Anda di halaman 1dari 3

Tugas Hukum Perdata dan Pidana

Nama : Baiq Nispi Hidayatunnisa


Nim : E1B019029
Kelas : PPKn/6A

1. Menganalisis teori pembuktian dan negara yang menganutnya


Jawab:
Dapat kita ketahui bahwasanya Pembuktian sangat berperan penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Sehingga dalam mempelajari konsep pembuktian yang
dimana membuktikan adalah proses meyakinkan hakim dengan kebenaran dalil atau
dalil yang dikemukkan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian dapat kita pahami
bahwa sesungguhnya pembuktian pada dasarnya diperlukan pada persengketaan dan
perkara di muka persidangan atau di Pengadilan. Jadi perselisihan yang menyangkut
hak milik, utang-piutang atau warisan atau peselisihan tentang hak-hak perdata adalah
semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim dipengadilan untuk
memutuskannya, dalam hal ini hakim atau pengadilan perdata. Dan merujuk pada
sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa terdapat beberapa
teori yang digunakan untuk membuktikan suatuperbuatan yang didakwakan. Teori
pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempatnya (negara). Berikut 4 teori
pembuktian dan menurut negara yang menganutnya 1)Teori pembuktian
berdasarkan undang-undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie).
Teori ini didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya bahwa jika suatu
perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-
undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini juga sering
disebut teori pembuktian formal (formale bewijstheorie). Teori ini menitikberatkan
pada adanya bukti yang sah menurut undang-undang. Meskipun hakim tidak yakin akan
kesalahan terdakwa, namun apabila ada bukti yang sah menurut undang-undang, maka
ia dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Jadi jika alat-alat bukti tersebut
digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti menentukan terdakwa
bersalah walaupun berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah. Teori pembuktian ini
sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak mengandalkan
kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak
juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya
bagaimana bisa hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan
kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan-keyakinan seorang
hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan
masyarakat. Namun disatu sisi dalam teori pembuktian ini, hakim akan berusaha
membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-
benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-
undang. Seperti yang kita ketahui dalam teori pembuktian positif yang dicari adalah
kebenaran formal, oleh karena itu teori pembuktian ini digunakan dalam hukum acara
perdata. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini dianut dalam
sistem peradilam jepang (Jepang Sumary Court). 2)Teori pembuktian berdasar
keyakinan hakim melulu. Prinsip pembuktian ini didasarkan dari penilaian hakim atas
dasar keyakinan menurut perasaannya semata-mata, dan tidak menyandarkan kepada
pembuktian menurut undang-undang tetapi memberikan kebebasan yang mutlak
kepada hakim. Keyakinan hakim dalam aliran ini sangat subyektif (perseorangan)
dalam menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya. Dan menurut Prof.Wirjono Prodjodikoro didalam
pembuktian ini terkandung di dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada
ketetapan kesan-kesan perseorangan belaka dari hakim. Pengawasan terhadap putusan-
putusan hakim seperti ini sukar untuk dilakukan, sebab badan pengawas tidak dapat
mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim yang mengalirkan pendapat hakim ke
arah putusan. Teori pembuktian ini dianut dalam sistem peradilan China (Republik
Rakyat China). 3)Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang
logis (La Conviction Rais onnee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan
seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada
dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada
aturan-aturan pembuktian tertentu. Teori pembuktian ini disebut juga dengan
pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.
Dan teori ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.
Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.
Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia
telah melakukan apa yang didakwakan. Teori pembuktian ini dianut dalam sistem
peradilan Thailand. 4)Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif (Negatief Wettelijk). Di dalam teori pembuktian yang negatif menurut
undang-undang ini ada 2 hal yang merupakan syarat utama, yaitu : a. Wettelijke,
disebabkan karena alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang, dan b.
Negatif, disebabkan dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja
belum cukup untuk hakim menganggap kesalahan terdakwa telah terbukti, akan tetapi
harus dibutuhkan adanya keyakinan hakim. Menurut sistem negatif
wettelijke menghendaki hubungan causal yaiyu sebab-akibat antara alat-alat bukti
dengan keyakinan. Alat bukti dalam sistem pembuktian negatief wettelijke ini
ditentukan secara limitatif dalam undang-undang serta bagaimana cara
menggunakannya serta harus diikuti pula dengan adanya keyakinan, bahwa peristiwa
pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah. Teori pembuktian ini memiliki
persamaan dan perbedaan dengan teori pembuktian yang bebas. Persamaan daripada
teori ini adalah bahwa untuk menghukum terdakwa harus ada unsur keyakinan bahwa
terdakwa telah terbukti bersalah dan menyebutkan alasan dasarnya. Kemudian terkait
dengan perbedaan, perbedaannya bertitik tolak dari teori pembuktian negatief
wettelijke yang menghendaki keyakinan hakim dengan alasan yang didasarkan pada
alat bukti menurut undang-undang, kemudian dalam teori pembuktian yang bebas,
keyakinan hakim didasarkan kepada kesimpulan (conclusie) yang logis tidak
berdasarkan undang-undang. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif dianut dalam sistem peradilan Indonesia.
2. Menganalisis sistem pembuktian yang dianut KUHP
Jawab:
Sistem Setelah kita mengetahui teori pembuktian yang terdiri dari 4 macam, maka
pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) adalah sistem
atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk),
dimana dapat kita pahami bahwa sistem undang-undang secara negatif yaitu sistem
yang mana harus ada ketentuan undang-undang dan keyakinan hakim. Suatu ketentuan
yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi
larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
pembuktian. Sistem atau teori pembuktian tersebut telah dicantumkan dalam Pasal 183
KUHAP, yang menyatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukan”. Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut maka nyata bahwa
pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat-alat bukti
yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
Dan oleh karena itu, dalam rumusan pasal tersebut tampaklah bahwa sistem atau teori
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative (Negatief Wettelijk) menjiwai
rumusan pasal tersebut. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif
(negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan. Pertama, memang
sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan suatu hukuman pidana, dan jangan sampai hakim terpaksa memidana
orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, berfaedah jika ada
aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan
tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. Jadi untuk
menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa tentu harus sudah dapat dibuktikan
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sehingga minimum pembuktian
yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dapat
dijatuhkan pidana harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai