Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kurnia Yusti Febrianingsih

NIM : 2030603187
Kelas : SPS 6
Mata Kuliah : Studi Keislaman

Artikel “Pandemi, Perilaku Konsumen, dan Konsep Halalan thayyiban”


Oleh : Dr. Maftukhatusolikhah, M.Ag
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah Palembang

Dalam masa pandemi Covid 19 yang sudah berlangsung dalam waktu satu tahun ini,
mewabahnya virus tersebut kuat berkembang dari pola konsumsi manusia yang “menyimpang”.
Oleh karena itu, terbukti bahwa budaya dan pola konsumsi manusia bisa sangat merusak. Maka
dibuatlah kajian terkait integrasi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dan perlunya nilai dan ajaran
dalam kerangka perbaikan kehidupan ekonomi manusia yang bersikap rasional. Namun perilaku
tersebut sangat tergantung pada nilai.
Rasionalitas yang dibangun dan diderivaksikan dari ajaran islam, pada dasarnya
merupakan kaidah yang berlaku umum. Misalnya pada setiap pelaku ekonomi bertujuan
mendapatkan maslahah. Maslahah dianggap sebagai segala bentuk keadaan ataupun perilaku
dapat meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia di dunia maupun
akhirat.
Dalam konteks perilaku konsumsi yang dapat menyebabkan pandemi ini, menunjukkan
bahwa pelaku ekonomi baik dari sisi produksi maupun konsumsi tidak mempertimbangkan
resikonya. Pada tingkatan praktis, perilaku ekonomi sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan
atau keimanan seseorang tersebut. Hal ini akan mengarahkan seorang onsumen muslim dalam
perilaku konsumsinya.
Salah satu konsep yang menunjukkan peranan penting dalam kehidupan seorang muslim
terkait pola konsumsi dan peoduksi mereka yaitu konsep halalan thayyiban. Kepatuhan terhadap
implementasi konsep halalan thayyiban ini sesungguhnya merupakan representasi dari keimanan
seorang musliam. Pendekatan yang diajarkan dalam konsep halalan thayyiban memiliki keunikan
yang terletak pada integrasi aspek moral dan material, spiritual dan duniawi, etis dan sosial-fisik
kehidupan. Islam menekankan pengembangan kemanusiaan dengan nilai-nilai sosial, bukan
hanya perkembangan materialistis, sehingga penggunaan konsen Halalan Thayyiban dapat
mewujudkan bahkan melampaui tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kata Halal berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti disahkan, dibolehkan
atau diizinkan. Makanan yang diizinkan atau dibolehkan oleh ajaran agama disebut makanan
halal.
Dalam islam, makanan halal didefinisikan sebagai makanan yang baik untuk kesehatan
jasmani dan rohani.
Adapun dalam al-Quran disebutkan jenis-jenis makanan yang diharamkan atau dilarang
oleh Allah SWT untuk dimakan. Jenis-jenis makanan halal yang baik untuk kesehatan jasmani
dan rohani adalah :
1) Tidak mengandung unsur najis dan bangkai
2) Tidak mengandung zat yang membahayakan fisik manusia
3) Bukan merupakan hewan buas
4) Berhabitat dilaut dan
5) Hewan yang mati disembelih dengan menyebut nama Allah

Dengan demikian semua makanan yang mengandung najis diharamkan.


Penegasan tersebut diterangkan dala al-Quran bahwa darah yang mengalir, babi dan bangkai
(kecuali ikan dan belalang) adalah haram dimakan oleh manusia karena makanan yang
mempunyai ciri tersebut merupakan najis. Begitu juga dengan makanan dan minuman yang
mengandung bahya fisik manusia seperti mengandung racun, mengandung unsur-unsur yang
memabukkan. Atau menyebabkan hilangnya kewarasan akal manusia, termasuk dalam kategori
makanan dan minuman yang tidak halal (haram).
Makanan yang termasuk dalam kategori haram lainnya adalah makanan yang memiliki kriteria
bertaring dan berkuku tajam, atau disebut hewan buas.
Selain haram karena zatnya atau secara materi diharamkan menurut syariat seperti jenis-jenis
yang disebutkan diatas, maka sesuatu makanan ataupun barang konsumsi lainnya bisa jadi
diharamkan karena cara memperoleh, mengolah, ataupun cara memanfaatkannya yang kurang
efisien atau tabzir.

Makanan halal adalah makanan terbaik untuk manusia. Benang merah adalah bahasan
mengenai perilaku konsumen dan konsep halalan thayyiban adalah bahwa konsep maslahah yang
bertumpu pada kriteria pemenuhan kebutuhan (need fullfillment) lebih obyektif ketimbang
konsep kepuasan (utility).
Maslahah lebih obyektif karena didasarkan pada pertimbangan obyektifitas (kriteria
tentang halal dan baik). Sehingga, suatu benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki
kemaslahatan atau tidak secara konklusif dan mudah. Sedangkan utilitas yang dianut pemikiran
konvesional mendasarkan pada kriteria yang lebih subyektif, sehingga dapat berbeda antara
konsumen dengan konsumen lain.
Maslahah juga mendorong terpenuhinya kesejahteraan konsumen dan produsen. Jika
maslahah menjadi tujuan dari seluruh pelaku ekonomi (konsumen, produsen dan distributor),
maka semua aktifitas ekonomi masyarakat baik konsumsi, produksi dan distribusi akan mencapai
tujuan yang sama. Dalam konteks perilaku konsumen, konsep maslahah dibedakan dengan
konsep kepuasan konsumen.
Perilaku konsumen dan produsen yang aware (sadar) terhadap maslahah akan
berimplikasi terhadap keberkahan , membentuk persepsi tentang penolakan terhadap
kemudaratan. Dalam konteks ini terdapat 4 tingkatan rasionalitas dalam ekonomi islam yang
dikembangkan dari ajaran al-Quran dan hadis, menekankan beberapa hal yang mengimplikasikan
larangan atau dalam bahasa agama bisa jadi dianggap hal yang jatuh kedalam hukum haram.
Pertama adanya tuntunan terhadap suatu konsistensi internal yang merupakan hal yang
esensi bagi efisiensi menjadikan tabzir sebagai sesuatu yang di larang.
Kedua, tuntutan rasionalitas terhadap suatu konsistensi eksternal yang menjaga hubungan
antara cara dengan tujuan, mengharuskan cara-cara pemenuhan pilihan, keinginan, dan
kebutuhan yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya. Dengan kata lain tujuan pemenuhan
tersebut tidak serta merta menghalalkan segala cara.
Ketiga, segala proses pemenuhan kebutuhan melalui proses produksi dan konsumsi harus
dapat menjaga konsistensi, dengan tetap mengedepankan terpenuhinya syarat-syarat moral dan
material, individu dan sosial, serta nasional dan internasioanal.
Jadi jika ajaran moral agama mengatakannya sebagai sesuatu yang haram, maka tidak
boleh dilakukan, misalnya konsumsi hewan-hewan buas, yang sesungguhnya dapat merusak
keseimbangan ekosistem karena mengganggu rantai makanan. Atau mengkonsumsi hewan-
hewan yang ternyata kemudian terbukti menjadi sumber virus yang membahayakan kehidupan
manusia.
Keempat, seluruh proses produksi dan konsumsi harus menjaga konsistensi antara
perbuatan di dunia dan akhirat kelak.
Kepatuhan terhadap ajaran Syariah terkait perbuatan yang halal dan haram pada
dasarnya merupakan bentuk kesadaran adanya pertanggungjawaban manusia, yang dalam
keyakinan seorang muslim bukan hanya berdimensi duniawi namun juga ukhrawi.

Anda mungkin juga menyukai