Anda di halaman 1dari 6

PRAKTEK FARMASI KLINIK

PENDAHULUAN

Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan farmasi mempunyai tujuan utama


yaitu meningkatkan keuntungan dari terapi obat yang diberikan kepada pasien dan
mengevaluasi kemungkinan adanya permasalahan yang mungkin terjadi
disebabkan oleh penggunaan obat, dengan demikian dapat meningkatkan
kerasionalitasan suatu obat dan meningkatkan keamanan penggunaan obat.

Farmasi klinik merupakan penerapan pengetahuan obat untuk kepentingan


pasien dengan memperhatiakan kondisi penyakit pasien dan kebutuhannya untuk
mengerti tentang terapi obat. Tujuan dari farmasi klinik adalah agar efek terapi
bisa tercapai secara maksimal, meminimalkan resiko yang tidak diinginkan,
meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien terhadap
pemilihan terapi yang akan mereka lakukan.

Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik


sebagai “ A discipline concered with the application of pharmaceutical expertise
to help maximmise drug efficacy and minimize drug toxicity in individual
patients”.

Hal ini membuat pergeseran paradigma farmasi klinik yang dahulunya


berorientasi kepada “drug oriented” menjadi “patients oriented”, dimana seorang
farmasis memberikan asuhan (care) dan bukan hanya memberikan jasa pelayanan
klinis saja kepada pasien tetapi juga bertujuan untuk mengoptimalkan terapi obat
dan mempromosikan kesehatan dan preventif terhadap penyakit. (Farmasi Klinik,
2018)

Dalam tugas ini, penulis mencoba merangkum kegiatan praktek pelayanan


farmasi klinik di Indonesia dan luar negeri terutama negara Brazil dimana penulis
hanya memfokuskan praktek pelayanan farmasi klinik pada fasilitas kesehatan
primer. Alasan penulis merangkum pelayanan farmasi klinik pada pelayanan
fasilitas kesehatan primer adalah karena penulis saat ini bekerja di fasker primer
yaitu Puskesmas. Selain itu juga penulis ingin membandingkan kegiatan pelayan
farmasi klinik di Indonesia dengan Negara maju khususnya Brazil.

ISI

A. Pelayanan farmasi klinik di Indonesia


Praktek Pelayanan farmasi klinik di Indonesia di mulai pada awal tahun 2000.
Peran seorang farmasi / apoteker seperti kebanyakan masyarakat mengira bukan
hanya sekedar menjual obat dan meningkatkan omset penjualan tetapi lebih
kepada menjamin ketersediaan obat yang berkualitas, aman, tepat, dengan harga
yang terjangkau, serta pemberian informasi yang memadai mengenai obat, serta
melakukan pemantauan obat dan evaluasi obat.
Pelayanan farmasi klinik di Indonesia khususnya tentang standar pelayanan
farmasi di faskes primer tidak lepas dari aturan dan regulasi yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini tertuang dalam Permenkes no. 74
tahun 20016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Puskesmas
berperan dalam upaya kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan,
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan
secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya
kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di
Indonesia termasuk Puskesmas.
Secara garis besar pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua)
kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan
Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan kegiatan pelayanan farmasi
klinik.
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,
keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan
pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3. Konseling
4. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Evaluasi Penggunaan Obat. (‘Permenkes 74 tahun2016’, no date)

Praktek pelayanan farmasi klinik di Puskesmas sesuai dengan kenyataan di


lapangan lebih banyak hanya terpaku pada sistem yang bersifat manajerial semata.
Ini yang dialami oleh sebagian besar farmasi / apoteker sebagai pelaksana
pelayanan farmasi klinik di Puskesmas. Seperti yang dialami penulis sebagai
penanggung jawab kefarmasian di Puskesmas, untuk melakukan pelayanan home
care pada pasien rawat inap yang sudah boleh pulang tidak bisa dilakukan
dikarenakan tidak adanya tupoksi dan SK dari pimpinan yang mengatur hal itu.
Untuk membuka ruang konseling pun demikian,nakes dari promosi kesehatan
(promkes) yang bertanggung jawab terhadap konseling.

Tidak jauh beda dengan manajerial, farmasis pun menghadapi dilema.


Misalnya dalam perencanaan dan pemebelian obat, seorang farmasis / apoteker
akan mengacu pada Formularium Nasional (Fornas) yang tertera di E-Katalog.
Tapi pada kenyataan nya tenaga medic dalam hal ini dokter kadang tidak mau
memakai obat yang sudah ada / akan direncanakan pembelian nya di E-Katalog.
Mereka kadang “menyisipkan” obat untuk dibeli di luar dari pada Fornas.
Kurangnya pelatihan yang dilakukan oleh dinas terkait juga dapat
mempengaruhi peningkatan kompetensi yang dimiliki oleh seorang farmasi /
apoteker, dimana seorang apoteker harus dituntut “up to date” dan “long life
learner”.

B. Pelayanan Farmasi klinik di Brazil

Morbiditas dan mortalitas terkait obat merupakan masalah kesehatan yang


penting. Hal ini terkait dengan indikasi, efektivitas, keamanan, dan kepatuhan
pasien dalam menggunakan terapi obat. Di Negara Brazil untuk meminimalisir
kejadian morbiditas dan mortilitas terkait penggunaan obat, peran pelayanan
farmasi klinik di faskes primer terus digalakkan di bawah naungan Política
Nacional de Assistência Farmacêutica (PNAF – National Policy of
Pharmaceutical Services). (Araújo et al., 2017)
Pelayanan farmasi klinik di Brazil meliputi layanan kefarmasian
kognitif, konsultasi kefarmasian, bimbingan kefarmasian , edukasi pasien,
telefarmasi, farmasi klinis, dan perawatan kefarmasian/terapi obat dan tindak
lanjut/manajemen terapi obat. (Araújo et al., 2017)
Asuhan kefarmasian juga dilakukan di Brazil, terutama pada pasien
penderita penyakit kronik. Misal pada kasus hipertensi, pelayanan farmasi klinik
di Brazil melakukan kunjungan / home care dengan mengacu pada
“pharmacotherapy follow-up program “.
Intervensi pelayanan home care yang dilakukan seorang farmasi dapat
menilai tindak lanjut farmakoterapi yang telah diberikan sudah berhasil atau tidak.
Intervensi ini tidak serta merta dalam hal pengobatan, tetapi juga edukasi pasien
tentang pola hidup mereka. (Gomes et al., 2022)
Di Brasil,pharmaceutical care didefinisikan sebagai model praktik
farmasi di mana farmasi profesional berinteraksi langsung dengan pasien yang
meminum obat, ditujukan pada farmakoterapi yang rasional dan mencapai hasil
terapeutik yang pasti dan terukur. Farmasi berintegrasi bekerja sama dengan
professional kesehatan lain nya dalam pelayanan pharmaceutical care sehingga
seorang farmasi dapat diakui sebagai sebuah profesi.(Fegadolli, Cavaco and
Fonseca, 2018)
Selain itu kegiatan pelayanan farmasi pada faskes primer di Brazil
adalah melakukan pemantauan efek samping dari pengobatan, ikut hadir
pertemuan dalam tim kesehatan, melakukan konsultasi, edukasi serta promosi
pelayanan kesehatan masyarakat.(Silva, Figueiredo and Souto, 2021)

C. Kesimpulan
Jika dibandingkan dengan Brazil, praktek pelayanan kefarmasian di
Indonesia, terutama pada faskes primer hampir tidak jauh berbeda. Penulis dapat
menyimpulkan bahwa perbedaan terbesar keberhasilan pelayanan farmasi terdapat
pada pelayanan home care. Ini menjadi tantangan sendiri bagi farmasi di
Indonesia untuk bisa menunjukkan diri sebagai professional dalam bidang
kesehatan.

D. Referensi
(Araújo et al., 2017)
(Fegadolli, Cavaco and Fonseca, 2018)
(Gomes et al., 2022)
(Silva, Figueiredo and Souto, 2021)
(‘Permenkes 74 tahun2016’, no date)
https://books.google.co.id/books?id=l7J-DwAAQBAJ
(diakses 06/03/22 ,22.50)

Anda mungkin juga menyukai