Anda di halaman 1dari 8

Marxisme dan Antropologi: Catatan Awal

Oleh Perhimpunan Muda


 
“... as long as anthropologists underestimated the importance of Karl Marx,there could be no
science of human society” 
Marvin Harris[1]
 
Karl Marx (1818-1883) bukan antropolog. Dia juga tidak menganggap dirinya demikian. Tapi,
bahkan antropolog konservatif yang melihat Marxisme hanya seonggok ideologi bangkrut di
pojokan kumuh dunia kapitalis, mau tidak mau harus memperhatikan berbagai unsur gagasannya
tentang manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Paling tidak untuk mencela teori materialistiknya
tentang tatanan masyarakat dan kemestian perubahan tatanan ini yang radikal.

Karl Marx, sekali lagi, bukan antropolog. Begitu pula Frederick Engels (1820-1895). Kita
mengetahui keduanya lebih sering membaca dan mengambil hikmah dari trinitas suci karya
sosialis radikal Prancis, filsafat spekulatif Jerman, dan ekonomi-politik Inggris daripada karya-
karya antropologi. Marx juga sedikit sekali membahas persoalan klasik antropologi, yaitu
kekerabatan dan masyarakat prakapitalis. Semua energinya seperti tersedot oleh perhatian
terhadap tatanan masyarakat kotemporernya, yaitu borjuis Eropa Barat. Meski demikian, sulit
juga diingkari bahwa Marx dan Engels telah menambah pengatahuannya tentang masyarakat
non-kapitalis Eropa Barat sejalan dengan perkembangan pemikiran keduanya yang semakin
‘ilmiah’ sifatnya.

Kajian tentang hubungan Marxisme dan antropologi oleh M. Bloch menunjukkan bahwa Marx
dan Engels begitu mensyukuri ilham teoritik yang diperoleh dari karya-karya etnologi klasik.
Misal termasyur tentu karya F. Engels Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara[2] 
yang menjadikan karya Lewis Henry Morgan, ahli etnologi klasik Amerika, sebagai bahan
ulasan dan sumber ilham teoritik dalam membahas asal-usul tiga lembaga utama masyarakat
modern. Marx membaca dan sempat membuat semacam komentar atasnya yang diberi judul
Conspectus on Lewis Morgan’s Ancient Society. Memang tak bisa dikhilafi bahwa karya etnologi
klasik yang menggugah gagasan-gagasan materialis dan evolusionis dalam mengkaji masyarakat
dan kebudayaan adalah karya L.H. Morgan (1818-1881) Ancient Society[3]. Di dalam karya
tersebut, Morgan memilah-milah rangkaian sejarah masyarakat manusia ke dalam tahap-tahap
yang bertumpu pada landasan material berupa penggunaan api, busur dan panah, perkakas
keramik, hewan jinakan, tulisan, dan sebagainya. Baik Marx maupun Engels terperangah betapa
Morgan dengan caranya sendiri mengkaji masyarakat pra-kapitalis dengan pendekatan
materialisme sejarah[4]. Dalam hasil penelitian selama empat puluh tahun lebih tersebut, Morgan
menyoroti kenyataan bahwa lembaga-lembaga pokok yang menjadi buhul masyarakat kapitalis
seperti keluarga, kepemilikan pribadi, dan negara, terbukti tidak pernah ada dalam kehidupan
prasejarah. Lembaga-lembaga tersebut berkembang seiring dengan perubahan-perubahan dalam
pola produksi material masyarakat manusia dalam kerangka evolusi. Data Morgan menegaskan
kembali pemikiran Marx bahwa lembaga sosial bukanlah sesuatu yang baku dan abadi, tapi
dihasilkan dari keadaan sosial-ekonomi tertentu. Selain itu, dalam kerangka teoritis Morgan,
sebagian besar sejarah manusia bisa dipahami dengan lebih baik lewat analisis atas kondisi
materialnya. Teori evolusi Morgan seolah menunjukkan bahwa segala hal—perang, kelas sosial,
kemiskinan, parlemen, agama, atau seni—dapat dijelaskan dengan menelaah landasan teknologi,
ekonomi, dan lingkungan masyarakat tersebut, dan hubungan sosial yang didirikan orang dalam
kaitannya dengan faktor-faktor ekonomis dan lingkungan ini.

Dalam perjalanan karir teoritiknya, Marx dan Engel melihat betapa pentingnya analisis ulang
terhadap sejarah dalam membangun pemahaman terhadap masyarakat (Eropa Barat) modern.
Sebagai pijakannya adalah pemahaman terhadap masyarakat prakapitalis, terutama Eropa Kuno
dan masyarakat Asiatik, yang dianggap sebagai fosil hidup dari masa lalu. Oleh karena itu,
etnologi merupakan bagian dari kegiatan ‘politik’ mereka. Dalam karya-karya awal seperti
Ideologi Jerman (1844-6) dan Manifesto Komunis (1848), perhatian lebih banyak diberikan
kepada masyarakat feodal; sebuah tipe masyarakat dalam sejarah ekonomi Eropa Barat (Inggris
dan Perancis) yang ada tepat sebelum kapitalisme muncul. Tapi, dari feodalisme mereka meraba-
raba dengan susah payah tatanan masyarakat kesukuan yang darinya masyarakat negara model
Yunani-Romawi dan feodalisme muncul. Memang sebelum 1853, Marx dan Engels tidak
menunjukkan ketertarikan secara khusus terhadap masyarakat dan kebudayaan non-Barat[5].
Hingga tahun itu, mereka sepakat buta dengan pandangan Hegel dan para filsuf spekulatif
lainnya yang melihat masyarakat non-Eropa sebagai fosil masa lalu yang ajeg dan ditakdirkan
kalah terhadap gerak dinamis Eropa[6]. Baru sekitar sepuluh tahun setelah terbitnya Manifesto
Komunis, cakrawala pengetahuan sejarah mereka sudah jauh melebar. Sebuah naskah panjang
yang konon merupakan persiapan awal Kapital yang ditulis sekitar 1857-8, menunjukkan hal ini.
Naskah ini baru diterbitkan jauh kemudian setelah Marx wafat dan oleh penerbitnya diberi judul
Grundrisse atau Garis-garis Besar[7]. Dalam karya ini Marx memperlihatkan pengetahuannya
yang cukup luas tentang masyarakat kesukuan, tatanan masyarakat Eropa Kuno, dan masyarakat
Asiatik. Dua bagian dalam Grundrisse ini kemudian diterbitkan secara terpisah dan diberi judul
Pre-Capitalist Economic Formations pada tahun 1964. Dari Grundrisse kita bisa melihat bahwa
rujukan terhadap sistem pra-kapitalis semakin banyak dalam karya-karya Marx dan Engels. Dari
mana data tentang masyarakat suku dan masyarakat Asiatik itu diperoleh? Kajian Lawrence
Krader menunjukkan bahwa Marx membaca dan mengulas karya-karya antropolog klasik seperti
Lewis H. Morgan, Phear, Sir Henry Maine, dan John Lubbock. Menurut Maurice Bloch, seorang
antropolog Marxis Inggris, sejak 1880 atau tiga tahun terakhir dalam hidup Marx, perhatian dua
sejoli Marx dan Engels didominasi oleh kajian-kajian yang menjadi perhatian antropologi[8].

Maurice Godelier, seorang antropolog Marxis dari Perancis, dalam buku Perspectives in Marxist
Anthropology (1981), menunjukkan bahwa seiring perjalanan waktu, pemahaman Marx tentang
masyarakat prakapitalis, terutama masyarakat-masyarakat di Asia dan Afrika, berubah sejalan
dengan kian bertambahnya sumber bacaan Marx tentang masyarakat tersebut. Kesederhanaan
pemahaman Marx dan Engels atas masyarakat prakapitalis dalam Ideologi Jerman (1846),
misalnya, berakhir pada penyederhanaan skema evolusi masyarakat yang menurut keduanya
mengikuti empat tahap: komuniti kesukuan yang dikaitkan dengan bentuk-bentuk ekonomi
primitif (seperti berburu, meramu, penggembalaan, dan awal pertanian sederhana), masyarakat
negara model Yunani-Romawi, masyarakat feodal, dan masyarakat borjuis[9]. Menurut amatan
Godelier, ketika pada tahun 1858[10]  Marx menemukan rahasia teori nilai-lebih dan teori
penciptaan-laba, desakan untuk memahami sejarah kemunculan kapitalisme memaksa Marx
memperbaiki skema evolusi historisnya. Dalam skema baru ini, bentuk-bentuk kepemilikan
lahan komunal khas Asiatik; organisasi kerja dan eksploitasinya oleh kekuasaan depotik,
muncul. Kemudian, karya-karya etnologi dan sejarah masyarakat kuno dari Maurer dan
Kovalevsky[11] menghantar konsep baru ‘komune pedesaan’ dalam pengetahuan Marx tentang
komuniti-komuniti Asiatik. Akhirnya, perjumpaan dengan karya Morgan Ancient Society
mengubah kembali skema tentang masyarakat primitif sekali lagi. Pokoknya, dalam amatan
Godelier, Marx dan Engels juga pembaca karya-karya etnologi klasik di luar kategori trinitas
suci pengetahuan Eropa di atas. Selain itu, Godelier juga mengingatkan bahwa bila hendak
mempelajari pemikiran Marx dan Engels, kita mesti sadar bahwa pengetahuan keduanya selalu
berubah seiring dengan bertambahnya pengetahuan. Pemahaman atas masyarakat prakapitalis
dan skema-skema evolusinya bukanlah dogma yang benar sepanjang masa.

Antropologi jelas punya peran yang cukup penting dalam perkembangan gagasan-gagasan Marx
dan Engels. Tidak hanya mereka, marxis generasi pertama seperti Gregorii Plekhanov (1856-
1918), Bapak Marxisme Rusia misalnya, memenuhi karya teoritisnya yang menerapkan
materialisme sejarah untuk kajian seni dengan daftar karya antropolog klasik beserta etnografi-
etnografinya. Etnografi-etnografi ini tidak hanya memberinya informasi tentang kehidupan
berbagai bangsa dari berbagai penjuru dunia di luar Eropa, tapi juga ilham-ilham teoritik dalam
mempertegas kembali konsepsi materialis atas sejarah yang ditawarkan Marx dan Engels. Dalam
kumpulan karyanya berjudul Seni dan Kehidupan Sosial[12], Plekhanov lebih tampak sebagai
seorang ahli antropologi budaya dengan kajian komparatifnya atas data etnografi yang
mempertahankan postulat bahwa manusia adalah mahluk sosial sehingga karya seni juga
merupakan realitas sosial, daripada seorang filsuf belakang meja yang mengandalkan khayalan
bahwa gagasan keindahan seorang seniman muncul seperti wahyu dari Tuhan bagi seorang nabi.
Bila boleh menggunakan istilah wahyu, maka wahyu itu tiada lain adalah konteks material yang
merupakan landasan tegaknya tatanan masyarakat tempat individu berkarya. Ketika membahas
masyarakat dan kebudayaan dalam Masalah-masalah Dasar Marxisme[13], Plekhanov
tampaknya begitu terpengaruh oleh E. B. Tylor, Ratzel, dan Morgan dalam menyusun
argumennya tentang kekuatan penentu yang disandang lingkungan geografis dan kekuatan-
kekuatan material dalam produksi terhadap segala perubahan dan perkembangan masyarakat dan
kebudayaan. Misalnya ketika menjelaskan kemunculan lembaga perbudakan, Plekhanov
mengikuti argumen Ratzel bahwa masyarakat suku Massai tidak mungkin mengembangkan
perbudakan, sedangkan masyarakat suku Wakamba bisa. Hal ini karena adanya perbedaan
‘kemungkinan teknik’ yang mempengaruhi bisa atau tidak bisanya perbudakan berkembang
dalam dua masyarakat tersebut. Karena perbudakan merupakan sebentuk hubungan produksi,
maka perlu prasyarat material untuk pembentukannya. Orang Massai yang penggembala
berpindah tidak membutuhkan hubungan perbudakan dalam ekonomi mereka. Sebaliknya orang
Wakamba adalah masyarakat pertanian menetap yang bisa memanfaatkan tenaga budak dalam
produksi Surplus dan teknologi penyimpanan hasil produksi memungkinkan para tawanan
perang dijadikan budak[14].

Dalam pidato pemakaman Marx, Engels menyatakan bahwa “... sebagaimana Darwin
menemukan hukum evolusi dalam alam organik, begitu pula Marx menemukan hukum evolusi
dalam sejarah manusia.”[15]  Sebagai sebuah disiplin ilmu yang dibangun di atas pernak-pernik
laporan tentang berbagai bangsa ‘primitif’ yang dinaungi filsafat Pencerahan dalam gegap-
gempita Jaman Kapital (the Age of Capital), antropologi sangat dekat kaitannya dengan kajian
tentang evolusi[16] yang diwariskan Charles Darwin bagi Eropa. Antropologi di tangan guru-
guru pertama seperti Tylor, Morgan, dan Spencer pun bergulat dengan evolusi masyarakat dan
evolusi kebudayaan manusia sebagaimana Darwin bergulat dengan evolusi organik mahluk
hidup. Marxisme dan antropologi pun berhubungan akrab layaknya kawan sejalan menuju tujuan
bersama.

Namun, masa kemesraan antara Marxisme dan antropologi disusul oleh masa pukulan keras yang
mengubah wajah antropologi berikutnya. Ini terjadi saat pergantian abad, ketika antropologi
modern terbentuk di permulaan abad ke-20. Para guru baru antropologi muncul membawa ajaran
baru. Di Amerika, Franz Boaz mendidikkan relativisme budaya kepada puluhan antropolog
sambil melecehkan gagasan evolusioner pendahulunya. Begitu pula Malinowski dan A.R.
Radcliffe-Brown di Inggris Raya. Tanpa tedeng aling-aling, mereka menentang pendekatan,
teori, dan karya L.H. Morgan, E.B. Tylor, dan evolusionis abad ke-19 lainnya. Penentangan ini
diriuhi oleh cap ‘Victorian kolot’ untuk para evolusionis tersebut. Serangan mematikan dihujam
dalam-dalam hanya beberapa dasawarsa berselang memasuki abad ke-20. Evolusionisme yang
menegaskan gagasan materialisme sejarah Marx dan memperlakukan antropologi sebagai ilmu
pengetahuan mengenai asal-usul dan perkembangan masyarakat manusia, dihina-dina sebagai
teori spekulatif yang berbahaya. Para antropolog Amerika Serikat didikan Boas sependapat
bahwa “teori evolusi kebudayaan... teori yang paling tidak masuk akal, mandul, dan merusak
dalam seluruh ilmu pengetahuan...”.[17]  Mereka kemudian menjadikan antropologi sibuk
mengumpulkan, menggambarkan, dan menyusun daftar kebiasaan-kebiasaan yang beragam dari
berbagai masyarakat tanpa upaya perbandingan. Pokoknya, mereka menjadikan antropologi
ahistoris dan anti-evolusi. Leslie White, antropolog yang membangkitkan kembali evolusionisme
di Amerika pada dasawarsa empat hingga lima puluhan menggambarkan “kaum deskripsionis”
sejak Boas hingga jajaran antropolog Amerika yang bernaung di bawah bayang-bayangnya
sebagai antropolog yang “di samping anti-materialisme, kaum deskripsionis itu anti-
intelektualitas dan anti-filsafat—berkenaan dengan teorisasi mereka yang buruk—dan anti-
evolusionis. Misi mereka hanya menunjukkan bahwa tak ada hukum atau signifikansi dalam
etnologi, tiada sebab atau alasan pada fenomena kultural, sehingga peradaban merupakan—
menurut R.H Lowie, pendukung terkemuka dari filsafat ini—hanyalah “campuran yang
berantakan” maupun “adonan tak keruan” (dikutip Reed 2004: xiv). Dalam sejarah antropologi,
kecenderungan ‘teoritik’ ini dikenal dengan nama partikularisme historis. Kecenderungan baru
ini menguasai dunia akademik Amerika berpuluh tahun lamanya. Ada ketidakberseleraan umum
untuk mengakui nilai dan arti penting Marx atau teori-teori Marxis untuk mengembangkan
antropologi. Sepertinya ada kesepakatan bisu di antara para antropolog Amerika pasca-Perang
Dunia II bahwa Marx dan Engels tidak relevan untuk sejarah teori antropologi.

Di Inggris Raya keadaannya tidak jauh berbeda. Dalam amatan Kuper (1996: 3), kebangkitan
fungsionalisme di tangan Malinowski dan strukturalisme di gengaman Radcliffe-Brown
memperlihatkan bahwa “...golongan fungsionalis mengambil alih “sosiologi” tetapi
menanggalkan unsur referensi khusus kepada sejarah kuno... yang merupakan ciri khas
evolusionisme. Mereka tidak hanya menolak difusionisme tetapi juga etnologi secara
keseluruhan sehingga selama satu generasi, kedudukan etnologi, termasuk sejarah spesifik,
terabaikan oleh antropologi Inggris”. Pertengahan dasawarsa 1920-an, Radcliffe-Brown secara
tegas menyatakan: “Saya yakin bahwa pertentangan yang benar-benar penting dalam antropologi
sekarang ini bukanlah antara ‘evolusionis’ dan ‘difusionis’,... melainkan antara sejarah yang
bersifat menduga-duga di satu pihak dan kajian fungsional mengenai masyarakat di pihak lain”
(Kuper 1996: 4 penekanan ditambahkan). Bagi para guru antropologi generasi kedua ini,
evolusionisme disamakan dengan ‘sejarah yang bersifat menduga-duga’ yang harus berhadapan
dengan ‘kajian fungsional’ yang lebih ‘ilmiah’ dalam wacana akademik saat itu.

Kehadiran gagasan-gagasan Marx dan kaum evolusionis, baik di lingkungan akademik Inggris
jarang sekali, seperti yang diamati oleh Raymond Firth (1984: 6) bahwa “general works by
anthropologists have cheerfully dispensed with all but minimal use of Marx’s ideas on the
dynamics of society”. Antropologi sosial Inggris lebih terpengaruh oleh tradisi l’ Année
Sociologique yang menyabang dari gagasan-gagasan Emile Durkheim dan pemikir klasik seperti
Auguste Comte, John S. Mill, dan Herbert Spencer[18]. Kebanyakan teoritikus antropologi
budaya Amerika Serikat yang dididik dalam tradisi simbolik lebih banyak mengambil hikmah
dari karya-karya Max Weber ditambah karya ekonom Alfred Marshall dan Vilfredo Pareto.
Sebelum itu, Frans Boas dan anaknya didiknya, terutama Ruth Benedict menyerap gagasan-
gagasan filsafat Herder, William Dilthey, dan pemikir yang sejalan dalam menyebarkan gagasan
relativisme budaya dan pemahaman semantik atas budaya (Sahlins 2000: 14).

Pemikiran Marx juga sepenuh hati ditolak karena dianggap berbau ideologi. Pandangan ini
terutama muncul ketika berakhirnya Perang Dunia II dan dimulainya Perang Dingin antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet pada pertengahan dasawarsa 1940-an. Seperti dinyatakan C.
Wrigth Mills di awal 1960, “dalam masyarakat kapitalis, gagasan Marx diabaikan atau lebih
buruk lagi diabaikan karena dikaitkan dengan pandangan terhadapnya sebagai ‘hanya ideologi
kaum komunis’. Oleh karena itu gagasan Marx, Engels, atau Lenin ditangani sebagai ‘urusan
politik luar negeri’ ketimbang objek kajian serius[19]. Tapi bila dicermati, bau ideologi semata
tidak bisa menjadi alasan menolak Marx karena karya-karya Durkheim, Weber, dan pemikir
konservatif lainnya yang didatangkan dari Eropa daratan dan menjadi sumber insprirasi teoritik
antropologi di Amerika, banyak juga kadar ideologinya. Teoritisi antropologi sebenarnya siap
dan ingin sekali membeli ideologi konservatif yang terbungkus mantel teori; bukan teori radikal
yang ditawarkan Marx dan kaum evolusionis yang dianut hampir secara dogamatik oleh para
ilmuwan sosial Soviet. Antropologi yang telah menjadi disiplin akademik yang relatif mapan
menjadi jauh dengan gagasan evolusioner dan berupaya untuk melanggengkan diri sebagai ilmu
yang dihormati, bila tidak mau disebut konservatif, yang menjadi bagian dari ilmu sosial mapan
dalam tatanan masyarakat kapitalis. Tidak hanya di mata politikus liberal atau di mata jenderal-
jenderal patriotik Amerika Serikat, Marxisme juga merupakan najis berbahaya di lingkungan
akademik di Amerika Serikat dan Inggris. Paling tidak, pengaruh kuat Malinowski dan Boas
membuat skema evolusi sosial dan materialisme sejarah menjadi ancangan teoritik yang
ketinggalan jaman.

Iklim politik dunia pada dasawarsa 1950-an sangat tidak mendukung bagi antropolog Marxis
untuk berperan dalam pengembagan teori-teorinya. Di Inggris mereka terhalang aksesnya dari
situs-situs penelitian-penelitian kolonial Kerajaan Inggris dan di Amerika Serikat antropolog
Marxis juga dipersempit kesempatannya untuk duduk di kursi pengajar universitas-universitas.
Beberapa ilmuwan individual seperti Peter Worsley dan Ronald Frankenberg di Inggris, Eric
Wolf dan Stanley Diamond di Amerika Serikat, memang telah mulai memanfaatkan teori Marxis
dalam karya-karya mereka sejak akhir dasawarsa 1950-an. Tetapi tetap saja, hingga menjelang
dasawarsa 1960-an aroma materialisme sejarah dan evolusioner seperti lenyap dari jurusan-
jurusan antropologi terhisap oleh pusaran ‘pembangunan kembali dunia’ pasca-Perang Dunia II
yang membutuhkan teori-teori harmonis dan mengutamakan integrasi dalam analisis sosial-
budayanya. 
Tempus mutantur, et nos mutantur in illid. Waktu berubah dan kita ikut berubah juga di
dalamnya. Benih-benih perlawanan terhadap tradisi suci anti-materialisme sejarah sebenarnya
sudah tampak di dasawarsa 1940-an. Dalam arena arkeologi, V. Gordon Childe terang-terangan
mengambil hikmah dari ‘konsepsi materialis atas sejarah’-nya Marx. Begitu pula dalam teori
termodinamika budaya yang dikembangkan Leslie A. White. Dari benih-benih ini tunas baru
kajian materialis dalam ilmu sosial tumbuh di dunia penutur Bahasa Inggris. Pada tahun 1961,
sekelompok sarjana ilmu sosial North Western University (Illinois) berkumpul untuk
membincangkan “faedah teori evolusi bagi ilmu pengetahuan sosial dewasa ini”[20]. Ini menjadi
gejala awal kebangunan kembali perhatian pada evolusi secara lebih luas, dan pada gagasan
Marxis secara khusus. Dalam sejarah antropologi di Amerika Serikat, fenomena mazhab ekologi
budaya dan materialisme kebudayaan dari dasawarsa 1960-an tidak bisa lepas dari pertumbuhan
tunas baru ini. Marvin Harris, teoritikus antropologi Amerika yang dikenal sebagai penggagas
sekaligus penjaga benteng ‘materialisme kultural’ sejak dasawarsa 1960-an, secara terang-
terangan mengakui bahwa “materialisme kultural telah sungguh-sungguh dipengaruhi oleh karya
Marx dan Engels dan oleh teoritisi pra-Leninis dan pra-Stalinis (seperti) Karl Kautsky dan
Gregorii Plekhanov”[21].

Kebangkitan kembali perhatian terhadap Marx di dunia universitas Amerika dan Eropa, mungkin
karena beberapa hal. Krisis liberalisme memuncak sekitar dasawarsa 1960-an dan dikaitkan
dengan gerakan Kiri Baru serta munculnya otoriterian baru yang jelas, baik dalam politik
Amerika maupun dalam ilmu sosial. Dalam kondisi penuh gugatan atas banyak hal yang
terlembagakan dalam masyarakat Amerika ini, rujukan dan penggunaan karya-karya Marx,
Engels, Lenin dan karya pemikir Marxis lainnya, baik oleh kaum Kiri maupun Kanan, terjadi
hampir-hampir  massal. Ketimpangan sosial-ekonomi sebagai hasil ‘pembangungan kembali’
dunia pasca Perang Dunia Kedua memunculkan gerakan-gerakan perubahan sosial anti-rasisme,
emansipasi perempuan, kaum muda anti perang, dan intelektual Kiri Baru menggelegak ke
permukaan dan gerakan perlawanan ini tidak hanya terjadi di luar universitas tempat antropolog
berteori, tapi juga merasuk ke kedalamannya.

Di masa ini pula bangkit wacana kritik pascakolonial terhadap ilmu-ilmu sosial Eropa-Amerika
(termasuk antropologi). Dalam lingkungan antropologi sendiri, kritik paling dini terhadap
antropologi tradisional berupa kritik dan pencelaan terhadap kaitan historis antara antropologi di
satu sisi, dan kolonialisme Eropa serta penjajahan yang dijalankannya di sisi lain. Pada masa
kritis di dasawarsa 1960-1970-an ini, serangan bertambah berat karena penyerangan Edward
Said, seorang kritikus sastra keturunan Lebanon, dengan senjata berwujud istilah penuh konotasi
negatif, yaitu “Orientalisme”[22]. Persoalan wacana ‘ilmu penjajah’ ini secara cepat bergerak ke
persoalan lebih dalam lagi, yaitu dasar-dasar kerangka teoritik antropologi, khususnya asumsi-
asumsi budaya borjuis Barat di dalamnya. Lambang pemersatu dari kritisisme baru dan dari
alternatif teoritik yang menawarkan diri sebagai pengganti model lama ini, tiada lain adalah Karl
Marx. Dari semua leluhur ilmu sosial modern abad ke-19, Marx memang secara menyolok absen
sebagai sumber ilham teoritik aliran utama. Keabsenan ini dicurigai sebagai kelalaian yang
disengaja.

Ketertarikan pada Marxisme yang mengusung kritik terhadap masyarakat kapitalis, tidaklah
serta-merta melenakan para teoritisi antropologi dari mengajukan kritik terhadap kekurangan-
kekurangan gagasan Marxisme dalam penerapannya untuk membaca persoalan tradisional
antropologi, yaitu sistem kekerabatan dan masyarakat pra-kapitalis. Penghidangan kembali
Marxisme di meja-meja teori antropologi sejalan dengan upaya kritik terhadap ancangan
Marxisme Ortodoks dan pemasakan kembali gagasan Marx dalam kuali baru. Gerakan ini sering
disebut sebagai neo-Marxisme. Di Perancis, karya filsuf marxis Perancis Louis Althusser dipadu
dengan pemikiran antropologi Lévi-Strauss. Muncullah Maurice Godelier dan Claude
Meillassoux yang menyambung gagasan Althusser bahwa ‘Marxisme bisa digunakan untuk
memahami tatanan masyarakat pra-kapitalis’ sambil mencari hikmah dari kajian kekerabatan
masyarakat pra-kapitalisnya Lévi-Strauss. Mata air baru penafsiran Marx dengan kacamata Lévi-
Strauss ini muncul di Paris dasawarsa 1970-an. Dari situlah sungai Marxisme Struktural
mengalir hingga Inggris dengan Maurice Bloch sebagai penjaga alirannya.

Selain di Perancis dan Inggris, gerakan Marxisme struktural juga berkembang di lingkungan
antropologi Skandinavia, Belanda, dan India. Ciri umum gerakan ini adalah perhatiannya pada
organisasi sosial dan politik dari produksi serta hubungan asimetris di dalamnya. Tidak seperti
materialisme ekologis dan teori-teori Marxian lain yang berkembang di Amerika Serikat,
Marxisme struktural tidak menekankan aspek lingkungan atau tekno-ekonomi sebagai kekuatan
penentu, tetapi lebih pada hubungan-hubungan sosial yang mengikat orang dalam suatu kolektif
seperti sistem kekerabatan. Ciri lainnya adalah perhatian pada kajian atas etnografi-etnografi
masyarakat pra-kapitalis yang merupakan bidang telaah tradisional dalam antropologi.
Hubungan antara Marxisme dan antropologi pernah begitu dekat sekaligus pernah berlawanan.
Karl Marx dan pemikir Marxis yang ingin membedakan dirinya dari pemikir-pemikir sosialis
sebelumnya lewat penguatan sisi ilmiah sosialismenya, telah mengambil banyak hikmah dari
kajian-kajian antropologi klasik. Di sisi lain, ancangan teoritik Marx dan pemikir Marxis tidak
sedikit pula mempengaruhi penyusunan teori-teori besar dalam sejarah antropologi. Oleh karena
itu, kedudukan Marxisme dalam antropologi tidak bisa dipandang sebelah mata dan menjadi
sama pentingnya dengan gerakan fungsionalisme, strukturalisme, atau simbolisme dalam sejarah
teori antropologi.

Catatan

[1]M. Harris (1980) Cultural Materialism: the struggle for a science of culture. New York:
Vintage Books, h. x.
[2] Engels (1981) The Origin of Family, Private Property, and the State. London: Lawrence &
Wishart
[3]  diskusi cukup panjang tentang ‘asal-usul’ teori evolusi Morgan dan perkembangan
pemikiran serta karya-karya Morgan lihat E. Tooker (1992) Lewis H. Morgan and His
Contemporaries, dalam American Anthropologist  94 (2), June, h. 357-375.
[4]  Engels, The Origin, ibidiem. h. 2.
[5]  A. Gouldner (1980) The Two Marxisms: contradictions and anomalies in the development of
theory. New York: The Seabury Press, h. 325.
[6]  Silahkan periksa karya G.W.F. Hegel (1999) Filsafat Sejarah (terjemahan). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[7]  K. Marx (1985/1857-8) Grundrisse, dalam Karl Marx Selected Writings (editor: D.
McLellan). Oxford: Oxford University Press, h. 345-387. Dua bab dari Grundrisse kemudian
diterbitkan secara terpisah dengan judul ‘Pre-Capitalist Social Formation’ yang disunting dan
diberi pengantar oleh E.J. Hobsbawm.
[8]  M. Bloch (1983) Marxism and Anthropology. Oxford: Oxford University Press, h. 3-4.
[9]  Skema evolusi masyarakat ini muncul dalam sub-bab The Premisses of the Materialist
Method dalam The German Ideology, lihat K. Marx dan F. Engels (1985/1844-6) The German
Ideology, Karl Marx Selected Writings, h. 161-164.
[10]  Di tahun-tahun sekitar 1858, tahun-tahun ditulisnya Grundrisse ini, oleh McLellan
dianggap sebagai masa ketika Marx ‘tumbuh lebih dewasa’ dalam memahami persoalan-
persoalan ekonomi yang sudah diancangnya sedari Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat (1844).
Lihat D. McLellan (1977) The Thought of Karl Marx: an introduction. London: Macmillan
Press, h. 72-3. Menurut McLellan hal ini terjadi karena bertambah kayanya pemahaman sejarah
Marx.
[11]  Georg Maurice Maurer (1790-1872), sejarawan Jerman yang mengkaji sistem sosial Jerman
Kuno dan Jerman Abad Pertengahan. Maxim Maximovich (1851-1916), ahli etnologi Rusia yang
membawakan buku Ancient Society dari Amerika ke Inggris sebagai oleh-oleh untuk dua sejoli
Marx dan Engels.
[12]  G. Plekhanov (2006) Seni dan Kehidupan Sosial. Bandung: Ultimus.
[13]  G. Plekhanov (2002) Masalah-masalah Dasar Marxisme. Jakarta: Hasta Mitra, h. 49-70.
[14]  ibid. h. 52-3.
[15]  F. Engels dikutip R.J Wenke (1999) Patterns in Prehistory. Oxford: Oxford University
Press.
[16]  E.J. Hobsbawm (1979) The Age of Capital 1848-1975. New York: Mentor Book, h. 289-
296. Jaman Kapital ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang berlandaskan pada kapital industri.
Jaman ini merupakan perkembangan lanjut dari pertumbuhan masyarakat borjuis di atas
reruntuhan feodalisme dan kebangunan kapitalisme industri. Pada masa inilah sebagian besar
ilmu-ilmu sosial modern muncul, termasuk antropologi.
[17]  W.F. Wertheim (2000) Gelombang Pasang Emansipasi. Jakarta: Garba Budaya, KITLV,
ISAI, h. 4.
[18]  Untuk pertumbuhan antropologi sosial Inggris modern sejak Malinowski dan pengaruh
pemikir-pemikir sosiologi Perancis lihat Kuper (1996).
[19]  Seddon
[20]  Wertheim (2000) h. 5.
[21]  M. Harris (1991) Anthropology: Ship That Crash in the Night, dalam Perspectives on
Behavioral Science: the Colorado lectures (editor: R. Jessor). Boulder: Westview Press, h. 91.
[22]  E. Said (1990 asli 1970) Orientalisme. Bandung: Pustaka

Anda mungkin juga menyukai