Anda di halaman 1dari 15

Pengelolaan Urbanisasi yang Tepat Dorong Pertumbuhan

Ekonomi

19/12/2017 16:05:50

Jakarta, 19/12/2017 Kemenkeu - Menteri Keuangan


(Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan apabila
urbanisasi dikelola dengan tepat maka akan mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu negara dan mengurangi
kesenjangan kemiskinan. Hal ini ia sampaikan pada seminar
“Managing Urbanisation for Sustanable Cities” di Hotel
Shangri-La, Jakarta, Selasa (18/12). Seminar ini merupakan
bagian dari rangkaian acara Voyage to Indonesia dalam
rangka Indonesia menjadi tuan rumah IMF-World Bank
Group Annual Meetings yang akan dilaksanakan di Bali
tahun 2018.

Urbanisasi merupakan salah satu indikasi terjadinya


perubahan kelompok masyarakat dari penduduk
berpendapatan rendah menjadi kelompok berpendapatan
menengah.

“Urbanisasi merupakan fenomena global. Diperkirakan


sekitar tahun 2050, lebih dari 75% populasi dunia akan
tinggal di perkotaan. Tidak ada negara di dunia yang bisa
mencapai kelompok pendapatan menengah tanpa jumlah
populasi perkotaan yang signifikan yang diperoleh dari
perpindahan penduduk dari desa ke perkotaan. Jadi,
urbanisasi hampir selalu identik dengan perpindahan
pendapatan rendah ke pendapatan menengah,” kata
Menkeu.

Lebih lanjut, berdasarkan penelitian World Bank,


peningkatan urbanisasi di Indonesia masih belum mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi beberapa negara
lain seperti India, China dan Thailand.

“Berdasarkan penelitian World Bank, setiap 1% peningkatan


urbanisasi berkolerasi pada pertumbuhan GDP per kapita
(melalui penyediaan lapangan kerja dan peningkatan
kualitas tenaga kerja) sebesar 13% di India, 10% di China,
dan 7% di Thailand. Sedangkan Indonesia hanya mampu
mencapai 4% GDP per kapita dari 1% peningkatan
urbanisasinya. Hal ini disebabkan banyak masyarakat
perkotaan di Indonesia menderita karena kemacetan, polusi
dan risiko lainnya akibat infrastruktur yang tidak memadai,”
tambahnya.

Oleh karena itu, menurut Menkeu terdapat tiga langkah yang


dapat dilakukan untuk mengatasi urbanisasi. Langkah
pertama ialah koordinasi antar pemerintah pusat, daerah,
dan komunitas.“Pertama dan paling penting, isu urbanisasi
harus menjadi prioritas masuk perencanaan dan agenda
pembangunan nasional. Dengan menempatkan isu
urbanisasi secara menyeluruh, koordinasi antar kementerian
terkait, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat perlu ditingkatkan,” tegas Menkeu.
Kedua, mewujudkan pembangunan yang merata di seluruh
wilayah Indonesia untuk mengatasi kesenjangan antar
wilayah.

“Kedua, sangat penting untuk mengurangi kesenjangan


antar wilayah. Saat ini pembangunan di Indonesia
terkonsentrasi di Jawa dan beberapa wilayah di Sumatera.
60% populasi tinggal di Jawa, sementara pulau-pulau lain
yang punya potensi besar belum dikembangkan,” terangnya.

Ketiga, Menkeu ingin kemampuan manajerial para pemimpin


daerah ditingkatkan untuk mengelola urbanisasi dan
mereformasi kebijakan yang mempermudah pihak swasta
untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur.

“Ketiga, meningkatkan kapasitas manajerial pimpinan


daerah sangat penting. Kita lihat banyak contoh, seperti
Bupati Banyuwangi, Walikota Surabaya, mereka merupakan
contoh yang bisa menunjukkan bagaimana (pimpinan
daerah) mengelola urbanisasi secara tepat. Akhirnya, saya
mengatakan perlunya reformasi kebijakan yang
mempermudah pihak swasta untuk berpartisipasi pada
pembangunan infratruktur,“ tutup Menkeu. (bs/nr)
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pengelolaan-
urbanisasi-yang-tepat-dorong-pertumbuhan-ekonomi/

Mengelola Urbanisasi Berkelanjutan Nirwono Joga, Sabtu, 7


September 2019 | 11:37 WIB Indonesia akan semakin
berkarakter perkotaan. Mayoritas penduduk tinggal di
daerah perkotaan dan akan terus bertambah karena
kawasan perkotaan memberi banyak peluang lapangan
kerja kepada masyarakat untuk memperbaiki taraf hidup.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas,
2019) memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia akan
mencapai 318 juta jiwa (2045). Porsi penduduk perkotaan
tumbuh dari 53% (2015), 55% (2018), 66,6% (2035), 67%
(2045), dan 70% (2050), dengan tingkat urbanisasi rata-rata
2,3% per tahun. Sebaran jumlah penduduk Indonesia
meliputi Jawa 147.828.100 jiwa (56,56%), Sumatera
56.932.400 jiwa (21,78%), Sulawesi 19.149.100 jiwa
(7,33%), Kalimantan 15.801.800 jiwa (6,05%), Bali dan Nusa
Tenggara 14.540.600 jiwa (5,56%), Maluku dan Papua
7.103.500 jiwa (2,72%) (SUPAS, 2015). Urbanisasi tidak
dapat dihentikan dan dihindari. Oleh karena itu, urbanisasi
harus dikelola dengan tepat agar dapat menyejahterakan
warga yang tinggal di kawasan urban. Konferensi Habitat III
di Quito, Ekuador, 2016, pun mengambil tema “Urbanisasi
yang Berkelanjutan” (Sustainable Urbanization). Konferensi
yang menghasilkan Agenda Baru Perkotaan itu menegaskan
kembali komitmen negara-negara di dunia dalam
pembangunan kota untuk mengelola urbanisasi secara
berkelanjutan. Untuk itu perlu ada upaya serius dan
konsisten bersama oleh seluruh pihak terkait untuk
bersama-sama dan bekerja sama meredam laju urbanisasi.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, laju urbanisasi di
Indonesia disebut sudah “normal” sejak tahun 2000-an.
Indonesia akan semakin berkarakter perkotaan. Kini sudah
55% penduduk tinggal di daerah perkotaan. Jumlah dan
proporsinya akan terus bertambah karena kawasan
perkotaan memberi banyak peluang lapangan kerja kepada
masyarakat untuk memperbaiki taraf hidup. Namun
demikian, melalui bantuan dana desa, pemerintah daerah
dan pemerintah desa dapat meningkatkan perekonomian di
desa melalui kolaborasi antar-desa. Upaya lain adalah
mengembangkan jejaring perekonomian antara desa dan
kota. Aktivitas perekonomian di desa diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan. Dengan
meningkatnya kesejahteraan warga desa diharapkan
mampu mengerem laju urbanisasi. Kedua, faktor penyebab
urbanisasi adalah perubahan karakter wilayah dari desa
menjadi kota. Artinya, urbanisasi terjadi karena
perkembangan kota yang tidak terkendali sehingga
mengakibatkan peluberan kota. Sudah semakin banyak
persawahan di dalam kota serta kawasan perkotaan
kabupaten telah dan terus berubah menjadi permukiman
dan kawasan industri. Kawasan desa juga menjadi makin
padat oleh hunian. Jika tidak ada pengendalian tata ruang,
kawasan hijau di perkotaan akan habis, dan kota akan
mengalami degradasi kualitas lingkungan. Ketiga,
ketimpangan pendapatan di dalam satu daerah lebih parah
daripada ketimpangan antardaerah, seperti di Jakarta,
Surabaya, dan Bandung. Maka, pemerintah perlu memberi
perhatian serius kepada masyarakat dan kawasan miskin
kota. Pelayanan dasar kota, seperti administrasi
kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan hunian layak,
harus mudah diakses. Selain itu, diperlukan pembangunan
kawasan terpadu di titik-titik strategis kota yang terintegrasi
dengan jaringan transportasi massal terpadu. Optimalkan
intensifikasi tata guna lahan dan multifungsi kegiatan agar
kota efisien dan efektif. Keterjangkauan dan kesetaraan
akses terhadap aset perkotaan mesti dilandasi prinsip
budaya inklusif untuk membangun kohesi sosial di
masyarakat. Keempat, untuk mengelola urbanisasi yang
baik, pemerintah harus merencanakan dan merancang kota
yang inklusif, aman, berketahanan, dan berkelanjutan,
sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs Tujuan
11). Urbanisasi dikelola agar memberikan dampak
maksimal, baik secara sosial (peningkatan kualitas hidup),
ekonomi (kesejahteraan masyarakat), maupun lingkungan
(pelestarian alam). Pembangunan kawasan terpadu
dilakukan di titik-titik strategis kota yang terintegrasi dengan
jaringan transportasi massal untuk mempermudah mobilitas
warga. Pengembangan kawasan terpadu dan penyediaan
hunian vertikal berkepadatan rendah-sedang untuk
meningkatkan jumlah hunian dan kesempatan kerja di dalam
kota. Kepadatan di pusat kota bertujuan mengoptimalkan
intensifikasi tata guna lahan dan multifungsi kegiatan agar
kota efisien dan efektif. Masyarakat bisa berpindah dari satu
tempat ke tempat lain seefisien dan dengan biaya
seekonomis mungkin. Selain itu, perlu diimbangi dengan
penyediaan pelayanan dasar kota, seperti administrasi
kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan hunian layak,
yang mudah diakses warga. Kelima, setiap kepala daerah
dituntut bisa ngayahi (mengurus), ngayemi (menenangkan),
ngayomi (melindungi), dan ngayani (menyejahterakan)
rakyatnya. Karena inti pembangunan kota adalah kota yang
memanusiakan warganya, menyejahterakan penduduknya.
Pada akhirnya, keberhasilan mengelola urbanisasi akan
merepresentasikan pertumbuhan ekonomi inklusif dan
menjamin pemerataan, mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan, serta menjaga ketersediaan sumber daya alam
dan kelestarian lingkungan hidup. Nirwono Joga,
Koordinator Pusat Studi Perkotaan Sumber : Investor Daily

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Mengelola


Urbanisasi Berkelanjutan"

Penulis: Nirwono Joga

Read more at: https://investor.id/opinion/mengelola-


urbanisasi-berkelanjutan

https://investor.id/opinion/mengelola-urbanisasi-
berkelanjutan

Tallo, Kisah [Pernah] Kumuh di Kota Angin Mamiri

Cerita Sulawesi Selatan Makassar Kel. Tallo Comments (0)


View (920)

Dampak urbanisasi tampak nyata benar di Kota Makassar,


Sulawesi Selatan. Di kota kelima terbesar di Indonesia itu,
efek perpindahan penduduk yang akhirnya bermukim di
wilayah perkotaan memicu kondisi kumuh. Di Kelurahan
Tallo, Kecamatan Pelabuhan Baru, misalnya.

Kelurahan Tallo yang memiliki luas 30 hektare dan menjadi


bagian dari Kota Makassar itu terpecah dalam lima rukun
warga. Tipologi kumuh di kawasan ini terdiri dari
permukiman di tepi air, di atas air, dan dataran rendah.
Secara karakteristik, Kelurahan Tallo terletak di areal
kawasan pesisir, bantaran sungai, dan kawasan fungsional
pengembangan pelabuhan.

Kondisi fisik kawasan yang kumuh di Tallo dapat ditengok


dari indikator kondisi bangunan hunian, kondisi jalan
lingkungan, dan kondisi drainase lingkungan. Berdasarkan
hasil baseline, kepadatan bangunan mencapai 39 unit per
ha. Dari 1.316 unit rumah, sebanyak 463 unit di antaranya
masuk kategori rumah tidak layak huni (RTLH), dan 826 unit
bangunan tidak teratur. Jalan lingkungan bernasib sama.
Dari 7.830 meter total panjang jalan lingkungan, hampir
setengah—3.852—di antaranya rusak.

Indikator kumuh untuk kondisi drainase pun demikian. Dari


7.306 meter panjang drainase lingkungan, sebanyak 3.147
meter terbukti rusak. Tak pelak lagi, luas area genangan pun
terhitung mencapai 20,36 ha, lebih dari setengah luas
wilayah Kelurahan Tallo. Urusan pengelolaan air limbah, ada
386 kepala keluarga (KK) yang sistem pengelolaan air
limbahnya tidak sesuai syarat teknis. Selain itu ada 517 KK
yang menggunakan sarana dan prasarana pengelolaan air
limbah yang tak lolos syarat teknis. Data juga mencatat, 726
KK memiliki akses air minum, sementara 1.190 KK lainnya
tidak terpenuhi kebutuhan air minumnya.

Hanya ada 500 unit bangunan yang memiliki akses proteksi


kebakaran, sedangkan 1.482 unit bangunan lainnya tak
memiliki proteksi kebakaran sama sekali. Ada pula 1.517 KK
yang sarana dan prasarana pengelolaan sampahnya yang
tidak terpelihara. Selain itu, 1.1.50 KK di antaranya tak
memenuhi syarat teknis. Fakta itu masih ditambah sistem
pengelolaan persampahan buat 225 KK tidak sesuai syarat
teknis.

Untunglah, kondisi non-fisik di kawasan Tallo diyakini bakal


mendukung penanganan kumuh setempat. Sebab, sistem
sosial masyarakat masih berjalan baik dan bersifat patron,
khususnya masyarakat nelayan. Harmonisasi sosial terlihat
jelas dengan masyarakat multikultur yang partisipasi
masyarakat dalam mendukung proses pembangunan cukup
tinggi.
Kondisi perekonomian masyarakat pun nyaris senada. Di
wilayah ini ada 739 KK berstatus masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR). Pengelolaan potensi
ekonomi juga belum sepenuhnya berkontribusi secara positif
terhadap pendapatan masyarakat, khususnya MBR.

Pembangunan infrastruktur penanganan kumuh di


Kelurahan Tallo meliputi beragam bidang sarana dan
prasarana buat wilayah. Mulai dari paving block, ruang
terbuka hijau, penutup saluran parit, ruang terbuka non-
hijau, rehabilitasi rumah tidak layak huni, pembuatan jamban
(kloset, bak air, septic tank, resapan), jalur hijau median,
instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) setempat atau
komunal, dan drainase lingkungan.

Hasil pelaksanaan kegiatan penanganan kumuh di Tallo


pada 2017 adalah peningkatan kualitas jalan lingkungan,
pembangunan ruang terbuka publik, penataan bangunin
hunian, dan pembangunan taman bermain. Dan hingga
2018 ini, Kelurahan Tallo masih “bergerak” menangani
kumuh. Supaya, tak ada lagi kisah kumuh di Kota Angin
Mamiri. Sepakat, Saribbattang (Makassar: saudara)?
[Redaksi]

http://kotaku.pu.go.id/view/7229/tallo-kisah-pernah-kumuh-
di-kota-angin-mamiri
Peluang dan Tantangan Urbanisasi

Oleh :

Nirwono Joga

Kamis, 26 Desember 2019 07:00 WIB

Urbanisasi sudah menjadi masalah klasik. Daerah Khusus


Ibu Kota Jakarta masih menjadi tujuan utama kaum
pendatang.

Urbanisasi sudah menjadi masalah klasik. Daerah Khusus


Ibu Kota Jakarta masih menjadi tujuan utama kaum
pendatang.

Nirwono Joga

Pusat Studi Perkotaan

Memasuki tahun baru, Indonesia masih tampak kesulitan


mengelola dan memanfaatkan dampak urbanisasi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif,
meningkatkan kesejahteraan sosial, dan menjaga
kelestarian lingkungan hidup kota. Saat ini, sekitar 151 juta
penduduk Indonesia (56 persen) dari total penduduk tinggal
di perkotaan dan diperkirakan meningkat menjadi 220 juta
jiwa pada 2045. Dalam kurun 1996-2016 di Indonesia,
populasi perkotaan meningkat 1 persen dan produk
domestik bruto per kapita meningkat 1,4 persen, sementara
di Asia Timur bisa meningkat 2,7 persen dan Cina 3 persen
(Bank Dunia, 2019).

Ketimpangan kesejahteraan tergolong masih besar antara


kawasan perkotaan dan perdesaan karena penduduk
perdesaan cenderung belum mendapat manfaat urbanisasi.
Kegiatan perekonomian masih terkonsentrasi di Pulau Jawa,
tempat produk domestik regional bruto Jakarta-Bogor-
Depok-Tangerang-Bekasi menyumbang produk domestik
bruto nasional sebesar 20,58 persen. Pertumbuhan ekonomi
di Pulau Jawa mencapai 5,6 persen lebih tinggi dibanding
luar Pulau Jawa sebesar 4,7 persen (2017).

Pertumbuhan urbanisasi yang tinggi dan konsentrasi


penduduk terbesar ada di Jakarta dan sekitarnya.
Pemerintah harus mengembangkan kota-kota potensial
menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru dan pemerataan
secara nasional.

Perencanaan urbanisasi harus didukung peningkatan


anggaran infrastruktur serta transfer dana ke pusat dan
daerah. Cakupan kualitas layanan dasar dialokasikan dalam
anggaran pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial,
subsidi energi dan non-energi, serta asuransi bencana dan
aset negara.
Ketimpangan pendapatan di dalam satu daerah dan
antardaerah harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Ketimpangan di dalam kota perlu mendapat penanganan
khusus untuk masyarakat dan kawasan miskin kota.
Penataan kampung kota harus lebih dikembangkan sesuai
dengan rencana tata ruang kota, tematik, ekonomi kreatif,
dan perbaikan lingkungan (sampah, sanitasi, air bersih,
listrik).

Ketimpangan antara Jawa dan non-Jawa (antar-wilayah)


mendorong diperlukannya redistribusi pembangunan kota
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jakarta
dan Jawa. Pemerintah harus mengembangkan kawasan
strategis nasional perkotaan/metropolitan yang
berkelanjutan untuk mendukung pertumbuhan
wilayah/pulau.

Redistribusi pembangunan kota di luar Jakarta dan


sekitarnya dapat mendorong percepatan pertumbuhan
ekonomi baru daerah, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal, meredam laju urbanisasi, serta
meringankan beban Jakarta dan sekitarnya. Jakarta dan
sekitarnya merupakan kawasan metropolitan yang
mencakup tiga provinsi, delapan kota/kabupaten, dan 185
kecamatan. Wilayah Provinsi DKI Jakarta berfungsi sebagai
kawasan inti dan wilayah kota/kabupaten sekitarnya menjadi
kawasan pendukung.
Persoalan urbanisasi di wilayah perkotaan yang
berkembang menjadi metropolitan seperti Jakarta dan
sekitarnya menjadi lebih kompleks karena lintas wilayah
administrasi, terlebih semangat otonomi daerah yang kuat.
Penanganan urbanisasi dalam memenuhi layanan perkotaan
wilayah metropolitan harus didukung pengelolaan yang
terintegrasi dan efektif berdasarkan kebutuhan fungsional
optimal suatu kewilayahan yang luas dan saling berkaitan.

ADVERTISEMENT

Pengembangan wilayah metropolitan (WM) terjadi di


berbagai daerah, seperti WM Bandung Raya, WM
Semarang (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang,
Purwodadi), dan WM Surabaya (Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) di Jawa. Ada
pula WM Medan (Medan, Binjai, Deli, Serdang, Karo), WM
Padang (Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Solok), dan
WM Palembang (Palembang, Betung, Indralaya,
Kayuagung) di Sumatera.

Pemerintah harus melakukan pemerataan akses ke


pelayanan dasar berkualitas tinggi di semua wilayah,
meningkatkan konektivitas antarwilayah, juga antara
masyarakat dan lapangan kerja, kesempatan, dan
pelayanan, serta menargetkan untuk mengatasi
kesenjangan antardaerah dan antarkelompok masyarakat.
Pemerintah juga dituntut mengatasi tiga kendala utama,
yakni koordinasi di dalam dan lintas pemerintah kota,
kapasitas perencanaan kota, dan sumber pendanaan.
Pertumbuhan kota dan urbanisasi harus dapat
meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.

Kota harus memenuhi kebutuhan warganya agar nyaman


ditinggali dan menarik didatangi talenta baru yang
dibutuhkan agar kota terus tumbuh. Kota harus mampu
mendorong pemajuan ilmu pengetahuan dan
pengembangan teknologi inovatif demi pertumbuhan
ekonomi lebih lanjut dan perbaikan kehidupan.

Pada akhirnya, urbanisasi harus mampu memenuhi janjinya,


yakni mewujudkan perkotaan yang sejahtera, makmur,
inklusif, layak huni, dan berkelanjutan

https://kolom.tempo.co/read/1287885/peluang-dan-
tantangan-urbanisasi/full&view=ok

Anda mungkin juga menyukai