Anda di halaman 1dari 8

Mewujudkan Kehidupan Sosial yang Damai dalam Keberagaman

melalui Pendidikan Karakter

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas berbagai suku bangsa, bahasa, dan
agama. Pada era pra kemerdekaan nenek moyang kita dahulu hanya mengenal Sumatera,
Jawa, Borneo, Sulawesi, dan seterusnya. Belum ada ikatan persatuan yang dinamakan
Indonesia meskipun gaungnya mulai menggema mendekati era kemerdekaan. Sejarah
kehidupan berbangsa dan bernegara membuktikan bahwa kita mampu mendirikan entitas
negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) adalah dengan persatuan.

Kesadaran berbangsa dan bernegara mulai tumbuh ketika rakyat merasakan pedihnya
menjadi manusia yang terjajah oleh bangsa lain. Sehingga egosentris sukuisme mulai sedikit
banyak luntur demi kemerdekaan bangsa. Pada akhirnya kita mampu meraih kemerdekaan
dengan mengusir penjajah dari bumi nusantara. Semua itu berkat semangat kebersamaan,
persatuan dan kesatuan. Namun di era pasca kemerdekaan hingga sekarang ini, tidak dapat
dihitung berapa jumlah pasti peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia. Perang antar kampung
beda etnis, perseteruan antar kelompok ideologi, pertikaian pemuda lintas agama, dan masih
banyak lagi sejarah kelam konflik bangsa ini yang bersumber pada akar perbedaan suku, ras,
agama, dan golongan.

Apa sebenarnya yang terjadi pada bangsa kita setelah kemerdekaan yang telah berhasil
kita raih dengan bibit persatuan? kemana persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini
telah ditumbuhkan oleh nenek moyang kita dahulu? Kita semua tentu menyadari tak ada
satupun yang bisa merubah sejarah kelam konflik antar saudara sebangsa. Kita juga tak akan
sudi jika bangsa kita selalu saja menjadi bahan tontonan bangsa lain ketika kita sibuk berseteru.
Oleh karenanya kita perlu menatap masa depan dengan penuh harapan bahwa bangsa kita
bisa tetap bersatu dan bersaudara dalam keberagaman. Salah satu caranya adalah dengan
menanamkan nilai-nilai toleransi, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan peduli sosial
terhadap anak-anak bangsa penerus masa depan negara kita.

Pertanyaannya adalah apa yang harusnya kita lakukan sebagai orang tua untuk
menanamkan nilai-nilai yang diperlukan agar bangsa kita dapat bersatu di masa depan?
Jawaban yang paling masuk akal adalah dengan konsep pendidikan. Konsep pendidikan yang
dimaksud adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini memuat delapan belas nilai
positif yang diantaranya adalah nilai-nilai toleransi, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan
peduli sosial. Nilai-nilai inilah yang diperlukan untuk mewujudkan kehidupan yang damai,
bersatu, rukun, dan saling menghargai dalam keberagaman

Nilai toleransi dibutuhkan untuk menanamkan sifat saling menghargai, menghormati, dan
tenggang rasa bagi sesama. Meskipun berbeda suku, agama, warna kulit, dan lain sebagainya.
Jika toleransi antar umat beragama, suku, dan lainnya dapat dibangun maka selanjutnya
diteruskan dengan semangat kebangsaan dengan kesadaran bahwa kita adalah satu bangsa
dan tanah air. Jika toleransi, semangat kebangsaan, dan cinta tanah air telah terdoktrin dalam
jiwa anak-anak kita maka yang berikutnya adalah kepedulian sosial antar sesama manusia. Jika
kesemua aspek tersebut dapat diwujudkan, maka bukan mustahil jika di masa depan kita
semua dapat hidup berdampingan dalam keberagaman tanpa adanya rasa benci dan
permusuhan satu dengan lainnya
Peran Pendidikan Karakter dalam Menciptakan Pemuda Ideal

Kehidupan Pemuda bangsa beberapa tahun terakhir ini telah berada pada titik nadir.
Kebanyakan dari pemuda lebih suka bermalas-malasan, terlalu banyak bermain, dan enggan
bekerja keras. Jikalau ada pemuda yang gemar bekerja keras, itupun hanya untuk sekedar
memenuhi tuntutan gaya hidup yang bersifat konsumtif saja. lebih banyak lagi yang hanya
memikirkan dirinya sendiri. Sedikit sekali pemuda yang matang secara emosional, cerdas
dalam berpikir, dan kaya dengan keimanan. Pemuda yang hebat bukan hanya dilihat dari
kesuksesan akademiknya saja. Bukan pula dilihat dari kepopulerannya, apalagi kepandaiannya
dalam mencari uang. Semua itu adalah capaian semu bersifat pragmatis yang seolah menjadi
prestasi besar yang telah berhasil mereka raih.

Pemuda ideal adalah pemuda yang matang dengan kecerdasannya, kesantunannya,


Ketaqwaannya, mandiri finansialnya, kuat fisiknya, jujur, dan kedewasaannya. Semua capaian
itu bukanlah mustahil untuk dilakukan. Diperlukan adanya sistem dan formula khusus untuk
mewujudkanya dalam sistem pendidikan di sekolah. Sistem yang mampu menyatukan segala
aspek karakter positif dan mengintegrasikannya ke dalam materi pembelajaran sekolah,
keteladanan, dan lain sebagainya. Sistem pendidikan yang tengah marak dibicarakan dan
populer di kalangan praktisi pendidikan ini adalah pendidikan karakter.

Pendidikan karakter ini memuat delapan belas nilai karakter positif yang terintegrasi
menjadi satu dalam segala aspek pendidikan di sekolah dan di rumah. Kedelapan belas nilai
karakter yang tercakup dalam sistem pendidikan ini diharapkan mampu menjadi jembatan bagi
terciptanya pemuda yang cerdas, beriman, bertaqwa, dan cinta negara
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI MEDIA PEMBAWA
GENERASI BARU YANG TERBUKA MENGHADAPI PERBEDAAN

Kemajemukan dan keragaman masyarakat di dunia ini adalah  realitas  yang nyata adanya
dengan berbagai  keragaman  seperti : jenis kelamin, ras, etnis, agama , budaya dan
sebagainya. Begitupun yang terjadi di Indonesia, yang notabene dikenal sebagai negara
multikultural, yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Betapa tidak, secara
geografis wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, terdiri dari
ribuan pulau yang masing-masing didiami oleh penduduk dengan latar belakang budaya,
etnis, suku, agama yang berbeda-beda.Maka tidak heran  akhirnya dalam peristiwa
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi suatu penanda bahwa memang masyarakat
Indonesia adalah masyarakat multicultural.

Masyarakat multikultural merupakan hakikat bangsa Indonesia yang harus diakui dan
diterima seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Konsekuensi dari hal tersebutadalah
menerapkan prinsip multikultural dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang
pendidikan. Pendidikan adalah suatu proses yang menentukan, apakah suatu generasi
dalam suatu bangsa berhasil menjadi generasi yang cerdas, tidak hanya terbatas
intelegensi, namun lebih dari itu secara emosional dan spritual. Selain itu proses
pendidikan juga hendaknya menghasilkan generasi yang berperikemanusiaan

pendidikan multikultural adalah pendidikan yang hendaknya diaplikasikan dalam


masyarakat yang plural, seperti Indonesia.Pendidikan itu sangat diperlukan
terutama oleh negara demokrasi baru seperti Indonesia, untuk melakukan
rekosntruksi sosial dengan mengembangkan civic skill,  yakni keterampilan menjadi
warga dari masyarakat demokratis yang di antaranya mampu bersikap toleran dan
mengakomodasi berbagai jenis perbedaan untuk kesejahteraan bersama.
Pendidikan multikultural di Indonesia hendaknyadilakukan dengan memperhatikan
perspektif  pengelolaan pluralisme budaya yang ada di masyarakat, yang pada
tataran teoritik terdapat dua perspektif, yaitu:

1. Pendekatan convensionalism yang mengakui keanekaragaman identitas 


budaya. Dalam hal ini masing-masing entitas budaya diberi hak membawa
simbol-simbol dan lambang yang mereka  milikike ranah publik. Konsep
kesatuan  dalam hal ini distruktur oleh keragaman budaya atau yang dikenal
dengan unity in diversity.
2. Perspektif deconvensionalism yang dalam hal ini harus ada penataan
pengelolaan simbol-simbol askribtif di ruang publik. Simbol dan lambang-
lambang yang direpresentasikan identitas atau budaya partikular tidak boleh
di bawa ke ranah publik. Dalam interelasi dengan publik hanya 
diperbolehkan memakai lambang atau simbol-simbol bersama. Konsep
kesatuan kemudian dikenal dengan unity without diversity 

Implementasi pendekatan pendidikan multikultural di Indonesia, haruslah


berdasarkan realita Indonesia dan kearifan lokal. Dalam makna luas dengan
memperhatikan karakteristik bangsa dan budaya Indonesia sendiri. Dalam konteks
implementasinya di Indonesia, pendidikan multilkultural itu dapat dilihat atau
diposisikan sebagai berikut.

1. Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan


keberagaman budaya Indonesia hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk mengembangkan danmeningkatkan sistem pendidikan dan kegiatan
belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat.
2. Sebagai pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan
pendidikan yang kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya
Indonesia. Nilai budayadiyakini mempengaruhi pandangan, keyakinan, dan
perilaku individu (pendidik dan peserta didik), dan akan terbawa ke dalam
situasi pendidikan di sekolah dan pergaulan informal antar individu, serta
mempengaruhi pula struktur pendidikan di sekolah (kurikulum, pedagogi
dan faktor lainnya).
3. Bidang kajian dan bidang studi; yaitu disiplin ilmu yang dibantu oleh sosiologi
dan antropologi pendidikan menelaah dan mengkaji aspek-aspek
kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan perwujudannya (norma, etiket
atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain mencakup
“manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan
pelaksanaan pendidikan. Hasil telaah dan kajian ini akan dapat menjadi
bidang studi yang diajarkan secara operasional (dan kontekstual) kepada
para calon pendidik yang mungkin akan berhadapan dengan keragaman
budaya (tidak harus untuk semua). Sebaliknya, “proses pendidikan yang
multikultural” itu pun harus juga terus dikaji, ditelaahbaik efektivitas dan
efisiensinya, maupun dan terutama kesesuaiannya dengan situasi dan
kondisi Indonesia, dan ketepatan sesuai dengan hakekatnya

Sekolah memiliki makna ganda.Pertama, berarti suatu bangunan atau lingkungan fisik
dengan segala perlengkapannya yang merupakan tempat untuk menyelenggarakan 
proses pendidikan tertentu bagi kelompok manusia tertentu. Kedua, sekolah berarti suatu
proses atau kegiatan belajar mengajar. Jadi sekolah tidak sekedar tempat berlangsungnya
kegiatan belajar mengajar saja, namun termasuk proses belajar mengajar itu sendiri
Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, sekolah harus menjalani serangkaian langkah –
langkah mulai dari  input (masukan), proses, output (luaran), hingga dapat
memberikan outcomebaikbenefit (keuntungan) danimpact (dampak) yaitu masyarakat
menerima perbedaan atau masyarakat multikultural. Pertama, “input” atau masukan yang
dalam hal ini adalah kurikulum, sarana dan prasarana, juga sumber daya manusiayang
meliputi seluruh pihak  atau material sekolah yang ada di sekolah seperti: kepala sekolah,
guru, pegawai, dan murid-murid pria maupun wanita yang masing-masing memiliki
kedudukan dan peranan. .Dalam hal ini, hendaknya sepertisumber daya manusia baik
siswa, guru/pengajar, kepala sekolah, dan karyawan sekolahsaling berkontribusi
menciptakaniklim akademik yang nyamandankondusif,  di dalam  maupun di luar proses
kegiatan belajar mengajar.
COVID 19 DALAM BINGKAI PELAJAR TANGGUH

Apakah Anda masih ingat berita yang tayang 11 Maret 2020 lalu? Rabu itu, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) mengumumkan virus COVID-19 sebagai pandemi. COVID-19 menyebar lewat percikan
sangat kecil dan punya dampak “raksasa” terutama dalam dunia kesehatan. Berdasarkan data
endcoronavirus.org, sejak pengumuman kasus pertama di Indonesia pada 3 Maret 2020 akibat COVID-
19, jumlah kasusnya terus bertambah secara signifikan dan mengerikan dan bisa mencapai lebih dari
8.454 kasus setiap harinya. Dalam upaya penanggulangannya, pemerintah Indonesia serentak mengajak
masyarakat untuk mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak (3M) demi menekan laju
penyebaran virus ini. Upaya 3M “memaksa” semua aktivitas yang semula bisa dilakukan di luar rumah
untuk berubah menjadi di dalam rumah saja. Akibatnya, gaya hidup dan dunia ekonomi ikut terkena
dampaknya.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak sejahtera karena terjadi perubahan besar dan mendadak,
padahal semua orang ingin keadaan yang sejahtera. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Daring, “sejahtera adalah aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan).”
Pandemi ini seakan menghapuskan kesejahteraan dari umat manusia. Lalu bagaimana cara mewujudkan
kesejahteraan yang kita idamkan? Salah satu jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah para “raksasa
kecil” yaitu saya dan kamu, pelajar SMA atau sederajat yang sering dianggap muda dan kecil, tetapi bisa
membawa dampak “raksasa”. Didukung dengan poin-poin yang akan saya bagikan, saya yakin bahwa
pelajar SMA sederajat dapat menjadi agen perwujudan kesejahteraan di era pandemi COVID-19 dan pada
masa mendatang.
Poin yang pertama, meskipun pelajar SMA atau yang sederajat sering dianggap apatis, mereka bisa
mendapatkan banyak pengalaman tentang dihargai dan menghargai terutama di masa pandemi COVID-
19. Pada era pandemi ini, saya termasuk bagian dari 60 juta pelajar di Indonesia yang sedang mengikuti
kegiatan belajar mengajar yang disebut dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Ini menjadi pengalaman
yang baru dalam sejarah karena sebelumnya belum pernah dilakukan menyeluruh di Indonesia. Di
sekolah saya sendiri, kami menggunakan kecanggihan aplikasi Zoom di mana setiap hari kami mengikuti
pembelajaran lewat layar telepon seluler atau laptop dari pukul 6.30 sampai pukul 13.00 WIB.
Ada peraturan penting untuk selalu membuka kamera yang bertujuan sebagai penghargaan terhadap
orang yang berbicara. Namun, kebanyakan dari kami hanya memperlihatkan bagian dahi. Tidak jarang
kami juga mengeluhkan soal pandemi ini seakan guru-guru yang mengajar tidak ada dalam masa pandemi
juga. Rasa menghargai orang lain terasa sangat hilang dalam pandemi ini. Saya saat ini menjabat sebagai
Ketua OSIS di sekolah dan bersama teman-teman pengurus OSIS lainnya, kami berusaha menumbuhkan
kesadaran untuk menghargai lagi. Cara yang kami lakukan adalah menghargai perasaan siswa dengan
membuka kesempatan untuk mengekspresikan apa yang menjadi tantangan dan kekhawatiran terbesar
mereka di masa PJJ. Selain itu, kami juga membentuk program kerja yang membina karakter menghargai
seperti mengucap salam ketika guru akan masuk dan selesai mengajar, serta menciptakan program-
program virtual talkshow yang turut mengundang pelajar sekolah lainnya untuk membahas mengenai
pertumbuhan spiritual di masa pandemi maupun keseimbangan antara kesehatan tubuh dan kesehatan
mental. Dari kegiatan-kegiatan ini, banyak respon positif yang kami terima karena ini menjadi
pengalaman yang baik bagi pelajar usia remaja. Jika kesadaran akan pentingnya pengalaman dihargai dan
menghargai semakin ditumbuhkan terutama di satuan sekolah, pelajar akan selangkah lebih dekat untuk
mewujudkan kesejahteraan
dengan menerapkan ilmu dari pengalaman tersebut kepada orang lain.

Poin kedua, sebagai pelajar SMA atau yang sederajat, banyak hal yang akan dipelajari di sekolah.
Sejak menempuh pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas maupun menengah kejuruan,
pelajar diperlengkapi dengan ilmu yang dibutuhkan untuk masa mendatang. Apalagi, pelajar bisa memilih
pelajaran yang sesuai dengan minat seperti jurusan MIPA, IPS, dan Bahasa di SMA ataupun jenis
keahlian tertentu di SMK. Ketika pelajar memanfaatkan kesempatan bersekolah dengan baik dan rajin,
bayangkan kerja sama yang akan terbentuk ketika para pelajar dari berbagai latar belakang pendidikan ini
bersinergi untuk menciptakan sesuatu di masa depan.
Oleh karena itu, sangat baik apabila belajar dilakukan dengan serius. Segala materi pembelajaran
yang telah didapatkan mempersiapkan pelajar untuk mewujudkan kesejahteraan di bidangnya masing-
masing. Di era pandemi ini, ilmu yang dimiliki pelajar bisa menjadi salah satu dasar untuk mendukung
poin ketiga yang akan saya paparkan berikutnya.

Yang ketiga, pelajar SMA atau yang sederajat pada generasi saat ini selalu identik dengan teknologi.
Menurut penelitian Bencsik, Csikos, dan Juhaz (2016), pelajar usia SMA atau yang sederajat adalah
bagian dari Generasi Z (orang yang lahir di rentang tahun 1995 — 2010). Generasi Z mampu
mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu (multitasking) seperti: menjalankan sosial media
menggunakan ponsel, browsing di internet, dan mendengarkan musik menggunakan headset . Apapun
yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil generasi ini sudah mengenal
teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap
kepribadian.(Putra, 2017, h. 130) Di masa modern ini, cara terbaik untuk mendapatkan dan menyebarkan
informasi adalah dengan memanfaatkan teknologi . Dengan banyaknya informasi yang bisa didapatkan,
pelajar bisa mendapatkan pengetahuan umum dari dalam maupun luar negeri sebagai salah satu bekal
kehidupan. Selain itu, pelajar juga bisa menjadi penyebar informasi lewat sosial media seperti Instagram,
Twitter, TikTok, atau YouTube yang semakin marak digunakan generasi Z.
Ilmu yang telah dipelajari di sekolah maupun dari sumber lainnya di internet dapat dibagikan dengan
teknologi sosial media. Dalam usaha OSIS di sekolah saya untuk mengamalkan hal ini, kami menjalankan
program sosial media informatif, siniar, serta kampanye kesehatan dengan memposting twibbon
informatif. Jika teknologi yang ada dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para pelajar, pastinya banyak
hal baik yang terwujud juga. Informasi yang tersebar di dunia maya ada yang sifatnya positif maupun
negatif. Pelajar bisa ikut berkontribusi dengan memberikan semangat berupa kiriman yang bersifat positif
sebagai kekuatan di tengah keadaan yang negatif. Hal ini bisa dilakukan melalui organisasi di sekolah
seperti OSIS, organisasi di luar sekolah yang dimiliki oleh anak muda lainnya dan biasanya berkembang
di Instagram seperti @projectbuzzidn, @paradigmaremaja, @becomemoreidn, @anak_edukasih, dan lain
sebagainya, serta melalui inisiatif pribadi di sosial media masing-masing. Keempat dan terakhir, berkaitan
dengan poin pertama soal belajar menghargai, pelajar SMA atau yang sederajat bisa menjadi orang yang
tepat untuk menunjukkan kasih. Yang pertama adalah kasih kepada sesama pelajar lainnya.
Menurut Garrison (1940), salah satu jenis kebutuhan khas remaja adalah kebutuhan untuk diikutsertakan
dan diterima oleh kelompoknya ,
Remaja juga punya sifat memberontak jika diperintah oleh otoritas yang lebih tinggi. Berdasarkan
hal ini, remaja akan lebih merasa disayangi ketika diberikan perhatian oleh orang-orang yang usianya
dekat dengannya karena punya kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompoknya (dikutip Mappiare,
1982). Contoh hal sederhana yang bisa dilakukan adalah menghubungi teman untuk menanyakan kabar,
memberikan kiriman makanan atau keranjang buah untuk teman yang ulang tahun ataupun sakit, dan
berusaha untuk menghibur ketika ada teman yang merasa kesepian. Hal-hal ini terlihat kecil namun saya
merasakan sendiri dampak baiknya ketika diperlakukan dan berlaku seperti ini. Yang kedua, pandemi ini
tidak boleh menghentikan aksi sosial untuk mengasihi sesama seperti melalui penggalangan dana,
pemberian bantuan masker dan APD (alat pelindung diri) ke puskesmas serta rumah sakit yang
membutuhkan, kunjungan virtual ke panti asuhan, dan lain sebagainya.
Kegiatan-kegiatan ini menjadi salah satu tantangan besar yang berhasil kami diwujudkan melalui
kerja sama antara pihak sekolah dan OSIS. Dampaknya mungkin tidak langsung terjadi secara global,
tetapi pastinya ada dampak positif yang bisa terwujud untuk mendukung kesejahteraan terutama di era
pandemi yang sulit ini.
Pelajar SMA atau yang sederajat memang masih sangat muda. Meskipun hanya sedikit yang bisa
dilakukan pelajar dan mungkin tidak terlalu memberi dampak untuk masyarakat global, empat poin di
atas merupakan hal minimal yang jika dilakukan secara maksimal bisa berdampak maksimal pula dalam
mewujudkan kesejahteraan, tidak hanya di era pandemi COVID-19 tetapi juga di masa mendatang.
Kedepannya, perubahan lainnya juga pasti akan terjadi dan tidak bisa kita hindari. Perubahan memang
bisa merusak tatanan kesejahteraan karena ketidaksiapan. Oleh karena itu, sebagai “raksasa kecil” yang
menjadi penerus bangsa, mental dan pola pikir kita harus kita ubah dengan tujuan bersiap untuk
menghadapi rintangan apapun yang ada di depan.
Kondisi sejahtera tidak akan terjadi secara mudah dan instan. Kondisi sejahtera juga membutuhkan
sinergi banyak pihak. Saya dan kamu, pelajar SMA atau yang sederajat mungkin masih muda, tetapi jika
kita melakukan apa yang bisa kita lakukan, mau bertahan untuk tetap kuat, dan mampu saling
menguatkan sekalipun ada perubahan drastis di masa depan, kita akan bersama-sama saling
menyejahterakan umat manusia di era pandemi COVID-19 maupun di “badai” yang datang berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai