Anda di halaman 1dari 8

ETIOPATOFISIOLOGI INTOLERANSI LAKTOSA

Intoleransi laktosa adalah suatu sindrom klinis yang bermanifestasi dengan tanda dan
gejala yang khas pada konsumsi bahan makanan yang mengandung laktosa, suatu
disakarida (Malik dan Panugati, 2022). Istilah intoleransi laktosa digunakan sebagai suatu
sindrom klinik yang ditandai dengan nyeri perut, kembung, flatulen, diare, muntah, atau
kemerahan di sekitar anus setelah mengkonsumsi laktosa. Hal ini biasa dikarenakan
aktivitas laktase yang rendah sering dijumpai pada anak berusia diatas 5 tahun yaitu 3%
anak usia 5-10 tahun di Eropa Utara, sedangkan di daerah Asia Timur mencapai 80%.
Keadaan ini dihubungkan dengan penurunan aktivitas laktase secara genetik (Yohmi dkk.,
2001).

Fisiologi Laktosa
Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang bervariasi diantara
mamalia. Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI mengandung 7% laktosa.
Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa dan galaktosa. Manusia
normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu laktosa harus dipecah dulu menjadi
komponen-komponennya. Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus. Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase
akan menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa (Yohmi dkk., 2001).
Pencernaan dan penyerapan laktosa terjadi di usus halus. Laktosa adalah substrat
utama laktase phlorizin hidrolase yang diekspresikan pada brush border vili usus halus
dengan ekspresi paling besar dan banyak di jejunum bagian tengah. Enzim menjangkau
membran apikal enterosit dewasa dan terdiri dari dua rantai polipeptida 160kDa
ekstraseluler yang identik, serta bagian intracytoplasmic pendek. Aktivitas alfa-glukosidase
enzim ini memecah disakarida gula susu menjadi monosakarida glukosa dan galaktosa
yang kemudian secara aktif diangkut ke dalam sel epitel (enterosit) oleh co-transporter
natrium(+)/glukosa (galaktosa) (SGLT1). Pada konsentrasi yang lebih tinggi, transporter
fasilitatif kedua (GLUT2) menjadi terlibat. Dari enterosit, glukosa bergerak ke kapiler
sekitarnya melalui difusi terfasilitasi (Misselwitz et al., 2019).
Gambar 1. Fisiologi Laktase dan Gambaran Proses Malabsorbsi Laktosa
Sumber: Update on lactose malabsorption and intolerance: pathogenesis, diagnosis and clinical
management (2019)

Etiologi Intoleransi Laktosa


Malabsorbsi laktosa merupakan prekondisi dari intoleransi laktosa. Namun, banyak
individu dengan malabsorbsi laktosa tidak menimbulkan gejala setelah menelan sedangkan
yang lain mengembangkan gejala berupa intoleransi seperti nyeri perut, borborygmi (perut
bergemuruh) dan kembung setelah asupan laktosa (Misselwitz et al., 2019). Defisiensi
enzim laktase menjadi penyebab utama dari kondisi tersebut. Defisiensi enzim laktase
dapat terjadi pada individu dengan kadar enzim yang lebih rendah, yang mengakibatkan
kegagalan untuk menghidrolisis laktosa menjadi komponen glukosa dan galaktosa yang
dapat diserap. Ada empat penyebab utama defisiensi laktase (Malik dan Panugati, 2022).
a. Defisiensi Laktase Primer
Defisiensi laktase primer merupakan penyebab paling umum dari defisiensi
laktase, juga dikenal sebagai laktase non-persistence. Ada penurunan bertahap dalam
aktivitas enzim laktase dengan bertambahnya usia. Aktivitas enzim mulai menurun
pada masa bayi, dan gejala bermanifestasi pada masa remaja atau dewasa awal. Baru-
baru ini, telah diamati bahwa non-persistensi laktase merupakan faktor genetik
(normal Mendelian inherritance).
Menurut Yohmi dkk. (2001), terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
1. Developmental lactase deficiency, terdapat pada bayi prematur dengan usia
kehamilan 26-32 minggu. Kelainan ini terjadi karena aktivitas laktase belum
optimal.
2. Congenital lactase deficiency, kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya
enzim laktase pada brush border epitel usus halus. Kelainan ini jarang
ditemukan dan menetap seumur hidup.
3. Genetical lactase deficiency, kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak
anak berusia 2-5 tahun hingga dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras
yang tidak mengkonsumsi susu secara rutin dan diturunkan secara autosomal
resesif.
b. Defisiensi Laktase Sekunder
Defisiensi laktase sekunder terjadi akibat adanya penyakit gastrointestinal yang
menyebabkan kerusakan mukosa usus halus, seperti infeksi saluran cerna, malnutrisi
dan lain-lainnya. Gangguan ini umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan
normal kembali setelah penyakit dasarnya disembuhkan. Defisiensi laktase sekunder
juga dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu seperti kanamisin, neomisin, dan
metotreksat (Yohmi dkk., 2001). Menurut Malik dan Panugati (2022), defisiensi
laktase sekunder disebabkan karena beberapa penyakit infeksi, inflamasi, atau lainnya,
cedera pada mukosa usus dapat menyebabkan defisiensi laktase sekunder. Penyebab
umum meliputi:
 Gastroenteritis
 Penyakit celiac
 penyakit Crohn
 Kolitis ulseratif
 Kemoterapi
 Antibiotik
c. Defisiensi Laktase Kongenital
Ada penurunan atau tidak adanya aktivitas enzim laktase sejak lahir karena
pewarisan autosomal resesif. Ini bermanifestasi pada bayi baru lahir setelah konsumsi
susu. Ini adalah penyebab defisiensi yang langka, dan genetikanya tidak terlalu
diketahui (Malik dan Panugati, 2022).
d. Defisiensi Laktase Perkembangan
Ini terlihat pada bayi prematur yang lahir pada usia kehamilan 28 hingga 37
minggu. Usus bayi kurang berkembang, mengakibatkan ketidakmampuan untuk
menghidrolisis laktosa. Kondisi ini membaik seiring bertambahnya usia karena
pematangan usus, yang menghasilkan aktivitas laktase yang memadai (Malik dan
Panugati, 2022).

Patofisiologi Intoleransi Laktosa


Defisiensi laktase adalah kegagalan untuk mengekspresikan laktase pada brush
border usus halus. Malabsorpsi laktosa mengacu pada setiap penyebab kegagalan
mencerna dan/atau menyerap laktosa di usus halus. Intoleransi laktosa adalah terjadinya
gejala seperti sakit perut, kembung atau diare pada pasien malabsorbsi laktosa setelah
konsumsi laktosa (Misselwitz et al., 2019).
Enzim laktase yang terletak di brush border mukosa usus halus. Defisiensi laktase
menyebabkan adanya laktosa yang tidak diserap di dalam usus. Hal ini menyebabkan
masuknya cairan ke dalam lumen usus yang mengakibatkan diare osmotik. Bakteri kolon
memfermentasi gas penghasil laktosa yang tidak diserap (hidrogen, karbon dioksida, dan
metana), yang menghidrolisis laktosa menjadi monosakarida. Hal ini menyebabkan
masuknya cairan tambahan ke dalam lumen. Efek keseluruhan dari mekanisme ini
menghasilkan berbagai tanda dan gejala perut (Malik dan Panugati, 2022).
Pada kasus malabsorbsi laktosa baik penyebab primer atau sekunder, laktosa yang
tidak tercerna bersentuhan dengan mikrobiota usus. Fermentasi bakteri pada laktosa
menghasilkan produksi gas termasuk hidrogen (H2), karbon dioksida (CO2), metana
(CH4) dan asam lemak rantai pendek (SCFA) yang berpengaruh pada fungsi GI. Gejala
dari intoleransi laktosa berupa nyeri perut, kembung dan diare. Timbulnya gejala ini sangat
berkorelasi dengan munculnya gas hidrogen selama tes napas. Selanjutnya, laktosa yang
tidak tercerna di usus halus menyebabkan osmotic trapping dari air dan beban osmotik di
usus besar meningkat sekitar delapan kali lipat dengan fermentasi laktosa menjadi SCFA
(Short Chain Fatty Acids). Diare akan terjadi jika beban masing-masing laktosa melebihi
kapasitas mikrobiota kolon untuk fermentasi atau beban SCFA melebihi kapasitas kolon
untuk resorpsi (Misselwitz et al., 2019).
Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada, maka laktosa yang tidak diabsorpsi akan
mencapai usus bagian distal atau kolon. Adanya laktosa di lumen usus mengakibatkan
tekanan osmotik meningkat dan menarik air dan elektrolit sehingga akan memperbesar
volume di dalam lumen usus. Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus sehingga
waktu singgah dipercepat dan mengganggu penyerapan. Di kolon, laktosa akan
difermentasi oleh bakteri kolon dan menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai
pendek lainnya seperti asam asetat, asam butirat. dan asam propionat. Fenomena ini
menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan kemerahan pada kulit di sekitar dubur
(eritema natum). Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon juga menghasilkan beberapa gas
seperti hidrogen, metan dan karbondioksida yang akan mengakibatkan distensi abdomen,
nyeri perut, dan flatus. Feses yang dihasilkan sering mengapung karena kandungan gasnya
yang tinggi dan juga berbau busuk. Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan
melalui rektum dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistim portal dan dikeluarkan melalui
sistim pernapasan (Yohmi dkk., 2001).

Gambar 2. Model skematik patogenesis gejala intoleransi laktosa


Sumber: Update on lactose malabsorption and intolerance: pathogenesis, diagnosis and clinical
management (2019)

Kemungkinan timbulnya gejala setelah konsumsi laktosa adalah multifaktorial.


Faktor ekstrinsik termasuk jumlah laktosa yang dicerna dan apakah produk susu
dikonsumsi dengan makanan lain yang mempengaruhi transit usus dan tingkat pengiriman
laktosa ke usus besar. Faktor intrinsik meliputi ekspresi laktase pada brush border usus
halus, riwayat gangguan GI atau pembedahan abdomen dan komposisi mikrobioma usus.
Ketika diinkubasi secara in vitro dengan laktosa, sampel feses dari subjek yang tidak
toleran laktosa memediasi produksi SCFA yang lebih cepat dan lebih tinggi daripada
sampel dari subjek yang toleran laktosa. Namun, dampak SCFA pada gejala belum secara
langsung ditunjukkan pada manusia. Selanjutnya, dalam lingkungan anaerobik pada
saluran usus, pembentukan ekuivalen pereduksi menghasilkan produksi hidrogen yang
cepat, dan dalam beberapa studi klinis, jumlah produksi gas berkorelasi dengan kehadiran
dan keparahan gejala usus. Faktor pasien lain yang tidak berhubungan langsung dengan
pencernaan laktosa juga berhubungan dengan intoleransi laktosa. Ini termasuk adanya
gangguan kecemasan, tingkat stres psikososial yang tinggi dan adanya gangguan GI
fungsional seperti IBS (Misselwitz et al., 2019).

Gambar 3. Model mekanisme pencernaan laktosa pada pasien dengan persistensi laktase dan defisiensi
laktase yang menggambarkan hubungan antara malabsorpsi laktosa, sensitivitas visceral dan timbulnya gejala
Sumber: Update on lactose malabsorption and intolerance: pathogenesis, diagnosis and clinical
management (2019)
Gambar 4. Hydrogen Breath Test dari Individu dengan Intoleransi Laktosa
Sumber: Update on lactose malabsorption and intolerance: pathogenesis, diagnosis and clinical
management (2019)
DAFTAR PUSTAKA
Malik TF dan Panuganti KK. 2022. Lactose Intolerance. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing.
Misselwitz, Benjamin et al. 2019. Update on lactose malabsorption and intolerance:
pathogenesis, diagnosis and clinical management. Gut (68) 2080-2091.
Yohmi, Elizabeth dkk. 2001. Intoleransi Laktosa pada Anak dengan Nyeri Perut Berulang.
Sari Pediatri (2) 4: 198-204.

Anda mungkin juga menyukai