP kecuali pembeli yang sudah ditunjuk sebagai Pemungut PPN.
Sejak 1 Juli 2014 telah dimulai penggunaan Faktur Pajak Elektronik untuk
Pengusaha Kena Pajak tertentu, dan sejak 1 Juli 2016 telah diwajibkan penggunaannya
untuk semua Pengusaha Kena Pajak yang ada di Indonesia. Perbedaan Faktur Pajak
Elektronik dengan Faktur Pajak Kertas yang digunakan sebelumnya adalah sebagai
berikut :
Penulisan Kode dan Nomor Seri pada Faktur Pajak, harus lengkap sesuai dengan
banyaknya digit. Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan akan memberikan
nomor seri Faktur Pajak ke PKP sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dimulai
dari Nomor Seri 900-13.00000001 untuk Faktur Pajak yang diterbitkan tanggal 1 April
2013. Untuk tahun 2014 akan dimulai dari nomor seri Faktur Pajak 000-14.00000001
demikian seterusnya.
Perlakuan PPN
Pilihan subyek Obyek
Kena PPN Pengusaha (OP / Badan) Penyerahan BKP/Non BKP
Penyerahan JKP / Non JKP
Tidak kena PPN Pengusaha kecil (OP / Penyerahan Non BKP
Badan) Penyerahan Non JKP
Kriteria pengusaha kecil
Peredaran usaha tidak melebihi Rp 4,8 M setahun
Perusahaan sudah melaporkan seluruh kewajiban PPN (Pungut, setor dan lapor)
Jawaban pada saat dilakukan konfirmasi “tidak ada”
Jika dilakukan pemeriksaan oleh DJP, pemeriksa akan melakukan konfirmasi atas
kebenaran faktur pajak masukan. Jawaban konfimrasi yang negative TIDAK ADA akan
mengakibatkan pajak masukan tidak diakui oleh pemeriksa
Uraian Menurut WP Menurut pemeriksa Koreksi
Ekualisasi omset versi laporan SPT Massa PPN (12 bulan) dan omzet versi SPT
Tahunan PPH Badan
Salah satu cara pengujian DJP atas kebenaran laporan penjualan WP adalah melakukan
ekualisasi antara SPT Massa PPN dan SPT Tahunan PPH badan. Selisih antara
keduanya harus dapat dijelaskan oleh wajib pajak
Perencanaan pajak atas PPN Keluaran tersebut bisa saja dilakukan karena suatu
hal, seperti contoh berikut:
a) Perkiraan status lebih Bayar PPN pada SPT PPN Masa berjalan.
Ketika Pengusaha Kena Pajak sudah memprediksi bahwa akan terjadi PPN lebih
bayar di bulan berjalan setelah menganalisis jumlah DPP PPN Keluaran dan DPP
PPN Masukan, Pengusaha Kena Pajak dapat meminta pelanggan untuk membayar
DP atau pelunasan di muka sehingga dapat diterbitkan Faktur Pajak Keluaran dan
status SPT Masa PPN menjadi tidak lebih bayar
b) Perkiraan status Kurang Bayar PPN pada SPT PPN Masa berjalan.
Ketika Pengusaha Kena Pajak sudah memprediksi bahwa akan terjadi PPN Kurang
Bayar di bulan berjalan yang cukup besar lebih setelah menganalisis jumlah DPP
PPN Keluaran dan DPP PPN Masukan, Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan
negosiasi kepada pembeli untuk melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak di awal bulan berikutnya dan mengkonfirmasi agar
pembayaran dilakukan setelah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
diterima sehingga Faktur Pajak Keluaran dapat diterbitkan di bulan depan dan status
Kurang Bayar pada SPT Masa PPN tidak bertambah besar.
Daftar Pustaka
Pohan, C. A. 2013. Manajemen perpajakan. Jakarta. Gramedia
Siswanto, E.H. & Tarmidi, D. 2020. Akuntansi Pajak Teori dan Praktik. Jakarta. Raja
Grafindo
Suandi, E. 2011. Perencanaan Pajak. Jakarta. Salemba Empat
Waluyo. 2017. Perpajakan Indonesia Buku Satu. Jakarta. Salemba Empat.
Waluyo. 2016. Akuntansi Pajak. Jakarta. Salemba Empat.