Anda di halaman 1dari 100

MEDIASI PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELESAIAN

KONFLIK PERTANAHAN (STUDI KASUS PADA PT. HUTAN

TANAMAN INDUSTRI DENGAN MASYARAKAT DESA KARYAMUKTI

KABUPATEN GORONTALO)

Skripsi

Di susun guna memenuhi persyaratan lulus strata satu (S1)

Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh

FIRMAN LATUDA

NIM : 203150051

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GORONTALO

TAHUN 2019
ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul : MEDIASI PEMERINTAH DAERAH DALAM


PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN
ANTARA PT. HUTAN TANAMAN INDUSTRI
DENGAN MASYARAKAT DESA KARYAMUKTI
KABUPATEN GORONTALO

Nama : FIRMAN LATUDA

NIM : 203150051

Program Studi : ILMU PEMERINTAHAN

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dikson Junus., MPA Muh. Fachri Arsjad., S.Sos.,M.Si


NIDN : 0915036801 NIDN : 0910036601

Limboto………………..2019
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan

Suaib Napir., S.IP., M.Si


NIDN : 0914058501
iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi Rabbil’alamin segala puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Mediasi Pemerintah

Daerah Daerah Dalam Penyelesian Konflik Pertanahan (Studi Kasus Pada

PT. Hutan Tanaman Industri dengan Masyarakat Desa Karyamukti

Kabupaten Gorontalo ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Gorontalo.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad

SAW, nabi yang yang telah mengantarkan umatnya menuju jalan yang terang

benderang seperti sekarang ini. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan pula

kepada seluruh umatnya. Amin

Penyelesaian skripsi ini tentunya membutuhkan pengorbanan, kesabaran

dan kerja keras yang tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT yang senantiasa memberikan petunjuk, perlindungan dan

kekuatan kapadahamba-Nya.

2. Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan serta pemberi penerangan

bagiumatnya.

3. Ibu Tercinta (Nalsa Panigoro) dan Bapak tercinta (Ishak Latuda) yang
iv

selalu memberikan kasih sayang tanpa batas dukungan, motivasi serta doa

yang tulus untukku

4. Bapak Dr. Rustam Akili, SE, SH, MH selaku Ketua Dewan Pembina

Yayasan DLP Universitas Gorontalo

5. Bapak Moh. Jamal Moodoeto, SE, MH sebagai Ketua Yayasan Duluwo

Limo Lo Pohalaa Gorontalo

6. Bapak Dr. Ibrahim Ahmad, SH., MH selaku Rektor Universitas Gorontalo

7. Bapak Dr. Dikson Junus, MPA selaku Wakil Rektor II Universitas

Gorontalo

8. Bapak Muh Fachri Arsjad, S.Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Gorontalo

9. Bapak Sarfan Dj. Tabo S.Sos., M.Si selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gorontalo

10. Bapak Suaib Napir, S.IP., M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

11. Masyarakat Desa Karyamukti Kabupaten Gorontalo yang telah

memberikan penulis kepercayaan untuk melakukan penelitian

12. Staf Dosen dan Tata usaha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gorontalo yang telah banyak membantu dan memberikan

curahan pengetahuan yang tiada henti sejak awal perkuliahan sampai

hingga akhir studi

13. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi

Ilmu Pemeerintahan angkatan 2015


v

14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, baik

secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga segala bantuan, bimbingan dan petunjuk serta budi baik yang diberikan

kepada penulis mendapat berkah dari Allah SWT.

Akhirnya, meskipun jauh dari sempurna, penulis tetap berharap bahwa

apa yang telah dicurahkan dengan sepenuh hati, tenaga dan kemampuan dalam

penyelesaian skripsi ini dapat memberikan sumbangsih betapapun kecilnya

kepada dunia akademik dan kepada siapapun yang membutuhkannya.

Limboto........2019
Penulis

Firman Latuda
203150051
vi

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan :

1. Karya tulis ini belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik

sarjana di Universitas Gorontalo

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa

bantuan dari pihak lain kecuali arahan tim komisi pembimbing dan para

tim penguji

3. Dalam karya tulis ini, tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau

dipublikasikan oleh orang lain kecuali secara jelas dicantumkan dalam

daftar pustaka

4. Pernyataan ini penulis buat dengan sesunggunhya dan apabila dikemudian

hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini yang

telah diperoleh dari karya tulis ini, saya bersedia menerima sanksi

akademik dan sanksi lainnya sesuai norma yang berlaku di perguruan

tinggi ini

Limboto........2019
Penulis

Firman Latuda
203150051
vii

Abstrak

Penulisan skripsi dengan judul “Mediasi Pemerintah Daerah dalam penyelesaian

Konflik Pertanahan (Studi Kasus pada PT. Hutan Tanaman Industri dengan

Masyarakat Desa Karyamukti Kabupaten Gorontalo” ini bertujuan untuk melihat

bagaimana posisi dan proses serta hambatan pemerintah daearah dalam

menyelesaikan konflik pertanahan dengan cara mediasi yang terjadi antara PT.

Hutan Tanaman Industri dengan Masyarakat Desa Karyamukti Kabupaten

Gorontalo. Tim Mediasi yang bertindak sebagai pihak ketiga dalam hal tersebut

dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo. Mediasi sebagai alternatif

penyelesaian konflik pertanahan merupakan suatu upaya untuk mencapai resolusi

konflik. Tim mediasi sebagai pihak ketiga dituntut untuk bersikap netral dan

menjadi pengatur strategi dalam proses mediasi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus dengan

pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi,

wawancara, serta studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisis dan

informan dalam penelitian ini adalah setiap pihak yang terlibat dalam proses

mediasi, seperti: Masyarakat Desa karyamukti, Pihak PT. Hutan Tanaman Indsutri

dan Tim Mediasi. Interpretasi data dilakukan dengan mengolah data yang

didapatkan dari catatan maupun hasil wawancara yang dilakukan di lapangan.

Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa proses mediasi telah berhasil

mendapatkan solusi untuk kedua belah pihak yaitu menerima tuntutan masyarakat

untuk melakukan pengukuran kembali lahan, baik yang menjadi hak masyarakat

dan hak perusahaan sebagaimana mekanisme yang telah dibuat dalam penjelesan
viii

proses mediasi dengan mengajukan surat pemohonan pengukuran kembali tanah

yang diajukan kepada BPN RI. Sehingga masyarakat dan perusahaan terlah

berdamai dan telah berkomitmen untuk menggu hasil dari permohonan tersebut

sampai sekarang.

Kata Kunci: Proses Mediasi, Pemerintah Daerah, Konflik Pertanahan


ix

DAFTAR ISI

Cover.........................................................................................................................i

Lembar Persetujuan.................................................................................................ii

Kata Pengantar........................................................................................................iii

Pernyataan...............................................................................................................iv

Abstrak.....................................................................................................................v

Daftar Isi.................................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................12

1.3 Tujuan Masalah................................................................................................12

1.4 Manfaat Penelitian...........................................................................................13

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu........................................................................................15

2.2 Pemerintahan Daaerah.....................................................................................20

2.3 Konsep Desentralisasi......................................................................................21

2.4 Teori mediasi....................................................................................................24

2.5 Pengertian mediasi...........................................................................................27

2.6 Proses Mediasi.................................................................................................29

2.7 Teori Konflik....................................................................................................34

2.8 Mediasi Sebagai Resolusi Konflik...................................................................36

BAB III METODOLIGI PENELITIAN


x

3.1 Jenis Penelitian.................................................................................................39

3.2 Lokasi Penelitian..............................................................................................39

3.3 Unit Analisis Informan.....................................................................................40

3.4 Teknik Pengumpulan Data...............................................................................41

3.5 Intrerpretasi Data..............................................................................................43

3.6 Keterbatasan Masalah......................................................................................43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian..............................................................................45

4.2 Interpretasi data................................................................................................51

4.3 Posisi Pemerintah Daerah Dalam Penyelesaian Konflik..................................58

4.4 Mediasi Oleh Pemerintah.................................................................................67

4.5 Hambatan Proses Mediasi................................................................................80

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan......................................................................................................82

5.2 Saran.................................................................................................................83

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................85
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perkembangannya di era otonomi daerah telah diterbitkan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sekarang telah

dicabut dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah) telah menentukan bahwa urusan pelayanan pertanahan (yang meliputi

urusan penyelesaian sengketa pertanahan) merupakan kewenangan pemerintah

daerah. Dalam kenyataannya terjadi tumpang tindih kegiatan penyelesaian

sengketa pertanahan antara pemerintah (BPN) dengan pemerintah daerah.

Penerbitan berbagai ketentuan perundang-undangan bidang pertanahan

sejatinya dimaksudkan untuk adanya ketertiban dalam penguasaan tanah, namun

dalam kenyataannya menunjukkan adanya perselisihan atau persengketaan dan

bahkan persengketaan tersebut cenderung meningkat baik jumlahnya maupun

tingkat kompleksitasnya. Sehubungan dengan itu pula diterbitkan berbagai

ketentuan perundangan yang memberikan kewenangan kepada penyelenggara

pemerintahan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, di samping melalui

lembaga pengadilan. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa urusan pertanahan

merupakan urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, karena

itu pula penyelesaian sengketa pertanahan merupakan kewenangan Pemerintah.

Hal ini dipertegas lagi dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang
2

Badan Pertanahan Nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa Badan

Pertanahan Nasional (BPN) sebagai lembaga pemerintah non- departemen

mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara

nasional, regional dan sektoral. Lebih lanjut disebutkan bahwa untuk

melaksanakan tugas tersebut BPN menyelenggarakan fungsi, yang meliputi 14

bidang, yang salah satunya adalah penanganan dan penyelesaian sengketa

pertanahan. Namun demikian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun

2003 tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan, yang menyebutkan bahwa

sebagian kewenangan pemerintah dibidang pertanahan dilaksanakan oleh

pemerintah daerah kabupaten/kota yang antara lain meliputi urusan penyelesaian

sengketa pertanahan tertentu.

Tanah merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup baik manusia,

hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Manusia hidup dan tinggal diatas tanah dan

memanfaatkan tanah untuk sumber kehidupan dengan menanam tumbuh-

tumbuhan yang menghasilkan makanan. Mengingat begitu pentingnya tanah

karena dapat menghasilkan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi orang

banyak maka perlu diatur oleh pemerintah. Tanah merupakan modal dasar

pembangunan, dalam kehidupan masyarakat pada umumnya menggantungkan

kehidupannya pada manfaat tanah dan memiliki hubungan yang bersifat abadi

dengan negara dan rakyat.

Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari,

bahkan dapat dikatakan setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Setiap

orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya, tetapi sudah
3

meninggalpun masih tetap berhubungan dengan tanah. Oleh sebab itu tanah

adalah merupakan kebutuhan vital manusia, ada pepatah yang artinya antara lain

“walaupun hanya sejengkal tanah dipertahankan sampai mati”.

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dimana mereka saling

membutuhkan satu sama lain. Dengan adanya hubungan timbal balik, maka sering

kali timbul fenomena sosial berupa konflik yang timbul akibat adanya

kepentingan yang berbeda-beda. Dengan timbulnya konflik, maka hukum

memegang peranan penting dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu

sumber daya alam utama yang selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam

bagi rakyat Indonesia juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan

negara dan rakyat yang semakin meningkat. Secara kosmologis, tanah adalah

tempat manusia tinggal, tempat bekerja dan hidup, tempat darimana mereka

berasal dan akan kemana pula mereka pergi.

Menyadari akan nilai dan arti pentingnya tanah, Negara Kesatuan

Republik Indonesia merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam di dalam

Konstitusi, pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Perkembangan

penduduk yang terus meningkat menjadikan kebutuhan akan tanah juga

meningkat. Hal ini tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak bisa

bertambah, tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak

henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit bahkan
4

menyebabkan terjadinya konflik pertanahan.

Weber (1968) mengatakan bahwa konflik tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan sosial, kemudian Simmel (1988) berpendapat bahwa konflik tidak

dapat dielakkan dalam masyarakat. Kata konflik menurut Kamus Ilmiah Populer

adalah pertentangan, pertikaian, persengketaan, dan perselisihan (Partanto, dkk.

1994: 354). Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat

klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan

selalu ada dimana-mana. Konflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang

sifatnya kompleks dan multi dimensi.

Sejak zaman dahulu tanah telah menjadi sumber sengketa bagi manusia.

Keberadaan tanah yang jumlahnya tetap (terbatas) mengakibatkan perebutan

terhadap hak atas tanah yang dapat memicu terjadinya sengketa tanah yang

berkepanjangan, bahkan pemilik tanah rela berkorban apa saja untuk

mempertahankan tanah yang dimilikinya. Sebagaimana dinyatakan oleh

Mochammad Tauhid : “Soal agrarian (soal tanah) adalah soal hidup dan

penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi

manusia. Perebutan terhadap tanah berarti perebutan makanan, tiang hidup

manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah mengorbankan segala yang

ada demi mempertahankan hidup selanjutnya”.

Secara garis besar tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan dapat dibagi

menjadi lima kelompok :

1. Kasus-kasus berkenaaan dengan penggarapan rakyat atas tanah- tanah

perkebunan, kehutanan dan lain-lain.


5

2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform.

3. Kasus kasus berkenaan dengan ekses ekses penyediaan tanah untuk

perkebunan.

4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.

5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.

Pada dasarnya sumber konflik pertanahan sekarang ini sering terjadi antara

lain disebabkan oleh :

1. Pemilikan/penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;

2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non pertanian;

3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;

4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas

tanah (hak ulayat);

5. Lemahnya posisi masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan

tanah;

6. Permasalahan pertanahan dalam penerbitan sertifikat yang antara lain :

a. Proses penerbitan sertifikat tanah yang lama dan mahal,

b. Sertifikat palsu,

c. Sertifikat tumpang tindih (overlapping),

d. Pembatalan sertifikat.

Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan pemerintah yaitu mengupayakan

penyelesaian sengketa tanah dengan cepat untuk menghindari penumpukan

sengketa tanah, yang dapat merugikan masyarakat misalnya tanah tidak dapat

digunakan karena tanah tersebut dalam sengketa.


6

Perdamaian pada dasarnya merupakan salah satu sistem alternative dispute

resolution (ADR) yang telah ada dalam dasar negara Indonesia, yaitu pancasila

dimana dalam filosofinya disiratkan bahwa asas penyelesaian sengketa adalah

musyawarah untuk mufakat. hal tersebut juga tersirat dalam Undang-undang

Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang perdamaian atau

mediasi adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, pada penjelasan Pasal 3 menyatakan bahwa: “Penyelesaian perkara di

luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit tetap di perbolehkan” .

Sebagaimana telah diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

dalam bab XII Pasal 58 sampai Pasal 61 yang memuat ketentuan

diperbolehkannya menyelesaikan sengketa di Luar Pengadilan melalui Arbitrase

atau Alternatif Penyelesaian Sengketa lainnya yang disepakati para pihak seperi

Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli dalam Pasal 60

ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009.

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 c Peraturan Presiden Republic Indonesia

No. 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang antara lain,

mengatakan bahwa Deputi Bidang Pengkajian Dan Penanganan sengketa Dan

Konflik Pertanahan menyelenggarakan fungsi pelaksanaan alternatif penyelesaian

masalah, sengketa, dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi, dan

lainnya. Ketentuan Pasal 23 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006

memperlihatkan kebijakan pemerintah untuk menggunakan mediasi sebagai salah

satu cara untuk penyelesaian sengketa pertanahan.

Dalam melakukan tindakan penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan


7

yang ada, badan pertanahan nasional merupakan salah satu lembaga mediasi yang

dapat menyelesaikan suatu sengketa pertanahan dengan mengedepankan keadilan,

yaitu penyelesaian konflik melalui musyawarah mufakat dengan menghormati hak

dan kepentingan para pihak yang bersengketa yang prinsip dasarnya adalah solusi

sama-sama menang atau dikenal dengan istilah “win-win solution” atau

normatifnya disebut jalan penyelesaian “Non-Litigation” atau Alternative Despute

Resulution (ADR), yang selanjutnya untuk mewadahi pelaksanaan ADR tersebut

Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturan inilah yang menjadi tolok ukur untuk

mengetahui seberapa pentingnya lembaga mediasi didalam penyelesaian konflik

tanah.

Pengambilan keputusan diharapkan tidak merugikan salah satu pihak,

sehingga mampu mewujudkan suatu penyelesaian secara damai diantara para

pihak yang bersengketa, mengingat selama ini penyelesaian sengketa pertanahan

cenderung diselesaikan melalui lembaga peradilan yang bersifat win-lose solution

(menang-kalah). Pranata pilihan penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi

ini dilakukan secara perdamaian atau berdasarkan kesepakatan para pihak yaitu

dilakukan dengan mediasi. Selama ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) selalu

menangani masalah pertanahan yang terjadi di Indonesia. Lembaga ini terdapat di

setiap kabupaten/kota guna mengatasi permasalahan pertanahan yang ada.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) dituntut lebih proaktif dalam

penyelesaian konflik pertanahan sesuai dengan sebelas agenda BPN RI khususnya

agenda ke-5 menyebutkan “Menangani dan Menyelesaikan Perkara, masalah,


8

sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis”, serta

TAP MPR RI No:IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam, Pasal 4 huruf (d), menyebutkan : “Mensejahterakan rakyat

terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia” dan

Pasal 5 huruf (d), menyebutkan : “Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan

dengan sumber daya agrarian yang timbul selama ini sekaligus dapat

mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya

penegakan hukum”

Realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara

rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masing-masing pihak

membutuhkan tanah. Konflik pertanahan ini kita jumpai hampir pada setiap

daerah perkebunan yang ada di Indonesia. Di Kabupaten Gorontalo sendiri

terdapat 18 kasus pertanahan. Salah satunya adalah kasus konflik pertanahan yang

melibatkan antara PT. Hutan Tanaman Industri dengan masyarakat Desa

Karyamukti. Masyarakat tersebut mengklaim bahwa ada tanah (lahan)

masyarakat yang dikuasai oleh PT. Hutan Tanaman Industri. Masyarakat Desa

Karyamukti tersebut kemudian membuat laporan kepada Gubernur Gorontalo

tentang adanya penguasaan lahan (tanah) masyarakat Desa Karyamukti oleh PT.

Hutan Tanaman Industri.

Menanggapi laporan masyarakat tersebut, Gubernur Gorontalo meminta

agar Bupati Gorontalo meneliti laporan masyarakat Desa Karyamukti tersebut.

Pihak Pemerintah Kabupaten Gorontalo kemudian membentuk tim mediasi untuk

memfasilitasi pertemuan antara kedua belah pihak yang bersengketa yaitu


9

masyarakat Desa Karyamukti dan PT. Hutan Tanaman Industri dan dalam

pertemuan tersebut pula disepakati terlebih dahulu masalah pengukuran untuk

membuktikan apakah benar PT. HTI ada menguasai lahan masyarakat.

Menurut masyarakat sekitar bahwa tanah yang diklaim oleh PT. Hutan Tanaman

Industri adalah tanah milik leluhur mereka yang kemudian itu digarap oleh PT. Hutan

Tanaman Industri dengan beralibi bahwa mereka (PT. HTI) dalam menjalankan tugasnya

mempunyai legalitas dari pemerintah.

Salah satu alternatif penyelesaian konflik pertanahan adalah dengan

penyelesaian sengketa di luar hukum. Dalam pendekatan sosiologis hal tersebut

dikenal dengan akomodasi. Sebagai suatu proses, akomodasi berarti sebagai usaha

manusia untuk meredakan atau menghindari konflik dalam rangka mencapai

kestabilan (Soekanto, 1982). Mediasi adalah salah satu bentuk dari akomodasi,

yaitu cara menyelesaikan konflik dengan jalan meminta bantuan pihak ketiga

yang netral. Pihak ketiga ini hanyalah mengusahakan suatu penyelesaian secara

damai yang sifatnya hanya sebagai penasehat, sehingga pihak ketiga ini tidak

mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan-keputusan penyelesaian

yang mengikat secara formal. Pihak ketiga yang menjadi penengah dalam konflik

disebut mediator atau tim mediasi.

Alternatif penyelesaian konflik dengan mediasi dalam kasus konflik

pertanahan bukan suatu hal yang asing lagi. Penyelesaian dengan mediasi pada

dasarnya menerapkan prinsip menyelesaikan masalah dengan musyawarah, yakni

proses berembuk sampai mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang

berkonflik (Tambunan, 2010). Konflik pertanahan yang terkait dengan

kepentingan para pihak pada hal ini diselesaikan dengan cara mediasi karena tidak
10

ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Pada dasarnya fungsi mediator

adalah meningkatkan kesadaran mengenai kebutuhan masing-masing pihak yang

terlibat konflik, dan membangun kerangka kerja yang realistis untuk

memprediksikan kerugian dan manfaat dari pemecahan konflik yang dijalankan.

Mediasi dapat dilakukan oleh berbagai aktor, mulai dari aktor individu,

negara, Non-Government Organization (NGO), Organisasi Pemerintah, hingga

Organisasi Internasional. Walaupun mediasi dapat dilakukan oleh berbagai level

aktor, namun hal yang perlu juga diperhatikan adalah bagaimana mediator

berperan dalam menengahi konflik dan dapat mencapai kesepakatan atau

meredam konflik. Salah satu caranya adalah dengan melihat strategi-strategi yang

digunakan oleh mediator dalam menjalankan mediasi. Strategi juga akan

terlaksana jika adanya kepercayaan (trust) yang diberikan oleh pihak yang terlibat

didalam konflik terhadap mediator, serta tuntutan keahlian (skill) yang harus

dimiliki oleh seorang mediator. Selain itu mediator juga dituntut untuk bertindak

tidak memihak serta mempunyai posisi tawar yang meyakinkan, sehingga dalam

menjalankan mediasi dapat mencapai kata sepakat untuk menyepakati perjanjian

damai antara pihak-pihak yang berkonflik (Nasution, 2014). Dalam hal ini

Mediator adalah orang atau pejabat yang ditunjuk dari jajaran pemerintah

setempat yang disepakati oleh para pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan

permasalahannya.

Diantara berbagai kasus perebutan hak atas tanah beberapa diantaranya

berhasil diselesaikan dengan cara musyawarah (win-win solution), dengan

membayar ganti rugi kepada masyarakat penggarap, ada juga yang diupayakan
11

penyelesaiannya melalui jalur mediasi dan negosiasi untuk mendapatkan

kesepakatan bersama.

Proses mediasi dapat dikatakan berhasil atau efektif jika dapat mengurangi

ketegangan antara pihak yang berkonflik dan mendamaikan tuntutan pihak yang

terlibat didalam konflik. Adanya penurunan level ketegangan memerlukan

kebijaksanaan dan kepekaan yang tinggi. Selain itu mendamaikan tuntutan

membutuhkan keahlian dalam menemukan strategi yang dapat membuat setiap

pihak yang terlibat konflik mengurangi tuntutannya dan menerima proses

kompromi untuk mengatasi masalah yang terjadi.

Hasil Jurnal Penelitian yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan

Pengembangan BPN RI tentang Peran Mediasi Dalam Penanganan Konflik

Pertanahan dikatakan bahwa dalam menangani konflik pertanahan sebaiknya tidak

hanya dilakukan dengan pendekatan hukum, tetapi juga melalui pendekatan sosial

budaya dengan melibatkan masyarakat yang diharapkan dapat memenuhi rasa

keadilan. Oleh karena itu penyelesaian konflik melalui mediasi sebagai alternatif

penyelesaian konflik berbasis sosial budaya sangat diperlukan dalam penanganan

konflik tersebut (Sakti, 2012).

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti secara

khusus tentang bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh tim mediasi dalam

penyelesaian konflik pertanahan sebagai alternatif penyelesaian konflik

pertanahan di luar ranah hukum, studi kasus pada konflik pertanahan PT. Hutan

Tanaman Industri di Kabupaten Gorontalo


12

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagimana posisi pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik

pertanahan pada PT. Hutan Tanaman Industri dan masyarajar Desa

Karyamukti Kabupaten Gorontalo

2. Bagaimana proses mediasi pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik

pertanahan pada PT. Hutan Tanaman Industri dan masyarakat Desa

Karyamukti Kabupaten Gorontalo?

3. Apa saja hambatan proses mediasi oleh pemerintah daerah dalam

penyelesaian konflik pertanahan pada PT. Hutan Tanaman Industri dengan

masyarakat Desa Karyamukti?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian tersebut adalah:

1. Untuk mengetahui posisi pemerintah dalam penyelesaian konflik

pertanahan pada PT. Hutan Tanaman Industri dengan masyarakat Desa

Karyamukti Kabupaten Gorontalo

2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian konflik pertanahan melalui

proses mediasi yang dilakukan tim mediasi pada PT. Hutan Tanaman

Industri, desa Karyamukti, Kabupaten Gorontalo

3. Untuk mengetahui hambatan pemerintah daerah pada proses mediasi

tersebut.
13

1.4 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk diri

sendiri ataupun orang lain, terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini

adalah sebabgai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini memiliki manfaat teoritis untuk memperkaya

penelitian-penelitian sejenis dan diharapkan dapat dijadikan salah satu

media informasi serta bahan rujukan bagi penelitian lain yang berkaitan

dengan penelitian ini dan menambah khazanah kajian sosiologi tentang

pemahaman bagaimana penerapan proses mediasi sebagai alternatif

penyelesaian konflik pertanahan di luar hukum yang berbasis sosial

budaya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian tersebut berguna untuk:

1. Para pihak yang berkonflik, agar dapat menyelesaikan masalah dengan

baik sesuai dengan peraturan yang berlaku dan meredam aksi-aksi

anarkis yang mungkin terjadi karena adanya pihak-pihak yang merasa

dirugikan.

2. Pemerintah Kabupaten Gorontalo, penelitian ini dapat berguna sebagai

bahan masukan dan saran dalam pembentukan tim mediasi untuk

menyelesaikan konflik pertanahan yang ada di daerah.


15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

1. Firda Melda Yunita

Skirpsi pada tahun 2016 yang berjudul “Proses Mediasi Pada Penyelesaian

Konflik Pertanahan (Studi Kasus Pada PT. Nusa Pusaka Kencana Bahilang

dengan Masyarakat Desa Penggalian di Kabupaten Serdang Bedagai” di

Kabupaten Serdang Bedagai dalam menyelesaikan konflik pertanahan masih

menggunakan metode luar pengadilan atau jalur mediasi. Ini bertujuan untuk

melihat bagaimana proses mediasi yang dilakukan dalam penyelesaian konflik

pertanahan yang terjadi antara PT. Nusa Kencana Bahilang dengan masyarakat

Desa Bahilang di Kabupaten Serdang bedagai.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus

dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara

observasi, wawancara, serta studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisis

dan informan dalam penelitian ini adalah setiap pihak yang terlibat dalam proses

mediasi, seperti: Masyarakat Desa Penggalian, Pihak PT. Nusa Pusaka Kencana

Bahilang dan Tim Mediasi. Interpretasi data dilakukan dengan mengolah data

yang didapatkan dari catatan maupun hasil wawancara yang dilakukan di

lapangan.

Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa proses mediasi berjalan

buntu karena masyarakat meragukan kenetralan tim mediasi yang dibentuk oleh
16

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai. Tim mediasi yang anggotanya tidak

berasal dari multi elemen juga menjadi kekurangan dari pembentukan tim mediasi

tersebut. Para aktor mediasi menjalankan peran sesuai dengan kedudukan mereka

masing-masing selama proses mediasi. Hubungan antara tim mediasi, masyarakat,

dan pihak perusahaan dalam hal ini juga hanya terjadi di dalam forum mediasi

2. Maria D Muga, SH,

Tesis pada tahun 2008 yang berjudul “Peranan Kepala Adat dalam

Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Mediasi (Studi Analisa terhadap

Penyelesaian Sengketa Tanah-tanah Ulayat di Kecamatan SOA Kabupaten

Ngada-Flores-Nusa Tenggara Timur)”.11 Di Kecamatan SOA Kabupaten Ngada

Flores Nusa Tenggara Timur dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat masih

banyak menggunakan lembaga di luar Pengadilan. Di Wilayah ini masih banyak

tanah-tanah ulayat milik masyarakat hukum adat yang sering menimbulkan

sengketa kepentingan (interest conflict).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan

terjadinya sengketa tanah ulayat di Kecamatan SOA Kabupaten Ngada NTT,

Peranan Kepala adat/Mosalaki dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui

upaya mediasi dan hambatan-hambatan yang sering terjadi dalam penyelesaian

sengketa tanah ulayat di Kecamatan SOA Kabupaten Ngada NTT.

Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis empiris sedangkan

jenis penelitian Deskriptif analitis. Sebagai populasi adalah masyarakat

Kecamatan SOA yang pernah mengalami sengketa tanah yang kemudian diambil

sebagai sampel yaitu masyarakat adat Desa Seso (Suku Meli) dengan cara non
17

random sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer

yang diperoleh melalui wawancara dan kuisioner dan data sekunder yang terdiri

dari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang- undangan yang

berkaitan dengan objek yang diteliti, bahan hukum sekunder yang berupa buku-

buku, karya tulis ilmiah serta bahan hukum tersier yang berupa kamus Bahasa

Indonesia dan kamus Bahasa Inggris. Data yang diperoleh kemudian dianalisa

secara kualitatif.

Hasil penelitian diketahui bahwa hal-hal yang menyebabkan terjadinya

sengketa tanah ulayat di Kecamatan SOA Kabupaten Ngada NTT adalah batas

tanah ulayat tidak jelas, adanya praktek ketidakadilan, adanya klaim dari

Negara/Pemerintah, kehilangan saksi dan pelaku sejarah, meningkatnya nilai

tanah secara ekonomi, mempertahankan status sosial, pemahaman salah terhadap

adat dan kurang sosialisasi. Peranan Kepala Adat dalam menyelesaikan sengketa

tanah ulayat adalah sebagai hakim perdamaian dalam persidangan adat dan

sebagai pengambil keputusan adat yang mana pihak-pihak tersebut mengikat pada

keputusan yang bersengketa. Sedangkan hambatan yang sering terjadi dalam

penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui Kepala adat/Mosalaki adalah faktor

internal yang disebabkan oleh saksi tidak mau menjadi saksi, ketidak jelasan

batas tanah dan ketidak jelasan pemilik tanah. Faktor eksternal yang berasal dari

pihak ketiga yang muncul pada saat musyawarah sengketa telah menemukan

solusinya para pihak juga telah sepakat kemudian terdapat pihak lainnya

mengajukan keberatan sehingga muncul masalah baru.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini diketahui bahwa Peranan Kepala Adat
18

yaitu Mosalaki sangat berperan terhadap penyelesaian sengketa tanah-tanah ulayat

karena Kepala Adat dianggap sebagai hakim perdamaian antara masyarakat dalam

menyelesaiakan sengketa tanah ulayat dan tempat bersandarnya anggota

masyarakat adat untuk menyelesaikan masalahnya.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh

peneliti sangat berbeda jauh, yaitu dalam penelitian terdahulu ini membahas

tentang penyelesaian perkara tanah dengan menggunakan hukum adat, sedangkan

dalam penelitian yang diteliti oleh peneliti yaitu membahas tentang model mediasi

perkara perceraian dengan cara hukum adat.

Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian yang sedang diteliti

yaitu sama-sama membahas tentang penyelesaian perkara dengan cara hukum

adat, sehingga penulis memasukkan penelitian terdahulu ini kedalam skripsi ini,

karena penulis merasa masih ada hubungannya, karena sama-sama menggunakan

cara adat dalam penyelesaian masalah.

3. Mediasari Amalia Nur Handini

Skripsi pada tahun 2018 yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Tanah

Melalui Mediasi (Studi Kasus di kantor pertanahan Kabupaten Sukoharjo)”

Penelitian ini mengkaji dan menjawab mengenai tata cara atau prosedur dan

model mediasi penyelesaian sengketa tanah di Kantor Pertanahan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode non doktrinal dengan

menggunakan analisis kualitatif yaitu data yang telah diperoleh dikumpulkan

kemudian dianalisis yang akan dijadikan rujukan dalam memecahkan masalah.

Tanah sebagai sumber daya alam yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup
19

manusia di Indonesia masih jumlahnya tidak bertambah atau tetap namun

penggunaannya yang bertambah dan mengakibatkan nilai harga tanah juga ikut

naik sehingga seringkali menimbulkan konflik. Oleh karena itu diperlukan

penyelesaian secara tuntas salah satunya melalui mediasi yang putusannya tidak

ada pihak yang kalah ataupun menang atau biasa disebut penyelesaian secara win

– win solution sehingga tercipta keadilan diantara para pihak. Dari hasil penelitian

dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa prosedur atau tata cara mediasi

yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan untuk menyelesaikan sengketa tanah

dimulai dengan pemanggilan para pihak secara terpisah, kemudian dilakukan

pemeriksaan lapangan untuk memperoleh kebenaran data, selanjutnya para pihak

dipertemukan untuk mencari jalan keluar dari sengketa tanah tersebut. Prosedur

mediasi yang dilakukan Kantor Pertanahan tidak bertentangan dengan Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan Pasal 6

sampai dengan Pasal 42. Sidang mediasi yang dilakukan Kantor Pertanahan terdiri

dari 3 (tiga) kali sidang dengan pendekatan persuasif dimana para pihak dipanggil

secara terpisah terlebih dahulu kemudian dipanggil bersama dalam sidang terakhir

untuk menyelesaikan permasalah. Mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan

merupakan penyelesaian sengketa secara non litigasi dengan pendekatan

persuasive yang berdasarkan pada prinsip keadilan.


20

2.2 Pemerintahan Daerah

Secara konseptual perlu dipahami tentang posisi pemerintah daerah sesuai

dengan Undang- Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yaitu

bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah: penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah daerah adalah kepala daerah, yaitu kepala daerah pada

umumnya, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, serta anggota DPRD.

Kedudukan anggota DPRD sederajat sama tinggi dengan bupati, di mana kepala

daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD bergerak di bidang legislatif.

Dalam hal pembuatan peraturan daerah, kepala daerah dan anggota DPRD harus

bersama-sama dalam pembuatan Perda. Pemerintah daerah adalah Gubernur,

Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah. Dengan demikian peran pemerintah daerah adalah segala

sesuatu yang dilakukan dalam bentuk cara tindak baik dalam rangka

melaksanakan otonomi daerah sebagai suatu hak, wewenang, dan kewajiban

pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Konflik pertanahan adalah konflik yang berhubungan dengan tanah

senantiasa berlangsung sebab setiap orang atau kelompok selalu memiliki


21

kepentingan dengan hal tersebut. Lebih lanjut pengertian sengketa tanah diatur

dalam Peraturan Menteri Negara Agrarian/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan Pasal 1

butir 1:“sengketa tanah adalah perbedaan pendapat mengenai :

1. Keabsahan suatu pihak.

2. Pemberian hak atas tanah.

3. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti

haknya antara pihah-pihak yang berkepentingan dengan instansi Badan

Pertanahan Nasional”.

Berkenaan dengan pengertian sengketa di atas, dapat diketahui bahwa kata

sengketa terkait dengan perkara dalam Pengadilan untuk diselesaikan menurut

peraturan hukum yang berlaku. Dari definisi tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa sengketa tanah adalah merupakan konflik

2.3 Konsep Desentralisasi

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangga sendiri

berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan

Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka munculkan otonomi bagi

suatu pemerintah daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam

keorganisasian yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan

kewenangan1 . Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,

Desentralisasi akhir – akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintah


22

karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma

pemerintah di Indonesia. Dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak

positif pada pembangunan daerah – daerah yang tertinggal dalam suatu negara

agar daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan

pembangunan nasional, Menurut Josef Riwo Kaho, tujuan desentralisasi adalah,

(a) mengurangi bertumpuknya pekerjaan di Pusat Pemerintahan, (b) dalam

menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang

cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari Pemerintah Pusat, (c) dapat

mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera

dilaksanakan, (d) dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan dan

pengkhususan yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi

teritorial, dapat lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan dan kebutuhan

khusus daerah, (e) mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari

Pemerintah Pusat, (f) dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan

kepuasan bagi daerah-daerah karena sifatnya yang lebih langsung.

Desentralisasi terbagi dalam beberapa bentuk kegiatan utama yaitu

desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administrasi (dekonsentrasi).

Devolusi menurut Rondinelli adalah penyerahan tugas-tugas dan fungsi-fungsi

kepada sub nasional dari pemerintah yang mempunyai tingkat otonomi tertentu

dalam melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi tersebut. Konsekuensi dari

devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintah di luar

pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu kepada unitunit

untuk dilaksanakan secara mandiri. Sedangkan dekonsentrasi menurut Rondinelli


23

adalah penyerahan tugas-tugas dan fungsi-fungsi dalam administrasi pemerintah

pusat kepada unit-unit di daerah. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa

desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Menurut Haris, otonomi

daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan

mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari

pemerintah pusat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan

pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap terhadap masyarakat dan

pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang – undangan.

Kewenangan otonomi daerah ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu otonomi luas

dan otonomi terbatas. Kewenangan Otonomi luas menurut Haris adalah kekuasaan

daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan

semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri,

pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan

yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Otonomi untuk daerah Propinsi

diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas kabupaten dan kota,

dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh daerah Kabupaten dan

daerah Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan lainnya. Pemerintah provinsi

secara administratif juga merupakan perpanjangan dari Presiden (pemerintah

pusat). Sedangkan dalam Pelaksanaan otonomi yang luas dan utuh diletakkan

pada daerah kabupaten dan kota. Kewenangan Otonomi luas bagi kabupaten dan

kota adalah kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang

mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan


24

dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,

agama serta kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Secara konstitusional pemberian otonomi daerah dilakukan dengan

mengacu kepada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 di bidang ketatanegaraan,

pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembagian daerah-daerah dengan

bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Oleh

karena itu, pemerintah beberapa kali membentuk Undang-Undang tentang

Pemerintah Daerah. Perubahan-perubahan terlihat karena masing-masing undang-

undang menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi waktu terjadinya, sehingga

akhirnya terbentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah. Ada tiga alasan pokok dibentuknya Undang-Undang No

5 Tahun 1974 yaitu alasan politis, sosiologis dan konstitusional. Alasan politis

adalah alasan karena perubahan struktur politis waktu itu. Alasan sosiologis yaitu

karena situasi dan kondisi masyarakat yang semakin berkembang. Alasan

konstitusional yaitu alasan perimbangan keadaan serta memperhatikan pendapat

yang timbul dari sidang-sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

2.4 Teori Mediasi

Secara etimologi mediasi berasal dari bahasa latin mediare yang artinya

ditengah, yang dapat dimaknai aktivitas seseorang (mediator) dalam menengahi

pertentangan yang terjadi di antara dua pihak tanpa memihak kepada salah satu di

antara mereka (Yono, 2011). Penjelasan mengenai mediasi akan lebih lengkap
25

jika ditambah dengan penjelasan lain secara terminologi yang dikemukakan oleh

ahli resolusi konflik.

Menurut Boulle dalam Lubis (2014), mediation is a decision making

process in which the parties are assisted by a mediator, the mediator attempt to

improve the process of decision making and to assist the parties to reach an out

come to which of them can assen (Mediasi adalah sebuah proses pengambilan

keputusan dimana para pihak dibantu oleh mediator, mediator berupaya untuk

meningkatkan proses pengambilan keputusan dan untuk membantu para pihak

mencapai hasil yang mereka inginkan bersama.)

Pernyataan Boulle menunjukkan bahwa kewenangan pengambilan

keputusan sepenuhnya berada di tangan para pihak yang berkonflik dan mediator

hanyalah membantu para pihak di dalam proses pengambilan keputusan nantinya.

Kehadiran mediator merupakan faktor yang sangat penting karena mediator dapat

membantu dan mengupayakan proses pengambilan keputusan menjadi lebih baik,

sehingga menghasilkan keputusan akhir yang dapat diterima oleh mereka yang

bertikai.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2014) dengan judul Peranan

Tokoh Masyarakat Dalam Mediasi Konflik studi kasus pada perselisihan antar

warga Desa Tolang Jae dengan Dusun Adian Goti di Tapanuli Selatan

mengatakan bahwa mediasi yang dilakukan oleh tokoh masyarakat sebagai

mediator dalam penyelesaian konflik tersebut berjalan buntu dan tidak berhasil

meredam konflik, hal ini disebabkan oleh tokoh masyarakat dinilai tidak bersikap

adil dan tidak menyerukan kesadaran sosial antara kedua belah pihak yang
26

bertikai. Mediator yang dalam hal ini adalah tokoh masyarakat masih dipengaruhi

oleh struktur masyarakat yang mendominasinya sehingga terkesan membela pihak

yang mayoritas dan mengabaikan pihak minoritas. Hal ini tidak sejalan dengan

teori mediasi sebagai alternatif penyelesaian konflik dimana mediator adalah

pihak yang netral dan tidak memihak, karena tugasnya adalah untuk membantu

pihak yang berkonflik menemukan keputusan yang diinginkan bersama bukan

membela salah satu dari pihak yang berkonflik.

Beberapa peran mediator dalam Handoko (2007) dikategorikan sebagai

peran yang lemah dan peran yang kuat, adapun peran mediator yang lemah

meliputi:

1. Sebagai penyelenggara pertemuan

2. Pemimpin diskusi yang netral

3. Pemelihara atau penjaga aturan-aturan perundingan agar perdebatan berjalan

baik

4. Pengendali emosi para pihak

5. Mendorong para pihak untuk mengungkapkan pandangan dan gagasannya.

Dan adapun peran mediator yang kuat seperti:

1. Mempersiapkan dan membuat notulasi perundingan

2. Mengartikulasikan titik temu kepentingan para pihak

3. Menumbuhkan kesadaran para pihak bahwa konflik bukan sebuah

pertarungan untuk dimenangkan tetapi untuk diselesaikan

4. Menyusun pilihan-pilihan pemecahan masalah

5. Membantu para pihak menganalisis alternatif-alternatif pemecahan masalah.


27

Jika pada penelitian terdahulu mediator berasal dari tokoh masyarakat

untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, maka pada penelitian kali ini proses

mediasi dilakukan oleh tim mediasi (mediator) yang dibentuk Pemerintah

Kabupaten Gorontalo untuk penyelesaian konflik pertanahan antara PT. Hutan

Tanaman Industri dengan masyarakat Desa Karyamukti.

2.5 Pengertian Mediasi

Mediasi adalah salah satu bentuk dari akomodasi. Sebagai suatu proses,

akomodasi berarti sebagai usaha manusia untuk meredakan atau menghindari

konflik dalam rangka mencapai kestabilan (Soekanto, 1982). Mediasi adalah suatu

proses penyelesaian konflik dengan perantara pihak ketiga, yakni pihak yang

memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan konflik.

Berbeda dengan arbitrase, keputusan arbiter atau majelis arbitrase harus ditaati

oleh para pihak, layaknya keputusan pengadilan. Sedangkan mediasi, tidak

terdapat kewajiban dari masing-masing pihak untuk menaati apa yang disarankan

oleh mediator (Khairina, 2011).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai

proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai

penasihat. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia

mengandung tiga unsur penting, yakni:

1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan yang terjadi antara dua

pihak atau lebih

2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian perselisihan adalah pihak-pihak yang


28

berasal dari luar pihak yang bersengketa

3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian perselisihan tersebut bertindak

sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam

pengambilan keputusan.

Mediasi merupakan salah satu bentuk pengendalian konflik pertanahan

yang dilakukan dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang

berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator

dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi mempunyai kelebihan

bila dibandingkan dengan menyelesaikan perkara di muka pengadilan. Disamping

itu kurangnya kepercayaan masyarakat atas kemandirian lembaga peradilan dan

kendala administrasi yang rumit membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir

untuk penyelesaian konflik.

Mediasi memberikan kepada para pihak yang berkonflik perasaan

kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan yang dicapai

menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian

solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk win-win

solution itu ditentukan oleh beberapa faktor :

1. Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber masalah lebih dapat

diterima oleh pihak-pihak yang memberikan hasil yang saling

menguntungkan, dengan catatan bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan

pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau

kedudukan para pihak.

2. Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah.


29

Perbedaan kemampuan tawar menawar akan menyebabkan adanya penekanan

oleh pihak yang satu terhadap yang lain (Sumarto,2012).

Dalam Lubis (2014) dikatakan bahwa tujuan dan manfaat dari mediasi

sebagai alternatif penyelesaian konflik adalah:

1. Mempercepat proses penyelesaian konflik dan menekan biaya.

2. Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan perkara

3. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat atau memberdayakan pihak

pihak yang berkonflik dalam proses penyelesaian konflik.

4. Untuk memperlancar jalur keadilan pada masyarakat.

5. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian konflik yang

menghasilkan keputusan yang dapat di terima oleh semua pihak sehingga

para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi.

6. Bersifat tertutup/rahasia.

7. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga

hubungan pihak-pihak yang bersengketa dimasa depan masih di mungkinkan

terjalin dengan baik.

2.6 Proses Mediasi

Dalam Asmawati (2014) mediasi dibagi menjadi 2 kategori, yakni :

1. Mediasi Secara Hukum, yaitu merupakan bagian dari litigasi, hakim meminta

para pihak untuk mengusahakan penyelesaian masalah mereka dengan cara

menggunakan proses mediasi sebelum proses mediasi dilanjutkan.

2. Mediasi Pribadi, yaitu mediasi yang penyelesaiannya diatur oleh para pihak
30

itu sendiri dibantu oleh mediator terkait atau mengikuti pendapat /pandangan

para ahli yang tehnik dan caranya sangat bervariasi tetapi tujuannya sama,

yaitu membantu para pihak dalam rangka menegosiasikan permasalahan yang

dihadapi dalam rangka mencapai kesepakatan bersama secara damai dan tidak

ada pihak yang merasa dirugikan.

Langkah-langkah penyelesaian konflik melalui mediasi adalah :

1. Para pihak setuju untuk melakukan mediasi, karena mediasi sifatnya adalah

sukarela

2. Seleksi terhadap mediator

3. Pertemuan mediator dengan para pihak yang berkonflik, pertemuan dilakukan

oleh mediator secara terpisah antara pihak yang satu dengan yang lainnya.

4. Fase-fase mediasi yang dilakukan sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi dan penjelasan terhadap persoalan dan

permasalahan.

b. Mengadakan ringkasan terhadap permasalahan dan membuat agenda untuk

didiskusikan.

c. Mendiskusikan setiap permasalahan satu demi satu.

d. Kesiapan memecahkan masalah.

e. Kerjasama memecahkan masalah.

f. Membuat suatu persetujuan tertulis

Asmawati (2014) mengatakan bahwa proses mediasi pada asasnya tidak

diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka proses mediasi cenderung

bersifat universal dan tidak bersifat legalistik. Oleh karena itu pengetahuan
31

tentang proses dan tehnik mediasi dapat diperoleh melalui karya-karya tulis para

praktisis mediasi. Ketiadaan pengaturan tahapan mediasi tersebut dipandang

sebagai kekuatan mediasi karena keadaan itu menyediakan keleluasaan bagi para

pihak maupun mediator untuk menyelenggarakan proses mediasi menurut

kebutuhan para pihak sesuai dengan jenis permasalahan kasusnya.

Boulle (1996) membagi proses mediasi ke dalam tiga tahapan utama,

yaitu:

1. Tahapan Persiapan(Preparation) :

a. Prakarsa mediasi dan keterlibatan mediator (Initianting mediation and the

mediator’s entry).

b. Penapisan (intake and screening).

c. Pengumpulan dan penukaran informasi (information gathering and

exchange).

d. Ketentuan Informasi para Pihak (provision of information to the parties).

e. Hubungan dengan para pihak (contact with the parties).

f. Pertemuan-pertemuan awal (preliminary conference).

g. Kesepakatan untuk menempuh mediasi (settling the agreement to

mediate).

2. Tahapan Pertemuan Mediasi (the stages of mediation meeting) :

a. Pernyataan pembuakaan awal (preliminary mediator’s opening statement).

b. Penyampaian masalah oleh para pihak ( the party presentation).

c. Identifikasi hal-hal yang disepakati (Identifying areas of agreement).

d. Perumusan dan penyusunan agenda perundingan (defining and ordering


32

the issues)

e. Pembahasan masalah-masalah (exploration of issues).

f. Tawar menawar dan penyelesaian masalah (negotiation and problem

solving).

g. Pertemuan terpisah (the sparate meetings).

h. Pengambilan keputusan akhir (final decision making).

i. Akhir dan pernyataan penutupan (closing statement and termination).

3. Tahapan Pasca Mediasi (post- mediation activities) :

a. Telaah dan pengesahan kesepakatan (ratification and review).

b. Sanksi (official sanction).

c. Kewajiban-kewajiban melaporkan (referrals and reporting obligations).

d. Arahan Mediator (mediator’s debriefing).

e. Kegiatan lain-lain (other follow-up activities).

Berdasarkan mediatornya yang ditinjau dari segi power, ruang lingkup,

dan jenis negosiator (aktor), pelaksanaan mediasi dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu mediasi internal dan eksternal. Mediasi internal yaitu mediasi yang

mana mediator berasal dari golongan atau kalangan sejajar dengan pihak-pihak

yang terlibat dalam konflik. Sedangkan mediasi eksternal merupakan mediasi

yang mana mediator berasal dari pihak-pihak yang lebih tinggi atau berada di luar

ruang lingkup konflik, dalam penelitian ini yang dilakukan adalah mediasi

eksternal dimana yang menjadi mediator (tim mediasi) adalah pihak yang

dibentuk oleh Pemerintah setempat yaitu Kabupaten Gorontalo.

Pelaksanaan mediasi dapat digolongkan ke dalam tiga jenis berdasarkan


33

cara yang digunakan dalam penyelesaian konflik, antara lain yaitu content

mediation, issue identification, dan, positive framing of the issue (Lewicki,

1999:476).

1. Content Mediation merupakan jenis mediasi yang dilakukan dimana mediator

berusaha mengembalikan situasi negosiasi ke dalam tahap tawar-menawar

agar negosiator berpeluang kembali mencapai kesepakatan. Mediator hanya

berfungsi untuk mengarahkan negosiator untuk kembali ke akar permasalahan

dan arah tujuan dari negosiasi itu sendiri sehingga diharapkan akan dicapai

kata mufakat.

2. Issue Identification merupakan mediasi yang dijalankan dengan

memprioritaskan isu yang akan diselesaikan sehingga kedua pihak sama-sama

fokus dalam satu isu dan mencari solusi penyelesaiannya.

3. Positive Framing of The Issue yaitu mediasi yang dilakukan dengan cara

memfokuskan pada hasil yang ingin dicapai oleh pihak-pihak negosiator.

Dengan memfokuskan hasil maka diharapkan masing-masing pihak

memperoleh titik terang dan kesamaan pandangan dalam menyelesaikan

masalah sehingga mencapai kesepakatan.

Penggolongan pelaksaan mediasi tersebut akan menjadi acuan dalam

masalah penelitian tersebut tentang bagaimana proses mediasi yang dilakukan

oleh tim mediasi dalam penyelesaian konflik pertanahan yang terjadi antara PT.

Hutan Tanaman Industri dengan masyarakat Desa Karyamukti.


34

2.7 Teori Konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang memiliki arti saling

memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara

dua orang atau lebih (biasa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha

menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak

berdaya. Menurut Chang dalam Lubis (2011) konflik sosial tidak hanya berakar

pada kepada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah

perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalah uang

dan masalah kekuasaan. Namun menurutnya, emosi manusia sesaat pun bisa

memicu terjadinya konflik sosial.

Teori konflik memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui

proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat

adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan

kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana-sarana produksi

sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.

Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik

adalah pemikiran Karl Marx. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang

masyarakat dan perjuangannya, menurutnya masyarakat terintegrasi karena

adanya struktur kelas dimana kelas borjuis menggunakan negara dan hukum untuk

mendominasi kaum proletar. Konflik antar kelas sosial terjadi melalui proses

produksi sebagai salah satu kegiatan ekonomi dimana didalam proses produksi

terjadi kegiatan pengekspoitasian terhadap kelompok proletar oleh kelompok

borjuis.
35

Perubahan sosial justru membawa dampak yang buruk bagi nasib kaum

buruh (proletar) karena perubahan sosial berdampak pada semakin banyaknya

jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk akan menyulitkan kehidupan

kelompok proletar karena tuntutan lapangan pekerjaan akan semakin tinggi

sedangkan jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak bertambah (konstan).

Tingginya jumlah penawaran tenaga kerja akan berpengaruh pada rendahnya

ongkos tenaga kerja yang diterima, sehingga kehidupan selanjutnya kian buruk.

Sementara kehidupan kelompok kapitalis (borjuis) akan semakin berlimpah

dengan segala macam kemewahannya. Gejala inilah yang pada akhirnya

menimbulkan ketimpangan sosial yang berujung pangkal pada konflik sosial.

Dengan demikian, akar permasalahan yang menimbulkan konflik sosial adalah

karena tajamnya ketimpangan sosial dan eksploitasinya.

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh

penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Marx. Dahrendorf menganggap

masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Penerimaan

Dahrendorf pada teori konflik Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas

sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial.

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki

sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis.

Namun, pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu mereka yang berkuasa

dan yang dikuasai.


36

2.8 Mediasi Sebagai Resolusi Konflik

Resolusi konflik merupakan cara untuk mencari jalan keluar untuk

mengatasi konflik, dan berupaya menghasilkan kesepakatan bersama menuju

perdamaian. Secara teoritik untuk menghasilkan resolusi konflik ada peran pihak

ketiga atau mediator yang berupaya untuk membantu pihak yang berselisih

dengan membingkai ulang situasi konflik, menemukan solusi kreatif, dan

diharapkan dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (Lusia, 2010).

Para ahli studi konflik mendefinisikan resolusi konflik dengan

penekanannya masing-masing. Menurut Wallerstein (2002) definisi resolusi

konflik mengandung tiga unsur penting. Pertama, adanya kesepakatan yang

biasanya dituangkan dalam sebuah dokumen resmi yang ditandatangani dan

menjadi pegangan selanjutnya bagi semua pihak. Kesepakatan juga bisa dilakukan

secara rahasia atas permintaan pihak-pihak yang bertikai dengan pertimbangan

tertentu yang sifatnya sangat subyektif. Kedua, setiap pihak menerima atau

mengakui eksistensi dari pihak lain sebagai subyek. Sikap ini sangat penting

karena tanpa itu mereka tidak bisa bekerjasama selanjutnya untuk menyelesaikan

konflik secara tuntas. Ketiga, pihak-pihak yang bertikai juga sepakat untuk

menghentikan segala aksi kekerasan sehingga proses pembangunan rasa saling

percaya bisa berjalan sebagai landasan untuk transformasi sosial, ekonomi dan

politik yang didambakan.

Mediasi merupakan manajemen konflik, dan manajemen konflik adalah

suatu tahapan untuk mencapai resolusi konflik. Peran pihak ketiga sangat tepat

dilaksanakan pada sebuah konflik yang berlangsung lama terutama apabila terjadi
37

kebuntuan dalam mencapai penyelesaian konflik. Zartman dan Rasmussen (1997)

mengatakan bahwa keadaan buntu tersebut membuat pihak yang saling bertikai

berpandangan bahwa mereka tidak bisa menang dengan berperang, tetapi tidak

juga memiliki kecenderungan untuk mencari perdamaian. Dalam keadaan inilah

pihak ketiga dibutuhkan untuk memiliki inisiatif guna mencari perdamaian, yaitu

menjadi mediator dalam proses negosiasi untuk menghilangkan kebuntuan yang

terjadi.

Mediasi merupakan suatu bentuk intervensi pihak ketiga dalam konflik.

Mediasi bertujuan untuk membawa konflik pada suatu kesepakatan yang dapat

diterima oleh kedua belah pihak dan konsisten dengan kesepakatan tersebut.

Mediasi merupakan upaya menyelesaikan konflik secara damai, yaitu bersifat

tidak memaksa (noncoerceive) dan tidak memakai kekerasan (nonviolence)

(Lusia, 2010). Mediasi bersifat sukarela, mereka harus diterima oleh kedua belah

pihak yang terlibat dalam konflik, hal ini menurut Harris dan Reilly (2000) biasa

dikenal dengan kenetralan dan imparsialitas pihak ketiga. Netral di sini bukan

hanya sekedar tidak memihak akan tetapi juga bersih dari kepentingan-

kepentingan pribadi.

Mediasi adalah suatu cara intervensi dalam konflik dimana mediator

dalam konflik ini juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik.

Untuk mencapai tujuannya, mediasi harus membuat penerimaan menjadi mungkin

bagi para penasihat dalam konflik. Namun mediator seringkali menemui

penolakan awal dari pihak-pihak yang berkonflik, maka usaha diplomasi awal

haruslah mempersuasi pihak-pihak dengan nilai dari pelayanan mereka sebelum


38

proses mediasi dimulai. Mediator menggunakan tiga model untuk mengatur

kepentingan semua pihak yang berada dalam konflik, yakni : komunikasi,

formulasi dan manipulasi. Ketika mediasi terjadi tanpa adanya keinginan satu atau

bahkan kedua belah pihak untuk menang dari lainnya, mediator dapat

menempatkan dirinya sebagai komunikator untuk menjembatani kepentingan

masing-masing pihak. Namun ketika terjadi perselisihan antar pihak yang

mengikuti mediasi, mediator diharapkan mengambil pilihan kedua sebagai

formulator untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi. Sementara pilihan

ketiga hanya akan diambil ketika pihak-pihak tersebut saling berselisih dalam

taraf yang ekstrim.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi

kasus. Penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan metode studi

kasus sebagai kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa tertentu. Studi

Kasus (case study) merupakan penelitian yang penelaahannya kepada suatu kasus

dilakukan secara intensif, mendalam dan mendetail. Pendekatan kualitatif juga

diartikan sebagai pendekatan yang dapat menghasilkan data, tulisan dan tingkah

laku yang dapat diamati. Penelitian ini bersifat mengungkap fakta. Hasil

penelitian lebih ditekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang

keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki. Dengan menggunakan pendekatan

kualitatif, peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam

mengenai bagaimana sebenarnya proses mediasi yang dilakukan oleh tim mediasi

dalam penyelesaian konflik pertanahan yang terjadi antara PT. Hutan Tanaman

Industri dengan masyarakat Desa Karyamukti di Kabupaten Gorontalo

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada PT. Hutan Tanaman Industri Kabupaten

Gorontalo. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena pada PT. Hutan Tanaman

Industri terdapat kasus konflik pertanahan milik PT. Hutan Tanaman Industri
40

dengan masyarakat dari Desa Karyamukti yang memicu konflik sosial antara

pihak perusahaan dan masyarakat sehingga dilakukan usaha untuk menyelesaikan

konflik tersebut dengan jalur mediasi oleh pemerintah Kabupaten Gorontalo dan

peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh tim

mediasi tersebut berjalan dalam penyelesaian konflik pertanahan.

3.3 Unit Analisis dan Informan

3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian

keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007). Dalam

penelitian ini, yang menjadi unit analisisnya atau objek kajiannya adalah

perwakilan masyarakat desa Karyamukti yang ikut dalam proses mediasi dengan

PT. Hutan Tanaman Industri, perwakilan PT. Hutan Tanaman Industri yang ikut

dalam proses mediasi, dan ketua tim mediasi yang dibentuk oleh pemerintah

Kabupaten Gorontalo dalam penyelesaian konflik pertanahan tersebut.

3.3.2 Informan

Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek

penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian

(Bungin, 2007:76). Adapun yang menjadi informan sebagai sumber informasi

bagi peneliti adalah:

1. Ketua Tim Mediasi Kabupaten Gorontalo, 1 orang.

2. Anggota Tim Mediasi, 2 orang.

3. Masyarakat Desa Karyamukti, 3 orang.


41

4. Pihak perusahaan PT. Hutan Tanaman Industri, 2 orang.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, peneliti akan menggunakan beberapa

teknik pengumpulan data agar nanti mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan

penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun teknik pengumpulan data

dalam penelitian ini adalah:

3.4.1 Data Primer

Data Primer adalah data yang didapatkan secara langsung dari obyek

penelitian pada saat penelitian dilakukan melalui observasi dan wawancara.

Observasi yaitu pengamatan oleh peneliti baik secara langsung ataupun tidak

langsung. Metode observasi langsung dilakukan melalui pengamatan gejala-gejala

yang tampak pada obyek penelitian pada saat peristiwa sedang berlangsung

(Nawawi, 2006). Metode observasi langsung ini dilakukan jika informan tidak

dapat menjelaskan mengenai tindakan yang ia lakukan atau karena ia tidak ingin

menjelaskan mengenai tindakannya. Oleh karena itu data dari metode observasi

langsung diharapkan dapat menjadi penunjang data dari metode wawancara.

Adapun yang akan dilihat pada observasi adalah tempat-tempat yang digunakan

selama proses mediasi berlangsung.

Wawancara merupakan salah satu metode yang penting untuk memperoleh

data di lapangan. Teknik wawancara adalah teknik yang dilakukan dengan

percakapan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam


42

dengan teknik wawancara terstruktur dimana draft pertanyaan telah disiapkan oleh

peneliti sebagai pedoman untuk proses mewawancarai informan. Draft pertanyaan

tersebut disiapkan dengan tujuan agar pertanyaan yang akan ditanyakan

terstruktur dan agar peneliti tidak lupa dengan apa yang harusnya ditanyakan

kembali. Dalam proses wawancara tersebut peneliti akan menggunakan alat bantu

berupa perekam suara untuk membantu peneliti dalam mendapatkan hasil

wawancara

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang berkaitan dengan objek penelitian namun

bukan dari penelitian di lapangan. Data sekunder dalam penelitian ini dapat

diperoleh dari studi kepustakaan yakni dengan mencari data dari artikel, surat

kabar, tabloid, buku, internet, ataupun sumber lainnya yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu

dengan mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan

dan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi,

dokumen, majalah dan jurnal.

Data sekunder lainnya berasal dari penelusuran data online yang

merupakan tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti

internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online. Informasi

online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin

dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis (Bungin, 2007).


43

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan suatu tahap pengelolaan data, baik itu data

primer dan data sekunder yang telah didapatkan dari catatan lapangan. Dalam

penelitian ini, peneliti mengumpulkan data melalui hasil wawancara, observasi,

dan dokumentasi. Semua data akan dianalisis dengan pengolahan dan penafsiran

data yang diperoleh dari setiap informasi baik pengamatan, wawancara atau

catatan lapangan lainnya yang kemudian ditelaah dan dipelajari. Langkah

selanjutnya adalah melakukan reduksi data dengan cara abstraksi. Reduksi data

adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan data kasar

yang muncul dari catatan-catatan lapangan, dengan demikian data yang telah

direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan memudahkan peneliti

untuk mengumpulkan data selanjutnya sesuai dengan masalah penelitian.

Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci dan merujuk pada inti temuan

data dengan cara menelaah pernyataan-pernyataan yang diperlukan agar tetap

berada pada fokus penelitian. Data kemudian disusun dan dikategorisasikan

berdasarkan masalah yang berhubungan dengan konteks penelitian serta

diinterpretasikan secara kualitatif sesuasi dengan metode penelitian yang

digunakan.

3.6 Keterbatasan Masalah

Keterbatasan penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman

peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Terkait dengan keterbatasan waktu

terutama pada informan membuat peneliti harus membuat jadwal pertemuan.


44

Terlepas dari kendala diatas peneliti menyadari keterbatasan dalam proses

penelitian yang dilakukan. Meskipun demikian peneliti berusaha untuk melakukan

penelitian semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil yang akurat.


BAB IV

HASI PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Hutan Tanaman Industri

Hutan tanaman industri (HTI) adalah kawasan hutan produksi

yang menerapkan budidaya kehutanan (silvikultur) secara intensif untuk

memenuhi bahan baku industri kehutanan, baik kayu maupun non kayu. Di tengah

semakin langkanya hutan produksi alam, HTI menjadi tumpuan produksi hasil

hutan masa depan.

Eksploitasi hasil hutan alam sejak dekade 70-an telah menjadi sumber

pemasukan negara yang signifikan. Dengan semakin pesatnya industri kehutanan,

kayu yang dipanen dari hutan alam semakin masif. Akibatnya, hutan produksi

yang kebanyakan berupa hutan alam semakin menyusut luasannya.

Sejak tahun 1990-an, hutan alam sudah tidak mungkin lagi memenuhi

kebutuhan bahan baku industri kehutanan. Oleh karena itu, pemerintah

menggalakan program hutan tanaman industri untuk memenuhi permintaan akan

hasil hutan.

Hutan tanaman industri di atur secara khusus dalam PP No.7 tahun 1990

tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Hutan jenis ini dimaksudkan

untuk meningkatkan produktivitas dari hutan produksi alam yang telah rusak atau

tidak produktif lagi.

Hutan tanaman industri diarahkan untuk dibangun di kawasan hutan alam


46

yang sudah tidak produktif lagi. Menurut Kementrian Kehutanan kriteria hutan

alam yang tidak produktif dicirikan oleh tiga hal, pertama, pohon yang

berdiameter kurang dari 20 cm tidak lebih dari 25 batang per hektar. Kedua,

pohon induk kurang dari 10 batang per hektar. Ketiga, kemampuan permudaan

alamnya sudah menurun: semai ≤ 1000 batang/hektar, pancang ≤ 240

batang/hektar dan tiang ≤ 75 batang/hektar.

Dalam pelaksanaannya, hutan tanaman industri harus menerapkan

manajemen budidaya kehutanan yang intensif. Pada awalnya, semua pepohonan

ditebang habis, kemudian dilakukan permudaan buatan. Perusahaan yang akan

membuka HTI diwajibkan mempekerjakan profesional di bidang kehutanan.

Tata ruang untuk hutan tanaman industri adalah sebagai berikut:

- Areal tanaman pokok 70%

- Areal tanaman unggulan 10%

- Areal tanaman tanaman kehidupan 5%

- Kawasan lindung 10%

- Sarana dan pra sarana 5%

4.1.2 Profil Desa Karyamukti

1. Sejarah Desa Karyamukti

Desa Karyamukti adalah merupakan bagian dari desa di wilayah

Kecamatan Mootilango, sebelum menjadi desa yang definitive, Desa Karyamukti

pada awalnya hanya satu dusun dari Desa Sidomukti yang bernama dusun

matobuloo. Dusun ini adalah hamparan ladang dan persawahan yang di apit oleh
47

dua sungai kecil yaitu sungai matobuloo daa dan matobuloo kiki dan sebelah utara

adalah barisan dari rangkaian pegunungan Boliyohuto.

Pada tahun 1985 diusulkan oleh masyarakat untuk menjadi sebuah Desa,

sehingga terbentuklah Desa persiapan Karyamukti. Status Desa persiapan 2 tahun.

Selanjutnya pada tahun 1987 Desa persiapan Karyamukti mendapat pengakuan

dari Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan resmi menjadi Desa yang Definitif,

Nama Desa : Karyamukti berasal dari Bahasa jawa yang artinya yaitu Pekerjaan

yang sudah berbukti.

2. Letak Geografis Desa Karyamukti

Secara geografis dan secara administrasi Desa Karyamukti merupakan

salah satu desa dari desa di Kabupaaten Gorontalo, dan memiliki luas wilayah

333.86 Ha. Secara topografis terletak pada ketinggian 333.86 meter di atas

permukaan air laut. Posisi Desa Karyamukti yang terletak pada bagian utara

Kabupaten Gorontalo berbatassan langsung dengan, sebelah barat Desa

Sidomukti, sebelah timur berbatasan dengan Gunung\hutan, sebelah utara

berbatasan dengan Desa Satria, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa

Puncak.

Penduduk desa Karyamukti mayoritas petani, baik ladang maupun petani

sawah. Masyarakat petani dulunya masih melakukan bercocok tanam dengan

kebiasaan-kebiasaan tradisional namun dengan kehidupan sebelumnya.Keadaan

3. Penduduk Desa Karyamukti

Penduduk Desa Karyamukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo

berjumlah 1.417 jiwa yang terdiri atas laki-laki berjumlah 705 Jiwa dan
48

perempuan berjumlah 712 Jiwa. Data tersebut akan disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Keadaan Penduduk Desa Karyamukti Kecamatan Mootilango Kabupaten

Gorontalo

No. Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki – Laki 705 Orang

2. Perempuan 712 Orang

Jumlah 1.417 Orang

Sumber data : RPJM Desa Karyamukti

4. Keadaan Mata Pencaharian Desa Karyamukti

Jenis mata pencaharian penduduk Desa Karyamukti Kecamatan

Mootilango Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2. Mata pencaharian penduduk Desa Karyamukti Kecamatan Mootilango

Kabupaten Gorontalo

No Mata Pencaharian Jumlah ( jiwa )

1 Petani 195

2 Buruh Tani 477

3 Pedagang 41

4 Angkutan /sopir 15

5 PNS 7

7 Buruh Bangunan 76

Jumlah 811

Sumber data : RPJM Desa Karyamukti


49

5. Keadaan Pendidikan Desa Karyamukti

Keadaan Penduduk Desa Karyamukti Kecamatan Mootilango Kabupaten

Gorontalo menurut tingkat pendidikan sebagian besar tamatan SD sebanyak jiwa,

tamatan SLTP sebanyak jiwa, tamatan SLTA sebanyak jiwa. Sedangkan sarjana

sejumlah orang. Keadaan pendidikan masyarakat Desa Karyamukti dapat

diuraikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

No Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa

1 Belum sekolah / tidak tamat SD 291

2 Tamatan SD 609

3 Tamatan SLTP 317

4 Tamatan SLTA 171

5 Tamat Akademi\PT 29

Jumlah 1.417

Sumber data : RPJM Desa Karyamukti

Kehidupan masyarakat masih tergolong pada masyarakat garis menengah

kebawah khususnya masyarakat yang tergolong masyarakat miskin. Adapun

penyebab dari kemiskinan dikarenakan pendidikan dan keterampilan pada

umumnya masih sangat rendah. Pada umumnya mata pencaharian masih berkisar

sebagai pekerja bangunan dan buruh tani. Keadaan ini akan mempengaruhi

kondisi social.

6. Struktur Organisasi Pemerintah Desa Karyamukti


50

Struktur Pemerintahan Desa Karyamukti terdiri dari Kepala Desa dan

seluruh perangkatnya, adapun perangkat desa tersebut Sekretaris Desa, Kepala

Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Kesejahteraan, Kepala Urusan Pelayanan,

Kepala Urusan Perencanaan, Kepala Urusan Keuangan, Kepala Urusan Umum,

dan Kepala Dusun.

7. Visi dan Misi Desa Karyamukti

 VISI

”Mewujudkan Desa Karyamukti menjadi Desa mandiri melalui

bidang pertanian dan peternakan serta industry kecil”

Desa mandiri : Desa Karyamukti ingin membangun masyarakat yang

mandiri, dengan meminimalkan ketergantungan bantuan, tanggap dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat dan memiliki kemauan untuk

memperluas pengetahuan sehingga mampu mendorong kesejahteraan

masyarakat.

Pertanian, peternakan, industry kecil : desa Karyamukti ingin

membangun desa yang mandiri dengann asas swadaya dan mengingat

masyarakat desa Karyamukti mayoritas bergantung pada sector pertanian,

peternakan, industry kecil.

 MISI

1. Mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang baik.

2. Meningkatkan pelayan terhadap peenuhan hak-hak dasar rakyat.

3. Pembangunan infrastruktur dasar

4.2 Interpretasi Data


51

4.2.1 Kronologi Konflik

Konflik yang terjadi antara PT. Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan

masyarakat Desa Karyamukti adalah konflik tanah dimana ada suatu perbedaan

pendapat tentang status kepemilikan lahan seluas 286 Ha yang menurut

masyarakat tanah/lahan tersebut adalah tanah rakyat yang dikuasai oleh pihak PT.

HTI. Konflik berawal dari adanya laporan masyarakat kepada Gubernur

Gorontalo tentang penguasaan tanah (lahan) milik masyarakat Desa Karyamukti

oleh PT. Hutan Tanaman Industri, menanggapi hal tersebut pada tanggal 1 April

2004 Gubernur Gorontalo menyurati pemerintah Kabupaten Gorontalo untuk

meneliti laporan masyarakat tersebut.

Menurut masyarakat Desa Karyamukti, pada tahun 1960 di desa tersebut

terdapat perkebunan leluhur mereka. Latar belakang tuntutan masyarakat kepada

PT. HTI juga sudah sangat jelas bahwa mereka menginginkan pengembalian

lahan-lahan masyarakat yang dirampas oleh perusahaan. Masyarakat juga

menuntut bukan tanpa alasan, mereka berpegang pada izin hak yang mereka

miliki

PT. Hutan Tanaman Industri menginginkan dalam menjalankan aktifitas

perusahaan adanya suasana yang aman dan tenteram di dalam maupun di luar

lingkungan perusahaan. Untuk itu, perusahaan yang berinvestasi di bidang usaha

perkebunan ini mendambakan jaminan kepastian hukum. Di tengah perjalanan

perusahaan, PT. Hutan Tanaman Industri yang semula sudah nyaman

menjalankan usaha perkebunan di atas areal HGU yang diperoleh dari Pemerintah

R.I melalui proses dan prosedur yang berlaku yaitu HGU Nomor 1 seluas
52

1.018,74 Ha, tiba-tiba merasa terusik dengan adanya sekelompok masyarakat

yang mengaku dari Desa Karyamukti mengklaim bahwa ada tanah (lahan)

masyarakat seluas 286 Ha yang dikuasai oleh PT. Hutan Tanaman Industri.

Seperti terlihat pada kutipan wawancara dengan Pak S dari pihak perkebunan:

“Klaim ini tentunya sangat mengagetkan kami, karena sesungguhnya


perusahaan kami hanya menguasai dan mengusahai lahan seluas yang
diberikan Pemerintah R.I dalam HGU.” (Wawancara, 4 Juni 2019)

Permasalahan tersebut semakin memanas karena masyarakat merasa

tuntutan mereka tidak ditanggapi dengan baik, kemudian mereka menduduki

lahan di dalam perkebunan secara paksa dan melarang pihak perkebunan untuk

memanen di areal klaim sampai masalah tersebut selesai. Bentrokan fisik antara

masyarakat dan pihak perusahaan hampir terjadi karena tenaga panen dari

perusahaan hendak memanen hasil perkebunan, pada saat itu pihak perusahaan

dikawal oleh pihak kepolisian demi mengantisipasi gangguan yang mungkin

terjadi di lapangan.

“Pada saat itu hari sebelumnya kalo tidak salah oktober 2013 kami dari
perusahaan melakukan panen di lokasi klaim penggarap, saat itu tidak ada
gangguan. Lalu hari berikutnya dilakukan lagi proses memanen, pada hari
itulah kami mengalami gangguan dari masyarakat yang meneror tenaga
kerja dengan membawa bambu runcing dan mendesak tenaga kerja tidak
boleh memanen.” (Wawancara 4 Juni 2019)

Kemudian untuk menghindari resiko buruk, tenaga panen ditarik dan

dipulangkan oleh pihak perusahaan. Situasi menjadi reda setelah datang anggota

DPR-D Komisi 1, Kabupaten Gorontalo melakukan pertemuan kecil di lapangan

dengan masyarakat dan pihak perusahaan dengan hasil bahwa akan dilakukan

mediasi untuk membahas dan menyelesaikan konflik tersebut.


53

AKIBAT:

Bentrok antara
Pendudukan lahan masyarakat dan
Demonstrasi oleh masyarakat. perusahaan

PERMASALAHAN: Klaim Lahan Perkebunan

AKAR:
Permenhut Perbedaan Intimidasi
Nomor : Pendapat/Kepentingan Kepolisian
62/Menhut-II/20
08

Gambar 4.1: Pohon konflik pertanahan antara PT. Hutan Tanaman Industri dengan
Masyarakat Desa Karyamukti

Dari Gambar diatas digambarkan bahwa permasalahaannya yaitu klaim

lahan perkebunan antara PT. Hutan Tanaman Industri dengan masyarakat Desa

Karyamukti Kabupaten Gorontalo yang berakar dari izin perusahaan yang

sebenarnya tidak di inginkan oleh masyarakat, perbedaan pendapat juga

kepentingan untuk memiliki lahan perkebunan juga menjadi akar pemicu

permasalahan, lebih-lebih pihak perusahaan juga telah mengambil pihak

keamanan untuk melerai konflik antara perusahaan dan masyrakat, ini yang

kemudian menurut masyarakat pihak keamanan mengintimidasi pihak


54

masyarakat. Akibat dari permasalahan ini sudah digambarkan juga di atas yaitu

demonstrasi, pendudukan lahan oleh masyarakat dan bentrok pihak perusahaan

dan masyarkat.

Jika dilihat secara kronologis, tanah mulai menjadi kendali dalam

kekuasaan ketika dipegang oleh kalangan adat atau yang dikenal dengan

feodalisme. Kemudian dalam feodalisme diteruskan ke dalam kendali

kolonialisme. Selanjutnya pada masa periode kemerdekaan, tanah masuk dalam

kendali negara. Periode pasar bebas, tanah berada di bawah kendali negara dan

pasar (kapitalisme). Dalam hal ini, kepemilikan tanah lebih didasarkan pada

struktur kekuasaan (power).

Teori konflik yang dicetuskan oleh Dahrendorf (2011) dapat menjelaskan

sengketa tanah dari aspek penggunaan otoritas yang bersifat dikotomis antara

otoritas negara berhadapan dengan masyarakat, otoritas perusahaan berhadapan

dengan masyarakat, kemudian otoritas militer berhadapan dengan masyarakat.

Dan bila dilihat dalam hal ini otoritas negara berada dalam otoritas yang paling

kuat, kemudian otoritas tersebut dapat terbagi ke perusahaan, militer, dan

masyarakat yang berada pada posisi terakhir. Dahrendorf juga mengatakan bahwa

setiap asosiasi pada dasarnya berusaha mempertahankan atau memperkuat posisi

dominan. Dalam kasus yang terjadi antara Masyarakat Desa Karyamukti dan PT.

Hutan Tanaman Industri, dapat dilihat bahwa masyarakat merasa pemerintah

terlalu membela pihak perusahaan. Hal ini tampak karena masyarakat mengatakan

bahwa tuntutan mereka agar pendistribusian lahan dilakukan, tetapi tidak juga

dilaksanakan sehingga memicu konflik dan menimbulkan dugaan dari masyarakat


55

bahwa pemerintah sengaja mengabaikan tuntutan mereka. Sehingga muncul

inisiatif dari masyarakat untuk menduduki lahan untuk mencuri perhatian

pemerintah dan pihak perusahaan.

4.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Konflik

Secara umum proses terjadinya konflik pertanahan di beberapa daerah di

Indonesia hampir sama, dimana faktor utamanya adalah adanya perbedaan

kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang diutarakan oleh

Dahrendorf (2011) bahwa masyarakat terintegrasi karena adanya kelompok

kepentingan dominan yang menguasai masyarakat. Marx (2011) menyebutkan

bahwa kelas-kelas dianggap sebagai kelompok sosial yang mempunyai

kepentingan sendiri dan bertentangan satu sama lain.

Dalam kasus antara PT. Hutan Tanaman Industri dengan masyarakat Desa

Karyamukti ini, yang menjadi faktor utama terjadinya konflik adalah adanya

perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan yang dimaksud dalam hal ini

adalah masyarakat yang menginginkan agar permasalahan mereka diselesaikan

terlebih dahulu, sementara pihak perusahaan tidak ingin aktifitas perusahaannya

terganggu dan mengalami kerugian akibat tidak dapat memanen hasil perkebunan

dari lahan yang diduduki oleh masyarakat sampai masalah tersebut diselesaikan.

Sehingga akibat dari adanya perbedaan kepentingan tersebut hampir terjadi

bentrokan fisik antara masyarakat dengan pihak perusahaan.

Seperti yang diutarakan oleh Marx (2011) bahwa kelas-kelas sebagai

kelompok sosial memiliki kepentingan sendiri dan bertentangan satu sama lain,

masyarakat dalam kasus tersebut bersikeras dengan bukti-bukti yang mereka


56

miliki untuk mendapatkan lahan di dalam areal perkebunan yang seharusnya

dimiliki leluhur mereka, sementara pihak perusahaan juga bersikeras bahwa lahan

yang dituntut oleh masyarakat tersebut bukanlah tanggung jawab dari PT. Hutan

Tanaman Industri karena mereka hanya menjalankan dalam tanah HGU (Hak

Guna Usaha) yang diberikan oleh pemerintah.

Menurut analisa penulis, faktor lain yang menyebabkan masyarakat untuk

terus menuntut hak mereka tersebut adalah karena adanya faktor ekonomi.

Tanah/lahan dalam hal ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi mereka, mengingat nilai ekonomis tanah yang sangat tinggi

sehingga memicu konflik bukan saja mengenai kepemilikan tanah tetapi juga

menyangkut penguasaan areal untuk perkebunan. Masayarakat tetap bersikeras

untuk mendapatkan lahan tersebut karena mereka memiliki keinginan untuk

memanfaatkan lahan untuk kehidupan mereka yang lebih baik.

4.2.3 Kondisi Konflik Saat Ini

Kondisi konflik saat ini sudah tidak memanas lagi dan masyarakat juga

sudah tidak menduduki lahan, hal ini karena sudah diadakannya beberapa kali

pertemuan antara pihak yang berkonflik dengan tim mediasi dari pihak

Pemerintah Kabupaten Gorontalo untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang

terjadi antara masyarakat Desa Karyamukti dengan PT. Hutan Tanaman Industri.

Dalam kegiatan aktifitas sehari-hari juga antara masyarakat dengan pekerja

perkebunan berjalan normal dan biasa saja, meskipun masyarakat tetap

memperjuangkan hak mereka tapi dalam kehidupan sosial mereka tidak lagi

mengalami ketegangan. Hal ini senada dengan pernyataan dari masyarakat desa
57

yaitu Pak H yang diambil pada proses wawancara:

“Kalau kondisi sosial kami saat ini dengan pihak perusahaan ya biasa-
biasa saja, tidak ada istilah merasa saling bermusuhan karena ini. Apalagi
kan letak desa kita berbatasan langsung dengan areal perkebunan HTI, jadi
sama semua pekerja kebun kami sudah biasa-biasa saja tidak ada
ketegangan. Cuma waktu konflik memanas tahun 2013 itu, masyarakat
hampir bentrok sama pekerja kebun karena mau panen bawa- bawa polisi.”
(Wawancara 29 Mei 2019)

Dalam kondisi sosial antara masyarakat dengan pihak perusahaan memang

sudah tidak ada lagi ketegangan, tetapi masyarakat masih akan tetap

memperjuangkan tuntutan mereka. Dalam mediasi yang sudah berulang kali

dilakukan masyarakat masih merasa tidak puas dan tidak mendapatkan hasil, oleh

karena itu masyarakat masih berencana untuk mengambil langkah selanjutnya

dengan melakukan aksi-aksi protes berikutnya. Seperti pernyataan dari

masyarakat Desa Karyamukti yang dikutip dari hasil wawancara:

“Kami memang terpaksa harus mengambil langkah selanjutnya, salah satu


contoh yang masih kami rencanakan adalah kami akan mengepung instansi
pemerintahan kecamatan karena pihak kecamatan berjanji akan membantu
kami tapi sampai sekarang kami belum dan Camat tidak terlihat mau
membantu kami.” (Wawancara 3 Juni 2019)

Chang dalam Lubis (2014) mengungkapkan bahwa konflik sosial tidak

hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian,

masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan,

masalah uang dan masalah kekuasaan. Namun menurutnya, emosi sesaat

manusiapun bisa memicu terjadinya konflik sosial. Dari teori yang disampaikan

oleh William Chang tersebut, dapat dilihat bahwa teori ini berkaitan dengan kasus

yang terjadi antara masyarakat Desa Karyamukti dengan PT.Hutan Tanaman

Industri. Dimana konflik yang terjadi berakar dari masalah tanah yang kemudian
58

berlarut-larut sehingga sulit untuk menyelesaikannya.

4.3 Posisi Pemerintah Daerah Dalam Penyelesaian Konflik Pertanahan

Sengketa Tanah merupakan salah satu bagian dari bidang pertanahan,

dan bidang pertanahan merupakan salah satu urusan pemerintahan. Dalam

ketentuan perundang-undangan ada yang secara tegas menyebutkan kewenangan

penyelesaian sengketa tanah tetapi pada umumnya hanya menyebutkan

kewenangan bidang pertanahan dan urusan pemerintahan. Adapun ketentuan

perundang-undangan dimaksud sebagai berikut:

1. UUD 1945

Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten

dan kota, yang tiap tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang (ayat 1); Pemerintahan

daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (ayat 2);

Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah

Pusat (ayat 5); Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan

(ayat 6).

Pasal 18 A UUD 1945 menyebutkan:

(1). Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

Provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan
59

kota,diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan

dan keragaman daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan

sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-

undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa

urusan pemerintahan itu ada yang merupakan kewenanagan pemerintah dan ada

juga yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Apakah bidang pertanahan

merupakan kewenangan pemerintah dan/atau pemerintah daerah ditentukan dalam

berbagai ketentuan perundang- undangan di bawah UUD 1945.

Lebih lanjut, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) 1945 dapat dipahami dan

dijelaskan bahwa negara sebagai pemegang hak menguasai atas segala sumber

daya alam Indonesia dan penguasaan oleh negara dimaksudkan untuk mencapai

sebasar-besar kemakmuran rakyat.

2) Undang-Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

Dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960, disebutkan:

(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-

hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pata tingkatan


60

tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat;

(2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi

wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(4) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada

ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran

rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam

masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan

makmur;

(5) Hak menguasai dari negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada

daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar

diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut

ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa soal agraria

menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat. Dengan

demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari

negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan

diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh


61

bertentangan dengan kepentingan nasional, dan wewenang dalam bidang agraria

dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukan bahwa kewenangan bidang

pertanahan merupakan kewenangan pemerintah kecuali ada pelimpahan

kewenangan kepada pemerintah daerah.

3. Undang-Undangan No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah

Berdasarkan Pasal 9 UU 23/2014 bahwa Urusan Pemerintahan terdiri atas

urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan

pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan

yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sedangkan Urusan

pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara

Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan Pasal 12 bahwa Urusan Pertanahan merupakan salah satu

Urusan Pemerintahan konkuren dan lebih lanjut dalam Pasal 13 ayat (1)

disebutkan bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah

Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip

akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.

Lebih lanjut dalam Pasal 13 ayat (2) bahwa berdasarkan prinsip-prinsip yang

disebutkan pada ayat (1) maka kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat adalah: (a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya

lintas Daerah provinsi atau lintas negara; (b) Urusan Pemerintahan yang

penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; (c) Urusan Pemerintahan

yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
62

(d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau (e) Urusan Pemerintahan yang

peranannya strategis bagi kepentingan nasional. sedangkankan kriteria Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah: (a) Urusan

Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; (b) Urusan

Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; (c) Urusan

Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah

kabupaten/kota; dan/atau (d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber

dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi. Serta kriteria

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah:

(a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; (b)

Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; (c)

Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah

kabupaten/kota; dan/atau (d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber

dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

Dalam Lampiran UU No. 23/2014 pada huruf J mengenai pembagian

urusan pemerintahan bidang pertanahan disebutkan ada 9 (Sembilan) sub urusan

yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota.

Kesembilan sub urusan tersebut terdiri atas; (1) izin lokasi, (2) pengadaan tanah

untuk kepentingan umum, (3) sengketa tanah garapan, (4) ganti kerugian dan

santunan tanah untuk pembangunan, (5) subjek dan objek redistribusi tanah serta

ganti kerugian tanah kelebihan tanah maksimum dan tanah absentee, tanah ulayat,

(7) tanah kosong, (8) izin membuka tanah, dan (9) penggunaan tanah.
63

Dari 9 (Sembilan) sub urusan tersebut terdapat (3) sub urusan yang tidak

ada kewenangannnya pada pemerintah pusat, yaitu urusan tanah ulayat, tanah

kosong dan izin membuka tanah. Kewenangan penerbitan izin membuka tanah

hanya ada pada pemerintah kabupaten/kota. Di samping itu Kewenangan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya ada pada pemerintah pusat

dan daerah provinsi.

Berdasarkan aturan dalam UU 23/2014 bahwa terdapat penyebutan secara

lebih konkrit mengenai kewenangan penyelesaian sengketa tanah, yaitu (1)

penyelesaian sengketa tanah garapan, (2) penyelsaian masalah ganti rugi dan

santunan tanah untuk pembangunan, dan (3) penyelesaian masalah tanah kosong.

Penyelesaian sengketa tanah garapan dan penyelesaian masalah ganti rugi tanah

untuk pembangunan ada pada semua level pemerintahan, sedangan kewenangan

penyelesaian masalah tanah konsong hanya ada pada level pemerintah provinsi

dan pemerintah kabupaten/kota.

Kewenangan bidang pertanahan pada umumnya dan bidang sengketa tanah

pada khusunya masih memerlukan aturan yang lebih konkrit, karena itu peraturan

pemerintah mengenai ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan urusan

pemerintahan konkuren sebagaimana diamanatkan pasal 21 UU 23/2014 perlu

segera direalisasikan.

4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 51/1960 tentang

Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya

Dalam peraturan tersebut antara lain ditentukan bahwa Penguasa Daerah

(Bupati atau Walikota untuk daerah yang tidak berada dalam kedaan bahaya, dan
64

penguasa darurat atau penguasa perang untuk daerah yang berada dalam kedaan

bahaya) dapat mengambil tindakan- tindakan untuk menyelesaikan yang bukan

perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah,

yang ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu, dan penyelesaian tersebut

diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang

bersangkutan. Sedangkan penyelesaian terhadap tanah perkebunan dan hutan

dilakukan oleh Menteri Agraria dengan mendengar Menteri Pertanian.

Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukan bahwa pemerintah

kabupaten/kota berwenang menyelesaiakan persoalan pemakaian tanah non

perkebunan dan non kehutanan tanpa izin sedangkan kewenanagan penyelesaian

perssoalan pemakaian tanah perkebuanan dan kehuatanan tanapa izin berada

pada pemerintah pusat.

5) Peraturan Presiden No. 63/2013 tentang Badan Pertanahan Nasional RI

Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa BPN mempunyai tugas melaksanakan

tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.

Lebih lanjut dalam dalam Pasal 3 disebutkan bahwa dalam melaksanakan

tugasnya menyelenggarakan 14 (empat belas) fungsi, yang salah satunya adalah

perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan

sengketa dan perkara pertanahan.

Perpres 63/2013 konsisten dengan UU 5/1960 yang didalamya memuat

prinsip bahwa kewenangan bidang pertanahan berada pada pemerintah pusat,

termasuk kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan baik dalam lingkup

nasional maupun daerah. Pelaksanaan kewenangan dibidang pertanahan oleh


65

pemerintah daerah atas dasar pelimpahan kewenangan dan tugas pembantuan.

6) Keputusan Presiden No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang

Pertanahan

Dalam Pasal 2 ayat (1) Keprres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Nasional Di Bidang Pertanahan disebutkan bahwa Sebagian kewenangan

Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Lebih lanjut dalam ayat (2) disebutkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota

dimaksud meliputi: (a) pemberian ijin lokasi; (b) penyelenggaraan pengadaan

tanah untuk kepentingan pembangunan; (c) penyelesaian sengketa tanah garapan;

(d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;

(e) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee; (f) penetapan dan penyelesaian masalah

tanah ulayat; (g) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; (h)

pemberian ijin membuka tanah; (i) perencanaan penggunaan tanah wilayah

Kabupaten/Kota. Apabila kewenangan tersebut bersifat lintas kabupaten/kota

dalam satu propinsi maka dilaksanakan oleh pemerintah propinsi yang

bersangkutan.

Dalam ketentuan tersebut terdapat penyebutan secara konkrit mengenai

kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan pada pemerintah daerah yang

meliputi; (1) penyelesaian sengketa tanah garapan, (2) penyelesaian masalah ganti

kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, (3) penetapan dan penyelesaian

masalah tanah ulayat, dan (4) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah

kosong.
66

Pelaksanaan kewenangan bidang pertanahan yang diatur dalam Keppres

tersebut relatif sama dengan pembagian kewenangan yang ditentukan dalam

lampiran UU 23/2014. Namun demikian apabila dikaitkan dengan fungsi yang

dijalankan oleh BPN dalam melaksanakan tugas di bidang pertanahan

sebagaimana diatur dalam Perpres 63/2013 maka ruang lingkup urusan pertanahan

yang diatur dalam UU 32/2014 relatif lebih sempit dibandingkan dengan yang

diatur dalam Perpres 63/2013.

7) Peraturan Kepala BPN No. 3/2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan

Penanganan Kasus Pertanahan

Peraturan tersebut pada dasarnya mengatur mekanisme penyelesaian kasus

pertanahan dan ruang lingkup kasus pertanahan yang meliputi sengketa, konflik,

dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.

Berdasarkan ketentuan tersebut semua kasus pertanahan yang diajukan kepada

BPN berwenang untuk diselesaikan dan secara kelembagaan BPN mempunyai

struktur yang secara khusus menangani kasus pertanahan sebagaimana sekarang

diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2014 (sebelumnya diatur dalam

Peraturan kepala BPN No. 3 Tahun 2006), yaitu Deputi Bidang Penanganan

Sengketa dan Perkara Pertanahan (Deputi V) pada BPN Pusat, Bidang

Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan pada Kanwil BPN Propinsi, dan

Kasi Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan pada Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.
67

4.4 Mediasi Oleh Pemerintah : Alternatif Penyelesaian Konflik

4.4.1 Pembentukan Tim Mediasi

Mengingat banyaknya kasus pertanahan yang terjadi di Kabupaten

Gorontalo maka pada tahun 2012 Bupati Gorontalo melakukan Pembentukan Tim

Mediasi Penanganan Sengketa Tanah Di Kabupaten Gorontalo. Pembentukan tim

mediasi tersebut dilakukan karena penanganan kasus- kasus pertanahan secara

Non Yustisi (di luar jalur hukum) di Kabupaten Gorontalo sangat diperlukan

kesamaan sudut pandang dalam penanganannya. Pemerintah melakukan upaya

memfasilitasi pihak-pihak yang berkonflik untuk mencari solusi penyelesaian

konflik dan membentuk tim mediasi.

Pembentukan tim mediasi tersebut juga bersifat sukarela dan inisiatif dari

pemerintah sendiri, hal ini dikarenakan beberapa kasus pertanahan yang terjadi di

Kabupaten Gorontalo belum bisa diselesaikan. Selain itu, kedua belah pihak yang

berkonflik juga membutuhkan pihak ketiga untuk melakukan pertemuan dalam

rangka menyelesaikan permasalahan. Maka dari itu untuk menghindari konflik

yang sangat beresiko dan mengancam stabilitas serta kondusifitas pemerintahan,

dibentuklah tim mediasi sebagai pihak ketiga yang akan memfasilitasi para pihak

yang berkonflik untuk sama-sama berdiskusi dan menemukan titik temu dari

permasalahan tersebut.

Berdasarkan mediator ditinjau dari segi power, ruang lingkup, dan jenis

negosiator, mediasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu mediasi internal dan

mediasi eksternal. Mediasi internal adalah mediasi yang mediatornya berasal dari
68

golongan atau kalangan sejajar dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Sedangkan mediasi eksternal merupakan mediasi yang mediatornya berasal dari

pihak-pihak yang lebih tinggi atau berada di luar ruang lingkup konflik. Menurut

analisa penulis, mediasi yang dilakukan di Kabupaten Gorontalo merupakan

mediasi eksternal. Hal ini terlihat sangat jelas karena tim mediasi yang berasal

dari jajaran pemerintahan tersebut memiliki status dan jabatan tinggi dalam

pemerintahan, sehingga tim mediasi tersebut memiliki kedudukan yang lebih

tinggi dari kedua belah pihak yang berkonflik.

4.4.2 Tahapan Mediasi

Sebelum memasuki proses mediasi yang akan dilakukan, tim mediasi lebih

dulu membuat pertemuan internal dengan seluruh anggota untuk membahas

langkah apa yang akan dilakukan pada proses mediasi. Dalam hasil wawancara

dengan Tim Mediasi Kabupaten Gorontalo Bapak R disimpulkan bahwa tahapan

yang dilakukan dalam proses mediasi tersebut adalah:

1. Memanggil para pihak yang berkonflik.

2. Mendengarkan kronologis konflik yang disampaikan masing-masing pihak.

3. Meminta para pihak untuk membawa bukti atau saksi.

4. Melakukan sosialisasi tentang hak kepemilikan tanah.

5. Memberikan solusi atau saran bagi pihak yang berkonflik.

Tahapan yang telah disusun oleh tim mediasi tersebut diharapkan dapat

memberikan hasil yang terbaik para pihak yang berkonflik nantinya. Tahapan

tersebut juga sama seperti yang disampaikan oleh Boulle (1996) yang membagi

proses mediasi ke dalam tiga tahapan, yaitu:


69

1. Tahapan Persiapan

Dalam tahapan ini, para mediator mengadakan pertemuan internal untuk

pembagian tugas kemudian melakukan pengumpulan informasi tentang

masalah yang akan diangkat dan melakukan pertemuan awal dengan pihak

yang berkonflik dengan kesepakatan untuk menempuh mediasi.

2. Tahapan Pertemuan Mediasi

Pada tahap ini, mediator mendengarkan penyampaian masalah dari para pihak

lalu mengidentifikasi hal-hal yang disepakati dan melakukan pembahasan

masalah-masalah. Pada tahap ini juga akan dilakukan pengambilan keputusan

akhir.

3. Tahapan Pasca Mediasi

4. Pada tahap terakhir setelah proses mediasi berakhir, akan dilakukan

pengesahan kesepakatan dan dikenakan sanksi jika melanggar kesepakatan.

4.4.3 Proses Mediasi Oleh Pemerintah

Proses Mediasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo

terhadap Masyarakat Desa Karyamukti dengan PT. Hutan Tanaman Indsutri (PT.

HTI) hanya terfokus pada mengadakan pertemuan dan diskusi. Pertemuan mediasi

yang dilakukan pada kasus tersebut sebanyak 6 (enam) kali dan diadakan di Aula

Kantor Bupati Kabupaten Gorontalo. Strategi yang dilakukan oleh tim mediasi

untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan melakukan diskusi dan

memberikan kesempatan bagi pihak yang berkonflik untuk memberikan argumen

mereka masing-masing. Seperti yang disampaikan oleh Pak R :

“Secara bergantian kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk


mengurai permasalahan dan mengajukan argumentasi mereka yang disertai
70

dengan bukti-bukti ataupun dokumen pendukung. Kemudian kami selaku


tim mediasi meminta Dinas Pertanahan memberikan tanggapan dan
penjelasan atas keterangan-keterangan yang telah disampaikan para pihak
yang berkonflik, kemudian secara bergantian anggota tim mediasi
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, pendapat, dan saran apabila
diperlukan peninjauan lapangan. Kemudian tim membuat suatu
kesimpulan sementara dan mengajukan kepada para pihak yang berkonflik
untuk menyelesaikan permasalahan ini secara non litigasi.” (Wawancara 2
Juni 2019)

Hal ini menunjukkan bahwa tim mediasi menyarankan untuk menyelesaikan

masalah ini secara non litigasi atau musyawarah. Dalam proses mediasi yang telah

dilakukan, tim mediasi dapat dikatakan telah berhasil meredam konflik yang

terjadi hal ini dapat dilihat dari masyarakat yang tidak lagi menduduki lahan

perkebunan sehingga pihak perusahaan tidak terganggu lagi dalam melakukan

aktifitas perusahaannya, tetapi tidak berhasil menyelesaikan konflik karena

masyarakat masih berusaha untuk mendapatkan lahan yang menurut mereka

memang harus menjadi milik mereka tersebut.

Hasil dari proses mediasi yang telah dilakukan adalah tim mediasi

mendesak BPN (Badan Pertanahan Negara) selaku instansi yang berwenang dan

sah diakui oleh negara untuk melakukan pengukuran kembali atas lahan yang

dipermasalahkan, dan hasilnya bahwa tanah yang dikelola oleh PT. Hutan

Tanaman Industri masih kurang dari luas HGU yang diberikan Pemerintah seluas

1.018, 74 Ha (seribu delapan belas koma tujuh puluh empat hektar) sehingga PT.

Hutan Tanaman Industri menganggap bahwa lahan seluas 286, 06 Ha (dua ratus

delapan puluh enam koma enam hektar) yang diklaim oleh kelompok masyarakat

tersebut merupakan bukan tanggung jawab mereka. Akan tetapi masyarakat tidak

menerima hasil pengukuran tersebut dengan alasan perusahaan telah bekerjasama


71

dengan pihak BPN (Badan Pertanahan Negara) untuk memanipulasi data hasil

pengukuran.

Tim Meidasi dengan hal ini menerima tuntutan dari pada masyarkat untuk

melakukan pengukuran kembali tanah yang dimiliki oleh perusahaan dan tanah

yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan oleh tim mediasi karena

kedua belah pihak yang berkonflik telah sepakat bahwa kewenangan tim mediasi

untuk menerima tuntutan masyarakat. Langkah selanjutnya yang di ambil oleh tim

mediasi adalah menerima tuntutan dan melayangkan surat permohonan

pengukuran kembali lahan yang dimiliki oleh masyarakat yang ditujukan kepada

BPN RI dengan tembusan kepada BPN Provisi Gorontalo dan proses ini masih

menunggu balasan surat atas permohonan yang diajukan oleh tim mediasi.

Sehingga proses mediasi ini telah selesai dan kedua belah pihak sepakat untuk

menunggu hasil dari keputusan BPN RI tersebut.

Adapun bagan proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk

menyelesaikan kasus antara PT. Hutan Tanaman Industri dengan masyarakat Desa

Karyamukti dapat dilihat sebagai berikut:

PROSES MEDIASI
72

Pembukaan Oleh Tim Mediasi

Pemaparan Laporan Kasus Oleh Tim Mediasi

Pemaparan Kronologi Dari Pihak Berkonflik

Pemberian Bukti Penguat Dari Pihak Berkonflik

Sesi Diskusi

Pemaparan Hasil Mediasi Oleh Tim Mediasi

Gambar 4.2 : Skema Proses Mediasi


73

Proses mediasi yang dilakukan sesuai dengan skema di atas dapat dijelaskan

sebagai sebagai berikut:

 Pembukaan oleh Tim Mediasi : Pada proses ini, tim mediasi terlebih dahulu

membuka forum mediasi secara dan membacakan apa saja yang akan dibahas

dalam forum tersebut serta memastikan bahwa kedua belah pihak yang

berkonflik sudah hadir di tempat

 Pemaparan Laporan Kasus oleh Tim Mediasi : Disini tim mediasi akan

memaparkan laporan kasus yang akan dibahas pada forum, dalam hal ini

Ketua Tim Mediasi bertindak sebagai pemapar dan menjelaskan kembali apa

tujuan diadakannya forum mediasi tersebut.

 Pemaparan Kronologi Dari Pihak Berkonflik : Kedua belah pihak yang

berkonflik dalam hal ini Masyarakat Desa Karyamukti dengan PT. Hutan

Tanaman Industri diberikan kesempatan untuk menyampaikan kronologi

konflik versi mereka masing-masing.

 Pemberian Bukti Penguat Dari Pihak Berkonflik : Pada tahap ini tim mediasi

meminta para pihak yang berkonflik untuk menunjukkan bukti- bukti yang

berkaitan dengan tuntutan mereka. Tim mediasi dalam hal ini juga memeriksa

keabsahan bukti yang diberikan oleh para pihak berkonflik.

 Sesi Diskusi : Pada sesi diskusi, tim mediasi memberikan kesempatan kepada

kedua belah pihak yang berkonflik untuk saling mengajukan pertanyaan

terkait konflik yang sedang terjadi. Tim mediasi dalam hal ini bertindak

sebagai penengah dan memberikan solusi apa yang akan diberikan kepada

pihak berkonflik.
74

 Pemaparan Hasil Mediasi : Setelah sesi diskusi berakhir, kemudian tim

mediasi membacakan kembali apa saja yang telah dibahas dalam forum

kemudian memberikan solusi dari tuntutan pihak yang berkonflik.

Proses mediasi tersebut telah dilakukan sebanyak 6 (enam) kali dan

berjalan buntu. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Desa Karyamukti,

mereka menyampaikan bahwa pada sesi diskusi suasana kerap kali menjadi panas

dikarenakan setiap bukti yang mereka tunjukkan selalu disalahkan oleh tim

mediasi dan dianggap tidak sah. Oleh karena itu suasana forum mediasi yang

seharusnya berjalan tertib dan lancar malah menimbulkan kisruh dan tidak

mendapatkan hasil.

Tim Mediasi sebagai pihak ketiga dalam menyelesaikan masalah dituntut

untuk bersikap netral dan tidak memihak, selaku tim mediasi mereka merasa

sudah bersikap netral dalam melakukan proses mediasi. Hal senada juga

disampaikan oleh pihak perusahaan seperti pada kutipan wawancara dengan Pak S

berikut ini:

“Menurut saya tim mediasi sudah bersikap netral, karena tugas mereka
memang hanya sebagai fasilitator antara masyarakat dengan kami. Tim
mediasi juga sudah melakukan usaha yang maksimal dan kami
memberikan saran jika memang masyarakat merasa dirugikan silahkan
mengajukan masalah tersebut ke pengadilan saja.” (Wawancara 4 Juni
2019)

Hal yang kontras dan tidak senada malah disampaikan oleh masyarakat

Desa Karyamukti, mereka merasa bahwa tim mediasi belum bersikap netral

karena terkesan membela pihak perusahaan, seperti yang terlihat dalam kutipan

wawancara dengan Pak MM :

“Kalau menurut saya mereka kurang netral, karena setiap mereka meminta
75

bukti dari kami seperti pada waktu mediasi tahun 2013 dilakukan di kantor
bupati, disitu dihadiri juga anggota dewan, nah kami sudah saling tunjuk-
tunjukan peta sebagai bukti malah mereka tidak menerima peta tersebut
karena tidak sah katanya.” (Wawancara 27 Mei 2019)

Masyarakat juga menganggap bahwa proses mediasi yang dilakukan

hasilnya begitu-begitu saja, tidak ada kemajuan sehingga mereka merasa jenuh

dan merasa bahwa mediasi tidak efektif untuk menyelesaikan masalah mereka.

Dalam hal ini, menurut analisa penulis tim mediasi memang belum bersikap

netral. Tim Mediasi dalam hal ini sudah bertentangan dengan Teori Mediasi

Boulle yang mengatakan bahwa mediasi adalah sebuah proses pengambilan

keputusan dimana para pihak dibantu oleh mediator, dan mediator berupaya untuk

meningkatkan proses pengambilan keputusan dan untuk membantu para pihak

mencapai hasil yang mereka inginkan bersama. Tim mediasi tidak dapat

membantu para pihak untuk mencapai hasil yang mereka inginkan bersama karena

masyarakat merasa dirugikan akan hasil mediasi tersebut.

Dalam hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat Desa

Karyamukti pada saat penelitian, diketahui bahwa sebenarnya masyarakat sudah

tidak menginginkan lagi proses mediasi tersebut dilakukan karena tidak pernah

mendapatkan kejelasan tentang tuntutan mereka. Masyarakat Desa Karyamukti

malah mengharapkan agar pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Konflik

Pertanahan saja, dan membubarkan Tim Mediasi Penanganan Sengketa Tanah

tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Pak RD:

“Kami sudah merasa sangat jenuh dengan proses ini, tidak ada hasilnya,
setiap akhir mediasi pasti merasa hanya berkata “ya, nanti kami usahakan”
apanya yang diusahakan, buktinya sampai sekarang kami tidak mendapat
jawaban akan tuntutan kami. Saya rasa tim mediasi tersebut lebih baik
dibubarkan dan bentuk tim baru yang lebih fokus untuk menyelesaikan
76

konflik pertanahan saja.” (Wawancara, 28 Mei 2019)

Hal senada juga disampaikan oleh Pak MM selaku masyarakat Desa

Karyamukti yang mengatakan bahwa:

“Tim mediasi ini sendiri sudah berjalan selama tiga tahun, dan kalau
melihat sepak terjangnya memang tidak pernah memberikan solusi. Jadi
lebih baik dibubarkan, nah kalaupun berani Pemkab Gorontalo itu
membentuk Tim Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah, itu yang kami
harapkan. Apalagi sekarang di pemerintah pusat sudah ada Menteri
Agraria, kalaulah bersinerji antara Pemkab Gorontalo dengan pusat kita
yakin akan ada win win solution dalam konflik pertanahan tersebut, jadi
tidak ada pihak yang dirugikan seperti ini.” ( Wawancara 27 Mei 2019)

Proses mediasi dapat dikatakan berhasil apabila dapat mengurangi

ketegangan antara kedua belah pihak yang berkonflik dan mendamaikan tuntuan

pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Untuk mendamaikan tuntutan, tim

mediasi sebenarnya membutuhkan keahlian khusus (skill) dalam menemukan

strategi yang dapat membuat setiap pihak yang berkonflik mengurangi

tuntutannya dan menerima hasil dari proses mediasi yang dilakukan untuk

mengatasi masalah tersebut. Dalam kasus antara masyarakat Desa Karyamukti

dengan PT. Hutan Tanaman Indsutri ini, tim mediasi dapat dikatakan telah

berhasil untuk mendamaikan tuntutan masyarakat terhadap PT. Hutan Tanaman

Industri, karena kedua belah pihak telah bersepakat untuk menunggu hasil dari

atas permohonan tim mediasi kepada BPN RI untuk melakukan pengukuran

kembali

Menurut analisa penulis tim mediasi berhasil melakukan pendekatan

terhadap masyarakat, namun terdapat kelemahan tim mediasi yang dibentuk oleh

pemerintah. Suatu jabatan (kedudukan) seseorang tidak dapat diperkirakan masa

jabatannya. Pergantian struktur anggota tim mediasi yang kerap kali berubah
77

sesuai dengan perubahan jabatan dari anggotanya, menjadikan aktor-aktor baru

tersebut dituntut untuk mempelajari kembali kasus-kasus yang mungkin belum

terselesaikan sebelumnya. Hal ini juga yang menjadikan masyarakat merasa

bahwa pemerintah terkesan tidak serius untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.

4.4.4 Jenis Mediasi Yang Dilakukan

Lewicki (1999) menggolongkan pelaksanaan mediasi ke dalam tiga jenis

yaitu content mediation, issue identification, dan positive framming of the issue.

1. Content Mediation merupakan jenis mediasi yang dilakukan dimana mediator

berusaha mengembalikan situasi negosiasi ke dalam tahap tawar- menawar

agar negosiator berpeluang kembali mencapai kesepakatan. Mediator hanya

berfungsi untuk mengarahkan negosiator untuk kembali ke akar

permasalahan dan arah tujuan dari negosiasi itu sendiri sehingga diharapkan

akan dicapai kata mufakat.

2. Issue Identification merupakan mediasi yang dijalankan dengan

memprioritaskan isu yang akan diselesaikan sehingga kedua pihak sama-

sama fokus dalam satu isu dan mencari solusi penyelesaiannya.

3. Positive Framing of The Issue yaitu mediasi yang dilakukan dengan cara

memfokuskan pada hasil yang ingin dicapai oleh pihak-pihak negosiator.

Dengan memfokuskan hasil maka diharapkan masing-masing pihak

memperoleh titik terang dan kesamaan pandangan dalam menyelesaikan

masalah sehingga mencapai kesepakatan.

Dari hasil temuan di lapangan melalui hasil wawancara dengan tim

mediasi, dapat disimpulkan bahwa proses mediasi yang telah dilakukan antara
78

masyarakat Desa Karyamukti dengan PT. Hutan Tanaman Industri adalah Content

Mediation, dimana pada jenis mediasi ini fungsi mediator adalah untuk

mengarahkan para pihak yang berkonflik untuk kembali ke akar permasalahan dan

arah tujuan dari negosiasi yang dilakukan sehingga akan menghasilkan suatu kata

mufakat. Hal ini terlihat dari pernyataan ketua tim mediasi yaitu Pak R yang

didapatkan dari hasil wawancara:

“Fungsi kami sebagai mediator dalam proses ini memang untuk


mendengarkan kembali apa akar permasalahan mereka, seperti yang saya
katakan sebelumnya kami hanya sebagai fasilitator yang merngarahkan
mereka untuk mencapai kesepakatan secara musyawarah mufakat.” (2 Juni
2019)

Hal senada juga disampaikan oleh Pak S selaku anggota Tim Mediasi saat

dilakukan wawancara terpisah dengan ketua tim mediasi, mengatakan bahwa:

“Sebagai pihak ketiga atau kita sebut sebagai mediator dalam hal ini kami
memang berusaha agar proses mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan
yang diperoleh berdasarkan kata mufakat. Jadi kami mendengarkan apa
saja yang sebenarnya diinginkan oleh kedua belah pihak untuk
menyelesaikan masalah ini agar tidak berlarut-larut.” (Wawancara 7 Juni
2019)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat dilihat bahwa tim mediasi

berusaha agar akhir dari proses mediasi tersebut menghasilkan sebuah

keputusan yang sama-sama diinginkan oleh kedua belah pihak berkonflik dan

menghasilkan kata mufakat. Tetapi pada kenyataannya, masyarakat masih saja

merasa bahwa mereka dirugikan dalam proses mediasi dan belum menghasilkan

kata mufakat. Tim Mediasi juga mengatakan bahwa selama proses mediasi

dilakukan, ada beberapa kendala yang dialami salah satunya adalah masyarakat

yang tidak dapat memberikan bukti otentik. Seperti yang disampaikan oleh
79

anggota tim mediasi, Pak S :

“Pada saat proses mediasi dilakukan, kami meminta para pihak untuk
menunjukkan bukti mereka masing-masing. Disini kami kewalahan karena
masyarakat bersikeras tidak mau mengakui hasil pengukuran tanah yang
telah dikeluarkan oleh Dinas Pertanahan Provinsi Gorontalo, sementara di
Indonesia hasil pengukuran tanah yang diakui adalah hasil yang
dikeluarkan oleh badan yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Negara
jadi kami juga berpegang pada keputusan tersebut.” (Wawancara 8 Juni
2019)

Dari hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa hasil dari proses

mediasi tersebut memang mengalami kebuntuan dan tidak bisa menyelesaikan

konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Karyamukti dengan PT. Hutan

Tanaman Industri. Kurangnya kepercayaan masyarakat dengan hasil pengukuran

ulang yang dilakukan oleh Dinas Pertanahan Kabupaten Gorontalo menjadikan

permasalahan tersebut berjalan alot tanpa menemukan titik temunya. Karena hal

ini juga, pihak perusahaan merasa mediasi sudah tidak perlu lagi dilakukan dan

menyarankan jika masyarakat masih merasa dirugikan agar mengajukan kasus

tersebut ke pengadilan saja.

Dalam hal ini menurut analisa penulis, tim mediasi oleh pemerintah tidak

berhasil menyadarkan kedua belah pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan

masalah tersebut secara kekeluargaan. Kurangnya kepercayaan masyarakat

terhadap kenetralan tim mediasi juga menjadi faktor utama yang menyebabkan

ketidakberhasilan proses mediasi tersebut. Alternatif mediasi sebagai resolusi

konflik tidak bisa dicapai karena masyarakat tidak dapat menerima hasil mediasi

yang dilakukan dan terkesan mengabaikan tuntutan mereka.

Seperti halnya yang terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Asrul Aziz

Lubis (2014) tentang Peranan Tokoh Masyarakat Dalam Mediasi Konflik,


80

mengatakan bahwa mediasi tersebut juga berjalan buntu dikarenakan Tokoh

Masyarakat sebagai mediator dalam konflik tersebut dinilai tidak berlaku adil dan

juga tidak menyerukan kesadaran sosial antara kedua belah pihak yang bertikai.

Hal ini juga dikarenakan salah satu pihak yang berkonflik meragukan kenetralan

tokoh masyarakat sebagai mediator dalam penyelesaian konflik, dimana tokoh

masyarakat lebih condong membela kaum mayoritas dalam kasus tersebut. Tokoh

masyarakat dalam hal ini seharusnya berperan sebagai panutan dan menjalankan

sikap adil demi kepentingan masyarakat yang bertikai.

4.5 Hambatan Proses Mediasi

Hambatan dalam proses pelaksanaan mediasi konflik pertanahan antara

PT. HTI dan masyarakat Desa Karyamukti Kabupaten Gorontalo antara lain yaitu

faktor internal dan eksternal. Yaitu, Pertama : Keterbatasan jabatan seorang

mediator, karena tim mediasi adalah gabungan pejabat daerah yang tentunya

punya batas akhir jabatan yang sudah ditentukan, ini yang kemudian menjadi

hambatan tentunya karena tim mediasi yang baru harus mempelajari kembali

kasus yang terjadi antara PT. Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Masyarakat Desa

Karyamukti. Disisi lain bergantinya tim mediasi ini menimbulkan

ketidakpercayaan terhadap tim mediasi karena meskipun terus diganti tetap tidak

menenemukan solusi terhadap konflik ini.

Faktor yang berikutnya adalah faktor eksternal kurangya pemahaman bagi

para pihak tentang pentingnya mediasi, yaitu, : Biasanya para pihak tidak

kooperatif untuk diajak mediasi karena sudah terjadi perselisihan yang


81

berkepanjangan. Kemudian juga index persepsi masyarakat tim mediasi

cenderung tidak netral atau dinilai memihak kepada perusahaan


82

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis wawancara dan keterangan pada bab

sebelumnya maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

Terdapat berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur

kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dibidang penyelesaian sengketa

tanah. Di satu sisi Pengaturan kewenangan pemerintah dibidang pertanahan

termasuk urusan penanganan sengketa tanah relatif lebih lengkap dan konsisten

dibandingkan pengaturan hal yang sama bagi pemerintah daerah. Tetapi di sisi

lain pemerintah daerah dalam kenyataannya menerima juga permohonan

penyelesaian sengketa tanah yang menurut ketentuan perundang-undangan tidak

berada dalam lingkup kewenangannnya.

Diharapkan adanya pembagian kewenangan yang yang lebih lengkap dan

lebih konkrit antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota mengenai kewenanagan penyelesaian sengketa tanah. Hal

tersebut diharapkan dapat dimuat dalam peraturan pemerintah tentang pembagian

kewenangan dan tidak terbatas sebagaimana termuat dalam lampiran UU No. 23

Tahun 2014.

Bahwa proses penyelesaian konflik yang dimotori oleh pemerintah

Kabupaten Gorontalo dengan membentuk tim mediasi telah berhasil me

ndapatkan solusi untuk kedua belah pihak yaitu menerima tuntutan masyarakat
83

untuk melakukan pengukuran kembali lahan baik yang menjadi hak masyaratak

dan hak perusahaan sebagaimana mekanisme yang telah dibuat dalam penjelesan

proses mediasi dengan mengajukan surat pemohonan pengukuran kembali tanah

yang diajukan kepada BPN RI. Sehingga masyarakat dan perusahaan terlah

berdamai dan telah berkomitmen untuk menggu hasil dari permohonan tersebut

sampai sekarang.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil pengamatan dan temuan dalam penelitian, peneliti

melihat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Saran ini diharapkan dapat

menjadi masukan positif bagi pemerintah, masyarakat, dan pihak perusahaan.

Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah harus mampu memberikan penyadaran bagi masyarakat tentang

status kepemilikan tanah mereka dan memberikan sosialisasi tentang

kepemilikan tanah yang sah, sehingga tidak terjadi lagi klaim oleh masyarakat
84

yang memicu konflik dan mengancam keharmonisan sosial pada daerah

tersebut.

2. Pemerintah seharusnya bersikap terbuka terhadap tuntutan masyarakat yang

meminta penjelasan tentang tanah yang dianggap mereka adalah tanah milik

mereka

3. Pemerintah perlu membentuk tim mediasi yang struktur keanggotaannya

bukan berdasarkan jabatan melainkan berdasarkan keahlian (skill) dari

individu tersebut diperoleh berdasarkan seleksi dengan menetapkan standart

tertentu. Dengan membentuk tim yang anggotanya berasal dari multi elemen,

yaitu ahli mediasi, akademisi atau profesional lainnya yang disediakan untuk

mendampingi masyarakat sampai menemukan hasil dengan prinsip win-win

solution sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.


85

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrial. 2009. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat,

dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana.

Bungin, Burhan. 2007. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

Bungin, H. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.

Elly M.Setiadi. Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta

Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya.

Jakarta : Kencana Prenanda Media Group.

Faisal, Sanifah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan

Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Gatot, Sumartono. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Gunawan, Widjaja. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Raja

Grafindo Press.

Hamzah, A. 1991. Hukum Pertanahan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Harris, Peter., dan Reilly, Ben. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar:

Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. Lembaga Penerbitan, Pendidikan dan

Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M): Jakarta.

Husein, Sofwan, Ali, SH. 1997. Konflik Pertanahan. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Laurence, Boulle. 1996. Mediation Principle, Process, Practice. Sydney:

Butterworths.
86

Lewicki, Roy J. et al. 1999. Negotiation. New York: McGraw Hill.

Limbong, Bernhard. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka.

Maria S.W. Sumardjono.dkk. 2008. Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan. Jakarta:

Kompas.

Meleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.

Nasution, M. Arif, dkk. 2008. Metode Penelitian. Medan: Fisip USU Press.

Nawawi, dan Martini Hadari. 2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Partanto, dkk. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.

Soemartono, Gatot. 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Soekanto, Soerjono. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta:

CV.Rajawali.

Suyanto, Bagong., Sutinah. 2011. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif

Pendekatan (Edisi Revisi). Jakarta: Kecana Prenada Media Group.

Sumarto. 2012. Penanganan Dan Penyelesaian Konflik Pertanahan Dengan

Prinsip Win-Win Solution Oleh Badan Pertanahan Nasional RI.

Diklat Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Dalam Negeri.

Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-isu Konflik

Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Widjaja, Gunawan. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.
87

Zartman, I.William, dan J. Lewis Rasmussen (ed.). 1997. Peacemaking in

International Conflict: Methods and Technique. Washington DC: United

States Institute of Peace Press.

Agustono, Budi. dkk. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia vs PTPN II

(Sengketa Tanah di Gorontalo).

Asmawati, 2014. Mediasi Salah Satu Cara Dalam Penyelesaian Sengketa

Pertanahan. Universitas Jambi.

Fairuza, 2009. Studi Tentang Kekerasan Dan Fungsi Konflik. Skripsi. Institut

Pertanian Bogor.

Handoko, Putut. 2007. Mediasi Konflik Kerusakan Pantai. Tesis. Universitas

Diponegoro.

Khairina. 2013. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Bank

Dan Nasabah. Universitas Hasanuddin Makassar.

Lusia, Henny. 2010. Mediasi yang Efektif dalam Konflik Internal (Studi Kasus:

Mediasi oleh Crisis Management Initiative dalam Proses Perdamaian

Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia).

Universitas Indonesia.

Lubis, Azrul Aziz. 2014. Peranan Tokoh Masyarakat Dalam Mediasi Konflik.

Universitas Gorontalo.

Nasution, Nina Hasanah. 2014. Fungsi Mediasi yang Dijalankan Indonesia dalam

Konflik Kepulauan Spartly. Skripsi: Universitas Andalas.

Nugroho, Kristianto Yohanes. 2012. Dinamika Kehidupan Sosial Masyarakat

Temanggung Pasca Kerusuhan. Universitas Negeri Yogyakarta.


88

Prabowo, Raden M. Khalid. 2010. Gerakan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu

Indonesia (BPRPI) Dalam Konflik Tanah Dengan PTPN II. Universitas

Gorontalo.

Sakti, Trie. 2012. Peran Mediasi Dalam Penanganan Konflik Pertanahan. Jurnal

Pertanahan: Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Tarigan, Rosmalemna. 2010. Konflik Sosial di Desa Kuta Rayat, Kecamatan

Naman Teran. Universitas Gorontalo.

Tambunan, Naomi Helena. 2010. Peran Lembaga Mediasi Dalam Penyelesaian

Sengketa Tanah yang Diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan

Kotamadya Jambi. Universitas Indonesia.

Rahmat, Said Syahrul. 2014. Sengketa Tanah HGU vs Tanah Garapan. Diunduh

dari website http://www.acehinstitute.org/en/public-corner/social-

cultural/item/254-sengketa-tanah-hgu-vs-tanah-garapan.html (diakses pada

20 desember 2018)

Yono, Adi. 2011. Definisi Mediasi. Diunduh dari website

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2242578-definisi-mediasi/

(diakses pada 23 Desember 2018)

www.bpn.go.id (pada 20 Desember 2014)

http://perpustakaan.bpn.go.id/e

ibrary/Digital%20Documents/Koleksi_5757.pdf

(diakses pada 10 Februari 2019)

http://www.acehinstitute.org/pojok-publik/sosial-budaya/item/254-

sengketa-tanah-hgu-vs-tanah-garapan (diakses pada 11 Februari 2018)


89

LAMPIRAN
90
91

Anda mungkin juga menyukai