1. Menganalisis teori pembuktian dan negara yang menganutnya
Jawab: Dapat kita ketahui bahwasanya Pembuktian sangat berperan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Sehingga dalam mempelajari konsep pembuktian yang dimana membuktikan adalah proses meyakinkan hakim dengan kebenaran dalil atau dalil yang dikemukkan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa sesungguhnya pembuktian pada dasarnya diperlukan pada persengketaan dan perkara di muka persidangan atau di Pengadilan. Jadi perselisihan yang menyangkut hak milik, utang-piutang atau warisan atau peselisihan tentang hak-hak perdata adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim dipengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini hakim atau pengadilan perdata. Dan merujuk pada sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa terdapat beberapa teori yang digunakan untuk membuktikan suatuperbuatan yang didakwakan. Teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempatnya (negara). Berikut 4 teori pembuktian dan menurut negara yang menganutnya 1)Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie). Teori ini didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya bahwa jika suatu perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang- undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini juga sering disebut teori pembuktian formal (formale bewijstheorie). Teori ini menitikberatkan pada adanya bukti yang sah menurut undang-undang. Meskipun hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, namun apabila ada bukti yang sah menurut undang-undang, maka ia dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Jadi jika alat-alat bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya bagaimana bisa hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan-keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. Namun disatu sisi dalam teori pembuktian ini, hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar- benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang- undang. Seperti yang kita ketahui dalam teori pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu teori pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini dianut dalam sistem peradilam jepang (Jepang Sumary Court). 2)Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu. Prinsip pembuktian ini didasarkan dari penilaian hakim atas dasar keyakinan menurut perasaannya semata-mata, dan tidak menyandarkan kepada pembuktian menurut undang-undang tetapi memberikan kebebasan yang mutlak kepada hakim. Keyakinan hakim dalam aliran ini sangat subyektif (perseorangan) dalam menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dan menurut Prof.Wirjono Prodjodikoro didalam pembuktian ini terkandung di dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan belaka dari hakim. Pengawasan terhadap putusan- putusan hakim seperti ini sukar untuk dilakukan, sebab badan pengawas tidak dapat mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim yang mengalirkan pendapat hakim ke arah putusan. Teori pembuktian ini dianut dalam sistem peradilan China (Republik Rakyat China). 3)Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Conviction Rais onnee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada aturan-aturan pembuktian tertentu. Teori pembuktian ini disebut juga dengan pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya. Dan teori ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Teori pembuktian ini dianut dalam sistem peradilan Thailand. 4)Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk). Di dalam teori pembuktian yang negatif menurut undang-undang ini ada 2 hal yang merupakan syarat utama, yaitu : a. Wettelijke, disebabkan karena alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang, dan b. Negatif, disebabkan dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja belum cukup untuk hakim menganggap kesalahan terdakwa telah terbukti, akan tetapi harus dibutuhkan adanya keyakinan hakim. Menurut sistem negatif wettelijke menghendaki hubungan causal yaiyu sebab-akibat antara alat-alat bukti dengan keyakinan. Alat bukti dalam sistem pembuktian negatief wettelijke ini ditentukan secara limitatif dalam undang-undang serta bagaimana cara menggunakannya serta harus diikuti pula dengan adanya keyakinan, bahwa peristiwa pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah. Teori pembuktian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan teori pembuktian yang bebas. Persamaan daripada teori ini adalah bahwa untuk menghukum terdakwa harus ada unsur keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah dan menyebutkan alasan dasarnya. Kemudian terkait dengan perbedaan, perbedaannya bertitik tolak dari teori pembuktian negatief wettelijke yang menghendaki keyakinan hakim dengan alasan yang didasarkan pada alat bukti menurut undang-undang, kemudian dalam teori pembuktian yang bebas, keyakinan hakim didasarkan kepada kesimpulan (conclusie) yang logis tidak berdasarkan undang-undang. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif dianut dalam sistem peradilan Indonesia. 2. Menganalisis sistem pembuktian yang dianut KUHP Jawab: Sistem Setelah kita mengetahui teori pembuktian yang terdiri dari 4 macam, maka pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) adalah sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk), dimana dapat kita pahami bahwa sistem undang-undang secara negatif yaitu sistem yang mana harus ada ketentuan undang-undang dan keyakinan hakim. Suatu ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Sistem atau teori pembuktian tersebut telah dicantumkan dalam Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan”. Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut maka nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat-alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Dan oleh karena itu, dalam rumusan pasal tersebut tampaklah bahwa sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative (Negatief Wettelijk) menjiwai rumusan pasal tersebut. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan. Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, dan jangan sampai hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. Jadi untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa tentu harus sudah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sehingga minimum pembuktian yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dapat dijatuhkan pidana harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.