Anda di halaman 1dari 11

Modernitas dan Resistensi Perempuan Lokal

Miftahus Surur

Tidak diragukan lagi bahwa berbagai penelitian atau juga tulisan singkat
(cenderung tidak terinci) tentang perempuan telah banyak dilakukan. Ada yang
berusaha mengaitkannya dengan fenomena-fenomena popular seperti Islam,
pembangunan, politik, pendidikan, dan sebagainya. Ada pula yang mengaitkannya
dengan isu-isu global seperti kapitalisme dan invasi militer. Kemiripan fokus
permasalahan yang dibidik oleh berbagai penelitian itu dititik-beratkan pada
persoalan patriarki yang diasumsikan sebagai akar yang melatarbelakangi adanya
ketimpangan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Fenomena-
fenomena seperti di atas lebih banyak dicurigai memiliki muatan diskriminasi
terhadap perempuan ketimbang dilihat sebagai realitas yang mengandung relasi
kuasa yang beragam. Akhirnya, hasil dari beberapa penelitian itu tidak sedikit yang
melihat dan menempatkan perempuan sebagai korban, bukan sebagai sosok atau
entitas yang memiliki posisi dan identitas yang cair.
Dengan berangkat dari beberapa penelitian tentang perempuan, tulisan ini
berusaha beringsut dari isu-isu besar seperti di atas dengan berpaling pada
pengaruh modernitas dan bagaimana modernitas itu sendiri dipahami, direspon,
dan diartikulasikan menurut kadar pengetahuan dan kemampuan perempuan,
khususnya perempuan subaltern1 dalam konteks dan lokalitasnya masing-masing.
Dalam hal ini perempuan subaltern adalah mereka yang berada pada posisi non-
dominan dan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok-kelompok
mainstream yang memiliki kekuasaan. Dan sebagai fokus pembahasan, tulisan ini
akan berupaya mengungkap berbagai persoalan (representasi, negosiasi, dan
resistensi) perempuan seni tradisi, tiga kata dalam satu deret kalimat yang selalu
menimbulkan tanya dan perhatian. Perempuan sebagai entitas jenis kelamin yang
“lain” dari laki-laki bukan hanya sedang “in” – sehingga penting untuk dibahas,
khususnya – di dalam pengungkapan berbagai macam diskriminasi akibat ideologi
patriarki, tetapi posisi perempuan di dalam seni tradisi itu sendiri memerlukan
perhatian tambahan. Ia tidak hanya akan mengungkap mengenai perempuan an
sich, tetapi juga seni tradisi yang tidak kalah jarang diposisikan sebagai kesenian
marginal. Meskipun demikian, tulisan ini berusaha keluar dari perasaan larut di
dalam marginalitas itu dengan lebih melihat berbagai bentuk siasat kultural yang
dibangun dalam menghadapi derasnya arus modernitas, bentuk-bentuk
diskriminasi, dan kekuatan luar yang datang.
Memfokuskan perbincangan pada perempuan subaltern menjadi penting
bukan hanya karena kelompok ini hampir tidak pernah merasakan akses publik
sebagaimana kelompok dominan tetapi juga harapan akan pentingnya
menempatkan problem perempuan sebagai sesuatu yang muncul dan terjadi
secara spesifik dan tidak universal. Sehingga kemungkinan melakukan
“pemberdayaan” dan atau apa yang biasa disebut sebagai advokasi terhadap
perempuan bisa dilakukan dengan hati-hati menurut kebutuhan dan konteksnya
masing-masing.
Kehati-hatian ini dilakukan lebih karena modernitas yang hadir dalam
kehidupan sehari-hari perempuan tidak pernah bisa dilawan atau dihindari
dengan mudah. Dalam bentuknya yang lebih konkret, modernitas memiliki muatan
hegemonik sehingga keniscayaan untuk mengikuti alur logika dan rayuan
modernitas itu seolah-olah menjadi absah. Melakukan perlawanan secara fisik dan
massif terhadap kekuatan modernitas – terutama dalam bentuknya yang sangat
konkret – bukan hanya tidak menarik tetapi juga akan menghasilkan sesuatu yang
tidak produktif. Mungkin, apa yang lebih menarik untuk dilakukan adalah
menumbuhkan kreatifitas tertentu sebagai siasat untuk merespon, melecehkan,
atau mungkin juga mengambil keuntungan darinya. Siasat-siasat kultural dari
kelompok perempuan subaltern inilah yang diharapkan bisa dijadikan inspirasi
melakukan penggerogotan terhadap kekuatan modernitas atau bahkan sebagai
sumber potensi menyuarakan suara-suara perempuan berkaitan dengan
kebutuhan mereka secara lebih luas.
Siasat kultural ini ingin mengandaikan bahwa subjektifikasi perempuan
sebagai sosok yang memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan ekspresi
mereka juga patut dilihat sebagai bentuk perlawanan. Pernyataan Gayatri C. Spivak
tentang kelompok subaltern yang tidak bisa bicara perlu dikaji-ulang dan
diperjelas khususnya mengenai situasi kontekstual yang mendukung pernyataan
Spivak itu sendiri. Dengan pengertian lain, pada situasi seperti apakah
subalternitas itu tidak bisa disuarakan? Bisakah perempuan seni tradisi yang
melenggok indah di atas panggung dan secara sadar mengeruk serta mendapat
keuntungan dari audiens dianggap sebagai protes mereka terhadap maskulinitas
patriarki? Tapi bagaimana pula posisi mereka ketika berhadapan dengan sistem
manajerial kesenian tradisi yang dikelola oleh pimpinan yang tidak jarang adalah
laki-laki dan juga sangat ketat serta menindas?
Deret pertanyaan di atas hanyalah ingin memaparkan bahwa marjinalisasi,
diskriminasi, eksploitasi, atau pelecehan yang seringkali menjadi perbincangan
umum mengenai dan ditujukan kepada perempuan memiliki bentuk dan
tingkatannya sendiri-sendiri. Hal ini bukan hanya terkait dengan pluralitas
persoalan yang ada, tetapi juga tidak jarang bahwa persoalan itu dengan sengaja
dikonstruksi dan merupakan bagian dari sudut pandang intelektual serta
perempuan “elit” yang merasa memiliki kewajiban “menyelamatkan” perempuan
dari kubangan penindasan. Sepertinya terdapat pemihakan kaum perempuan “elit”
terhadap perempuan “marjinal”, di samping juga pikiran merasa bertanggung
jawab untuk melakukan pemberdayaan terhadap mereka. Sungguh suatu
persoalan yang unik jika perasaan “merasa bertanggung-jawab” itu kemudian
diwujudkan dalam aksi-aksi nyata di lapangan tetapi di balik itu justru terdapat
agenda lain – yang kerapkali – bertujuan untuk membela kepentingan sendiri.
Jika memang demikian, siapakah yang berhak menyuarakan subaltern?
Menjawab pertanyaan ini mengingatkan pada sebuah percakapan antara Foucault
dengan Deleuze yang mengatakan bahwa kelompok subaltern lebih mengerti
persoalan mereka sendiri, sehingga tidak terdapat kesulitan untuk menyuarakan
kepentingan, pemikiran, atau persoalan mereka. Dan kalaupun kelompok
intelektual (peneliti, budayawan, akademisi, dan sebagainya) ingin ‘campur tangan’
dalam mendampingi kelompok subaltern, maka yang diperlukan hanyalah
melaporkan realitas subaltern dan subalternitas mereka yang tidak terwakili dalam
ruang sosial.2 Ungkapan seperti ini pun dipersoalkan kembali oleh Spivak bahwa
tugas menarasikan, melaporkan, atau menafsirkan problem kelompok subaltern
tidak akan pernah lepas dari subjektifikasi penafsir dengan sudut pandang
tertentu di samping juga karena bahasa kelompok intelektual tidak mungkin
mewakili bahasa kelompok subltern.
Lalu di mana letak pentingnya posisi kelompok intelektual? Melani – dengan
mengutip pernyataan Jaggar (1998) – menjelaskan bahwa peran intelektual untuk
menampilkan keadaan buruk kelompok subaltern tetap penting dengan catatan
bahwa mereka tetap melakukan kritik terhadap posisi dan istilah yang mereka
gunakan dalam berbicara tentang subaltern. Koreksi terhadap posisi subjek ini
sangat perlu agar gaung representasi kaum subaltern tidak berujung pada
pembungkaman.3
Meskipun tidak mudah mengurai posisi subaltern dan kelompok intelektual
tetapi pilihan pembahasan tetap harus diambil. Tanpa terburu-buru mengambil
kesimpulan, pembahasan ini akan ditekankan pada pergulatan tindakan kelompok
perempuan subaltern ketika berhadapan dengan persilangan persoalan dan
kebutuhan mereka di wilayahnya masing-masing. Persilangan itu lebih merupakan
interaksi mereka dengan politik, ekonomi, dan agama berikut agenda-agenda yang
ada di dalamnya baik dalam bentuk modernisasi, kapitalisasi, maupun islamisasi.
Perempuan Seni Tradisi, Agama, Negara, dan Pasar
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dikisahkan bahwa seorang istri justru
merasa bangga ketika suaminya sedang joget bersama Srintil, seorang penari tayub
kenamaan. Siapa pun tahu bahwa untuk bisa joget bersama Srintil bukan hanya
memerlukan uang yang tidak sedikit, tetapi juga harus mampu bersaing dengan
penonton yang lain. Maklum, Srintil adalah seorang penari tayub yang terkenal
dengan keindahan tubuh, suara, dan diyakini oleh masyarakat setempat sebagai
pengemban budaya daerahnya. Kebanggaan joget bersama perempuan penari seni
tradisi turut menjadi kebiasaan yang terus terjadi sampai saat ini, penuh dengan
kompetisi antara satu penonton dengan penonton yang lain, bahkan di saat
gelombang teknologi modern telah masuk ke dalam kehidupan masyarakat di
pelosok-pelosok desa. Tapi pada sisi lain dan ini tidak jarang penulis temukan di
lapangan adalah kenyataan lain dimana seorang istri merasa sangat terpukul – ada
yang berujung perceraian – ketika suaminya harus menghamburkan uang untuk
sekedar bisa joget bersama seorang penari perempuan seni tradisi.
Sangat maklum bahwa kehidupan perempuan seni tradisi seperti tayub,
gandrung, jaipong, cokek, dan sebagainya tidak pernah lepas dari sorotan. Tampil
di atas panggung dengan mengandalkan olah suara dan gerak tubuh membuat
mereka selalu menjadi bagian dari perbincangan publik. Belum lagi ditambah
dengan kenyataan lain yang hampir terdapat di mana-mana bahwa gerak tubuh
yang indah dan olah suara yang merdu selalu beriringan dengan wajah rupawan.
Perpaduan dari beberapa modal tubuh para perempuan penari ini menjadikan
pentas seni tradisi selalu menarik perhatian, bukan hanya dari laki-laki yang ingin
bersentuhan langsung dengan mereka tetapi juga dari kelompok perempuan yang
lain.
Perbincangan demi perbincangan publik menggiring opini masyarakat ke
dalam dua pandangan yang sama-sama ekstrem. Di satu sisi, para perempuan
penari seni tradisi disanjung karena kepiawaian mereka di atas pentas. Tetapi di
sisi lain juga dikecam karena dianggap sebagai perempuan murahan, penggoda
laki-laki, dan perusak rumah tangga orang lain. Dalam kenyataan yang lain,
perbincangan mengenai para perempuan seni tradisi ini juga disebabkan oleh gaya
hidup yang mereka miliki. Rumah mewah, sawah yang luas, dan ternak yang
banyak merupakan bagian yang sering menjadi bahan pembicaraan di lingkungan
masyarakatnya sendiri. Maklum, dalam setiap kali pentas, pendapatan para penari
perempuan ini bisa mencapai 300 – 500 ribu; sebuah penghasilan yang terbilang
cukup lumayan jika dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh melalui
profesi yang lain.
Kenyataan seperti di atas juga mendapatkan respon yang tidak tunggal. Bagi
sebagian masyarakat yang menganggap bahwa profesi sebagai perempuan penari
seni tradisi identik dengan seks dan pelacuran, maka mereka membuat pagar
larangan yang cukup kuat bagi keluarganya agar tidak berinteraksi dengan
perempuan dan komunitas kesenian tradisi tersebut. Lebih-lebih bagi beberapa
kelompok Islam, khususnya masyarakat di lingkungan beberapa pesantren,
kecaman terhadap perempuan dan kesenian yang bersangkutan bukan hanya
dikerangkai oleh kehidupan para perempuan penari, tetapi juga dilabeli dengan
argumentasi-argumentasi keagamaan yang membuat perempuan dan kesenian
tradisi itu berada pada posisi terjepit.
Ungkapan beberapa pemimpin agama di beberapa tempat mengatakan
bahwa wilayah kesenian tradisonal yang mengandalkan perempuan sebagai penari
utamanya merupakan wilayah yang penuh maksiat. Di dalamnya selalu terdapat
kegiatan minum-mnuman keras, mabuk-mabukan, seringkali berantem, judi,
bahkan tidak sedikit yang melakukan transaksi seks dengan penarinya. Masih
menurut beberapa pemimpin agama tersebut bahwa “tidak ada kebajikan apa pun
yang bisa diambil dari pementasan kesenian tradisional yang memanggungkan
lenggak-lenggok tubuh perempuan.”
Tapi bagi beberapa masyarakat yang lain, kenyataan kehidupan para
perempuan seni tradisi dengan gaya hidup yang berada di atas rata-rata
masyarakat kebanyakan justru membuat para gadis belia dan juga orang-orang tua
yang memiliki anak perempuan berusaha menjadikan putri-putri mereka sebagai
penari di kemudian hari. Tujuannya tidak lain adalah keinginan mengubah
kehidupan mereka supaya menjadi lebih baik.
Apa yang diasumsikan banyak orang mengenai kehidupan para perempuan
penari seni tradisi ternyata tidak seglamour dan seindah seperti ungkapan-
ungakapan yang sering dilontarkan banyak pihak meskipun juga tidak seburuk
seperti apa yang dibayangkan oleh kelompok santri. Banyak contoh menunjukkan
bahwa melekatnya identitas diri sebagai penari seni tradisi selalu berproses
dengan perilaku yang mereka tampilkan, bukan hanya sebatas di atas panggung
melainkan juga dalam kehidupan keseharian. Titin (36 tahun), seorang penari
jaipong asal Karawang, Jawa Barat mengisahkan bagaimana kekayaan materi yang
ia peroleh juga tidak semudah seperti yang dibisikkan para tetangganya. Banyak
hal yang harus ia lakukan dan ia relakan untuk mengapai semuanya. Ia juga sadar,
bahwa menjatuhkan pilihan sebagai penari jaipong tidak semata-mata karena
persoalan ekonomi, tetapi lebih dari itu adalah karena pada dasarnya ia sendiri
pun sangat menggemari kesenian asal tanah sunda itu.4
Perlakuan penonton di atas panggung, mulai dari yang berani menjamah,
berusaha mencium, atau secara terus terang mengajaknya melakukan transaksi
seks merupakan kenyataan yang harus ia terima dengan penuh kesadaran tanpa
keluh kesah. “Kalau tidak mau menerima perlakuan seperti itu, ya jangan menjadi
penari jaipong. Itu kan sudah risiko,” ucapnya. Kata-kata “risiko” bukanlah tanpa
makna. Ia diucapkan secara penuh kesadaran bahwa profesi sebagai perempuan
penari seni tradisi akan bersentuhan dengan fenomena yang demikian, yaitu
pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang meniscayakan adanya keinginan
untuk saling mempengaruhi, mengalahkan, menundukkan dan bukan semata-mata
sebagai pertunjukan yang menghibur ataupun ritual yang terilhami dari warisan
tradisi masa lalu.
Titin tidak sendirian. Seorang penari tayub bernama Mihwati (27 tahun)
asal Pati, Jawa Tengah pun menghadapi persoalan yang relatif sama. Tidak sedikit
penonton laki-laki yang berusaha mendekapnya, bahkan dengan setengah mabuk
akan menciumnya. Ia menolak bukan semata-mata karena perlakuan seperti itu
tidak sesuai dengan keinginannya, tapi juga jauh dari selera pribadinya. “Melihat
orangnya saja saya sudah tidak selera, apalagi kalau sampai dicium,” ujarnya.
Meskipun demikian, sebagai penari yang tampil di atas panggung, ia sadar bahwa
dirinya adalah milik publik dan harus bisa menyenangkan audiens. Untuk itu, yang
bisa ia lakukan adalah berusaha tampil maksimal dan tidak mengecewakan
penonton. “Bagi saya, semua penonton adalah sama. Anak-anak, remaja, atau
kakek-kakek adalah penonton yang berhak melihat saya menari dan memberi
saweran. Selama mereka menghargai saya dan tidak melakukan perbuatan yang
tidak senonoh, saya akan selalu tersenyum untuk mereka,” sambungnya.
Standar dan perspektif para perempuan seni tradisi mengenai “perbuatan
tidak senonoh” memang tidak seragam. Wangi Indriya, seorang penari topeng asal
Cirebon mengatakan bahwa perbuatan tidak senonoh merupakan perbuatan yang
mengandung unsur pelecehan terhadap penari perempuan. “Misalnya, penonton
memberi saweran melalui mulut, atau menyumpalkan ke dalam kutang (bra. Red),
sengaja memeluk dan mencium, itu perbuatan yang kurang ajar. Makanya, bagi
saya sendiri, lebih baik tidak mendapat saweran daripada diperlakukan demikian,”
ujarnya.
Lain Wangi, lain pula Katmi. Penari topeng yang juga berasal dari Cirebon
itu tidak menampik pemberian dari penonton dengan cara apa pun. “Kalau
penonton memberinya lewat mulut, ya saya terima juga lewat mulut. Tidak apa-apa
kok, karena penonton memang maunya kayak gitu ya saya ladenin aja. Kalau
duitnya sudah habis kan tidak bakal kayak gitu lagi,” ujarnya berseloroh. Bagi
Katmi, perilaku penonton seperti itu bukan sebagai pelecehan karena ia sadar
bahwa profesinya sebagai penari selalu bersentuhan dengan ragamnya perilaku
penonton. “Ini kan sudah pekerjaan saya, Mas. Kalau tidak diladeni, bisa-bisa saya
tidak laku,” lanjutnya.
Kekhawatiran Katmi bukan tanpa alasan. Kebanyakan penari perempuan
seni tradisi memang jarang yang memiliki atau berada di grup yang paten.
Biasanya, seorang penari perempuan yang terkenal piawai akan sering dikontrak
oleh grup yang lain untuk diajak manggung di berbagai pementasan. Bahkan tidak
jarang, ketika menerima tawaran pentas dari sebuah acara hajatan, tuan rumah
juga kerap memesan nama-nama penari tertentu agar turut ditampilkan.
Sementara bagi penari yang kurang digemari masyarakat, sudah tentu ia akan sepi
dari aksi manggung. Dan dengan semakin menjamurnya penari, maka masing-
masing harus memiliki kelebihan agar tetap eksis di dunia panggung kesenian.
Para penari itu sadar bahwa kompetisi tidak mungkin bisa dielakkan sehingga
mereka harus mengiringi setiap pementasan dengan berbagai trik, beradaptasi
dengan trend, goyang aduhai, kerling merayu, dan senyum menggoda. Setelah
pentas, para penari itu hanya ingin meninggalkan pesan dan kesan, yaitu
penanaman ingatan yang terpatri di setiap benak penonton agar setiap saat bisa
memanggilnya kembali.
Resepsi dan berbagai cara penari perempuan merespon penonton itulah
yang membuat tidak sedikit feminis menilai mereka sebagai korban akibat
pelecehan laki-laki. Perempuan dengan profesi penari dianggap tidak mampu
menghindarkan diri dari perlakuan penonton. YM, salah satu aktifis perempuan di
Jakarta, dalam sebuah diskusi yang berlangsung pada 23 Juli 2004 mengatakan
bahwa penari perempuan yang lenggak-lenggok di atas panggung lalu bersedia
disentuh dan disawer sedang berada dalam kesadaran semu sehingga patut untuk
disadarkan dan diberdayakan. Kalimat ‘disadarkan’ dan ‘diberdayakan’
mengasumsikan perempuan seni tradisi sebagai kelompok yang lemah dan bodoh
sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk mengangkat mereka dari
kubangan lumpur. Tetapi pada kenyataannya, pernyataan tersebut tentu sangat
kontras dengan kondisi para perempuan seni tradisi sendiri yang justru dengan
keadaan berkesadaran penuh berani mengambil risiko menjadi penari.
Di samping itu, asumsi mengenai pelecehan terhadap perempuan seni
tradisi tergoyahkan ketika tidak sedikit perempuan yang menonton juga maju ke
depan panggung dan memberi saweran. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah
kesenian tradisi yang hidup dan berkembang di sebuah masyarakat bukan hanya
berhubungan dengan tari-tarian yang melibatkan laki-laki dan perempuan, tetapi
juga tradisi setempat yang telah hidup selama ratusan tahun dan menjadi bagian
dari hidup masyarakat. Sehingga interaksi antara laki-laki dan penari perempuan
atau juga antara penonton perempuan dengan penari perempuan merupakan
hasrat yang muncul karena apresiasi terhadap tradisi berkesenian yang ada.
Dengan pengertian lain, hubungan berbagai pihak di dalam sebuah
pertunjukan seni tradisi tidak bisa dimaknai semata-mata sebagai ruang
eksploitasi dari satu arah menuju satu objek. Tindakan laki-laki yang ingin
menuntaskan hasrat kelelakiannya di atas panggung pun tidak bisa dinilai sebagai
tindakan eksploitasi dan melecehkan, karena jika dilihat melalui perspektif yang
lain, justru para perempuan penari seni tradisi itulah yang melakukan pelecehan
dan eksploitasi terhadap laki-laki. Banyak kasus yang muncul bahwa ketika laki-
laki yang tidak mampu mengimbangi kepiawaian tarian perempuan seni tradisi,
maka dengan sendirinya akan merasa terpukul dan malu. Sehingga yang
dibutuhkan untuk menari bersama perempuan seni tradisi bukan hanya
mengandalkan keberanian, melainkan juga kepiawaian dalam menari. Di samping
itu, kemauan laki-laki yang menghambur-hamburkan uangnya dalam jumlah yang
tidak sedikit dalam satu malam, membuktikan bahwa perempuan seni tradisi
cukup berhasil mengeruk keuntungan dari laki-laki.
Dalam bentuknya yang lain, resistensi atau kreatifitas perempuan seni
tradisi juga ditunjukkan ketika harus merespon berbagai fenomena lain di luar
dirinya. Ketika arus modernisasi semakin kencang menerpa kehidupan
masyarakat, mau tidak mau, suka tidak suka para perempuan seni tradisi ini pun
harus piawai menempatkan diri. Para perempuan seni itu sadar bahwa saat ini
mereka tidak hanya berkompetisi antara satu penari dengan penari yang lain, atau
antara grup yang satu dengan grup yang lain dalam tataran satu bentuk kesenian
tradisi yang ada. Terdapat fenomena berkesenian lain yang membuat para
perempuan seni tradisi ini harus turut melirik, yaitu popularitas kesenian modern
yang mulai masuk dan dinikmati oleh masyarakat.
Lagu-lagu bernuansa modern, iringan alat musik keyboard, dan dandanan
penyanyi yang berbeda turut melahirkan kreatifitas perempuan seni tradisi untuk
beradaptasi. Bagaimanapun, tidak sedikit pertunjukan kesenian tradisi yang mulai
mencampurbaurkan alat musik tradisional dengan alat musik modern. Selain itu,
lagu-lagu atau gending yang dibawakan pesinden pun mengalami adaptasi yang
luar biasa. Para perempuan seni tradisi tidak hanya dituntut melantunkan gending-
gending tradisional yang biasa dipentaskan pada jaman “dahulu kala,” tetapi juga
harus bisa melantunkan syair-syair baru dari lagu-lagu modern dan popular. Judul
lagu-lagu tertentu yang sedang tren atau sedang “in” di dalam masyarakat turut
menghiasi pementasan kesenian tradisi. Sehingga tidak jarang ditemui kesenian
jaipong yang melantunkan lagu-lagu dangdut, campursari, dan pop.
Derasnya arus modernisasi melalui teknologi media dan informatika
melecut masyarakat untuk mengikuti arus yang sedang menjadi tren. Gelombang
modernisasi di dalam lalu lintas global-lokal sangat sulit ditolak secara mentah-
mentah karena ia akan berdampak bagi keberlangsungan kesenian dan penari seni
tradisi itu sendiri. Sehingga interaksi yang dibangun oleh berbagai kelompok
masyarakat pun mulai memanfaatkan arus tersebut. Meskipun lebih tampak pada
perubahan gaya dan penampilan, tetapi perubahan itu menunjukkan bahwa
inovasi yang terjadi merupakan suatu bentuk kreatifitas yang dilakukan oleh para
pelaku kesenian tradisi. Kesulitan untuk tetap mempertahankan gaya dan
penampilan berkesenian tradisi seperti “aslinya” membuat berbagai macam jenis
seni tradisi semakin dinamis. Ia menjadi sangat cair, lintas-batas, dan bermain
secara kreatif sembari memanfaatkan arus teknologi dan kebutuhan masyarakat
terhadap gaya hidup modern. Hal inilah yang oleh Melani disebut sebagai dinamika
sektor tengah.5
Adaptasi – atau lebih tepatnya kreatifitas – perempuan seni tradisi bukan
hanya dilakukan ketika merespon arus teknologi media dan kebutuhan masyarakat
terhadap gaya hidup modern. Para penari perempuan juga harus mampu
menyesuaikan diri dengan keinginan para agamawan yang menginginkan
penampilan yang lebih “bermoral.” Akhirnya tidak jarang dijumpai pementasan
tayub atau gandrung yang menampilkan para penari perempuan dengan
berbusana yang menutup seluruh tubuh (aurat) dan menyertakan lagu-lagu
bernuansa Islam/arab. Bagi Miswari, seorang ledhek asal Pati, adaptasi itu memang
sesuatu yang dianggap cukup aneh, menggelikan, dan menyebalkan. Ia mengatakan
bahwa ketika para penari perempuan tayub sudah memakai kerudung dan
melantunkan gending-gending bernuansa arab/Islam, maka tayub telah bergeser
dan atau tidak beda dengan qasidah.6
Bukan hanya itu. Sesuatu yang menyebalkan, menurut Miswari bukan hanya
ketika harus siap tampil di panggung dengan pakaian yang menutup “aurat” untuk
mematuhi anjuran dari kalangan agamawan, tetapi juga tekanan dari pihak
penguasa yang melakukan kontrol secara ketat terhadap penampilan seni tradisi.
Selain harus melaporkan kegiatan pentas, setiap penari dan grup seni tradisi harus
memberikan pajak kepada aparat keamanan setempat. Selain itu, kontrol dari
pihak penguasa juga bisa berbentuk kewajiban melakukan penataran bulanan di
bawah bimbingan dinas pariwisata setempat. Penataran itu biasanya sebagai ruang
untuk memberikan bimbingan, nasehat, arahan agar para penari bisa tampil sesuai
dengan standar “moral” yang tepat. Akhirnya, setiap peserta penataran akan
mendapatkan sertifikat penari yang akan menjadi pengabsah bagi setiap
pementasan. Artinya, siapapun yang telah mendapatkan sertifikat resmi dari
pemerintah, maka ia semakin mudah untuk pentas di manapun.
Tentu, sertifikasi bukan tanpa masalah karena ia tidak saja akan
berimplikasi pada penambahan retribusi dan pajak penghasilan daerah tetapi juga
akan mendorong terjadinya tindakan diskriminatif dan kekerasan bagi setiap
penari dan grup yang tidak memiliki sertifikat resmi dari pemerintah. Nasru’ Indra
Rukmana, seorang penari tayub asal Tuban mengatakan bahwa sertifikasi itu
membuat kebanyakan grup dan penari seni tradisi patuh terhadap keinginan
pemerintah, seperti ketika harus membayar uang pajak ataupun dalam bentuk
penampilan di atas panggung. Kepatuhan ini dilakukan agar supaya tidak
menyulitkan mereka di kemudian hari. Tentu ada paradoks, bekal sertifikat yang
disertai dengan kepatuhan itu pun ternyata tidak bisa menghindarkan mereka dari
cengkeraman aparat keamanan yang tetap – dan pasti – meminta bayaran ketika
grup seni tradisi tampil di setiap tempat.
Kenyataan bahwa pemerintah selalu menginginkan pembaharuan di bidang
kesenian tradisional tidak sepenuhnya berjalin lurus dengan kenyataan para
peminat dan pelaku kesenian tradisi itu sendiri. Hanya saja, kekuatan yang tidak
seimbang antara pemerintah dan entitas perempuan seni tradisi membuat
pembaharuan itu seolah-olah telah menemukan tempatnya. Alih-alih melakukan
pembaharuan terhadap kesenian tradisi, sebenarnya ia lebih berwujud sebagai
invensi7; penciptaan atau kreasi baru yang tidak pernah memunculkan keutuhan
sebuah kesenian. Ada yang hilang dan ada juga yang baru, berikut standar-standar
yang melekat padanya. Tayub telah menjadi biasa tampil di siang hari. Gandrung
pun demikian, malah hanya tampil dalam waktu yang tidak lebih dari dua jam
karena harus menyesuaikan dengan padatnya jadual para pejabat. Bahkan dalam
pementasannya di hadapan penguasa tertentu, para perempuan dan seni tradisi
didorong memunculkan dua hal sekaligus; sisi “keaslian” sebuah kesenian sebagai
warisan tradisi masa lalu dan sisi moralitas para penarinya menurut selera
penguasa dan kelompok mainstream.
Di dalam berbagai persilangan inilah para perempuan penari seni tradisi
bisa tampil dengan keserbaragaman subjektifitas mereka. Apalagi dengan lalu-
lintas global-lokal yang semakin ramai dan tak terkendali, keserbaragaman itu juga
bisa menjadi modal untuk melakukan pilihan-pilihan lain di luar profesi mereka
sebagai penari. Ketika Samirah (mantan penari Tayub terkenal asal Pati) memilih
bekerja sebagai pramuniaga sebuah mal di Kudus, Jawa Tengah dan meninggalkan
profesinya sebagai penari, maka ini pun harus pula dipahami sebagai pilihan yang
terlepas dari predikat sebuah profesi. Artinya, pilihan Samirah untuk
meninggalkan profesinya sebagai penari tayub bukan lantaran seni tradisi tayub
merupakan seni pinggiran, kampungan, dan bernilai rendah, tetapi lebih karena ia
berusaha menghindari sifat suaminya sebagai seorang laki-laki pencemburu
(padahal, ketercemburuan itu bisa muncul dari suasana seperti apa pun selama
seseorang melakukan interaksi dengan publik, entah itu karena seorang
perempuan yang berprofesi sebagai penari atau juga pramuniaga sebuah mal).
Keserbaragaman ini pulalah yang membuat rumusan mengenai
subalternitas perempuan semakin rumit. Dalam konteks hegemoni, ketertundukan
dan keterpinggiran perempuan seni tradisi pun tetap menyisakan kekuatan untuk
melakukan siasat. Mungkin, tepat apa yang diungkapkan oleh Anna L Tsing bahwa
perempuan dengan keserbaragaman identitas, posisi, dan persilangan hubungan
sosial budaya itulah mereka sedang berada di “wilayah perbatasan (borderland),”
sebuah ruang kritis yang senantiasa menggoyahkan diskursus dominan serta
memungkinkan untuk terus melakukan kontestasi.8

Advokasi Perempuan dan Proses Othering


Konsep tentang “wilayah perbatasan” itu perlu didiskusikan secara terus-
menerus mengingat kondisi kehidupan masyarakat Indonesia dan hubungan
mereka dengan persilangan kebudayaan itu telah demikian rumit. Di satu sisi,
terdapat banyak perempuan yang hidup dalam libatan hierarki tradisi, kultur, dan
bahasa lokal, sementara di sisi lain, tuntutan para feminis atau aktifis perempuan
adalah upaya melakukan proses “pemberdayaan.” Pertanyaannya, perangkat
konseptual seperti apa yang cukup layak dipakai untuk melakukan pemberdayaan
jika para perempuan lokal itu justru telah mapan berada pada nilai-nilai kultural
mereka? Singkatnya adalah, norma apa yang bisa dipakai oleh para aktifis
perempuan ketika melihat tradisi poligami, “pengucilan” perempuan pada waktu
haidl, klitodermi, dan sebagainya? Cukupkah argumentasi pemberdayaan itu
dibangun di atas kalimat yang saat ini sedang popular dengan istilah perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia (HAM)?
Mungkin, persoalan yang sedang mengungkung para aktifis perempuan di
Indonesia saat ini lebih berkutat pada perspektif melihat realitas kehidupan
perempuan. Sebagian aktifis perempuan melihat bahwa individu-individu
perempuan memiliki hak mendasar atas dirinya dan tidak bisa dibatasi oleh
kekuatan apa pun. Artinya, nilai-nilai kultural yang berlaku secara komunal tidak
boleh mendiskriminasikan dan melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara bagi sebagian yang lain, perempuan yang hidup dalam lingkungan
kulturalnya tetap penting untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai kulturalnya
selama tidak ada keluhan yang keluar dari perempuan itu sendiri. Pandangan ini
juga melihat bahwa setiap kultur memiliki mekanisme internal dalam mengatur
keseimbangan kehidupan komunitasnya, sehingga klaim adanya kekerasan
perempuan berbasis kultur merupakan pandangan pihak luar yang merasa tidak
nyaman dengan kondisi lokal yang ada.
Dengan atau tanpa harus mengambil salah satu dari dua perspektif itu, satu
hal yang pasti adalah kenyataan bahwa kehidupan perempuan di Indonesia adalah
plural. Aktifis perempuan harus sadar dengan realitas ini dan perlu membuka diri
terhadap kemungkinan melakukan perjumpaan-perjumpaan dengan pluralitas
tersebut. Sewaktu-waktu, aktifis perempuan akan menemui tuntutan sekelompok
perempuan yang ingin memaklumkan fundamentalisme. Dan di waktu yang sama,
para aktifis perempuan pun akan menemui sekelompok perempuan yang
menuntut kebebasan berekspresi. Tetapi di waktu yang lain, terdapat fenomena
dimana seorang perempuan seni tradisi menggaet suami perempuan lain.
Perjumpaan-perjumpaan seperti ini diharapkan akan memperluas rasa ingin
mengenali yang lain, bukan sebaliknya, menyingkirkan yang lain untuk ambisi diri
sendiri.
Di samping itu, perluasan perjumpaan itu juga diharapkan mampu
memberikan inspirasi bahwa proses “pemberdayaan” sangat perlu memerhatikan
konteks lokalitas perempuan. Proses advokasi harus dimulai dengan sikap siap
mendengarkan berbagai kesaksian dan pengalaman perempuan di masing-masing
wilayah kulturalnya. Sehingga muara advokasi itu bukan semata-mata menuju
pada nilai-nilai bentukan luar seperti penegakan HAM dan perlindungan
perempuan dari tindakan kekerasan yang belum tentu relevan dengan kebutuhan
perempuan lokal itu sendiri. Tentunya menarik untuk mencermati-ulang ungkapan
Shelly Errington yang memetakan konsep gender di beberapa wilayah di Indonesia,
dengan mengingatkan bahwa jika ingin memahami gender di dalam kehidupan
masyarakat yang masih kuat cengkeraman nilai-nilai kulturalnya, maka yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana memahami nalar lokal mengenai kuasa dan
martabat, bukan dalam hal tubuh yang tergenderkan. Karena perbedaan
masyarakat (juga laki-laki dan perempuan) tidak terletak pada tubuh berdasarkan
jenis kelamin, melainkan pada aktifitas masyarakat dalam hubungannya dengan
wilayah kekuasaan spiritual yang mereka tampilkan.9
Peringatan Errington ini sangat penting bagi siapa pun yang ingin
melakukan pemberdayaan terhadap perempuan karena memberikan bekal
konseptual yang sangat mendasar. Penegakan HAM dan perlindungan perempuan
sebagai konsep dan kebijakan pun sepatutnya memerhatikan persoalan mendasar
ini sehingga pemberdayaan tidak mencerabut perempuan dari akar-akar
kulturalnya tetapi juga tidak ditutup secara ketat dari kemungkinan melakukan
perjumpaan dengan konsep dari wilayah luar. Dengan demikian, perjumpaan ini
bisa menjadi mediasi bagi masing-masing wilayah kultural untuk terus mengoreksi
berbagai fenomena baru akibat rumitnya persilangan kebudayaan yang terjadi.

1 Ranajit Guha mempertegas bahwa penggunaan istilah subaltern yang sebelumnya


diperkenalkan oleh Antonio Gramsci adalah mereka yang bukan elit. Elit yang dimaksud di
sini adalah kelompok dominan, baik kelompok dominan asing maupun kelompok dominan
pribumi. Dalam konteks negara-negara poskolonial, kelompok-kelompok dominan ini
memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembentukan sistem negara dan proses
modernisasi yang terdapat di dalamnya. Sementara kelompok subaltern (petani, buruh,
perempuan) merupakan subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa dan tidak pernah
dilibatkan di dalam proses pembentukan sistem dan sejarah masyarakat. Lihat Ranajit
Guha, ‘On Some Aspects of the Historiography of Colonial India’ dalam Mapping Subaltern
Studies and the Postcolonial, Vinayak Chaturvedi (Ed.) (London: Verso, 2000), h. 7
2 Gayatri C Spivak, ‘Can Subaltern Speak?’ dalam Marxism and the Interpretation of Culture,
Cary Nelson dan Lawrence Grossberg (Ed.) (London: Macmillan Education LTD, 1988), h.
287
3 Melani Budianta, ‘Perempuan, Seni Tradisi, dan Subaltern: Pergulatan di Tengah-tengah
lalu Lintas Global-Lokal’ dalam Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi, Edy
Hayat dan Miftahus Surur (Ed.) (Depok: Desantara, 2005), h. 101
4 Wawancara dengan Titin, 10 Juli 2003.
5 Dinamika sektor tengah merupakan sebutan yang ingin menjelaskan adanya kreatifitas
berbagai bentuk kesenian dan ekspresi kebudayaan dengan memanfaatkan teknologi
media, informatika, dan kebutuhan ekspresi gaya hidup masyarakat yang sedang berada di
dalam lalu-lintas global-lokal. Interaksi dan ragam kesenian yang ditampilkan tidak lagi
bertumpu secara kaku pada pakem kesenian yang “asli”, melainkan pada kemampuannya
untuk melakukan inovasi dan kreatif dalam mengembangkan ragam seni dan budaya serta
sebagai cara bertahan hidup dari gempuran modernitas. Lihat Melani Budianta,
‘Mengindonesia: Proses Berkesenian di Indonesia Selama Lima Puluh Tahun Terakhir’
dalam Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan dalam Pelaksanaan,
Isi, dan Profesi, Philip Yampolsky (Peny.) (Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2006),
h. xxix
6 Miftahus Surur, ‘Tayub: Nasibmu di Sana, Nasibmu di Sini’ dalam Srinthil, (Depok:
Desantara, 2002), edisi 2, h. 26
7 Eric Hobsbawn dan Terence Ranger (ed.), The Invention of Tradition, (London:
Cambridge University Press, 1996), h. 3
8 Anna L Tsing, ‘Alien Romance’ dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, Laurie J.
Sears (ed.) (London: Duke University Press, 1996), h. 311.
9 Shelly Errington, ‘Recasting Sex, Gender, and Power. A Theoretical and Regional
Overview’ dalam Power and Difference. Gender in Island Southeast Asia, Jane Monnig
Atkinson and Shelly Errington (Ed.) (California: Stanford University Press, 1990), h. 58.

Anda mungkin juga menyukai