Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tak terpisahkan dari
kehidupan dan system budaya ummat manusia. Sejak awal kebudayaan
manusia, agama, dan kehidupan beragama telah menggejala dalam kehidupan,
bahkan memberikan corak pada dan bentuk pada semua perilaku budayanya.
Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan berkembang dari adanya rasa
ketergantungan manusia terhadap kekuatan ghaib yang dirasakan sebagai
sumber kehidupan. Rasa (tepatnya naluri)ini lantas memuunculkan gejala
untuk berperilaku memohon bantuan dan perlindungan serta keselamatan
kepada kekuatan ghaib tersebut. Lalu “apa”, dan “siapa” kekuatan ghaib yang
dirasakan sebagai sumber kekuatan itu? Bagaimana pula cara berkomunikasi
dan memohon perlindungan serta perlindungan tersebut? Demikianlah awal
dari rasa/naluri keagamaan tersebut, merupakan desakan dari sisi internal, -
mendorong munculnya perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama)
merupakan bawaan kehidupan manusia; dengan kata lain merupakan “fitrah”
manusia.
Dengan demikian, kata religi (religion), al-din dan juga agama, walau
masing-masing punya arti etimologi sendiri-sendiri dan masing-masing
mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri, namun dalam arti teknis
terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai inti makna yang sama.
Religi : -> religie (Belanda), Religion (English) -> Latin : Relegare &
relegere. Relegere = hati-hati (1); Berpegang terguh pada norma/aturan
dengan ketat. Relegare = Ikatan/mengikat; artinya, Kekuatan ghaib diyakini
sebagai kekuatan yang menentukan jalan hidup dan mempengaruhi jalan
hidup manusia. Istilah dogma dalam ajaran Nashrani, -> merupakan ajaran
yang harus diterima dan diikuti sebagaimana arti dasar kata religi dan agama
sebagaimana dijelaskan diatas. Demikian pula dengan kata Taqwa dan Aqidah
dalam Islam.
Secara ethimologi kata budaya disebut berasal dari bahasa Sansekerta; dari kata
“buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti akal
atau budi. Pendapat lain menyebut bahwa, “buddhayyah” merupakan kata
majemuk; yang terdiri dari kata “buddhi-daya” yang berarti, daya dari budi.
Berdasarkan pada dua pengertian tersebut mereka membedakan antara istilah
budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah aktivitas budi yang berupa cipta, rasa,
dan karsa; sementara kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia.
Lanjut ada pula bahasa asing dari kata budaya tersebut; yakni, culture
(English), cultuur (Belanda) dan kultur (Jerman) yang searti dengan
kebudayaan, yang semula semua kata tersebut berasal dari bahasa Latin
“colere” yang berakar kata “colo”. Istilah colere mengandung arti yang
sangat luas; bisa berarti menyuburkan, mengembangkan, mendiami,
menghias, melayani dan memuja. Diantara sekian pengertian yang
disebutkan, pengertian sebagai mengolah tanah (bertani) yang lebih
ditekankan.1 Dari istilah terakhir ini, pengertian budaya kemudian
berkembang menjadi wacana yang berkaitan dengan, “segala daya upaya
dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.2
1
Ingat kata agriculture
2
Yang tentunya hal ini tidak lepas dari aktifitas unsure akal-budi (pikiran) yang dimiliki oleh makhluq manusia.
Penjelasan lebih tentang pengertian budaya secara ethimologi dapat dilihat antara lain dalam: Musthafa Kamal
Pasha, Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: Cipta Karsa Mandiri, 2000, h.10 – 15.
- makhluq yang senantiasa bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu
- makhluq yang mempuunyai kehendak dan kemauan bebas
- makhluq yang mengenal norma
- makhluq yang dapat merasa malu
- makhluq yang berpolitik
- makhluq yang berkreasi
- makhluq yang berproduksi
Tegasnya manusia adalah makhluq yang berbudaya.3
3
ESA, Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1979, h.12.