Anda di halaman 1dari 35

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI SEKTOR INDUSTRI

MANUFAKTUR DAN DEINDUSTRIALISASI

Oleh Kelompok 3:

IZZATY HANUM (2010011111001)


JESSY JERAY (2010011111042)
RONALDO (2010011111017)
SILVONI (2010011111030)
WULAN HANDAYANI (2010011111013)

PRODI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BUNGHATTA

PADANG

2022
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI SEKTOR INDUSTRI

MANUFAKTUR

( Dr. Tulus T.H Tambunan )

PERMASALAHAN DI NEGARA - NEGARA SEDANG BERKEMBANG

Relatif masih underdeveloped-nya sektor industri manufaktur di negara-negara


sedang berkembang (NSB) disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalalah
keterbatasan teknologi dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Selain
dana yang disediakan pemerintah sangat terbatas (karena di banyak negara
pemerintahnya memang selalu menghadapi defisit keuangan yang besar), keterbatasan
teknologi dan rendahnya kualitas SDM di NSB juga dikarenakan terbatasnya dana dari
sektor swasta itu sendiri.

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur besarnya dampak
keterbatasan teknologi dan SDM terhadap kinerja sektor industri manufaktur adalalah
tingkat produktivitas; baik secara parsial dari masing-masing faktor produksi yang
digunakan (seperti tenaga kerja dan barang modal) maupun secara keseluruhan, yang
disebut total factor productivity (TFP). Hasil studi dari Fry (1991) di beberapa negara di
Asia, termasuk Indonesia, untuk periode 1961-1988 menunjukkan bahwa salah satu
penyebab laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih rendah dibandingkan di negara-
negara yang dijuluki the Asian Tigers, seperti Korea Selatan dan Taiwan, adalah karena
rendahnya TFP Indonesia dibandingkan TFP negara-negara tersebut. Sebagai contoh,
dibandingkan Korea Selatan, selama kurun waktu 1968-1988 TFP Indonesia turun dari
sekitar 5% hingga 1%, sementara TFP di Korea Selatan naik dari sekitar 3,4% hingga
mencapai lebih dari 5% dalam periode yang sama. Pada period 1982-1988 TFP
Indonesia hanya seperempat dari TFP Korea Selatan (Tabel 3.1).
Dalam hal produktivitas parsial, Tabel 3.2 menunjukkan perbandingan tingkat
produktivitas tenaga kerja di sektor industri manufaktur antara sejumlah NSB dan
sejumlah NIM yang menunjukkan produktivitas di kelompok negara pertama pada
umumnya lebih rendah dibandingkan di kelompok negara kedua. Walaupun ada faktor-
faktor lain yang juga berpengaruh, misalnya harga output dan input, gaji per pekerja,
dan pola manajemen, namun dapat dipastikan bahwa perbedaan tersebut lebih
disebabkan oleh keterbatasan teknologi dan SDM di kelompok NSB.

Tabel perbedaan tingkat produktifitas tenaga kerja di sektor industry manufaktur


di sejumlah NSB dan NIM
B. KASUS INDONESIA

1. Kelemahan Struktural Dan Organisasi

UNIDO (2000) dalam studinya mengenai kinerja sektor industri manufaktur


Indonesia mencoba mengelompokkan masalah-masalah yang dihadapi sektor tersebut
ke dalam dua kategori, yaitu kelemahan-kelemahan yang bersifat struktural dan
kelemahan-kelemahan yang bersifat organisasi.

a. Kelemahan Struktural

Kelemahan-kelemahan struktural di antaranya adalah sebagai berikut.

Basis Ekspor dan Pasarnya yang Sempit Walaupun Indonesia memiliki banyak sumber
daya alam (SDA) dan jumlah tenaga kerja yang berlimpah, yang merupakan dua faktor
utama keunggulan komparatifnya, namun produk dan pasar ekspor Indonesia sangat
terkonsentrasi pada hal-hal berikut.

Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki, yang memiliki
pangsa 50% dari nilai total ekspor manufaktur.

Pasar untuk tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas hanya ke negara-negara yang
menerapkan kuota (the multi-fibre agreement atau MFA), seperti AS, Masyarakat Eropa
(ME), Kanada, Norwegia, dan Turki.

Tiga negara, yakni AS, Jepang, dan Singapura menyerap sekitar 50% dari nilai
total ekspor manufaktur Indonesia, sementara AS sendiri menyerap hampir setengah
dari nilai total ekspor dari tekstil dan pakaian jadi.

Sepuluh produk menyumbang sekitar 80% dari seluruh hasil ekspor manu
faktur. Ekspor manufaktur Indonesia menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan
permintaan terhadap produk-produk tersebut di pasar yang terbatas.

Banyak produk manuraktur yang pada: karya yang terpilih sebagai ekspor
unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia sebagai akibat dari
persaingan yang makin ketat, terutama dari Cina dan negara negara produsen lainnya di
Asia yang bisa menghasilkan barang yang sama dengan biaya produksi yang lebih
rendah, negara-negara Eropa Timur di pasar Eropa Barat dan negara-negara Amerika
Latin untuk pasar Amerika Utara. Produk-produk ekspor Indonesia juga mengalami
inelastic demand di pasar

Banyak produk manufaktur yang merupakan ekspor tradisional Indonesia di


negara-negara industri maju. mengalami penurunan daya saing, terutama disebabkan
oleh faktor-faktor eksternal dan bukan faktor-faktor internal, seperti upah tenaga kerja
yang naik
Ketergantungan pada Impor yang Sangat Tinggi

Sejak tahun 1990, Indonesia telah menarik banyak investasi asing (PMA) di
industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, consumer goods,
alat-alat listrik, dan otomotif. Namun, kebanyakan dari industri-industri tersebut bukan
merupakan proses manufaktur dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses penggabungan,
pengepakan, dan asembling dengan hasil sebagai berikut.

Pada tahun 1997, nilai impor bahan baku, input perantara, dan komponen
berkisar dari 45% di industri-industri kimia, 53% di industri-industri mesin, 56% di
industri-industri alat-alat transportasi, dan 70% di industri-industri barang barang
elektronik.

Industri-industri yang padat karya sangat tergantung pada impor bahan baku,
input perantara, dan komponen, mulai dari 40% -43% di industri-industri tekstil,
pakaian jadi, dan kulit serta hingga 56% di industri-industri alas kaki. Ketergantungan
ini disebabkan oleh tidak adanya suplai domestik dan industri industri pendukung dan
lemahnya keterkaitan produksi antarindustri di dalam negeri.

Sangat besarnya PMA di sektor industri manufaktur nasional, walaupun


memberi keuntungan-keuntungan tertentu (seperti pengetahuan mengenai proses
manufaktur), telah membuat sektor tersebut menjadi sangat tergantung pada suplai
bahan baku dan komponen dari luar negeri.

Walaupun pertumbuhan PMA di sektor industri manufaktur sangat pesat dan


Indonesia sudah masuk ke dalam sistem manufaktur regional, peralihan teknologi ke
Indonesia dalam arti yang luas, termasuk teknikal, manajemen, organisasi, pemasaran,
pengembangan produk, dan keterkaitan eksternal, sangat terbatas.

Ketergantungan pada PMA juga telah membuat proses peningkatan kemampuan


perusahaan-perusahaan lokal dalam proses manufaktur dan kemampuan untuk
mengembangkan produk dengan merek sendiri serta membangun jaringan pemasaran
sendiri berjalan lambat.

3. Tidak Adanya Industri Berteknologi Menengah Kelihatannya, pola industrialisasi di


Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain yang derajat industrialisasinya relatif
sama.

Kontribusi industri-industri berteknologi menengah (termasuk karet dan plastik,


semen, logam dasar, dan barang-barang sederhana dari logam terhadap peinbangunan
sektor industri manufaktur menurun antara tahun 1985 dan 1997. Pola seperti ini boleh
dikatakan unik bagi Indonesia, sejak hampir semua negara di Asia dan belahan dunia
lainnya mempertahankan keberadaan industri industri dari kategori ini di dalam total
output manufaktur mereka.

Kontribusi produk-produk yang padat modal (seperti material-material dari


plastik, produk-produk dari karet, pupuk, bubuk kertas dan kertas, besi dan baja)
terhadap total ekspor juga menurun selama periode yang sama.

Di pihak lain, produksi industri-industri berteknologi rendah tumbuh pesat. Hal


ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan industri-industri padat karya (seperti tekstil,
pakaian jadi, dan alas kaki) dan pertumbuhan industri-industri kayu. kertas, dan
makanan.

4. Konsentrasi Regional

Industri-industri skala menengah dan besar sangat terkonsentrasi di Jawa,


khususnya di Jabotabek. Walaupun pemerintah telah memberikan berbagai macam
insentif, kegiatan produksi manufaktur tetap saja terpasatkan di Jawa. Data BPS
menunjukkan bahwa pada tahun 1997 pangsa kesempatan kerja dan nilai tambah di
sektor industri manufaktur yang dimiliki Jakarta dan Jawa Barat mening hingga sekitar
50% dari total nasional. Peningkatan ini disebabkan, di samping faktor-faktor lain, oleh
adanya industri-industri pendukung dan pemasok, pasar yang relatif besar dan
berkembang pesat mengikuti pertumbuhan pendapatan riil per kapita dan jumlah
populasi, infrastruktur fisik yang baik, dan berdekatan dengan kantor-kantor
pemerintah. Menurut data BPS, size dari sektor manufaktur di luar Jawa hampir sama
dengan yang di Jawa Timur (20%) dan sekitar setengah dari yang di Jakarta/Jawa Barat.

b. Kelemahan Organisasi

Kelemahan-kelemahan organisasi di antaranya adalah sebagai berikut.

Industri Skala Kecil dan Menengah (IKM) Masih Underdeveloped

Kontribusi IKM terhadap pembentukan nilai tambah manufaktur relatif kecil, sedangkan
terhadap kesempatan kerja sangat besar.

Pada tahun 1996, IB (500 pekerja per unit usaha) mengerjakan hanya sekitar.1/3
dari total kesempatan kerja, tetapi menyumbang sekitar 83% terhadap pembentukan
nilai tambah.

IKM, termasuk industri rumah tangga, dengan jumlah pekerja rata-rata masing-
masing 37, 8, dan 2 orang per unit usaha, masing-masing menyumbang hanya 5% -6%
dari total nilai tambah dan mengerjakan 2/3 dari total kesempatan kerja.
Berbeda dengan IB, IKM terkonsentrasi pada subsektor-subsektor makanan dan
kayu. Mereka memproduksi barang-barang jadi (consumer goods) dan tidak banyak
membuat barang modal, input perantara, dan komponen untuk industri industri lain.
Dalam perkataan lain, subkontraktor dan supplier linkages antara IKM dan IB sangat
terbatas.

Konsentrasi Pasar

Tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dapat dijumpai di banyak segmen/


subsektor manufaktur. Pangsa output dari empat perusahaan terbesar (concen tration
ratio atau CR4) mencapai lebih dari 75% dari total output dari hampir setengah
industrial branches yang ada. Tahun 1997, CR4 mencapai 70%.

Lemahnya Kapasitas untuk Menyerap dan Mengembangkan Teknologi

Transformasi industri selama pemerintahan orde baru dilakukan terutama oleh


strategi-strategi bisnis dan hubungan-hubungan internasional dari konglomerat
konglomerat di Indonesia. Tidak ada PMA, tidak ada konglomerat-konglomerat
Indonesia, dan juga tidak ada lembaga-lembaga pemerintah yang begitu getol
memanfaatkan teknologi dan pengetahuan dari luar untuk memperbaiki daya. saing dan
efisiensi dari produksi manufaktur di dalam negeri.

4. Lemahnya SDM

Di satu pihak, fakta menunjukkan bahwa hingga kini sebagian besar tenaga kerja
di Indonesia masih berpendidikan rendah. Insinyur-insinyur yang dihasilkan oleh
lembaga-lembaga pendidikan tinggi di dalam negeri, yang jumlahnya jauh lebih banyak
daripada lulusan luar negeri, tidak semuanya berkualitas baik, bisa bekerja secara
mandiri, memiliki keahlian dalam problem-solving dan analyzing technical problem,
kreatif, dan mampu melakukan R&D. Di pihak lain, pemerintah kurang memberi
perhatian terhadap pengembangan pendidikan di tanah air. Hal ini bisa dilihat antara
lain dengan masih relatif kecilnya porsi anggaran pendapatan dan belanja (APBN)
untuk pendidikan dan R&D. Sementara, sektor swasta, perusahaan besar, dan bank tidak
menunjukkan niat untuk membantu pengembangan pendidikan di dalam negeri dari sisi
finansial.

2. Masalah-masalah yang Dihadapi Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga

Seperti di banyak NSB lainnya, sektor industri manufaktur di indonesia


didominasi oleh industri kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT), baik dalam jumlah
unit maupun pangsa kesempatan kerja. Jumlah tenaga kerja yang banyak, dengan
kontribusi nilai tambah yang kecil mencerminkan rendahnya tingkat produktivitas
tenaga kerja di IK dan IRT. Hal ini erat kaitannya dengan masalah-masalah yang
dihadapi IK dan IRT, yang merupakan hambatan serius. bagi pertumbuhan dan
perkembangan kelompok industri tersebut.

Berdasarkan data BPS 1993, Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 masing-masing
menunjukkan bahwa masalah paling besar, baik yang dialami oleh pengusaha-
pengusaha IK maupun IRT, adalah keterbatasan modal dan pemasaran. Masalah-
masalah lainnya adalah pengadaan bahan baku (misalnya tempat beli terlalu jauh, harga
mahal, dan tidak selalu tersedia), kurang keahlian dalam jenis-jenis teknik produksi
tertentu (misalnya tenaga ahli/perancang sulit dicari atau mahal), kurang keahlian dalam
pengelolaan. dan persaingan yang tajam.

Dalam hal pemasaran, kesulitan yang dihadapi pengusaha-pengusaha IK dan


IRT adalah terutama keterbatasan informasi mengenai perubahan dan peluang pasar
yang ada, dana untuk membiayai pemasaran/promosi, pengetahan mengenai bisnis dan
strategi pemasaran (khususnya pada tingkat regional dan internasional), dan
komunikasi. Keterbatasan-keterbatasan tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha
IK dan IRT, khususnya di daerah pedesaan, menjadi sangat tergantung pada pedagang
keliling dan pemilik grosir di kota-kota. Sedangkan pengusaha-pengusaha IK dan IRT
yang hanya melayani pasar lokal, kebanyakan mereka berhubungan langsung dengan
konsumen, tanpa perantara pedagang.

Sebagian dari masalah ada hubungannya dengan masalah persaingan. IK dan


IRT di Indonesia harus menghadapi persaingan yang sangat ketat, baik dari IMB di
dalam negeri maupun barang-barang impor. Bentuk persaingan bervariasi, tetapi yang
paling sering muncul adalah persaingan dalam harga dan kualitas. Persaingan juga
mulai ketat dalam bentuk pelayanan setelah penjualan (service after sale), dan desain
atau penampilan produk. Dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada, dari keterbatasan
dana, teknologi, dan keahlian, hingga mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang
baik, membuat pengusaha IK dan IRT kesulitan untuk meningkatkan kualitas produk
mereka dan mengubah desainnya agar dapat bersaing di pasar domesik dan ekspor.

Sulitnya pengusaha-pengusaha IK dan IRT menghadapi persaingan juga


dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang sifatnya eksernal, misalnya selera masyarakat
(consumer behavior) yang lebih menyukai produk-produk impor atau barang-barang
buatan IMB yang sudah memiliki merek-merek terkenal dan memang kualitas barang –
barang lebih baik daripada buatan IK dan IRT. Dua faktor lainnya adalah kebijakan
pemerintah yang mungkin tidak disengaja , tetapi menimbulkan bias yang lebih
menguntungkan pengusaha-pengusaha besar (termasuk penanaman modal asing; PMA)
atau produk-produk impor dan sikap pengusaha-pengusaha besar itu sendiri di pasar
output/input (monopoli /monopsoni atau oligopoli/oligopsoni).

Masalah dalam pengadahan bahan baku bervriasi, mulai dari tempat penjualan
yang jauh dari lokasi usaha (yang berarti biaya transportasi tinggi dan banyak makan
waktu), harga mahal (terutama bahan baku yang masih di impor), persediaan yang
seringkali terbatas pada saat dibutuhkan (kshususnya komoditas-komoditas pertanian
yang sangat tergantung pada cuaca)n dan kualitas bahan baku yang rendah.

Tingkat pendidikan dari sebagian besar pengusaha kecil di Indonesia masih


sangat rendah. Data BPS 1993 menunjukkan bahwa 48,25% dari jumlah IRT yang
disurvei, pengusahanya belum pernah sekolah atau tidak tamat sekolah dasar (SD) tabel
(3.5). Pengusaha IRT yang berpendidikan di atas sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)
sangat kecil sekali, hanya 0,62%. Sisanya yang berpendidikan sekolah menengah
tingkat pertama (SMP) dan ada yang mencapai sekolah meningkat atas (STMA).
Sedangkan untuk kasus IK data BPS 1993 tidak berbeda dengan kondisi pendidikan
IRT. Menurut subsektor, secara total 53,23% dari jumlah tenaga kerja di IK hanya
berpendidikan sekolah dasar. Sedangkan yang diploma atau pernah mengikuti
pendidikan akademi/universitas hanya 0,74% dari jumlah tenaga kerja yang bekerja di
kelompok industri terebut.
IK dan IRT di Indonesia juga menghadapi permasalahan tekonologi. Pada
umumnya berkaitan erat dengan keterbatasan SDM dan dana, serta tidak ada dukungan
instansi teknis dan perguruan tinggi dalam pengembangan teknologi. Dengan dana dan
akses ke informasi mengenai perubahan teknologi dan pasar yang terbatas dan kualitas
SDM yang rendah, pengusaha-pengusaha dan IRT tidak dapat melakukan inovasi
produk dan/atau proses produksi.

C. DUA KENDALA UTAMA TEKNOLOGI DAN SUMBER DAYA ALAM


MANUSIA

1. Teknologi

Pentingnya teknologi dalam produksi dan perdagangan Internasional dapat


dilihat dari sejumlah indikator, diantaranya adalah perubahan komposisi barang-barang
manufaktur di dalam perdagangan Internasional. Kemampuan teknologi industri terdiri
atas beberapa unsur, yang penguasaanya tergantung pada tahap industrialisasi suatu
negara. Ada enam kategori kemampuan teknologi, yaitu:

 Kemampuan investasi yang mengacu pada pengetahuan dan keterampilan yang


diperlukan untuk mengidentifikasikan, mempersiapkan, mendesain, menyusun,
dan melaksanakan proyek-proyek industri baru atau memperluas atau
memodernisasikan proyek-proyek yang sudah berjalan.
 Kemampuan yang meliputi segala pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk mengoperasikan suatu pabrik.
 Pengetahuan untuk mengadakan perubahan kecil meliputi rekayasa adaptif dan
penyesuaian organisatoris yang perlu diadakan untuk mengadakan penyesuaian
kecil atau perbaikan inkremental secara berkesinambungan, baik dalam desain
dan kinerja produk maupun dalam teknologi proses produksi.
 Kemampuan pemasaran yang mengacu pada pengetahuan dan keterapilan untuk
megumpulkan informasi mengenai pola permintaa, market trend, dan selera
konsumen, maupun untuk menciptakan saluran distribusi dan jasa-jasa
konsumen yang efisien dan efektif.
 Kemampuan menciptakan kaitan mengacu pada pengetahuan, ketermapilan dan
kemapuan organisatoris yang diperlukan untuk memperlancar arus informasi dan
teknologi.
 Kemampuan pderubahan besar yang mangacu pada pengetahuan dan
keterampilan untuk mengadakan terobosan besar atau menciptakan teknologi
baru, baik teknologi proses maupun teknologi produk.
Laju pertumbuhan ekspor yang paling pesat dicapai oleh industri-industri
manufakatur dimana secara langsung atau tidak langsung invesatasi dalam kegiatan
penelitian dan pengembangan (R&D) dan kemampuan desain merupakan bagian yang
besar dalam nilai tambah yang dihasilkan industri-industri tersebut. Industri-industri
manufaktur tersebut diantaranya adalah industri-industri elektronik, alat-alat listrik,
pesawat terbang, ruang angkasa, plastik, barang-barang kimia yang halus, dan alat-alat
presisi. Pada industri-industri manufaktur dengan teknologi tradisional, seperti industtri-
indsutri pakaian jadi dan metalurgi, ternyata subsekor-subsektor yang menghasilkan
barang-barang dengan kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang relatif
tinggi, seperti pakaian mode dan bahan-bahan logam campuran dengan kinerja tinggi,
mengalami laju pertumbuhan ekspor yang paling tinggi (THEE, 1997).
Akibat perubahan teknologi yang semakin cepat yang disebabkan oleh
perubahan-perubahan global, perekekonomian dunia dan perdagangan global akan
makin dinamis juga persaingan internasional akan makin tajam, tidak hanya antara NSB
dan NIN tetapi juga sesama anatar NSB (misalnya antara Indonesia dan negara-negara
lainnya). Kemampuan bertahan industri manufaktur suatu negara di dalam kancah
persaingan internasional tidak hanya ditentukan oleh penguasaan sektor (perusahaan-
perusahaan di dalamnya) dan negara tersebut terhadap teknologi-teknologi baru yang
ada, tetapi juga kegunaannya yang efektif dan efisien.

Dikebanyakan NSB, termasuk Indonesia penggunaan teknologi industri masih


kurang memadai karena mereka kurang mengadakan investasi dalam usaha memperoleh
informasi tentang teknologi yang mereka perlukan maupun usaha untuk
mengembangkan kemampuan teknologi mereka oleh karena itu, perusahaan-perusahaan
manufaktur di negara-negara tersebut kurang efisien dalam penggunaan teknologi yang
mereka miliki (impor). Akibatnya, biaya produksi tinggi atau prduktivitas rendah dan
kinerja jelek. Dengan perkataan lain, kebanyakan teknologi industri di NSB digunakan
dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah daripada NIM (THEE 1997).

Lall (1993) dalam studinya mengungkapkan bahwa ketidakefisienan dalam


penggunaan teknologi di NSB bisa dalam berbagai bentuk, di antaranya:

 Kekurang manapun perushaan-perusahaan manufaktur di NSB untuk mencari,


mengidentifikasi, memilih, dan melakukan negosiasi dengan calon penjual
teknologi untuk memperoleh/membeli teknologi terbaik dengan harga paling
murah.
 Kekurang manapun perusahaan-peruhaan manufaktur ini untuk menguasai
secara mamadai teknologi yang telah mereka beli.
 Banyak perusahaan-perusahaan manufaktur di NSP beroperasi dalam tingakt
efisiensi yang rendah sehingga terjadi pemborosan dalam pemakaian sumber-
sumber daya oelh perusahaan tersebut.
 Dinamika teknologi yang dimilki perusahaan-perusahaan manufkatur tersebut
kurang memadai dalam menghadapi perubahan-perubahan di pasar domestik
dan pasar ekspor (persaingan)

Penemuan dari studi CSES didukung oleh data BPS yang disajikan pada tabel 3.8
yang menunjukkan bahwa sebagian besar ekspor manufaktur Indonesia adalah dari
kategori barang-barang dengan teknologi rendah. Kalau ini dilanjutkan, maka daya
saing ekspor manufaktur Indonesia akan makin rendah karena, dalam era globalisasi
ekonomi dan perdagangan dunia, keunggulan kompetitif akan lebih menentukan tingkat
daya saing suatu negara. Suatu komoditi, atau suatu industri daripada keunggulan
komparatif di pasar ekspor maupun pasar domestik.
Tabel 3.8

Perkembangan Ekspor Manufaktur Indonesia Menurut Tingkat Teknologi: 1981


dan 1992

(Dalam Milian Dolar AS)

Proses peningkatan struktur dan kandungan teknologi (industrial and technological


upgradin) yang terjadi di Indonesia lebih bersifat alamiah, yakni karena dorongan
kekuatan pasar terutama karena permintaan yang tinggi akan hasil-hasil industri
Indonesia yang lebih padat modal dan keterampilan di pasar internasional.

Tabel 3.9

Ekspor Manufaktur Menurut Intensitas Faktor Produksi: 1995 (Diatas 200 Juta
Dolar AS)
Tabel 3.10

Tingkat Teknologi Dari Produksi Manufaktur Dibeberapa Negara: 1985 dan 1997
(% Pangsa dalam Nilai Tambah dari Sektor Industri Manufaktur)

Gambar 3.1

Perkembangan Absolut Pada Produk-Produk Berteknologi Tinggi:1985-1997


Gambar 3.2

Perkembangan Absolut Pada Produk-Produk Berteknologi Menengah: 1985-1997

Gambar 3.3

Perkembangan Absolut Pada Produk-Produk Berteknologi Rendah: 1985-1997


Pengembangan SDM di Indonesia masih kurang. Kegiatan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) di dalam negeri masih berada di bawah tingkat yang telah dicapai
negara-negara Asia lainnya. Pengeluaran Indonesia untuk kegiatan R&D sebagai
persentase dari produk nasional bruto (PNB) nya masih berada jauh dibawa peringkat
Singapura, Jepang, dan Taiwan yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit
dibandingkan di Indonesia, dan tidak ada perubahan selama periode 1990 - 1994.

Kegiatan R&D tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan fasilitas fisik dan modal, tetapi
juga oleh ketersediaan manusianya (SDM). Dalam hal ini, Tabel 3.12 memperlihatkan
bahwa posisi Indonesia sebagai suatu negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari
200 juta orang, yang berarti membutuhkan jumlah SDM untuk kegiatan R&D lebih
banyak daripada negara kecil (seperti Singapura), ternyata juga rendah. Memang secara
absolut jumlah sarjana fisika, kimia, ilmu alam, dan insinyur yang terlibat di dalam
kegiatan R&D di Indonesia lebih banyak dibandingkan di Filipina, Singapura, dan
Thailand. Akan tetapi, secara relatif dibandingkan jumlah penduduk, jumlahnya kecil.

Tabel 3.11

Beberapa Indikator Pengembangan Iptek(R&D) Di Indonesia Dan Beberapa


Negara Asia Lainnya
Tabel 3.12

Ketersediaan Ilmuan Dan Insinyur Di Indonesia Dan Beberapa Negara Asia


Lainnya: 1990

Selain ketersediaan SDM dengan kualitas yang baik dan faktor-faktor penunjang
lainnya, perkembangan teknologi juga sangat ditentukan oleh ketersediaan dana. Selama
ini kegiatan R&D di Indonesia lebih banyak dibiayai dan dikerjakan oleh pemerintah.
Masih sedikit jumlah perusahaan swasta nasional yang melakukan kegiatan R&D.
Demikian juga masih sedikit jumlah bank swasta, atau bahkan hampir tidak ada, yang
tertarik untuk membiayai kegiatan R&D.

Tabel 3.13

Sumber Dana Dan Pelaku Kegiatan R&D Dibeberapa Negara Asia: 1990 (Dalam
Persen)
Studi lainnya yang menarik adalah dari McKendrik (1992) mengenai kemampuan
teknologi industri di Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Studinya menunjukkan
bahwa sejak IPTN didirikan pada tahun 1976, badan usaha milik negara (BUMN) ini
dalam kurun waktu 10 tahun saja ternyata mampu untuk mencapai kemajuan berarti
dalam penguasaan teknologi, yakni dari tahap perakitan ke pembuatan sendiri seluruh
kerangka dan badan pesawat terbang. Selain itu, IPTN juga berhasil menambah jumlah
komponen pesawat terbang yang dibuat sendiri. Dengan kemajuan yang dicapai ini,
maka IPTN pada awal dekade 1990-an telah menjelma sebagai salah satu di antara
perusahaan manufaktur Indonesia yang sampai tingkat tertentu mampu untuk
melakukan inovasi teknologi dalam arti yang sama.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kelemahan yang dihadapi Indonesia
hingga saat ini dalam upaya pengembangan teknologi adalah, di satu pihak, sebagian
besar kegiatan R&D masih dilakukan oleh pemerintah, sementara di pihak lain, belum
ada keterkaitan yang kuat antara lembaga-lembaga R&D pemerintah dengan dunia
usaha nasional sehingga tidak terjadi transfer of technology dari lembaga lembaga R&D
pemerintah ke perusahaan-perusahaan swasta (Thee, 1996).

2. Sumber Daya Manusia

Untuk menunjang proses industrialisasi dan dalam era pasar bebas nanti, selain
teknologi, SDM berkualitas tinggi menjadi salah satu faktor penentu yang sangat
penting. Pentingnya SDM memang sudah dibuktikan tidak hanya oleh NIM di Eropa
dan Amerika Utara, tetapi juga di Asia (seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura,
Hong Kong, dan Jepang). Walaupun tidak punya SDA, sektor industri manufaktur dan
ekspornya di negara-negara ini sejak dekade 1960-an hingga saat ini menunjukkan suatu
perkembangan yang sangat pesat. Salah satu alasan kenapa negara-negara tersebut dapat
sedemikian maju adalah karena mereka merupakan negara-negara di dunia yang
memiliki SDM dengan kualitas yang baik. Sedangkan banyak NSB yang
angkatan/tenaga kerjanya sebagian besar masih dari golongan berpendidikan rendah,
hingga saat ini masih mengalami perkembangan ekspor manufaktur yang relatif lemah.
Pengalaman yang berbeda ini memberi suatu alasan kuat untuk menduga adanya suatu
korelasi positif antara tingkat kualitas SDM dan kinerja sektor industri atau ekspor
manufaktur.

Dalam kasus Indonesia, kurangnya SDM dengan kualitas yang baik hingga saat
ini masih merupakan salah satu kendala serius bagi usaha meningkatkan daya saing
produk-produk manufakturnya. Tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya dan
angkatan kerja pada khususnya di Indonesia masih sangat rendah. Lebih dari 50% dari
jumlah orang yang bekerja di sektor formal dan sekitar 70% di sektor nonformal terdiri
atas tenaga kerja yang hanya/tidak tamat sekolah dasar.
Tabel diatas memperlihatkan beberapa indikator mengenai perkembangan
pendidikan di dalam negri dan beberapa negri lainnya di asia.

Peningkatan jumlah anak²/remaja berusia 6 sampai dg 23th yang mengikuti pendidikan


formal selama kade 1980an hingga krisis ekonomi terjadi bisa dikatakan salah satu hasil
langsung program pendidikan selama ini, pembangunan SD di plosok tanah
air,menambah program wajib belajar ,dan memberi kemudahan bagi yang ingin
melanjutkan kuliah keluar negri.

3prameter yaitu: pendapatan perkapita harapan hidup, kemampuan membaca ,dan


menulis

SDM di indonesia dan beberapa negara asia lainnya 1970-1992


HDI ranking beberapa negara ASEAN 1993-1999

Produktivitas dan upah tenaga kerja di indo dan beberapa negara di asia 1980-
1990,1993

Ovarel ranking indo dan beberapa negara lain yang di survey dalam hal tenaga kerja
1998-1999
Posisi indonesia jauh lebih rendah dibanding nilai yang diberikan WEF kepada
kualitas tenaga kerja di beberapa negara seperti,singapur,taiwan,jepang,dan amerika
serikat.

Sebagian mencerminkan kualitas SDM di indonesia ,misal seperti tabel berikut

Banyak perusahaan memiliki teknologi,SDA,SDM berkualitas baik,dan modal


yang besar namun kinerjanya tetap buruk karna manajemen nya jelek, sehingga banyak
perusahaan di konglomerat di indonesia mengalami krisis utang luar negri dan banyak
bank yang bermasalah krisis ekonomi pda th 1998-1999. Berati indonesia termasuk
negara paling rendah setelah ukraina dari 53 negara yang masuk didalam sampelnya.

Rangking indonesia dan beberapa negara yang di survey dalam hal manajemen
Salah satu faktor penyebab rendahnya faktor pendidikan di indonesia adalah
karna dana untuk sektor pendidikan yang terbatas.

Faktor ini jelas memberikan suatu indikasi bahwa sektor pendidikan , ekonomi,
industri, kontruksi, dan perdagangan tidak mendapatkan prioritas utama.

Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan beberapa negara di asia lainnya


PERMASALAHAN SEKTOR INDUSTRI DAN DEINDUSTRIALISASI

(Prof. Mudrajad Kuncoro)

16.1 Fenomena Deindustrialisasi

Deindustrialisasi adalah menurunnya peran industri dalam perekonomian secara


menyeluruh. Deindustrialisasi bagi suatu negara lebih merupakan masalah daripada
suatu yang diharapkan. Menurunnya peranan industri dalam perekonomian bisa dilihat
dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk indstri,
serta turunnya sektor industri dibandingkan sektor lain.

Penyebab dari deindustrialisasi ini bisa karena adanya perubahan pola


spesialisasi internasional. Jika suatu negara menemukan sumber alam baru dan relatif
besar cadangannya, maka kegiatan eksploitasi sumber alam tersebut akan meningkat
pesat, dan sektor industri akan menurun.

Penyebab lain deindustrialisasi adalah hilangnya keunggulan kompetitif dari


sektor industri suatu negara. Jika keunggulan kompetitif produk industri suatu negara
hilang, maka produk negara tersebut akan kalah di pasar internassional. Industri negara
akan menurun dan pada akhirnya membuat investor menarik investasinya dari sektor
industri ke sektor lain atau bahkan ke negara lain.

Fenomena deindutrialisasi telah terjadi di negara-negara maju akhir-akhir ini,


dimana peran sektor industri dalam menciptakan kesempatan kerja dan sumbangannya
terhadap GDP (Gross Domestic Product) di negara-negara (OECD) telah menurun.
Gambar 16.1 menunjukkan bahwa jika GDP semakin tinggi, maka pangsa sektor
manufaktur dan kesempatan kerja cenderung menurun, sedangkan sektor jasa cenderung
meningkat.
Kualitas kumulatif yang negatif menurut versi Mydral dan Pred, yang
ditunjukkan dalam Gambar 16.2, memperlihatkan bahwa begitu proses aglomerasi
industri di perkotaan mencapai skala ekonomis yang maksimum, maka ekspansi setelah
titik tersebut hanya akan menimbulkan dampak negattif di kota maupun daerah
sekitarnya. Pertumbuhan kota cenderung menigkatkan harga tanah secara riil karena
jumlahnya tidak bertambah. Kota-kota utamapun menimbulkan eksternalits negatif,
yang seringkali diasosiasikan dengan polusi lingkungan. Persaingan antarperusahaan
dan industri lambat laun akan meingkatkan harga bahan baku dan fakor produksi,
sehingga harga biaya per unit mulai menyerap naik. Terjadinya peningkatan biaya jasa
perbankan dan biaya overhead akan mengakibatkan desentralisasi dan relokasi aktivitas
ekonomi ke arah pinggiran kota atau kota-kota satelit di sekitar pusat kota. Di
Indonesia, proses ini telah membuat bergeraknya aktivitas ekonomi dan lokasi
pemukiman penduduk dari Jakarta ke kota-kota sekitrnya, yaitu Bogor, Tanggerang, dan
Bekasi (Handerson, et al. 1996).

16.2. DEINDUSTRIALISASI TERJADI DI INDONESIA?

16.2.1 Industri Kayu, Bambu, dan Sejenisnya


Berdasarkan tabel 16.1, tampak bahwa jumlah tenaga kerja industri kayu,
bambu, dan sejenisnya yang terdapat di wilayah Jepara maupun Bali, mengalami
penurunan dari tahun 1998-2001. Pada tahun 1999, jumlah pekerja industri tersebut
turun sebesar 6,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2000 terjadi penurunan
yang signifikan dibandingkan tahin sebelumnya, dari 1.129 pekerja menjadi 746 pekerja
atau trun sebesar 3,9%. Penurunun tersebut berlanjut pada tahun 2001, yaitu sebesar
15,1%.

Hal serupa juga terjadi di Bali, dimana terjadi penurunan yang signifikan dari
2.996 pekerja pada tahun 2000 menjadi 1.324 pekerja tahun 2001 atau turun sebesar
55,8%. Terjadi kenaikan yang sangat signifikan dari 23.597 pekerja di tahun 1998
menjadi 46.731 pekerja tau naik 98%. Walaupun pada tahun 2000 terjadi penurunan,
hanya sekitar 6,6% , pada tahun 2001 terjadi penambahan pekerja sebesar 22,7% dari
43.650 pekerja (2000) memnjadi 53.576 pekerja (2001)

Dari sisi jumlah perusahaan, terjadi penurunan perusahaan industri kayu, bambu, dan
sejenisnya untuk kasus di jepara. Di bandingkan tahun 1998, terjadi penurunan sebesar
16,1% dan peristiwa penurunan ini terus beranjut dengan penuruna sebesar 30% (tahun
2000) dan 5,5% (tahun 2001). Propinsi bali pada tahun 2000 mengalami kenaikan
perusahaan dan 56 perusahaan (tahun 1999) menjadi menjadi 59 perusahaan (tahun
2000) atau naik sebesar 5,3% . Terjadi penurunan drastis sebessar 72,8% atau menjadi
16 perusahaan pada tahun 2001. Pada lingkup nasional, pada tahun 1999 terjadi
peningkatan signifikan sebesar 93,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun
2000 terjadi penurunan sebesar 4,9% dan berlanjut sebesar 15,5% (tahun 2001).

16.2.2 INDUSTRI PERABOTAN DAN PERLENGKAPAN KAYU

Dalam indusstri perabotan dan perlengkapan kayu, ada perbedaan fenomena


yang mencolok antara daerah Jepara dan Bali bila dilihat dari sisi jumlah tenaga
kerjanya. Berdasarkan tabel 16.3, sejak tahun 1998 sampai 2001, jumlah tenaga kerja di
Jepara menurun. Pada tahun 1998 terdapat 28.798 pekerja dan pada tahun 1999 terdapat
26.380 atau turun sebesar 8,4%. Pada tahun 2000, jumlah pekerja turun menjadi 24.006
pekerja (turun sebesar 9%). Hal ini terus berlanjut sampai tahun 2001, di mana terjadi
penurunan pekerja sebsar 4% atau menjadi 23.027 pekerja.

Lain halnya dengan Bali, pada tahun 1999 terjadi penurunan jumlah pekerja
sebesar 344,4% dari 1.273 pekerja menjadi 835 pekerja. Namun, pada tahun 2000,
terdapat kenaikan jumlah pekerja yang sangat signifikan pada tahun 2001, yaitu sebesar
531,7% atau 5.275 pekerja. Pada cakupan nasional, terjadi tren yang terus menigkat dari
taun 1998 sampai 2001. Pada tahun 1999, terdapat 177.934 pekerja atau meningkat
sebesar 45,8 persen dibandingkan tahun 1998. Pada tahun 2000 meningkat sebesar 2%.
Hal ini terus berlanjut pada tahun 2001 terdapat 349.974 pekerja atau naik sebesar
92,7% dibandingkan tahun sebelumnya.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa industri perabotan dan perlengkapan


kayu di Jepara mengalami penurunan, baik dalam jumlah tenaga kerja maupun jumlah
perusahaan. Sebaliknya, propinsi Bali justru menunjukkan tren yang terus meningkat,
baik dari segi jumlah tenaga kerja yang diserap maupun jumlah perusahaan yang
tumbuh. Dalam lingkup makro, dapat dikatakan bahwa industri perabotan dan
perlengkapan kayu mengalami pertumbuhan, baik untuk jumlah pekerja maupun
perusahaan. Artinya, pemusatan industri perabotan dan perlengkapan kayu tidak hanya
terpusat pada daerah Jepara dan Bali, tetapi juga tumbuh di luar kedua daerah.

16.2.3 INDUSTRI TEKSTIL

Berdasarkan Tabel 16.5, tampak bahwa pada tahun 1999 terjadi penurunan
jumlah tenaga kerja dari 119.812 pekerja menjadi 84.269 pekerja atau turun sebesar
29,7%. Pada tahun berikutnya. sempat mengalami sedikit kenaikan sebesar 0,4%, tetapi
pada tahun 2001 terjadi penurunan jumlah tenaga kerja yang cukup signifikan menjadi
44.159 pekerja atau turun sebesar 47,8%. Hal serupa terjadi pula di Bandung, di mana
pada tahun 1999 terjadi peningkatan dari 205.804 pekerja (1998) menjadi 219.896
(1999) atau naik sebesar 6,8%. Pada tahun berikutnya terjadi peningkatan sebesar
10,6% atau menjadi 243.290 pekerja. Namun, pada tahun 2001 terdapat pengurangan
pekerja secara signifikan sampai 81,5% atau menjadi 45.050 pekerja. Dalam cakupan
nasional, pada tahun 1999 dan 2000 terjadi pertumbuhan tenaga kerja pada sektor
industri ini masing-masing sebesar 0,3% dan 3,3%. Namun, pada tahun 2001 terdapat
pengurangan tenaga kerja menjadi 593.986 perusahaan atau turun menjadi 5,8%.
16.2.4 INDUSTRI PAKAIAN JADI (GARMEN)

Di bidang industri pakaian jadi, terjadi pertumbuhan tenaga kerja yang sangat
signifikan untuk wilayah Jabotabek pada tahun 1999 sebesar 470% dibandingkan tahun
sebelumnya, dari 140.024 perusahaan menjadi 798.293 perusahaan (lihat Tabel 16.7.).
Namun, pada tahun berikutnya seiring dengan banyaknya pabrik yang tutup dari 3.726
perusahaan (1999) menjadi 129 perusahaan (2000), terjadi pula penurunan penyerapan
tenaga kerja yang signifikan sebesar 97%. Peristiwa penurunan diikuti pula pada tahun
berikutnya sebesar 10%, sehingga menjadi 116 perusahan. Demikian pula, tenaga kerja
yang terserap turun menjadi 14.561 pekerja pada tahun 2001.

16.2.5 INDUSTRI ELEKTRONIKA

Pada kasus industri elektronika di Batam, tampak bahwa pada tahun 1999 terjadi
kenaikan jumlah tenaga kerja yang cukup signifikan, yaitu sebesar 30,6% atau menjadi
76.306 pekerja (lihat Tabel 16.9). Namun, pada tahun berikutnya terjadi penurunan
menjadi 74.526 pekerja atau turun sebesar 2,3% dan diikuti pada tahun 2001 turun
dengan persentase 17% atau menjadi 61.839 pekerja. Sebaliknya, untuk kasus di
Jabotabek, pertumbuhan tenaga kerja menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun
1999, terjadi pertumbuhan sebesar 1,1% dan diikuti pada tahun-tahun berikutnya
sebesar 21,7% atau menjadi 33.198 perusahaan, lalu di tahun 2001 tumbuh signifikan
sebesar 71,5% atau men 56.936 perusahaan.
Untuk lingkup nasional, terjadi pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang terlibat
dalam industri elektronika dari tahun ke tahun. Namun, pertumbuhan semakin mengecil
dari tahun 1998 sampai 2001. Misalnya, pada tahun 1999 terjadi kenaikan sebesar
21,8% atau menjadi 188.794 pekerja. Berikutnya, pertumbuhan pekerja yang diserap
mengecil menjadi 6,3% dan begitu pula yang terjadi pada tahun 2001 di mana
pertumbuhannnya hanya sebesar 0,9% atau menjadi 202.500 tenaga kerja.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa industri perabotan dan perlengkapan


kayu di Jepara mengalami penurunan, baik dalam jumlah tenaga kerja maupun jumlah
perusahaan. Sebaliknya, propinsi Bali justru menunjukkan tren yang terus meningkat,
baik dari segi jumlah tenaga kerja yang diserap maupun jumlah perusahaan yang
tumbuh. Dalam lingkup makro, dapat dikatakan bahwa industri perabotan dan
perlengkapan kayu mengalami pertumbuhan, baik untuk jumlah pekerja maupun
perusahaan. Artinya, pemusatan industri perabotan dan perlengkapan kayu tidak hanya
terpusat pada daerah Jepara dan Bali, tetapi juga tumbuh di luar kedua daerah.

16.3.1 STOP DEINDUSTRILISASI DIY

Salam diskusi baru² ini tentang’rencana induk pengembangan industri (RIPI)


DIY’. Muncul polemik tentang prospek industri di DIY .ada pandangan optimis dan
psimis dengan sejumlah argumentasi dan asumsi.

Optimis,masih ada peluang melakukan peluang iklim bisnis,gejala industrialisasi tidak


berlanjut

Psimis,mendasarkan pada kenyataan bahwa industri day mulai bergelimpangan seperti


kenaikan bbm,isu formalin- boraks,dan kenaikan upah minimum regional.
Agro industri dan industri kerajinan boleh di katakan merupakan industri
penggerak ekonomi daerah ,agro industri sering juga disebut ( pengolah hasil pertanian
dan industri penyedia input bagi sektor petani).Industri kerajinan merupakan pendukung
pariwisata yang terkenal dengan industri kerajinan gerabah ,perak,batik,berbasis
kayu,anyaman,kulit dan lain². Industri berbasis teknologi merupakan ‘ industri masa
depan’ yang prospektif.

Tanda- tanda industrialisasi

1. penurunan absolud dalam aktivitas industri menufaktur , khususnya bila diukur


dalam penyerapan tenaga kerja dan penurunan unit usaha di suatu daerah dalam
jangka panjang.
2. Ada indikasi penurunan sumbangan sektor industri pengolahan dalam produk
domestik regional bruto ( PDRB ) DAY setidaknya selama 5th terakhir .
16.3.2 PEMBANGKITAN UKM DAY PASCAGEMPA

Gempa tektonik melumpuhkan sendi² ekonomi rakyat di sebagian wilayah DAY


dan jawa tengah. Gempa dengan kekuatan 6,3 skala Richter ,tidak hanya rumah namun
juga tempat pabrik,bahan baku,barang jadi,barang siap ekspor,dan peralatan usaha yang
hancur.

Dampak gempa tidak hanya dirasakan UKM di bantul,kota yogya selatan,gunung


kidul,dan klaten tetapi juga para pwmasok bahan baku dan pasar utama produk UKM
industri batik di pekalongan ,jawa tengah mengaku terancam menurun omsetnya karna
menjual sarung batik 20-30%.

Aktivitas industri manufaktur, khususnya bila diukur dari penyerapan lapangan


kerja dan penurunan unit usaha di suatu daerah dalam jangka panjang. Penurunan
jumlah unit usaha terjadi di sebagian besar kabupaten atau kota, kecuali di kabupaten
Bantul yang justru mengalami peningkatan unit usaha.

Oleh karena itu, kita perlu segera menyusun grand strategy membangun kembali
DIY dan Jateng, terutama daerah lokasi bencana. Pertama, setelah masa tanggap darurat
usai, keunggulan sistem e-government yang dimiliki propinsi DIY, kabupaten Bantul,
Sleman, dan kota Yogya perlu dioptimalkan. Inventarisasi data jumlah korban
(meninggal, sakit, atau hidup), rumah rusak (rata dengan tanah, rusak berat, atau rusak
ringan), serta fasilitas produksi yang rusak (pabrik, workshop, toko, mesin, peralatan,
dan lain-lain) per desa di masing-masing kecamatan sangat diperlukan untuk
mengetahui secara rinci sejauh mana dampak gempa dan berapa kebutuhan dana
rekonstruksi.

Kedua, perlu segera didirikan UKM Recovery Center. Semua asosiasi bisnis
membutuhkan jejaring dan alians dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Keterpaduan langkah bisa dimulai dengan berbagi informasi dan data tentang semua
kerusakan yang dialami para anggota asosiasi bisnis maupun UKM nonanggota. Data
yang dimaksud termasuk kebutuhan bantuan yang diinginkan, apakah berupa tambahan
kredit baru, penjadwalan pembayaran utang (rescheduling). penghapusbukuan (write-
off), pembebasan pajak (PBB, PPh, PPN), atau negosiasi L/ C? Setidaknya, asosiasi
seperti ASMINDO, ASEPHI, API, ASITA, HIPMI, dan Kadin perlu mempelopori
langkah ini. Menteri Perindustrian memperkirakan total dana yang dibutuhkan untuk
memulihkan industri kecil yang hancur mencapai Rp125 hingga Rp150 miliar.

Ketiga, UKM Recovery Center perlu dikombinasikan dengan program inkubator


bisnis. Inilah saatnya UKM di daerah gempa bangkit. Namun, kebangkitan tersebut jelas
membutuhkan pendampingan usaha dan konsultan bisnis. UGM dan perguruan tinggi
lain, yang peduli dengan masa depan UKM pascagempa, serta LSM, saya yakin siap
membantu. Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM mengalokasikan dana dari
APBN sekitar Rp32,1 miliar untuk memulihkan kembali ribuan industri dan usaha kecil
rakyat yang hancur akibat gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dana BUMN untuk
UKM, yang selama ini jarang terserap 100 persen, bisa dimanfaatkan pula.

Keempat, kekuatan seluruh komponen bangsa perlu disatukan. Koordinasi


merupakan titik lemah dalam kondisi tanggap darurat. Di seluruh penjuru tanah air,
sumbangan bagi korban gempa mengalir dan dikumpulkan. Bantuan dana miliaran,
mungkin triliunan, rupiah perlu dikelola oleh lembaga independen yang akuntabel, tidak
birokratis, dan proaktif dalam membantu para korban dan UKM. Inilah momentum
untuk melakukan reformasi birokrasi, sekaligus menghilangkan 'sekat sekat'
kepentingan kelompok dan golongan.

Kelima, prinsip swadaya (self-help) dan gotong royong perlu ditegakkan dalam
masa pemulihan ekonomi. Korban dan UKM di lokasi bencanalah yang paling tahu
kebutuhan mereka. Gotong royong sudah mulai terlihat dalam tahap perobohan dan
rekonstruksi rumah. Relawan dari berbagai daerah Indonesia sudah berbondong datang
ke lokasi bencana.

FORMALISASI SEBAGAI STRATEGI SURVIVE PERUSAHAAN

Beberapa waktu yang lalu, pengamat ekonomi mencermati fenomena


deindustrialisasi Indonesia di mana banyak perusahaan 'ambruk' dengan cepat, yang
ditandai oleh turunnya indeks output industri. Ternyata, masalahnya tak
deindustrialisasi semata, lebih kompleks dari itu. Yang dilihat deindustrialisasi mungkin
sebenarnya adalah proses informalisasi' industri manufaktur Indonesia.

Pascakrisis ekonomi perusahaan menghadapi banyak kendala terutama terkait


kebijakan tenaga kerja, dampak negatif decentralisasi, dan pajak. Solusinya adalah
banyak perusahaan menutup usahanya. Sebenarnya, perusahaan-perusahaan yang mati
bukanlah mati atau berhenti operasi. Beberapa perusahaan berubah menjadi informal
atau menyembunyikan diri dengan maksud menghindari pajak dan pajak daerah serta
peraturan tenaga kerja yang merepotkan.

Penelitian Kuncoro dan Infandriani (2006) mencatat perusahaan dengan 25-100


tenaga kerja lebih senang melakukan downsizing dan beberapa menjelma menjadi UKM
(Usaha Kecil dan Menengah) agar tidak terlalu formal. Bagi pemerintah pusat dan
daerah, hal ini berarti hilangnya potensi pendapatan pajak. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perusahaan mengubah wujudnya, yaitu karakteristik perusahaan,
variabel daerah seperti penyalahgunaan birokratis, penyuapan, serta banyaknya
perizinan dan horizon dari birokrat lokal. Studi dengan mengambil sampel 2127
perusahaan yang tersebar di 97 kabupaten atau kota di pulau Jawa menemukan bahwa
sebanyak 565 perusahaan atau 27% dari total berubah wujud menjadi perusahaan yang
lebih kecil atau melakukan downsizing. Sejumlah 1.040 perusahaan atau 49% tetap
tidak berubah skalanya dan 492 perusahaan atau 23% menjadi lebih besar (lihat Tabel
16.14). Ada 96 perusahaan sedang yang bertransformasi menjadi UKM dan mengurangi
jumlah tenaga kerja hingga hanya 20 tenaga kerja untuk mengecilkan diri (lihat Tabel
16.15). Beberapa perusahaan mengecilkan ukuran mereka sebagai strategi untuk
bertahan dan melakukan ekspansi.

Tabel 16.16 menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan perusahaan melakukan


downsizing atau bahkan berubah menjadi sektor UKM. Ternyata, secara umum
desentralisasi masih menjadi masalah bagi bisnis. Dengan kata lain, desentralisasi
menjadi salah satu faktor penyebab perusahaan mengubah ukuran menjadi lebih kecil.
Demikian pula, upah minimum masih menjadi faktor penyebab terjadinya proses
'informalisasi", yaitu proses perubahan perusahaan formal menjadi informal.
RANGKUMAN

Deindustrialisasi adalah menurunnya peran industri dalam perekonomian secara


menyeluruh. Penyebab deindustrialisasi bisa karena adanya perubahan pola spesialisasi
internasional. Penyebab lain deindustrialisasi adalah hilangnya keunggulan kompetitif
dari sektor industri suatu negara.

Di Indonesia, deindustrialisasi terjadi pada beberapa sektor industri, antara lain


industri kayu, bambu, dan sejenisnya; industri perabotan dan perlengkapan kayu:
industri tekstil; industri pakaian jadi (garmen); serta industri alas kaki. Indikator proses
deindustrialisasi pada sektor-sektor di atas dapat dilihat pada penurunan jumlah
produksi, jumlah

Perusahaan yang bermain di sektor tersebut, serta jumlah tenaga kerja yang
diserap pada setiap sektor. Gejala deindustrialisasi mulai terlihat di DIY. Tanda-tanda
deindustrialisasi adalah: pertama, penurunan absolut dalam aktivitas industri
manufaktur, khususnya bila diukur dari penyerapan lapangan kerja dan penurunan unit
usaha di suatu daerah dalam jangka panjang. Kedua, ada indikasi penurunan sumbangan
sektor industri pengolahan dalam PDRB DIY, setidaknya selama 5 tahun terakhir.

Deindustrialisasi mungkin sebenarnya adalah proses 'informalisasi' industri


manufaktur Indonesia. Studi Kuncoro dan Infandriani (2006) menelusuri bagaimana
perusahaan-perusahaan di Indonesia melakukan strategi survive di tengah kondisi
deindustrialisasi. Lebih lanjut, penelitian ini mencatat perusahaan dengan 25-100 tenaga
kerja lebih senang melakukan downsizing dan beberapa menjelma menjadi UKM
(Usaha Kecil dan Menengah) agar tidak terlalu formal.

Anda mungkin juga menyukai