PERKEMBANGAN wabah pandemi Covid-19 di Indonesia semakin meningkat.
Pemerintah telah menggelontorkan stimulus lebih dari Rp405 trilliun untuk mengatasi wabah ini, sebagian berupa insentif perpajakan. Pemerintah telah membuat kebijakan untuk meringankan beban perusahaan.Insentif itu antara lain pembebasan PPh Pasal 21 untuk karyawan dan pembebasan PPh Pasal 22 impor untuk sektor tertentu selama 6 bulan. Kemudian pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% untuk sektor tertentu, percepatan restitusi pajak, dan penurunan tarif PPh badan. Menghadapi ketidakpastian akan wabah pandemi Covid-19 ini, perusahaan perlu membuat skema penanggulangan dampak risiko yang akan terjadi, baik dari segi operasional, supply chain, marketing,distribusi, keuangan termasuk perpajakan. Meski pemerintah telah memberikan keringanan bagi para pelaku usaha tersebut, yang perlu diperhatikan adalah apakah perusahaan mampu mematuhi kebijakan yang diberikan, sementara kondisi finansial perusahaan masih dalam ketidakpastian. Misalnya, perolehan bahan baku impor yang mulai sulit didapat terutama yang berasal dari China. Keterbatasan bahan baku impor akan membuat perusahaan mengurangi produktivitas karena tidak ada pasokan dari negara tersebut. Kalaupun dapat, jumlahnya pun berkurang. Dampak yang dirasakan selama pandemi ini adalah produktivitas menurun. Pekerja terutama buruh mulai banyak dirumahkan akibat pengusaha tidak mampu membayar upah. Apakah stimulus pembebasan PPh Pasal 21 masih berlaku jika kondisi perusahaan terus mengalami penurunan? Kemudian yang harus diperhatikan adalah laba perusahaan yang ikut menurun akibat menurunnya daya beli masyarakat, sehingga kebijakan penurunan tarif PPh Pasal 25 dari tarif 25% menjadi 22% diharap mampu mendorong pengusaha tetap membayar pajak. Yang menjadi perhatian saat ini apakah wajib pajak masih mampu membayar pajak meski kebijakan perpajakan selama pandemi Covid-19 ini? Sebelum terjadinya wabah ini, kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak di Indonesia tidak terlalu tinggi hanya sekitar 43% (Fenochietto and Pessino, 2011). Tujuan penerimaan pajak adalah mengisi pemasukan APBN sebagai instrumen anggaran untuk menjalankan perokonomian negara. Pajak merupakan bagian dari dimensi moral, etika dan sosial yang diperlukan negara untuk menyejahterakan rakyat. Dengan demikian, perlu transparansi pajak. Sebagai bentuk pengawasan, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan surat edaran implementasi Compliance Risk Management (CRM), yaitu SE Dirjen Pajak No. SE-24/PJ/2019 yang ditetapkan 11 September 2020 terkait dengan ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan dan penagihan. Dari sisi pemerintah, manajemen risiko perpajakan adalah model evaluasi kepatuhan wajib pajak. Dari sisi perusahaan, perlu diperhatikan kemampuan perusahaan menghitung dengan tepat, memahami aturan, kepatuhan dan kejujuran dalam melaksanakan kepatuhan itu. Manajemen Risiko IMPLEMENTASI manajemen risiko perpajakan bagi perusahaan sangat diperlukan dalam kondisi seperti ini. Hal ini bertujuan tidak hanya untuk mempromosikan tata kelola selama wabah, tetapi untuk mengatasi permasalahan saat menghadapi pelaporan atau mengajukan keringanan pajak. Bagi perusahaan, fungsi manajemen risiko dalam bisnis adalah menciptakan nilai tambah. Hal ini dikarenakan perusahaan mampu mengidentifikasi dan mampu mengatasi atas risiko yang terjadi di dalam perusahaan. Namun, untuk manajemen risiko perpajakan ini diperlukan untuk pertama, memberikan kemampuan perusahaan untuk secara proaktif mengevaluasi perubahan kebijakan selama pandemi Covid-19 dan dampak secara potensial atas bisnis yang dijalankan. Kedua, meningkatkan tingkat kenyamanan kepada semua pemangku kepentingan bahwa risiko dapat dijaga dan ditoleransi, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan perusahaan. Dari sisi pemerintah hal ini sangat membantu peningkatan kepatuhan wajib pajak. Ketiga, memastikan strategi perpajakan selama pandemi Covid-19 dipahami dan dapat dilaksanakan selama 6 bulan ke depan mulai April 2020 dan saling terintegrasi antara DJP dan wajib pajak. Bagi perusahaan, manajemen risiko perpajakan ini dapat dituangkan dalam laporan keuangan tahunan. Keempat, perusaahaan mampu membuat suatu sistem untuk mengidentifikasi risiko perpajakan yang mungkin terjadi selama pandemi Covid-19 ini, kemudian melakukan penilaian atas risiko sehingga dengan cepat mengeluarkan kebijakan internal atas beban pajak yang dikeluarkan. Manajemen risiko perpajakan diperlukan untuk ketidakpastian seperti saat ini. Pengertian manajemen risiko perpajakan adalah memitigasi risiko yang dapat terjadi ketika tidak mamupu melapor atau membayar pajak kepada DJP yang berakibat pada pemberian sanksi administrasi atau sengketa pajak. Bagi internal perusahaan, hal ini harus menjadi perhatian karena dapat memberikan kenyamanan bagi pemangku kepentingan. Konsep manajemen risiko perpajakan yang dipahami, dilaksanakan dan diuji kepatuhannya dapat mengurangi gapketidakpatuhan pajak kepada DJP. Kebijakan fiskal countercyclical yang diterapkan pemerintah dalam masa pandemi ini membutuhkan dukungan pendapatan negara yang optimal. Penerimaan pajak, di luar penerimaan cukai, bea masuk dan bea keluar, masih menjadi tumpuan utama pendapatan negara dengan kontribusi berkisar 41,3% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apakah kondisi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2021 masih terkontraksi 0,74% dan implementasi reformasi pajak, dapat menjadi harapan optimalisasi penerimaan pajak di tengah resesi ekonomi saat ini? Di dalam Nota Keuangan APBN 2021, disebutkan bahwa di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan untuk memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Di bidang pendapatan negara, Pemerintah menyusun reformasi pajak tahun 2021- 2024 dengan dua tujuan utama. Pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui insentif yang tepat sasaran dan mengurangi beban usaha. Kedua, optimalisasi penerimaan negara melalui menambah objek maupun subjek pajak baru, meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan memperbaiki tata kelola serta administrasi. Dari data realisasi APBN tahun 2020, realisasi peneriman pajak tercatat sebesar Rp1.072,1 triliun atau terkontraksi 19,6% dibandingkan realisasi tahun 2019. Realisasi tersebut 89,4% dari target APBN dari Perpres 72 atau terdapat shortfall berkisar Rp126,7 triliun. Faktor shortfall tersebut, memiliki andil terhadap membengkaknya realisasi pembiayaan anggaran sebesar Rp945,8 triliun atau naiknya defisit anggaran menjadi 6,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Faktor lainnya adalah penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang membutuhkan biaya besar. Apabila mencermati akun pajak terbesar, realisasi Pajak Penghasilan (PPh) tahun 2020 mencapai Rp594 triliun atau terkontraksi 23,1% dibandingkan realisasi tahun 2019. Dengan capaian hanya 88,6% dari target tahun 2020. Kondisi ini berasal dari PPh Badan yang terkontraksi cukup dalam disebabkan beberapa faktor. Pertama, melambatnya profitabilitas badan usaha tahun 2019 sebagai basis perhitungan pajak 2020. Kedua, insentif perpajakan berupa potongan angsuran sebesar 30% dan menjadi 50%. Ketiga, penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22%. Selanjutnya, realisasi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) sebesar Rp450,3 triliun atau terkontraksi 15,3%. Hal ini terutama berasal dari PPN Dalam Negeri dan PPN Impor yang terkontraksi cukup dalam disebabkan menurunnya konsumsi dalam negeri di tengah kondisi pembatasan sosial masyarakat dan kebijakan insentif restitusi dipercepat. Perlu dicatat, secara umum, penurunan penerimaan pajak disebabkan pemanfaatan insentif perpajakan berkontribusi sekitar 22,1% terhadap penurunan realisasi penerimaan pajak tahun 2020. Sementara itu, di dalam APBN 2021, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.229,6 triliun atau lebih tinggi 14,7% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2020. Dengan rincian, PPh ditargetkan Rp638 triliun atau lebih tinggi 15,1% dari realisasinya tahun 2020 dan PPN dan PPnBM ditargetkan Rp518,5 triliun atau lebih tinggi 15,1% dari realisasinya tahun 2020. Dengan target sebesar itu, penerimaan pajak akan berkontribusi sebesar 44,7% dari total APBN 2021. Target yang cukup memadai untuk menopang kebutuhan belanja penanganan pandemi dan mendukung program pemulihan ekonomi nasional. Namun, dengan basis pertumbuhan ekonomi tahun 2020 minus (-) 2,07 persen dan kuartal I tahun 2021 masih terkontraksi 0,74%, target penerimaan pajak 2021 tersebut akan cukup berat. Untuk menakar hal tersebut, sebagai indikasi awal, perlu melihat realisasi penerimaan pajak sampai dengan 30 April 2021. Penerimaan pajak terealisasi sebesar Rp374,9 triliun atau terkontraksi 0,46% dibandingkan tahun lalu. Realisasi ini lebih baik dibandingkan periode yang sama di tahun 2020 yang terkontraksi 3,01%. Rinciannya, realisasi PPh Non Migas sebesar Rp216,3 triliun atau terkontraksi 4,52% dan PPN dan PPnBM sebesar Rp137,5 triliun atau tumbuh 3,56% dibandingkan realisasi tahun 2020. Selanjutnya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Lainnya sebesar 3,9 triliun atau tumbuh 67,3% dan PPh Migas terealisasi Rp17,2 triliun atau tumbuh 14,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kontraksi PPh Non Migas yang cukup dalam tersebut disebabkan antara lain efek gabungan perlambatan ekonomi, insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50%, penurunan tarif PPh Badan menjadi 22% dan peningkatan restitusi pajak. Di sisi lain, capaian PPN dan PPnBM yang tumbuh positif menunjukkan sinyal positif pemulihan konsumsi masyarakat dan didukung faktor momentum bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Sementara itu, kinerja penerimaan pajak bulan April 2021 sangat baik terutama PPh Badan dan PPN Impor. Capaian ini ditopang kinerja PPh Badan yang melonjak akibat menurunnya kredit pajak karena memanfaatkan insentif fiskal pembebasan PPh 22 impor dan pengurangan angsuran PPh 25 tahun sebelumnya, serta tumbuhnya aktivitas impor. Di sisi lain, kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh meningkat cukup signifikan. Realisasi pelaporan SPT Tahunan per 30 April 2021 sebanyak 12.248.158 SPT atau lebih tinggi 12,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dengan rincian, SPT Tahunan WP Badan meningkat 26,8% dan WP Orang pribadi meningkat 11,8%. Dari data penerimaan pajak tersebut dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, secara umum konsumsi masyarakat masih tertekan dimana konsumsi rumah tangga masih lemah. Kedua, aktivitas ekonomi mulai bergerak yang terlihat dari mobilitas bulanan yang meningkat, Ketiga, target penerimaan pajak tahun 2021 cukup berat dan berpotensi terjadinya shortfall. Keempat, PPh Badan diperkirkan masih akan terkontraksi disebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 yang menjadi basis perhitungan profit badan usaha. Kelima, PPN dan PPnBM pada tren positif seiring pemulihan konsumsi masyarakat dan berputarnya kembali roda perekonomian walaupun berjalan lambat. Dalam Konpers APBN Kita tanggal 25 Mei 2021, Menteri Keuangan kembali menegaskan bahwa Pemerintah tetap berkomitmen melanjutkan pemberian insentif pajak bagi sektor terdampak di tahun 2021 terutama UMKM untuk mendorong aktivitas dunia usaha dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Faktor penanganan pandemi Covid-19 secara konsisten dan disiplin serta akselerasi pelaksanaan vaksinasi nasional masih menjadi kunci utama pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah terus berusaha melakukan upaya terbaik dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Namun, apabila perkiraan realisasi penerimaan negara tidak sesuai target, mengacu pada Pasal 28 UU Nomor 9 Tahun 2020 tentang APBN Tahun Anggaran 2021, Pemerintah dapat melakukan penggunaan dana Sisa Anggaran Lebih (SAL), penarikan pinjaman tunai, penambahan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pemanfaatan saldo kas Badan Layanan Umum (BLU) dan/atau penyesuaian belanja negara. Saat ini, kebijakan pajak yang berpotensi menambah beban masyarakat dan dunia usaha harus dipertimbangkan dengan lebih cermat termasuk analisis cost dan benefit-nya. Upaya keras otoritas pajak dalam mengoptimalkan penerimaan pajak patut diapresiasi. Namun mempertimbangkan kondisi saat ini, upaya intensifikasi sebaiknya lebih didahulukan daripada ekstensifikasi. Terakhir, penerapan kebijakan fiskal countercyclical, tanpa dukungan pendapatan negara yang optimal akan berdampak meningkatnya risiko utang. Defisit anggaran negara yang diproyeksikan sebesar 5,7% di dalam APBN tahun 2021, diharapkan tidak semakin lebar.