Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Priyskilia M

Nim : A031191003

Tugas Final Management pajak

PERKEMBANGAN wabah pandemi Covid-19 di Indonesia semakin meningkat.


Pemerintah telah menggelontorkan stimulus lebih dari Rp405 trilliun untuk
mengatasi wabah ini, sebagian berupa insentif perpajakan. Pemerintah telah
membuat kebijakan untuk meringankan beban perusahaan.Insentif itu antara lain
pembebasan PPh Pasal 21 untuk karyawan dan pembebasan PPh Pasal 22 impor
untuk sektor tertentu selama 6 bulan. Kemudian pengurangan besarnya angsuran
PPh Pasal 25 sebesar 30% untuk sektor tertentu, percepatan restitusi pajak, dan
penurunan tarif PPh badan.
Menghadapi ketidakpastian akan wabah pandemi Covid-19 ini, perusahaan perlu
membuat skema penanggulangan dampak risiko yang akan terjadi, baik dari segi
operasional, supply chain, marketing,distribusi, keuangan termasuk perpajakan.
Meski pemerintah telah memberikan keringanan bagi para pelaku usaha tersebut,
yang perlu diperhatikan adalah apakah perusahaan mampu mematuhi kebijakan
yang diberikan, sementara kondisi finansial perusahaan masih dalam ketidakpastian.
Misalnya, perolehan bahan baku impor yang mulai sulit didapat terutama yang
berasal dari China. Keterbatasan bahan baku impor akan membuat perusahaan
mengurangi produktivitas karena tidak ada pasokan dari negara tersebut. Kalaupun
dapat, jumlahnya pun berkurang.
Dampak yang dirasakan selama pandemi ini adalah produktivitas menurun. Pekerja
terutama buruh mulai banyak dirumahkan akibat pengusaha tidak mampu
membayar upah. Apakah stimulus pembebasan PPh Pasal 21 masih berlaku jika
kondisi perusahaan terus mengalami penurunan?
Kemudian yang harus diperhatikan adalah laba perusahaan yang ikut menurun akibat
menurunnya daya beli masyarakat, sehingga kebijakan penurunan tarif PPh Pasal 25
dari tarif 25% menjadi 22% diharap mampu mendorong pengusaha tetap membayar
pajak.
Yang menjadi perhatian saat ini apakah wajib pajak masih mampu membayar pajak
meski kebijakan perpajakan selama pandemi Covid-19 ini? Sebelum terjadinya wabah
ini, kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak di Indonesia tidak terlalu tinggi
hanya sekitar 43% (Fenochietto and Pessino, 2011).
Tujuan penerimaan pajak adalah mengisi pemasukan APBN sebagai instrumen
anggaran untuk menjalankan perokonomian negara. Pajak merupakan bagian dari
dimensi moral, etika dan sosial yang diperlukan negara untuk menyejahterakan
rakyat. Dengan demikian, perlu transparansi pajak.
Sebagai bentuk pengawasan, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan surat edaran
implementasi Compliance Risk Management (CRM), yaitu SE Dirjen Pajak No.
SE-24/PJ/2019 yang ditetapkan 11 September 2020 terkait dengan ekstensifikasi,
pengawasan, pemeriksaan dan penagihan.
Dari sisi pemerintah, manajemen risiko perpajakan adalah model evaluasi kepatuhan
wajib pajak. Dari sisi perusahaan, perlu diperhatikan kemampuan perusahaan
menghitung dengan tepat, memahami aturan, kepatuhan dan kejujuran dalam
melaksanakan kepatuhan itu.
Manajemen Risiko
IMPLEMENTASI manajemen risiko perpajakan bagi perusahaan sangat diperlukan
dalam kondisi seperti ini. Hal ini bertujuan tidak hanya untuk mempromosikan tata
kelola selama wabah, tetapi untuk mengatasi permasalahan saat menghadapi
pelaporan atau mengajukan keringanan pajak.
Bagi perusahaan, fungsi manajemen risiko dalam bisnis adalah menciptakan nilai
tambah. Hal ini dikarenakan perusahaan mampu mengidentifikasi dan mampu
mengatasi atas risiko yang terjadi di dalam perusahaan.
Namun, untuk manajemen risiko perpajakan ini diperlukan
untuk pertama, memberikan kemampuan perusahaan untuk secara proaktif
mengevaluasi perubahan kebijakan selama pandemi Covid-19 dan dampak secara
potensial atas bisnis yang dijalankan.
Kedua, meningkatkan tingkat kenyamanan kepada semua pemangku kepentingan
bahwa risiko dapat dijaga dan ditoleransi, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
perpajakan perusahaan. Dari sisi pemerintah hal ini sangat membantu peningkatan
kepatuhan wajib pajak.
Ketiga, memastikan strategi perpajakan selama pandemi Covid-19 dipahami dan
dapat dilaksanakan selama 6 bulan ke depan mulai April 2020 dan saling terintegrasi
antara DJP dan wajib pajak. Bagi perusahaan, manajemen risiko perpajakan ini dapat
dituangkan dalam laporan keuangan tahunan.
Keempat, perusaahaan mampu membuat suatu sistem untuk mengidentifikasi risiko
perpajakan yang mungkin terjadi selama pandemi Covid-19 ini, kemudian melakukan
penilaian atas risiko sehingga dengan cepat mengeluarkan kebijakan internal atas
beban pajak yang dikeluarkan.
Manajemen risiko perpajakan diperlukan untuk ketidakpastian seperti saat ini.
Pengertian manajemen risiko perpajakan adalah memitigasi risiko yang dapat terjadi
ketika tidak mamupu melapor atau membayar pajak kepada DJP yang berakibat pada
pemberian sanksi administrasi atau sengketa pajak.
Bagi internal perusahaan, hal ini harus menjadi perhatian karena dapat memberikan
kenyamanan bagi pemangku kepentingan. Konsep manajemen risiko perpajakan yang
dipahami, dilaksanakan dan diuji kepatuhannya dapat
mengurangi gapketidakpatuhan pajak kepada DJP.
Kebijakan fiskal countercyclical yang diterapkan pemerintah dalam masa pandemi ini
membutuhkan dukungan pendapatan negara yang optimal. Penerimaan pajak, di luar
penerimaan cukai, bea masuk dan bea keluar, masih menjadi tumpuan utama
pendapatan negara dengan kontribusi berkisar 41,3% dari total Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apakah kondisi pertumbuhan ekonomi
kuartal I 2021 masih terkontraksi 0,74% dan implementasi reformasi pajak, dapat
menjadi harapan optimalisasi penerimaan pajak di tengah resesi ekonomi saat ini?
Di dalam Nota Keuangan APBN 2021, disebutkan bahwa di tengah ketidakpastian
akibat pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan untuk
memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan
ekonomi nasional.
Di bidang pendapatan negara, Pemerintah menyusun reformasi pajak tahun 2021-
2024 dengan dua tujuan utama. Pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional melalui insentif yang tepat sasaran dan mengurangi beban usaha. Kedua,
optimalisasi penerimaan negara melalui menambah objek maupun subjek pajak
baru, meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan memperbaiki tata kelola serta
administrasi.
Dari data realisasi APBN tahun 2020, realisasi peneriman pajak tercatat sebesar
Rp1.072,1 triliun atau terkontraksi 19,6% dibandingkan realisasi tahun 2019. Realisasi
tersebut 89,4% dari target APBN dari Perpres 72 atau terdapat shortfall berkisar
Rp126,7 triliun. Faktor shortfall tersebut, memiliki andil terhadap membengkaknya
realisasi pembiayaan anggaran sebesar Rp945,8 triliun atau naiknya defisit anggaran
menjadi 6,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Faktor lainnya adalah penanganan
pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang membutuhkan biaya besar.
Apabila mencermati akun pajak terbesar, realisasi Pajak Penghasilan (PPh) tahun
2020 mencapai Rp594 triliun atau terkontraksi 23,1% dibandingkan realisasi tahun
2019. Dengan capaian hanya 88,6% dari target tahun 2020. Kondisi ini berasal dari
PPh Badan yang terkontraksi cukup dalam disebabkan beberapa faktor. Pertama,
melambatnya profitabilitas badan usaha tahun 2019 sebagai basis perhitungan pajak
2020. Kedua, insentif perpajakan berupa potongan angsuran sebesar 30% dan
menjadi 50%. Ketiga, penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22%.
Selanjutnya, realisasi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPN dan PPnBM) sebesar Rp450,3 triliun atau terkontraksi 15,3%. Hal ini terutama
berasal dari PPN Dalam Negeri dan PPN Impor yang terkontraksi cukup dalam
disebabkan menurunnya konsumsi dalam negeri di tengah kondisi pembatasan sosial
masyarakat dan kebijakan insentif restitusi dipercepat. Perlu dicatat, secara umum,
penurunan penerimaan pajak disebabkan pemanfaatan insentif perpajakan
berkontribusi sekitar 22,1% terhadap penurunan realisasi penerimaan pajak tahun
2020.
Sementara itu, di dalam APBN 2021, penerimaan pajak ditargetkan sebesar
Rp1.229,6 triliun atau lebih tinggi 14,7% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2020.
Dengan rincian, PPh ditargetkan Rp638 triliun atau lebih tinggi 15,1% dari realisasinya
tahun 2020 dan PPN dan PPnBM ditargetkan Rp518,5 triliun atau lebih tinggi 15,1%
dari realisasinya tahun 2020.
Dengan target sebesar itu, penerimaan pajak akan berkontribusi sebesar 44,7% dari
total APBN 2021. Target yang cukup memadai untuk menopang kebutuhan belanja
penanganan pandemi dan mendukung program pemulihan ekonomi nasional.
Namun, dengan basis pertumbuhan ekonomi tahun 2020 minus (-) 2,07 persen dan
kuartal I tahun 2021 masih terkontraksi 0,74%, target penerimaan pajak 2021
tersebut akan cukup berat.
Untuk menakar hal tersebut, sebagai indikasi awal, perlu melihat realisasi
penerimaan pajak sampai dengan 30 April 2021. Penerimaan pajak terealisasi
sebesar Rp374,9 triliun atau terkontraksi 0,46% dibandingkan tahun lalu. Realisasi ini
lebih baik dibandingkan periode yang sama di tahun 2020 yang terkontraksi 3,01%.
Rinciannya, realisasi PPh Non Migas sebesar Rp216,3 triliun atau terkontraksi 4,52%
dan PPN dan PPnBM sebesar Rp137,5 triliun atau tumbuh 3,56% dibandingkan
realisasi tahun 2020. Selanjutnya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Lainnya
sebesar 3,9 triliun atau tumbuh 67,3% dan PPh Migas terealisasi Rp17,2 triliun atau
tumbuh 14,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kontraksi PPh Non Migas yang cukup dalam tersebut disebabkan antara lain efek
gabungan perlambatan ekonomi, insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25
sebesar 50%, penurunan tarif PPh Badan menjadi 22% dan peningkatan restitusi
pajak. Di sisi lain, capaian PPN dan PPnBM yang tumbuh positif menunjukkan sinyal
positif pemulihan konsumsi masyarakat dan didukung faktor momentum bulan suci
Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
Sementara itu, kinerja penerimaan pajak bulan April 2021 sangat baik terutama PPh
Badan dan PPN Impor. Capaian ini ditopang kinerja PPh Badan yang melonjak akibat
menurunnya kredit pajak karena memanfaatkan insentif fiskal pembebasan PPh 22
impor dan pengurangan angsuran PPh 25 tahun sebelumnya, serta tumbuhnya
aktivitas impor.
Di sisi lain, kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh meningkat
cukup signifikan. Realisasi pelaporan SPT Tahunan per 30 April 2021 sebanyak
12.248.158 SPT atau lebih tinggi 12,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dengan rincian, SPT Tahunan WP Badan meningkat 26,8% dan WP Orang pribadi
meningkat 11,8%. Dari data penerimaan pajak tersebut dapat disimpulkan beberapa
hal. Pertama, secara umum konsumsi masyarakat masih tertekan dimana konsumsi
rumah tangga masih lemah. Kedua, aktivitas ekonomi mulai bergerak yang terlihat
dari mobilitas bulanan yang meningkat, Ketiga, target penerimaan pajak tahun 2021
cukup berat dan berpotensi terjadinya shortfall.
Keempat, PPh Badan diperkirkan masih akan terkontraksi disebabkan kontraksi
pertumbuhan ekonomi tahun 2020 yang menjadi basis perhitungan profit badan
usaha. Kelima, PPN dan PPnBM pada tren positif seiring pemulihan konsumsi
masyarakat dan berputarnya kembali roda perekonomian walaupun berjalan lambat.
Dalam Konpers APBN Kita tanggal 25 Mei 2021, Menteri Keuangan kembali
menegaskan bahwa Pemerintah tetap berkomitmen melanjutkan pemberian insentif
pajak bagi sektor terdampak di tahun 2021 terutama UMKM untuk mendorong
aktivitas dunia usaha dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Faktor
penanganan pandemi Covid-19 secara konsisten dan disiplin serta akselerasi
pelaksanaan vaksinasi nasional masih menjadi kunci utama pemulihan ekonomi
nasional.  
Pemerintah terus berusaha melakukan upaya terbaik dalam mengoptimalkan
penerimaan negara. Namun, apabila perkiraan realisasi penerimaan negara tidak
sesuai target, mengacu pada Pasal 28 UU Nomor 9 Tahun 2020 tentang APBN Tahun
Anggaran 2021, Pemerintah dapat melakukan penggunaan dana Sisa Anggaran Lebih
(SAL), penarikan pinjaman tunai, penambahan penerbitan Surat Berharga Negara
(SBN), pemanfaatan saldo kas Badan Layanan Umum (BLU) dan/atau penyesuaian
belanja negara.
Saat ini, kebijakan pajak yang berpotensi menambah beban masyarakat dan dunia
usaha harus dipertimbangkan dengan lebih cermat termasuk
analisis cost dan benefit-nya. Upaya keras otoritas pajak dalam mengoptimalkan
penerimaan pajak patut diapresiasi. Namun mempertimbangkan kondisi saat ini,
upaya intensifikasi sebaiknya lebih didahulukan daripada ekstensifikasi.
Terakhir, penerapan kebijakan fiskal countercyclical, tanpa dukungan pendapatan
negara yang optimal akan berdampak meningkatnya risiko utang. Defisit anggaran
negara yang diproyeksikan sebesar 5,7% di dalam APBN tahun 2021, diharapkan
tidak semakin lebar.

Anda mungkin juga menyukai