Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Kemih


2.1.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada
saluran kemih (mencakup organ-organ saluran kemih, yaitu ginjal,
ureter, kandung kemih, dan uretra). ISK adalah istilah umum yang
menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Walaupun
terdiri dari berbagai cairan, garam, dan produk buangan, biasanya urin
tidak mengandung bakteri. Jika bakteri menuju kandung kemih atau
ginjal dan berkembang biak dalam urin, terjadilah ISK (Wilianti, N.P,
2009).

Jenis ISK yang paling umum adalah infeksi kandung kemih yang sering
juga disebut sebagai sistitis. Bakteriuria bermakna adanya bakteri
dalam urin, yang berasal dari saluran kemih, dan tidak berasal dari
vagina ataupun prepusium. Bakteriuria bermakna menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme lebih dari 10 colony forming units
(cfu/ml) pada biakan urin. Bakteriuria dapat dijumpai tanpa piuria, dan
dapat memberikan gejala ataupun tidak. Untuk mendeteksi kepastian
adanya bakteri pada urin maka dilakukan screening bakteriuria.
Screening bakteriuria ini merupakan diagnosa yang dapat digunakan
untuk menegakkan kasus ISK, yaitu ISK dikatakan positif apabila
didapatkan bakteri sejumlah >10 bakteri/ml urin (Wilianti, N.P, 2009).

2.1.2 Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum
berdasarkan:
6

5
2.1.2.1 Infeksi Saluran Kemih Bawah
Presentasi klinis saluran kemih bawah tergantung dari gender: a.
Perempuan
1) Sistisis
Sistisis adalah presentasi klinik infeksi kandung kemih
disertai bakteriuria.
2) Sindrom Uretra Akut (SUA)
Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistisis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan
sistisis bakterialis.
b. Laki-laki
Presentasi klinis infeksi saluran kemih pada laki-laki
mungkin sistitis, prostatitis, epidimidis dan uretritis.
2.1.2.2 Infeksi Saluran Kemih Atas
Infeksi saluran kemih atas terbagi menjadi 2, yaitu: a.
Pielonefritis Akut (PNA)
Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal
yang disebabkan infeksi bakteri.
b. Pielonefritis Kronis (PNK)
Pielonefritis kronis mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi
saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa
bakteriuria kronik sering diikuti refluks pembetukan jaringan
ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang
spesifik (Sukandar, 2006).
7

2.2 Etiologi dan Pemeriksaan Laboratorium Infeksi Saluran Kemih

Gambar 2.1 Etiologi ISK (Infeksi Saluran Kemih)

Saat ini sudah banyak terjadi resistensi bakteri penyebab ISK terhadap
antibakteri sehingga dapat menyebabkan angka kesakitan tertinggi (Rita,
2010). Infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme yang ada, yang paling banyak adalah bakteri. Penyebab lain
terjadinya ISK adalah jamur, virus, klamidia, parasit dan mikrobakterium
meskipun jarang ditemukan. Dilihat dari hasil pemeriksaan biakkan air kemih
ISK paling banyak disebabkan oleh bakteri gram negatif aerob yang biasanya
ditemukan di dalam saluran pencernaan (Enterobactericeae) dan jarang
ditemukan atau disebabkan oleh bakteri anaerob (Samirah et al, 2006)

Tabel 2.1 Jenis-jenis Mikroorganisme Penyebab ISK (Tessy dkk., 2001)


Persentase biakan (
Mikroorganisme
= 105 cfu/ml )
Escherichia coli 50-90
Klebsiella atau Enterobacter 10-40
Proteus morganella atau providencia 5-10
Pseudomonas aeruginosa 2-10
Staphylococcus epidermidis 2-10
Enterococci 2-10
Candida albicans 1-2
Staphylococcus aureus 1-2

Penyebab terbanyak adalah Gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya


menghuni usus yang kemudian naik ke sistem saluran kemih. Dari
Gramnegatif ternyata E.coli menduduki tempat teratas, yang kemudian diikuti
oleh:
8

Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dan Pseudomonas (Tessy dkk., 2001).

Pemeriksaan laboratorium juga sangat penting untuk menegakkan diagnosa


terjangkitnya penyakit infeksi saluran kemih. Dua parameter yang penting
dalam penyakit ISK antara lain adalah leukosit dan bakteri dan bakteri dalam
urin. Jumlah leukosit dianggap bermakna apabila >5/Lapang Pandang Besar
(LPB). Apabila terdapat leukosit yang bermakna di dalam proses pemeriksaan
maka perlu dilanjutkan dengan pemerisaan kultur. Selain itu diagnosa ISK
dapat ditegakkan dengan adanya peningkatan leukosit dalam pemeriksaan
urinalis tersebut dilakukan apabila dicurigai kemungkinan terjangkit penyakit
ISK (Syafruddin et al, 2012).

2.3 Patofisiologi dan Komplikasi Infeksi Saluran Kemih

Gambar 2.2 Patofisiologi ISK (Infeksi Saluran Kemih)

Sejauh ini dapat diketahui bahwa saluran kemih atau urin bebas dari
mikroorganisme atau bisa dikatakan steril. Infeksi saluran kemih dapat terjadi
pada saat mikroorganisme masuk kedalam saluran kemih dan berkembang
biak di dalam media urin. Mikroorganisme tersebut dapat memasuki saluran
kemih melalui 3 cara, diantaranya adalah ascending, hematogen seperti pada
penularan M.tuberculosis atau S.aureus, limfogen dan langsung dari organ
9

sekitarnya yang sebelumnya telah mengalami infeksi. Sebagian besar


mikroorgnisme memasuki saluran kemih dengan cara ascending. Kuman
penyebab ISK tersebut pada umumnya adalah kuman yang berasal dari flora
normal usus yang hidup secara komensal di dalam introitus vagina,
prepusium penis, kulit perincum dan berada disekitar anus. Mikroorganisme
tersebut dapat masuk menuju saluran kemih melalui uretra prostat vas
deferens testis (pada pria) buli-buli ureter dan sampai pada ginjal. Terjadinya
saluran kemih tersebut karena adanya gangguan keseimbangan yang terjadi
antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agen dan epitel
saluran kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan tersebut dapat
diakibatkan atau disebabkan oleh karena pertahanan tubuh dari host yang
menurun atau karena virulensi agent yang meningkat (Purnomo, 2009).

Sebagian besar pasien ISK mengalami penyakit ISK dengan komplikasi. ISK
dengan adanya komplikasi adalah suatu keadaan infeksi yang diperburuk
dengan adanya penambahan penyakit yang lainnya. Penyakit penyerta
tersebut dapat berupa lesi dalam saluran kemih, obtruksi dalam saluran
kemih, pembentukan batu, pemasangan kateter, kerusakan dan gangguan
neurologi serta menurunnya sistem imun yang dapat mengganggu aliran yang
normal dan perlindungan saluran urin. Hal tersebut dapat mengakibatkan ISK
dengan komplikasi membutuhkan terapi kombinasi dengan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan ISK tanpa komplikasi. Penyakit penyerta yang
merupakan salah satu faktor resiko ISK adalah Diabetes Mellitus (DM) dan
Batu Saluran Kemih (BSK). Diabetes mellitus dapat mengakibatkan kenaikan
gula dalam darah dan penurunan sistem imun pada pasien sehingga
memudahkan infeksi oleh bakteri pada saluran kemih dan dapat memperlama
proses penyembuhan pasien. Sedangkan untuk BSK, BSK dapat
mengakibatkan lesi pada saluran kemih yang dapat mempermudah bakteri
untuk menginfeksi saluran kemih yang dapat mempermudah bakteri untuk
menginfeksi saluran kemih (Aldy, 2013).
10

2.4 Diagnosa
Diagnosis pada infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut: (Tessy dkk., 2001)
2.4.1 Urinalisis
2.4.1.1 Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting
terhadap dugaan adanya ISK. Leukosuria dinyatakan positif
bilamana terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar
(LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada
sedimen air kemih menunjukkan adanya keterlibatan ginjal,
namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK
karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi.
2.4.1.2 Hematuria
Hematuria dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk
adanya ISK yaitu bilamana dijumpai 5-10 eritrosit/LPB
sedimen air kemih. Hematuria dapat pula disebabkan oleh
berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus
ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau
nekrosis papilaris.

2.4.2 Bakteriologis
2.4.2.1 Mikroskopis yaitu pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan
air kemih segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan gram.
Bakteri dinyatakan positif bermakna bilamana dijumpai satu
bakteri lapangan pandang minyak emersi.
2.4.2.2 Biakan Bakteri yaitu pemeriksaan biakan bakteri contoh air kemih
dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu
bila ditemukan bakteri dalam jumlah bermakna = 105
organisme pathogen/mL urin pada 2 contoh urin berurutan.

2.4.3 Tes Kimiawi


Tes kimia dapat dipakai untuk penyaring adanya bakteriuria,
diantaranya yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate.
11

Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali enterococci,


mereduksi nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000-1.000.000 bakteri.
Konversi ini dapat dilihat dengan perubahan warna pada uji carik. Tes
terutama dipakai untuk penyaringan atau pengamatan pada pasien rawat
jalan. Sensivitas pemeriksaan ini 90,7 % dan spesifisitas 99,1 % untuk
mendeteksi bakteri gram-negatif. Hasil negatif palsu dapat terjadi, bila
pasien sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis yang banyak, infeksi oleh
enterococci dan asinetobakter.

2.4.4 Tes Plat-Celup (Dip-slide)


Pabrik mengeluarkan biakan buatan yang berupa lempeng plastik
bertangkai di mana pada kedua sisi permukaannya dilapisi perbenihan
padat khusus. Lempeng tersebut dicelupkan ke dalam air kemih pasien
atau dengan digenangi air kemih setelah itu lempeng dimasukkan
kembali ke dalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu
dilakukan pengeraman semalam pada suhu 37°C. Penentuan jumlah
kuman/mL dilakukan dengan membandingkan pola pertumbuhan pada
lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang memperlihatkan
keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara
1000 dan 10.000.000 dalam tiap mL air kemih yang diperiksa. Cara ini
mudah dilakukan, murah dan cukup akurat. Kekurangannya adalah
jenis kuman dan kepekaannya tidak dapat diketahui walaupun demikian
plat celup ini dapat dikirim ke laboratorium yang mempunyai fasilitas
pembiakan dan tes kepekaan yang diperlukan.

2.4.5 Pemeriksaan Radiologis dan Pemeriksaan Penunjang Lainnya


Pemeriksaan radiologis pada ISK dimaksudkan untuk mengetahui
adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi
ISK. Pemeriksaan ini dapat berupa pielografi intravena, demikian pula
dengan pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi dan CT-scan.
12

2.5 Antibiotik
Antimikroba atau antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh suatu
mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau membasmi mikroba
lain (jasad renik atau bakteri), khususnya mikroba yang merugikan manusia
(penyebab infeksi pada manusia). Antibiotika adalah segolongan senyawa,
baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau
menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam
proses infeksi oleh bakteri (Wilianti, N.P, 2009).

Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit


infeksi. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus
satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotik
tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya,
dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai
jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram
positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga
bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi
tersebut. Antibiotika oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan
antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius.
Antibiotika kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan
salep (Wilianti, N.P, 2009).
2.5.1 Prinsip penggunaan antibiotik didasarkan pada dua pertimbangan
khusus, yaitu (Anonim, 2008):

2.5.1.1 Penyebab Infeksi


Pemberian antibiotik yang paling ideal adalah berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun
dalam praktek sehari-hari, tidak mungkin untuk melakukan
pemeriksaan mikrobiologis untuk setiap pasien yang dicurigai
menderita suatu infeksi. Di samping itu, untuk infeksi berat
yang memerlukan penanganan segera, pemberian antibiotik
dapat segera dimulai setelah pengambilan sampel bahan
13

biologik untuk biakan dan pemeriksaan kepekaan kuman.


Pemberian antibiotik tanpa pemeriksaan mikrobiologis dapat
didasarkan pada educated guess.
2.5.1.2 Faktor Pasien
Di antara faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam
pemberian antibiotik antara lain fungsi ginjal, fungsi hati,
riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis),
daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, etnis, usia,
penggunaan pengobatan untuk konkomitan, untuk wanita
apakah sedang hamil atau menyusui, atau sedang mengkonsumsi
kontrasepsi oral.

2.5.2 Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan mekanisme kerja senyawa


tersebut. Ada lima kelompok antibiotika berdasarkan mekanisme
kerjanya yaitu: (Wilianti, N.P, 2009)
2.5.2.1 Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri,
mencakup golongan Penisilin, Sefalosporin, Basitrasin,
Vankomisin, Sikloserin.
2.5.2.2 Antibiotik yang menghambat/mengganggu fungsi selaput atau
membran sel bakteri, mencakup Polimiksin.
2.5.2.3 Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel bakteri,
mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan
Makrolid, Aminoglikosid, Tetrasiklin,
Kloramfenikol, Linkomisin.
2.5.2.4 Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri,
mencakup golongan Quinolone, Rifampisin.
2.5.2.5 Antibiotik yang menghambat metabolisme sel bakteri,
mencakup golongan Sulfonamide, Trimetoprim, Asam p-Amino
Salisilat (PAS), Sulfon.

Kuman dapat menjadi resisten/kebal terhadap antibiotik melalui


mekanismemekanisme tertentu. Sementara itu terdapat faktor-faktor yang
memudahkan berkembangnya resistensi di klinik antara lain karena
14

penggunaan antibiotik yang sering, penggunaan antibiotik yang irasional,


penggunaan antibiotik baru yang berlebihan, penggunaan antibiotik untuk
jangka waktu lama, penggunaan antibiotik untuk ternak, dan beberapa faktor
lain seperti kemudahan transportasi modern, perilaku seksual, sanitasi buruk,
dan kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat (Wilianti, N.P, 2009).

2.5.3 Penggunaan Antibiotik Secara Bijak


Menurut Endang Rahayu Sedyaningsih Menteri Kesehatan, terdapat
beberapa prinsip dari penggunaan antibiotik secara bijak, diantaranya
adalah:
2.5.3.1 Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan
spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang
adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat.
2.5.3.2 Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai
dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan
penggunaan antibiotik lini pertama.
2.5.3.3 Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan
menerapkan pedoman penggunaan anibiotik, penerapan
penggunaan secara terbatas (restricted), dan penerapan
kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved
antibiotics).
2.5.3.4 Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan
menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi,
serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang
dapat sembuh sendiri (self-limited).
2.5.3.5 Pemelihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola
kepekaan kuman terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman
penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik fan farmakodinamik antibiotik.
15

d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil


mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan
obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost
effective dan aman.
2.5.3.6 Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan
beberapa langkah sebagai berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap
penggunaan antibiotik secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang,
dengan penguatan pada laboratorium hemtologi, imunologi,
dan mikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan
dengan penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di
bidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara
tim (team work).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan
antibiotik secara bijak yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan
berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik
secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat (Kemenkes RI
2011).

2.6 Panduan Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih


Berdasarkan panduan penatalaksanaan infeksi pada pada Traktus Genitalis
dan Urinarius ISK tanpa komplikasi pada dewasa pengobatan antibiotika
secara empiris yang direkomendasikan selama 3 hari. Pengobatan yang
diberikan lebih dari 3 hari tidak memberikan efektivitas yang sama dan justru
meningkatkan angka komplikasi. Sedangkan ISK dengan adanya komplikasi
penatalaksanaan tergantung dari keparahan gejala klinis. Dua tata laksana
16

yang wajib dilakukan adalah antibiotika yang tepat serta penanganan kelainan
saluran kemih. Pemberian antibiotika selama 7-14 hari umumnya
direkomendasikan tetapi seharusnya berhubungan dengan tindakan koreksi
kelainan yang mendasarinya. Kadang-kadang dapat diperpanjang sampai 21
hari (Rasjidi, 2011).

Tabel 2.2 Antibiotik untuk Terapi ISK (Sanchez et al, 2014)


Jenis Obat Dosis dan Interval Rute
Trimethoprim/sulfametoxazole 1 tablet (160mg/800mg) Oral
Piperacillin-tazobactam 3,375 g IV
Cefazolin 2g IV
Ceftriaxone 2g IV
Ertepenem 1g IV
Imipenem-cilastatin 500 mg IV
Meropenem 1g IV
Ciprofloxacin 500 mg BID Oral
Levofloxacin 750 mg Oral/IV

VIHA ALGORITHM for URINARY TRACT INFECTION In


ADULT PATIENTS (Rev. March 2011)
Complicating Factors for Notes:
UTI & Pyelonephritis 1. MACROBID formulation These agents do not provide Enterococcal
Treatment
1. Women > 55 yrs
coverage
2. Men
3. Symptoms lasting > 7
2. Gentamicin should be stepped down to an alternative oral agent as
4. days Diabetes Mellitus soon as possible due to the risk of vestibular, oto, & nephro toxicity
5. Structural abnormality of
urinary tract (e.g. associated with prolonged treatment
urethral stricture, renal
calculi,
Antimicrobial use within last 90 days should be considered when
selecting antimicrobial regimen for all patients.
6. tumor, abscess) Spinal
cord injury
7. Multiple sclerosis
8. Pregnancy
9. Chronic catheterization
10. Recurrent UTI

V to PO step-down criteria (all


17

4.Signs and Symptoms of Presence of Additional Signs & Symptoms?


Suspected UTI 1.2.3.Nitrite 1. Fever (Temperature ≥38.5 ºC)
Positive (for gram negative) 2. Flank pain
Dysuria in combination with 3. Abdominal or pelvic pain
frequency, urgency, suprapubic 4. Nausea/vomiting
pain, and/or hematuria Usually in 5. Costovertebral tenderness
symptoms 6. Presence of white cell casts on urinalysis
the absence of vaginal
Pyuria on routine urinalysis
following must be met)
1.2.3.4.
Temp< 38 ºC X 24 hours WBC <
11 or decreasing trend Clinical
improvement while on IV Cystitis
treatment Absence of GI
abnormalities that may reduce
absorption

Uncomplicated Complicated

Oral Options Oral Options


- nitrofurantoin 100 - amoxicillin-clavulanate 500/125mg TID mg BID X
5 days - TMP/SMX 1 DS tab BID (Pregnancy:
(Pregnancy: avoid avoid in1sttrimester and last 6 weeks)
Ensure urine has near term, greater than
been collected for 35 weeks)
- TMP/SMX 1 DS tab
C & S. BID X 3 days (Pregnancy: avoid in1st trimester and last Tailor
*Catheterized therapy once C & S results
patients– replace 6 weeks) obtainedand treat for a total of 7 days
- cefixime 400 mg
catheter and
daily X 3 days For structural abnormality of urinary tract or for
collect specimen catheterized patients, treat for 10-14 days
through a clean

catheter
2.7 Rasionalitas Penggunaan Antibiotik
Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat-obatan yang
telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik. Suatu
pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu
(Wilianti, N.P, 2009).

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:


2.7.1 Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan
obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut.
Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi
yang seharusnya.
Anamnesis Terapi Diagnosis
1. Diare Amoebiasis
18

2. Disertai darah dan Metronidazol


lendir
Contoh I

Contoh II
Anamnesis Terapi Diagnosis
1. Diare Bukan Amoebiasis
2. Disertai darah dan Bukan Metronidazol
Lender
Pada contoh II, Bila pemeriksa tidak jeli untuk menanyakan adanya
darah dalam feses, maka bisa saja diagnosis yang dibuat menjadi
kolera. Untuk yang terakhir ini obat yang diperlukan adalah tetrasiklin.
Akibatnya penderita amoebiasis di atas terpaksa mendapat tetrasiklin
yang sama sekali bukan antibiotik pilihan untuk amoebiasis.

2.7.2 Tepat Indikasi Penyakit


Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifi k. Antibiotik,
misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian,
pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang member gejala
adanya infeksi bakteri.

2.7.3 Tepat Pemilihan Obat


Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus
yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
Contoh:
Gejala demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan inflamasi.
Untuk sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan,
karena disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman
dibandingkan dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinfl amasi
non steroid (misalnya ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang
terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi.
19

2.7.4 Tepat Dosis


Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko
timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan
menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

2.7.5 Tepat Cara Pemberian


Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk
ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan
efektivtasnya.

2.7.6 Tepat Interval Waktu Pemberian


Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi
pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah
tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari
harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval
setiap 8 jam.

2.7.7 Tepat lama pemberian


Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing.
Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6
bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14
hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang
seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

2.7.8 Waspada terhadap efek samping


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi,
karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi
efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
20

Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12


tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang
tumbuh.

2.7.9 Tepat penilaian kondisi pasien


Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida.
Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada
kelompok ini meningkat secara bermakna. Beberapa kondisi berikut
harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat.
2.7.9.1 β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada
penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini
memberi efek bronkhospasme.
2.7.9.2 Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari
pada penderita asma, karena obat golongan ini terbukti dapat
mencetuskan serangan asma.
2.7.9.3 Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid,
aminoglikosida dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya
ekstra hati-hati, karena waktu paruh obatobat tersebut
memanjang secara bermakna, sehingga resiko efek toksiknya
juga meningkat pada pemberian secara berulang.
2.7.9.4 Peresepan kuinolon (misalnya siprofl oksasin dan ofloksasin),
tetrasiklin, doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama
sekali harus dihindari, karena memberi efek buruk pada janin
yang dikandung.
2.7.10 Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin,
serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Untuk efektif
dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat
esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan
dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh
para pakar di bidang pengobatan dan klinis.
21

Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang


menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli
melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah
menerapkan CPOB.

2.7.11 Tepat Informasi


Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi sebagai contoh:
2.7.11.1 Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita
berwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita
kemungkinan besar akan menghentikan minum obat karena
menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah.
Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan
rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.
2.7.11.2 Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat
tersebut harus diminum sampai habis selama satu kurun
waktu pengobatan (1 course of treatment), meskipun
gejalagejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali.
Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari
berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting,
agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal
yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.

2.7.12 Tepat tindak lanjut (follow-up)


Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah
dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika
pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. Sebagai contoh,
terapi dengan teofilin sering memberikan gejala takikardi. Jika hal ini
terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya
diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafi laksis,
pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika
22

pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum


seperti yang diharapkan.

2.7.13 Tepat penyerahan obat (dispensing)


Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah
obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke
apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten
apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep
untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan
penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan
obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas
harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
2.7.14 Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,
ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
2.7.14.1 Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
2.7.14.2 Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
2.7.14.3 Jenis sediaan obat terlalu beragam
2.7.14.4 Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
2.7.14.5 Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang
cukup mengenai cara minum/menggunakan obat
2.7.14.6 Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri
lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena
minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih
dahulu (Kepmenkes, R.I, 2011)

2.8 Efektivitas Terapi Infeksi Saluran Kemih


Untuk menilai efektivitas terapi antibiotik dapat dilihat/dikaji dari berbagai
parameter-parameter klinis berikut:
2.8.1 Derajat demam
Demam merupakan parameter penting untuk menilai respon terapi
antibiotik. Karena demam merupakan salah satu gejala adanya infeksi.

2.8.2 Disuria
23

Disuria adalah berkemih yang nyeri atau sukar (Dorland, 2002)

2.8.3 Leukosit urin


Leukosit urin merupakan salah satu tanda adanya infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Jumlah leukosit urin dalam keadaan normal adalah 2-
3/LPB. Adanya peningkatan jumlah leukosit urin lebih normal
(leukosituri) dapat memberi petunjuk adanya infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih atas atau bawah. Leukosituri dikatakan bermakna bila
ditemukan leukosit >10/LPB pada sedimen urin (Annisa, 2012).

2.8.4 Bakteriuria
ISK adalah keadaan yang ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam
kultur atau biakan urin dengan jumlah >105/ml (Sukandar, 2006).

2.9 Resistensi Antibiotik


Resistensi terjadi katika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang
menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau
bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi.
Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan
lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar
hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari,
2008).

Penyebab utama resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang meluas dan


irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima
antibiotik sebagai pengobatan ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi
antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar
indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa faktor
yang mendukung terjadinya resisten, antara lain:
2.9.1 Penggunaan yang kurang tepat (irrasional): terlalu singkat, dalam dosis
yang terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang
tidak adekuat.
24

2.9.2 Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan


yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik
dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya
flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien
dengan kemampuan financial yang baik akan meminta diberikan
terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak
diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotik sendiri tanpa peresepan
dari dokter (self medication), sedangkan pasien dengan kemampuan
financial yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan
regimen terapi.

2.9.3 Peresepan: dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care


expenditure dan seleksi resistensi terhadap oat-obatan baru. Peresepan
meningkat ketika diagnosa awal belum awal belum pasti. Klinis sering
kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya
pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.

2.9.4 Penggunaan monoterapi: dibandingkan dengan penggunaan terapi


kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan
resistensi.

2.9.5 Perilaku hidup sehat: terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci
tangan setelah mmeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan
dipakai untuk memeriksa pasien.

2.9.6 Penggunaan di rumah sakit: adanya infeksi endemik atau epidemik


memicu penggunaan antibiotik yang lebih masif pada bangsal-bangsal
rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi antara
pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan
adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan
terjadinya infeksi nosokomial.
25

2.9.7 Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak: antibiotik juga


dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan
ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen
rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak.
Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan
terjadinya resistensi.

2.9.8 Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi


serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya
pertukaran barang sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin
luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotik.

2.9.9 Penelitian: kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk


menemukan antibiotik baru (Bisht et al, 2009).

2.9.10 Pengawasan: Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah


dalam distribusi dan pemakaian antibiotik. Misalnya, pasien dapat
dengan mudah mendapatkan antibiotik meskipun tanpa peresepan dari
dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik
untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran
infeksi (Kemenkes R.I, 2011).

Resistensi antibiotik terhadap mikroba menimbulkan beberapa konsekuensi


yang fatal. Penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri yang gagal berespon
terhadap pengobatan mengakibatkan perpanjangan penyakit (prolonged
illness), meningkatkan resiko kematian (greater risk of death) dan semakin
lamanya masa rawat inap di rumah sakit (lenght of stay). Ketika respon
terhadap pengobatan menjadi lambat bahkan gagal, pasien menjadi infeksius
untuk beberapa waktu yang lama (carrier). Hal ini memberikan peluang yang
lebih besar bagi jalur resisten untuk menyebar kepada orang lain. Kemudahan
transportasi dan globalisasi sangat memudahkan penyebaran bakteri resisten
antar daerah, negara, bahkan lintas benua. Semua hal tersebut pada akhirnya
26

meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi dalam komunitas (Deshpande et


al, 2011).

Ketika infeksi menjadi resisten terhadap pengobatan antibiotik lini pertama,


maka harus digunakan antibiotik lini kedua atau ketiga, yang mana harganya
lebih mahal dan kadangkala pemakaiannya lebih toksik. Di negara-negara
miskin, dimana antibiotik lini pertama maupun kedua tidak tersedia,
menjadikan potensi resistensi terhadap antibiotik lini pertama lebih besar.
Antibiotik di negara miskin, didapatkan dalam jumlah sangat terbatas, bahkan
antibiotik yang seharusnya ada untuk mengatasi penyakit infeksi yang
disebabkan bakteri patogen resisten, tidak terdaftar dalam daftar obat esensial
(Bisht et al, 2009).

2.10 Kerangka Konsep

Pasien dengan diagnosis Infeksi


Saluran Kemih

Usia Anak -
Usia Dewasa
Anak

Pemberian terapi
antibiotik

Tepat Indikasi
Rasionalitas
penggunaan antibiotik Tepat Cara Pemakaian
Tepat Dosis Obat

Anda mungkin juga menyukai