Oleh Kelompok 3:
UNIVERSITAS BUNGHATTA
PADANG
2022
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI SEKTOR INDUSTRI
MANUFAKTUR
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur besarnya dampak
keterbatasan teknologi dan SDM terhadap kinerja sektor industri manufaktur adalalah
tingkat produktivitas; baik secara parsial dari masing-masing faktor produksi yang
digunakan (seperti tenaga kerja dan barang modal) maupun secara keseluruhan, yang
disebut total factor productivity (TFP). Hasil studi dari Fry (1991) di beberapa negara di
Asia, termasuk Indonesia, untuk periode 1961-1988 menunjukkan bahwa salah satu
penyebab laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih rendah dibandingkan di negara-
negara yang dijuluki the Asian Tigers, seperti Korea Selatan dan Taiwan, adalah karena
rendahnya TFP Indonesia dibandingkan TFP negara-negara tersebut. Sebagai contoh,
dibandingkan Korea Selatan, selama kurun waktu 1968-1988 TFP Indonesia turun dari
sekitar 5% hingga 1%, sementara TFP di Korea Selatan naik dari sekitar 3,4% hingga
mencapai lebih dari 5% dalam periode yang sama. Pada period 1982-1988 TFP
Indonesia hanya seperempat dari TFP Korea Selatan (Tabel 3.1).
Dalam hal produktivitas parsial, Tabel 3.2 menunjukkan perbandingan tingkat
produktivitas tenaga kerja di sektor industri manufaktur antara sejumlah NSB dan
sejumlah NIM yang menunjukkan produktivitas di kelompok negara pertama pada
umumnya lebih rendah dibandingkan di kelompok negara kedua. Walaupun ada faktor-
faktor lain yang juga berpengaruh, misalnya harga output dan input, gaji per pekerja,
dan pola manajemen, namun dapat dipastikan bahwa perbedaan tersebut lebih
disebabkan oleh keterbatasan teknologi dan SDM di kelompok NSB.
a. Kelemahan Struktural
Basis Ekspor dan Pasarnya yang Sempit Walaupun Indonesia memiliki banyak sumber
daya alam (SDA) dan jumlah tenaga kerja yang berlimpah, yang merupakan dua faktor
utama keunggulan komparatifnya, namun produk dan pasar ekspor Indonesia sangat
terkonsentrasi pada hal-hal berikut.
Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki, yang memiliki
pangsa 50% dari nilai total ekspor manufaktur.
Pasar untuk tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas hanya ke negara-negara yang
menerapkan kuota (the multi-fibre agreement atau MFA), seperti AS, Masyarakat Eropa
(ME), Kanada, Norwegia, dan Turki.
Tiga negara, yakni AS, Jepang, dan Singapura menyerap sekitar 50% dari nilai
total ekspor manufaktur Indonesia, sementara AS sendiri menyerap hampir setengah
dari nilai total ekspor dari tekstil dan pakaian jadi.
Sepuluh produk menyumbang sekitar 80% dari seluruh hasil ekspor manu
faktur. Ekspor manufaktur Indonesia menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan
permintaan terhadap produk-produk tersebut di pasar yang terbatas.
Banyak produk manuraktur yang pada: karya yang terpilih sebagai ekspor
unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia sebagai akibat dari
persaingan yang makin ketat, terutama dari Cina dan negara negara produsen lainnya di
Asia yang bisa menghasilkan barang yang sama dengan biaya produksi yang lebih
rendah, negara-negara Eropa Timur di pasar Eropa Barat dan negara-negara Amerika
Latin untuk pasar Amerika Utara. Produk-produk ekspor Indonesia juga mengalami
inelastic demand di pasar
Sejak tahun 1990, Indonesia telah menarik banyak investasi asing (PMA) di
industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, consumer goods,
alat-alat listrik, dan otomotif. Namun, kebanyakan dari industri-industri tersebut bukan
merupakan proses manufaktur dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses penggabungan,
pengepakan, dan asembling dengan hasil sebagai berikut.
Pada tahun 1997, nilai impor bahan baku, input perantara, dan komponen
berkisar dari 45% di industri-industri kimia, 53% di industri-industri mesin, 56% di
industri-industri alat-alat transportasi, dan 70% di industri-industri barang barang
elektronik.
Industri-industri yang padat karya sangat tergantung pada impor bahan baku,
input perantara, dan komponen, mulai dari 40% -43% di industri-industri tekstil,
pakaian jadi, dan kulit serta hingga 56% di industri-industri alas kaki. Ketergantungan
ini disebabkan oleh tidak adanya suplai domestik dan industri industri pendukung dan
lemahnya keterkaitan produksi antarindustri di dalam negeri.
4. Konsentrasi Regional
b. Kelemahan Organisasi
Kontribusi IKM terhadap pembentukan nilai tambah manufaktur relatif kecil, sedangkan
terhadap kesempatan kerja sangat besar.
Pada tahun 1996, IB (500 pekerja per unit usaha) mengerjakan hanya sekitar.1/3
dari total kesempatan kerja, tetapi menyumbang sekitar 83% terhadap pembentukan
nilai tambah.
IKM, termasuk industri rumah tangga, dengan jumlah pekerja rata-rata masing-
masing 37, 8, dan 2 orang per unit usaha, masing-masing menyumbang hanya 5% -6%
dari total nilai tambah dan mengerjakan 2/3 dari total kesempatan kerja.
Berbeda dengan IB, IKM terkonsentrasi pada subsektor-subsektor makanan dan
kayu. Mereka memproduksi barang-barang jadi (consumer goods) dan tidak banyak
membuat barang modal, input perantara, dan komponen untuk industri industri lain.
Dalam perkataan lain, subkontraktor dan supplier linkages antara IKM dan IB sangat
terbatas.
Konsentrasi Pasar
4. Lemahnya SDM
Di satu pihak, fakta menunjukkan bahwa hingga kini sebagian besar tenaga kerja
di Indonesia masih berpendidikan rendah. Insinyur-insinyur yang dihasilkan oleh
lembaga-lembaga pendidikan tinggi di dalam negeri, yang jumlahnya jauh lebih banyak
daripada lulusan luar negeri, tidak semuanya berkualitas baik, bisa bekerja secara
mandiri, memiliki keahlian dalam problem-solving dan analyzing technical problem,
kreatif, dan mampu melakukan R&D. Di pihak lain, pemerintah kurang memberi
perhatian terhadap pengembangan pendidikan di tanah air. Hal ini bisa dilihat antara
lain dengan masih relatif kecilnya porsi anggaran pendapatan dan belanja (APBN)
untuk pendidikan dan R&D. Sementara, sektor swasta, perusahaan besar, dan bank tidak
menunjukkan niat untuk membantu pengembangan pendidikan di dalam negeri dari sisi
finansial.
Berdasarkan data BPS 1993, Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 masing-masing
menunjukkan bahwa masalah paling besar, baik yang dialami oleh pengusaha-
pengusaha IK maupun IRT, adalah keterbatasan modal dan pemasaran. Masalah-
masalah lainnya adalah pengadaan bahan baku (misalnya tempat beli terlalu jauh, harga
mahal, dan tidak selalu tersedia), kurang keahlian dalam jenis-jenis teknik produksi
tertentu (misalnya tenaga ahli/perancang sulit dicari atau mahal), kurang keahlian dalam
pengelolaan. dan persaingan yang tajam.
Masalah dalam pengadahan bahan baku bervriasi, mulai dari tempat penjualan
yang jauh dari lokasi usaha (yang berarti biaya transportasi tinggi dan banyak makan
waktu), harga mahal (terutama bahan baku yang masih di impor), persediaan yang
seringkali terbatas pada saat dibutuhkan (kshususnya komoditas-komoditas pertanian
yang sangat tergantung pada cuaca)n dan kualitas bahan baku yang rendah.
1. Teknologi
Penemuan dari studi CSES didukung oleh data BPS yang disajikan pada tabel 3.8
yang menunjukkan bahwa sebagian besar ekspor manufaktur Indonesia adalah dari
kategori barang-barang dengan teknologi rendah. Kalau ini dilanjutkan, maka daya
saing ekspor manufaktur Indonesia akan makin rendah karena, dalam era globalisasi
ekonomi dan perdagangan dunia, keunggulan kompetitif akan lebih menentukan tingkat
daya saing suatu negara. Suatu komoditi, atau suatu industri daripada keunggulan
komparatif di pasar ekspor maupun pasar domestik.
Tabel 3.8
Tabel 3.9
Ekspor Manufaktur Menurut Intensitas Faktor Produksi: 1995 (Diatas 200 Juta
Dolar AS)
Tabel 3.10
Tingkat Teknologi Dari Produksi Manufaktur Dibeberapa Negara: 1985 dan 1997
(% Pangsa dalam Nilai Tambah dari Sektor Industri Manufaktur)
Gambar 3.1
Gambar 3.3
Kegiatan R&D tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan fasilitas fisik dan modal, tetapi
juga oleh ketersediaan manusianya (SDM). Dalam hal ini, Tabel 3.12 memperlihatkan
bahwa posisi Indonesia sebagai suatu negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari
200 juta orang, yang berarti membutuhkan jumlah SDM untuk kegiatan R&D lebih
banyak daripada negara kecil (seperti Singapura), ternyata juga rendah. Memang secara
absolut jumlah sarjana fisika, kimia, ilmu alam, dan insinyur yang terlibat di dalam
kegiatan R&D di Indonesia lebih banyak dibandingkan di Filipina, Singapura, dan
Thailand. Akan tetapi, secara relatif dibandingkan jumlah penduduk, jumlahnya kecil.
Tabel 3.11
Selain ketersediaan SDM dengan kualitas yang baik dan faktor-faktor penunjang
lainnya, perkembangan teknologi juga sangat ditentukan oleh ketersediaan dana. Selama
ini kegiatan R&D di Indonesia lebih banyak dibiayai dan dikerjakan oleh pemerintah.
Masih sedikit jumlah perusahaan swasta nasional yang melakukan kegiatan R&D.
Demikian juga masih sedikit jumlah bank swasta, atau bahkan hampir tidak ada, yang
tertarik untuk membiayai kegiatan R&D.
Tabel 3.13
Sumber Dana Dan Pelaku Kegiatan R&D Dibeberapa Negara Asia: 1990 (Dalam
Persen)
Studi lainnya yang menarik adalah dari McKendrik (1992) mengenai kemampuan
teknologi industri di Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Studinya menunjukkan
bahwa sejak IPTN didirikan pada tahun 1976, badan usaha milik negara (BUMN) ini
dalam kurun waktu 10 tahun saja ternyata mampu untuk mencapai kemajuan berarti
dalam penguasaan teknologi, yakni dari tahap perakitan ke pembuatan sendiri seluruh
kerangka dan badan pesawat terbang. Selain itu, IPTN juga berhasil menambah jumlah
komponen pesawat terbang yang dibuat sendiri. Dengan kemajuan yang dicapai ini,
maka IPTN pada awal dekade 1990-an telah menjelma sebagai salah satu di antara
perusahaan manufaktur Indonesia yang sampai tingkat tertentu mampu untuk
melakukan inovasi teknologi dalam arti yang sama.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kelemahan yang dihadapi Indonesia
hingga saat ini dalam upaya pengembangan teknologi adalah, di satu pihak, sebagian
besar kegiatan R&D masih dilakukan oleh pemerintah, sementara di pihak lain, belum
ada keterkaitan yang kuat antara lembaga-lembaga R&D pemerintah dengan dunia
usaha nasional sehingga tidak terjadi transfer of technology dari lembaga lembaga R&D
pemerintah ke perusahaan-perusahaan swasta (Thee, 1996).
Untuk menunjang proses industrialisasi dan dalam era pasar bebas nanti, selain
teknologi, SDM berkualitas tinggi menjadi salah satu faktor penentu yang sangat
penting. Pentingnya SDM memang sudah dibuktikan tidak hanya oleh NIM di Eropa
dan Amerika Utara, tetapi juga di Asia (seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura,
Hong Kong, dan Jepang). Walaupun tidak punya SDA, sektor industri manufaktur dan
ekspornya di negara-negara ini sejak dekade 1960-an hingga saat ini menunjukkan suatu
perkembangan yang sangat pesat. Salah satu alasan kenapa negara-negara tersebut dapat
sedemikian maju adalah karena mereka merupakan negara-negara di dunia yang
memiliki SDM dengan kualitas yang baik. Sedangkan banyak NSB yang
angkatan/tenaga kerjanya sebagian besar masih dari golongan berpendidikan rendah,
hingga saat ini masih mengalami perkembangan ekspor manufaktur yang relatif lemah.
Pengalaman yang berbeda ini memberi suatu alasan kuat untuk menduga adanya suatu
korelasi positif antara tingkat kualitas SDM dan kinerja sektor industri atau ekspor
manufaktur.
Dalam kasus Indonesia, kurangnya SDM dengan kualitas yang baik hingga saat
ini masih merupakan salah satu kendala serius bagi usaha meningkatkan daya saing
produk-produk manufakturnya. Tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya dan
angkatan kerja pada khususnya di Indonesia masih sangat rendah. Lebih dari 50% dari
jumlah orang yang bekerja di sektor formal dan sekitar 70% di sektor nonformal terdiri
atas tenaga kerja yang hanya/tidak tamat sekolah dasar.
Tabel diatas memperlihatkan beberapa indikator mengenai perkembangan
pendidikan di dalam negri dan beberapa negri lainnya di asia.
Produktivitas dan upah tenaga kerja di indo dan beberapa negara di asia 1980-
1990,1993
Ovarel ranking indo dan beberapa negara lain yang di survey dalam hal tenaga kerja
1998-1999
Posisi indonesia jauh lebih rendah dibanding nilai yang diberikan WEF kepada
kualitas tenaga kerja di beberapa negara seperti,singapur,taiwan,jepang,dan amerika
serikat.
Rangking indonesia dan beberapa negara yang di survey dalam hal manajemen
Salah satu faktor penyebab rendahnya faktor pendidikan di indonesia adalah
karna dana untuk sektor pendidikan yang terbatas.
Faktor ini jelas memberikan suatu indikasi bahwa sektor pendidikan , ekonomi,
industri, kontruksi, dan perdagangan tidak mendapatkan prioritas utama.
Hal serupa juga terjadi di Bali, dimana terjadi penurunan yang signifikan dari
2.996 pekerja pada tahun 2000 menjadi 1.324 pekerja tahun 2001 atau turun sebesar
55,8%. Terjadi kenaikan yang sangat signifikan dari 23.597 pekerja di tahun 1998
menjadi 46.731 pekerja tau naik 98%. Walaupun pada tahun 2000 terjadi penurunan,
hanya sekitar 6,6% , pada tahun 2001 terjadi penambahan pekerja sebesar 22,7% dari
43.650 pekerja (2000) memnjadi 53.576 pekerja (2001)
Dari sisi jumlah perusahaan, terjadi penurunan perusahaan industri kayu, bambu, dan
sejenisnya untuk kasus di jepara. Di bandingkan tahun 1998, terjadi penurunan sebesar
16,1% dan peristiwa penurunan ini terus beranjut dengan penuruna sebesar 30% (tahun
2000) dan 5,5% (tahun 2001). Propinsi bali pada tahun 2000 mengalami kenaikan
perusahaan dan 56 perusahaan (tahun 1999) menjadi menjadi 59 perusahaan (tahun
2000) atau naik sebesar 5,3% . Terjadi penurunan drastis sebessar 72,8% atau menjadi
16 perusahaan pada tahun 2001. Pada lingkup nasional, pada tahun 1999 terjadi
peningkatan signifikan sebesar 93,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun
2000 terjadi penurunan sebesar 4,9% dan berlanjut sebesar 15,5% (tahun 2001).
Lain halnya dengan Bali, pada tahun 1999 terjadi penurunan jumlah pekerja
sebesar 344,4% dari 1.273 pekerja menjadi 835 pekerja. Namun, pada tahun 2000,
terdapat kenaikan jumlah pekerja yang sangat signifikan pada tahun 2001, yaitu sebesar
531,7% atau 5.275 pekerja. Pada cakupan nasional, terjadi tren yang terus menigkat dari
taun 1998 sampai 2001. Pada tahun 1999, terdapat 177.934 pekerja atau meningkat
sebesar 45,8 persen dibandingkan tahun 1998. Pada tahun 2000 meningkat sebesar 2%.
Hal ini terus berlanjut pada tahun 2001 terdapat 349.974 pekerja atau naik sebesar
92,7% dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan Tabel 16.5, tampak bahwa pada tahun 1999 terjadi penurunan
jumlah tenaga kerja dari 119.812 pekerja menjadi 84.269 pekerja atau turun sebesar
29,7%. Pada tahun berikutnya. sempat mengalami sedikit kenaikan sebesar 0,4%, tetapi
pada tahun 2001 terjadi penurunan jumlah tenaga kerja yang cukup signifikan menjadi
44.159 pekerja atau turun sebesar 47,8%. Hal serupa terjadi pula di Bandung, di mana
pada tahun 1999 terjadi peningkatan dari 205.804 pekerja (1998) menjadi 219.896
(1999) atau naik sebesar 6,8%. Pada tahun berikutnya terjadi peningkatan sebesar
10,6% atau menjadi 243.290 pekerja. Namun, pada tahun 2001 terdapat pengurangan
pekerja secara signifikan sampai 81,5% atau menjadi 45.050 pekerja. Dalam cakupan
nasional, pada tahun 1999 dan 2000 terjadi pertumbuhan tenaga kerja pada sektor
industri ini masing-masing sebesar 0,3% dan 3,3%. Namun, pada tahun 2001 terdapat
pengurangan tenaga kerja menjadi 593.986 perusahaan atau turun menjadi 5,8%.
16.2.4 INDUSTRI PAKAIAN JADI (GARMEN)
Di bidang industri pakaian jadi, terjadi pertumbuhan tenaga kerja yang sangat
signifikan untuk wilayah Jabotabek pada tahun 1999 sebesar 470% dibandingkan tahun
sebelumnya, dari 140.024 perusahaan menjadi 798.293 perusahaan (lihat Tabel 16.7.).
Namun, pada tahun berikutnya seiring dengan banyaknya pabrik yang tutup dari 3.726
perusahaan (1999) menjadi 129 perusahaan (2000), terjadi pula penurunan penyerapan
tenaga kerja yang signifikan sebesar 97%. Peristiwa penurunan diikuti pula pada tahun
berikutnya sebesar 10%, sehingga menjadi 116 perusahan. Demikian pula, tenaga kerja
yang terserap turun menjadi 14.561 pekerja pada tahun 2001.
Pada kasus industri elektronika di Batam, tampak bahwa pada tahun 1999 terjadi
kenaikan jumlah tenaga kerja yang cukup signifikan, yaitu sebesar 30,6% atau menjadi
76.306 pekerja (lihat Tabel 16.9). Namun, pada tahun berikutnya terjadi penurunan
menjadi 74.526 pekerja atau turun sebesar 2,3% dan diikuti pada tahun 2001 turun
dengan persentase 17% atau menjadi 61.839 pekerja. Sebaliknya, untuk kasus di
Jabotabek, pertumbuhan tenaga kerja menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun
1999, terjadi pertumbuhan sebesar 1,1% dan diikuti pada tahun-tahun berikutnya
sebesar 21,7% atau menjadi 33.198 perusahaan, lalu di tahun 2001 tumbuh signifikan
sebesar 71,5% atau men 56.936 perusahaan.
Untuk lingkup nasional, terjadi pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang terlibat
dalam industri elektronika dari tahun ke tahun. Namun, pertumbuhan semakin mengecil
dari tahun 1998 sampai 2001. Misalnya, pada tahun 1999 terjadi kenaikan sebesar
21,8% atau menjadi 188.794 pekerja. Berikutnya, pertumbuhan pekerja yang diserap
mengecil menjadi 6,3% dan begitu pula yang terjadi pada tahun 2001 di mana
pertumbuhannnya hanya sebesar 0,9% atau menjadi 202.500 tenaga kerja.
Oleh karena itu, kita perlu segera menyusun grand strategy membangun kembali
DIY dan Jateng, terutama daerah lokasi bencana. Pertama, setelah masa tanggap darurat
usai, keunggulan sistem e-government yang dimiliki propinsi DIY, kabupaten Bantul,
Sleman, dan kota Yogya perlu dioptimalkan. Inventarisasi data jumlah korban
(meninggal, sakit, atau hidup), rumah rusak (rata dengan tanah, rusak berat, atau rusak
ringan), serta fasilitas produksi yang rusak (pabrik, workshop, toko, mesin, peralatan,
dan lain-lain) per desa di masing-masing kecamatan sangat diperlukan untuk
mengetahui secara rinci sejauh mana dampak gempa dan berapa kebutuhan dana
rekonstruksi.
Kedua, perlu segera didirikan UKM Recovery Center. Semua asosiasi bisnis
membutuhkan jejaring dan alians dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Keterpaduan langkah bisa dimulai dengan berbagi informasi dan data tentang semua
kerusakan yang dialami para anggota asosiasi bisnis maupun UKM nonanggota. Data
yang dimaksud termasuk kebutuhan bantuan yang diinginkan, apakah berupa tambahan
kredit baru, penjadwalan pembayaran utang (rescheduling). penghapusbukuan (write-
off), pembebasan pajak (PBB, PPh, PPN), atau negosiasi L/ C? Setidaknya, asosiasi
seperti ASMINDO, ASEPHI, API, ASITA, HIPMI, dan Kadin perlu mempelopori
langkah ini. Menteri Perindustrian memperkirakan total dana yang dibutuhkan untuk
memulihkan industri kecil yang hancur mencapai Rp125 hingga Rp150 miliar.
Kelima, prinsip swadaya (self-help) dan gotong royong perlu ditegakkan dalam
masa pemulihan ekonomi. Korban dan UKM di lokasi bencanalah yang paling tahu
kebutuhan mereka. Gotong royong sudah mulai terlihat dalam tahap perobohan dan
rekonstruksi rumah. Relawan dari berbagai daerah Indonesia sudah berbondong datang
ke lokasi bencana.
Perusahaan yang bermain di sektor tersebut, serta jumlah tenaga kerja yang
diserap pada setiap sektor. Gejala deindustrialisasi mulai terlihat di DIY. Tanda-tanda
deindustrialisasi adalah: pertama, penurunan absolut dalam aktivitas industri
manufaktur, khususnya bila diukur dari penyerapan lapangan kerja dan penurunan unit
usaha di suatu daerah dalam jangka panjang. Kedua, ada indikasi penurunan sumbangan
sektor industri pengolahan dalam PDRB DIY, setidaknya selama 5 tahun terakhir.