Anda di halaman 1dari 7

Ketika Cinta Memanggil

Sebuah Cerita tentang Hati

Oleh Rateman, S.S.

Perkenalan, 2001

Pagi itu dengan penuh kecemasan, aku menapaki anak tangga demi anak tangga menuju lantai dua
gedung orthodontik kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hatiku berubah dag dig dug lebih keras
ketika tanganku memegang gagang pintu hendak memasuki ruang kelas English in house training.
Pesan Bu Nirmala, Manager Pendidikan LP3M tiba tiba terngiang dikepalaku,

” Professor tidak mau bayar kalau Bapak tidak mengajar dengan baik”.

Sedari awal aku memang ragu untuk menerima tawaran itu, tetapi aku suka tantangan dan aku yakin
semua hanya sulit dan mengkhawatirkan diawal saja. Akhirnya pintu ruang kelas itu kubuka juga,
dengan langkah berat dan gagap aku maju dan berdiri di depan kelas. Semua dosen yang hendak ikut
pelatihan hari itu sudah hadir dan duduk manis dikursi empuk hitam menghadap ke depan. Bibirku
terasa berat tapi dengan sekuat tenaga kuregangkan tuk tersenyum dan memberi salam. Wajah wajah
dosen masih belum kelihatan ramah. Aku merasa lututku gemetaran semakin kuat, dan aku merasa
lemah.

“Ayo lah, kamu sudah mengajar puluhan tahun, kamu bisa melakukannya”,

kucoba untuk memotivasi diri sendiri. Kelas kumulai dengan perkenalan, para dosenpun
memperkenalkan dirinya satu persatu. Dari situlah aku mulai tahu, dikelas baruku ada professor,
doktor dan master serta spesialis orthodontic. Pertemuan awal terberatpun berakhir, pada pertemuan-
pertemuan berikutnya kelas mulai mencair dan menyenangkan. Para dosen yang awalnya memberi
kesan menakutkan, berubah menjadi sosok ramah dan menyenangkan, terkhusus sang professor. Itu
adalah kelas bahasa Inggris terbaik yang pernah aku miliki.

“Aku senang dan bersyukur sekali, Allah telah mempertemukanku dengan orang orang hebat”,
pikirku.

Awal Bergabung

Setelah kelas di kedokteran gigi berakhir, sang professor mengundangku untuk melatih Bahasa
Inggris bagi guru guru disekolahnya. Dengan senang hati, aku menerimanya. Itulah awal awal aku
menginjakkan kaki dibumi sekolah Islamic Full Day School. Dan pada tahun 2004 ketika SMP Islam
Terpadu baru dibuka, aku diundang untuk bergabung menjadi guru mengajar para murid. Dengan
lembut dan sopan aku tolak undangan tersebut dengan beberapa pertimbangan. Selama ini aku
menikmati mengajar orang dewasa tanpa beban pekerjaan administarsi guru seperti RPP, Prosem,
dan lain lain. Lagi pula aku juga ragu bakalan sukses mengajar anak remaja yang bagiku adalah usia
tersulit untuk dibina. Tak hanya itu, aku baru diminta menjadi direktur operasional di salah satu
kursus Bahasa Inggris di Medan.

Tapi sang professor bukanlah manusia biasa biasa, dia adalah sosok yang luar biasa, antusias dan
pantang menyerah. Mengetahui aku mulai kerja pukul 08.00 WIB, sang professor membuka kelas
bahasa Inggris untuk muridnya pukul 06.30 hingga 07.30 WIB. Tentu bagiku, awalnya tak masuk
akal, tapi bagi sang professor tidak ada yang tidak mungkin. Dia sering sekali mengacu ke
pendidikan di kota kota besar yang sukses bahkan mancanegara. Dengan semangat professor yang
begitu menggelora, akupun tak mampu mengatakan “Tidak”.
Kelas spesialku yang paling pagipun dimulai, setelah memakirkan sepeda motor aku langsung
menuju ruang kelas dimana anak anak remaja ternyata telah menunggu. Hatikupun terdecak kagum.

“Wow, ternyata bukan hanya porfessornya yang penuh semangat, muridnya pun tak kalah semangat”

Pagi itu kubawa murid murid SMP ke halaman sekolah, kami mulai belajar dan berlatih bahasa
Inggris langsung dengan aksi.

Tahun pertama yang sangat berat

Pada tahun 2005, setelah diguyur dengan motivasi, pencerahan dan undangan tulus, akhirnya aku
menerima undangan sang professor untuk bergabung dalam dewan guru disekolahnya. Bagiku itu
adalah sebuah keputusan besar dan sulit. Aku harus bertransformasi dari pengajar professional
menjadi pendidik professional. Benar saja, tahun pertama aku bergabung, 3 kali surat pengunduran
diri aku layangkan ke professor.

Tahun pertama begitu sulit, banyak beban yang aku harus tanggung. Ternyata memang keluar dari
comfort zone itu sungguh sulit. Selama ini aku hanya mengajar dan melatih namun kala itu aku tidak
mampu melakukannya tanpa mendidik. Sebelumnya aku begitu menikmati kelas kelasku bersama
orang orang dewasa, dari mahasiswa, pejabat publik, pengusaha hingga professional seperti dokter
dan banker yang memang sudah memiliki kesadaran penuh untuk belajar dan banyak cerita dan
pengalaman untuk dibagi selama kelas berlangsung. Namun kali ini aku berhadapan dengan anak
anak remaja yang belum sepenuhnya meninggalkan masa kanak kananknya dan jauh dari kata
dewasa. Anak anak yang sebahagiannya memiliki masalah pendidikan keluarga, masalah sosial dan
etika, terlebih lagi masalah motivasi belajar. Banyak hari yang kulewati dengan kecewa, marah dan
terkadang putus asa.

Hari demi hari di tahun pertama begitu sulit aku lalui, ditambah kekhawatiranku terhadap ilmu
pengetahuan dan ketrrampilan yang mungkin perlahan akan hilang karena mengajar Bahasa Inggris
tingkat dasar. Namun itu belum seberapa, ujian terberatku adalah ketika aku mendapatkan ancaman
verbal dari salah satu wali murid yang tidak terima dengan kebijakan pendisiplinan yang aku berikan.
Sungguh kala itu aku merasa naif dan lugu. Niat tulus mendidik dan semangat memperbaiki siswa
tiba tiba terhujam ke jurang paling dalam. Tahun pertama sungguh menguatkanku tentang pentingnya
belajar sepanjang hayat.

Tetapi sang professor bukanlah manusia biasa biasa saja. Beliau benar benar guru besar yang
memperhatikan pendidikan anak bangsa hingga ke yang paling dasar. Setiap aku menghadap dan
mengeluh, beliau selalu sukses memotivasi dan kembali menguatkanku sehingga semua masalah
dapat diselesaikan dengan apik dan bijak. Beliaulah Professor Dr. drg. Mundiyah Muchtar, pendiri
Islimic Full Day School Siti Hajar.

Mulai Musim Semi

Masih ditahun pertama, ditengah tengah beratnya usahaku menjadi pendidik yang lebih baik, sang
professor membawaku mengunjungi beberapa sekolah hebat di Jakarta, Bandung dan Kuala Lumpur.
Dari kunjungan kunjungan ke sekolah Mutiara Bunda dan Madania, aku belajar banyak hal tentang
menjadi guru yang ramah dan berpihak pada murid. Disekolah alam Ciganjur, aku dididik bahwa
pendidikan terbaik adalah ketika murid melakukan, tidak hanya duduk, diam, dengar dan baca. Guru
guru sekolah alam begitu memberi inspirasi tentang bagaimana memfasilitasi keingintahuan anak
didik. Sekolah-sekolah ini memberikan contoh bagaimana ilmu pengetahuan itu dicipta, dikreasi
sendiri oleh peserta didik, mereka telah mengaplikasikan pendekatan pembelajaran learning by doing
dengan sempurna. Dari sekolah Sri Inai dan Islamic International School Kuala Lumpur aku belajar
lebih mendalam bagaimana mengelolah program – program bahasa Inggris. Perjalan kunjungan
belajar itu sungguh luar biasa, aku kembali tercerahkan. Aku lebih paham dan tergerak untuk selalu
inovatif, kreatif dan bersemangat melayani murid muridku.

Perlahan tapi pasti kutemukan langkahku, nafasku tidak lagi tersengal sengal, hatiku tidak lagi ragu
dan membeku, otakku tidak lagi memerah, memanas dan berasap. Aku semakin sabar, aku lebih
memahami medan tempurku, aku telah menemukan kenikmatanya, aku telah mencicipi manisnya
kelelahan menjadi pendidik. Aku menjadi lebih kuat, kebandelan murid tidak lagi merobohkanku
karena aku yakin dan aku sudah tahu, selalu ada buah manis diakhirnya.

Transformasiku menjadi pendidik professional semakin kuat dan mengakar, terkhusus dengan
ramainya pelatihan dan seminar tentang pendidikan dengan digulirkanya kebijakan sertifikasi guru
dan insentif yang ditawarkannya pada tahun 2007. Aku banyak menghadiri seminar dan workshop
bersama guru guru muda yang penuh semangat. Dari Arief Rahman aku belajar secara mendalam
tentang panggilan hati menjadi guru, tentang idealisme, tentang semboyan luhur, kredo yang harus
dipegang teguh oleh guru. Dari Andre Wongso aku belajar tentang hebatnya motivasi dalam
pendidikan. Dari Munif Chatif, aku belajar untuk memanusiakan manusia, aku belajar tentang
kecerdasan majemuk. Dan banyak lagi ahli dan pakar pendidikan, apalagi sekolahku senantiasa setia
untuk meningkatkan kompetensi guru dengan mengadakan seminar dan workshop disekolah.

Air mata dan Senyum.

Pagi hari diawal tahun ajaran baru Juli 2005, aku mendapati seorang anak laki laki yang duduk
dibangku panjang hijau terbuat dari kayu didepan kelas didampingi ibunya. Awalnya aku hanya
mengamati, namun kemudian hatiku memanggil untuk menghampiri. Ternyata anak tersebut tidak
mau masuk kelas karena sedari awal dia tidak mau belajar disekolah pilihan orang tuanya. Dia ingin
bersekolah dimana teman teman SDnya belajar. Dengan izin ibunya, akupun mulai berbincang
keanak yang sedang bersedih hati dan merajuk tersebut. Itu adalah kali pertama aku menghadapi
situasi seperti itu, aku sungguh tidak berpengalaman.

Dengan suara yang lembut dan pandangan dan gestur yang peduli, kucoba untuk membuka pintu
hatinya agar mau diajak berbincang. Namun beberapa kalimat -kalimat hanya dibalas dengan diam
dan air mata. Namun akhirnya sabarku terjawab, dia mau membuka mulutnya dengan suara yang
berat dan memilukan. Tidak butuh waktu terlalu lama sampai akhirnya, dia mau masuk kelas. Kami
akhirnya sepakat untuk menunggu dan mencoba satu bulan, bila seandainya setelah masa itu dia
masih mau pindah sekolah maka kedua orangtunya sepakat untuk memindahkannya. Setelah putra
kesayangan hilang dibalik pintu kelas, sang ibu menghadiahiku terimakasih dan senyum yang tulus
sambil sekali kali masih mengintip jendela milihat putranya. Akhirnya akupun kembali keruang guru
dengan senyum yang kusampaikan kepada koridor, dinding dan bunga bunga yang seolah olah
berbisik,

“Selamat Maman, tapi jangan sombong, satu bulan akan segera datang.”

Keesokan harinya tidak kudapati lagi anak yang menangis didepan kelas, hatiku senang sambil
memuji didalam hati,

“ternyata dia adalah anak yang hebat yang menjaga janjinya”.

Setiap hari selalu kucari waktu untuk melihat apakah anak itu baik baik saja. Hari demi hari berlalu,
pekan berganti pekan, satu bulanpun ahkirnya datang. Pagi itu aku berdiri didepan sekolah, berharap
harap cemas, akankah si anak itu datang menghadapku dan menagih janji untuk pindah sekolah.
Akhirnya mobil sedan hitam yang biasa mengantarkannya kesekolah tiba dihalaman sekolah.
Kuperhatikan dengan seksama ketika pintu mobil terbuka dan satu kaki warna biru keluar sambil
menggendong tas ransel hitam. Setelah menyalam -cium ayahnya, sang anak berjalan cepat menuju
kelasnya. Alhamdulillah, teriakku dalam hati. Sianak telah menemukan jalannya. Dia akhirnya
belajar hingga tamat disekolah pilihan orangtuanya. Itulah sekolah, murid datang dan pergi. Ada
yang pergi dan tidak pernah kembali, tapi banyak juga yang kembali dengan senyum dan
terimakasih. Begitu juga sianak sendu 2005, setelah puluhan tahun tak kudengar kabarnya, tiba tiba
saja pada tanggal 29 Juli 2020 nongol di Whatsapp menyapa dalam bahasa Inggris dan menanyakan
kabar. Dialah Ghazali Adam yang setelah menyelesaikan studi di USU, kini berkarir di Jepang. Saya
tentu sangat bangga dan senang mendapat kabar darinya. Setelah puluhan tahun dia masih ingat
gurunya dulu dan masih memberikan penghargaan. Syukurnya Gahzali Adam bukan satu satunya
yang masih ingat jasa gurunya. Ada Yudi Ginting, pemuda yang menjadi anggota DPRD di
kabupaten Karo, Irham mahasiswa kedokteran di USU dan banyak yang datang menyapa berseragam
SMA.

Menjadi Wali

Bukan Wali Band, apa lagi Wali Songo, tentu Wali Kelas. Ketika cinta telah tersemai tuk mendidik
generasi penerus bangsa, semua pekerjaan dan tanggung jawab mendidik menjadi begitu menantang
dan menyenangkan. Menantang karena memang sulit menjadi guru dan walikelas yang perduli
dengan perkembangan anak didiknya. Menantang karena bisa saja aku memilih tuk menjadi biasa
biasa saja dan tidak acuh, namun aku telah menetapkan hatiku untuk melakukan yang terbaik.

Aku menyadari sepenuhnya bahwa kesempatanku datang lebih besar untuk mendidik ketika aku
diberi amanah untuk menjadi wali kelas. Aku bertanggung jawab untuk menanamkan nilai nilai
agung, melatihnya dan memperkuat tuk menjadi karakter. Akupun merancang langkah-langkah dan
kebijakan bagaimana menanamkan karakter bertanggung jawab, gotong royong, percaya diri, kreatif,
komunikatif dan kepemimpinan serta kejujuran.

Akhirnya tibalah giliran kelasku menjadi petugas upacara. Ya...memang biasa saja sih menjadi
petugas upacara, tapi masalahnya aku tidak mau anak anak asuhku menjadi biasa biasa saja. Aku
tekankan kepada mereka bahwa kita harus selalu berani tampil beda, tampil maksimal, tampil terbaik
walaupun itu bukan sebuah kompetisi.

“Kalau lebih baik itu mungkin, baik saja tidak cukup’, teriakku sambil mengutip motivasi Andre
Wongso.

Aku tegaskan kepada seluruh murid bahwa semua murid harus menjadi petugas bukan penonton,
oleh sebab itu aku wajibkan untuk pasukan pengibar bendera harus 15 murid bukan 3. Kala itu aku
berpikir ini adalah salah satu kesempatanku untuk melatih mereka kepemimpinan dan kerjasama.
Maka aku beri kesempatan mereka seluas luasnya untuk mendiskusikan peran masing masing murid.
Aku langsung menunjuk ketua kelas untuk memimpin diskusi dan menyiapkan latihan dan segala
sesuatu yang dibutuhkan agar misi sukses.

Akupun mendata murid yang aktif dalam kegiatan kepramukaan khususnya PASGA (Pasukan
Garuda). Aku mengarakan anggota PASGA untuk menjadi pelatih rekan rekannya yang lain
khususnya dalam latihan pemimpin upacara dan paskibra. Sampai disini sepertinya enak ya tugasku
jadi wali kelas hanya duduk santai, mengamati. Namun pada kenyataannya ...hmmm... remaja ya
tetap saja remaja. Herbert Puchta, sorang penulis buku pelajaran bahasa Inggris di Cambridge
University Press dan pelatih guru pernah berujar bahwa kelompok usia yang paling sulit diajar adalah
remaja. Butuh waktu yang lama bagi mereka untuk menentukan siapa untuk peran apa. Sebagain
besar karena alasan tidak percaya diri. Apalagi ketika mulai latihan paskibra, lebih banyak main-main
dengan canda tawa karena mereka kurang hormat dan patuh pada pelatih teman sebaya.

Sedari awal aku sadar bahwa akan jauh lebih mudah dan sederhana kalau aku ambil alih semua dan
menentukan semua kebijakan dalam persiapan upacara. Namun aku juga sadar, kalau itu yang aku
lakukan; kreatifitas, kerjasama, tanggung jawab dan kepimimpin murid dimana. Maka aku tak patah
arang, aku dampingi mereka dengan sekali sekali bentakan yang keras, namun lebih sering ikut
tertawa dengan mereka. Akhirnya hari Seninpun tiba, aku lihat paskibra telah baris apik dengan
atribut tambahan layaknya paskibra 17an. Pembawa acara memulai membaca tata-tertib upacara
layaknya pada upacara di istana negara, paling tidak itu harapanku. Hatiku terkagum dan puas
dengan panampilan mereka, aku bisa berdiri dan berjalan tegak bangga walaupun tidak ada yang
memujiku. Seusai upacara aku beri selamat dan kusampaikan kebanggaanku pada murid muridku dan
kami berfoto bersama.

Beberapa bulan berikutnya, tantangan lain datang mana kala giliran kelas kami tiba untuk
pertunjukkan assembly; penampilan seni tari dan drama panggung. Akupun kembali menerapkan
pelatihan nilai-nilai karakter yag hanya effektif bila murid-murid mengalaminya. Ku arahkan kelas
membentuk kepanitian; ketua, tim kreatif, dan dekorasi. Walaupun ini program besar kelas yang ke 2,
tetap saja murid murid belum mampu mandiri untuk menentukan kesepakatan tanpa bantuanku.
Setelah ide alur cerita dan materi seni disepakati, kerja keras berikutnya adalah mentukan pemeran
dan melatih kepercayaan diri. Sungguh pengalaman yang sangat melelahkan dan membutuhkan
kesabaran dan daya lenting yang tinggi untuk mengarahkan murid murid berlatih dan melakukan
yang terbaik dalam persiapan assembly. Tak jarang sang harimau harus mengaum, sang gajah harus
menghentak, namun pujian dan dukungan juga selalu menyertai kerja keras mereka. Pada akhirnya
kerja keras, payah dan melelahkan terbayarkan dengan penampilan 40 menit yang apik dan
menghibur seluruh hadirin di pendopo sekolah. Itulah yang selalu menjadi kekuatanku, akan selalu
ada hal yang manis diakhirnya. Akupun semakin jatuh cinta.

Kelas bahasa Inggris terbaikku.

Ini bagian paling sulit untuk kugambarkan karena keanekaragaman kriteria makna terbaik dalam
kualitas kelas bahasa Inggrisku. Alasan kedua karena seluruh kelas yang aku ajar dan didik pasti
selalu memiliki unsur dan elemen terbaik yang berbeda. Bapak Lendo Novo, penggagas, konseptor
dan pendiri sekolah alam pernah berujar dalam sebuah seminar yang aku ikuti,

“Mengajar dikelas unggulan tidak perlu guru hebat karena muridnya sudah paling cerdas dan
biasanya juga paling berdisiplin. Tapi merubah, mentranformasi murid biasa biasa saja, bahkan murid
bermasalah menjadi pembelajar yang baik membutuhkan guru hebat.”

Ungkapan itu selalu kuingat karena tentu aku ingin menjadi guru hebat, terlebih karena sekolahku
menerapkan sistem kelas inklusif, dimana setiap kelas berisi siswa/i dengan beragam tingkat
kecerdasan kognitif, motivasi dan kedisiplinan.

Panduanku berikutnya adalah wejangan dari Bapak Hernowo,

”Learning is fun atau pembelajaran yang menyenangkan bukan sekedar adanya senyum dan tawah di
dalam kelas namun juga hadirnya kesenangan dalam keseriusan belajar”

Aku bekerja keras mendesain dan merencanakan kelas yang menghadirkan keduanya; senyum, tawa
dan kesenangan dalam keseriusan. Yang pertama tentu jauh lebih mudah, aku hanya menghadirkan
ice breaker dan game dalam bahasa Inggris yang menyenangkan, aku bahkan telah mengumpulkan
beratus ide ice breaker dan English games, yang sering kali membuat muridku ketagihan untuk selalu
memainkannya.

Yang kedua tentu jauh lebih menantang, sebagai guru bahasa Inggris, tentu aku harus
mengedepankan pendekatan komunikasi yang ramah dan bersahabat sehingga para murid akan
mendapatkan kenyamanan dan kepercayaan diri untuk berkomunikasi. Tapi masalahnya, pendekatan
itu juga mengahadirkan beberapa masalah, aku sering meyakini bahwa pendekatan yang ramah dan
bersahabat membuat beberapa murid menjadi lebih percaya diri tuk menjadi bandel dan nakal. Oleh
sebab itu aku tertantang untuk selalu mengkombinasikan berbagai pendekatan dalam satu proses
pembelajaran tatap muka; menyenangkan dalam kedisplinan.
Alhasil, aku kerap menikmati hebatnya murid murid dalam belajar berkelompok dengan tipe
pembelajaran kooperatif STAD (Student Team Achievement Division) dengan tim ahli didalamnya
dan atau tutor teman sebaya. Aku sering menemukan meraka larut dalam keasikan menalar,
membandingkan teks dengan metode Compare and Contrast dengan diagram Venn atau memetakan
kata kunci dengan Spider Web. Aku terkagum dengan usaha mereka, bahkan membawa alat masak
kesekolah untuk mendemontrasikan teks procedur, atau melihat video mereka berdialog di restaurant
Mc Donald, begitu kontekstual. Namun kepuasanku tidak pernah sempurna, karena tentu belum
semua muridku mencapai titik capain terbaik mereka. Selalu ada bagian yang harus terus aku
perbaiki, itulah yang kemudian terus menguatkan usaha dan tekadku. Beberapa murid yang masih
gagal dalam memotivasi diri, gagal dalam berperforma terbaik di kelas menjadi cambuk yang keras
agar aku terus bekerja keras menyempurnakan usaha kerasku.

Kelas bahasa Inggris terbaikku lainnya ada diluar kelas formal, yakni di English Club, English
excellence dan English Camp. Disalah satu kegiatan English TV show, bagian dari English club, aku
menikmati hebatnya kreatifas muridku memainkan peran dalam talkshow, dua murid berperan apik
sebagai host dan guest dan dua murid berperan sebagai penghibur dengan lagu rap yang pas pasan
namun begitu hebat kudengar. Di salah satu program English camp, aku sungguh menikmati melihat
para murid dengan sangat antusias dan semangat berlari kesana kemari mencari kode rahasia
tersembunyi dalam permainan Search and Rescue, atau ketika murid muridku begitu menikmati
English camp di Besitang bersama dua orang film maker dari Prancis dan tim konservasi OIC.
Momen indah lainya adalah ketika murid muridku beraksi dalam lomba Talkshow di Toko buku
9Wali, atau ketika murid muridku dengan pede memperagakan gerakan lucu bermain tebak aksi. Dan
salah satu yang paling spesial adalah ketika kulihat beberepa murid mempresentasikan data di layar
dan kemudian bersitegang, saling menyerang dan menyalahkan, dengan serius saling berdebat dalam
program English Debate.

Sepertinya tidak akan cukup tinta seribu pena untuk menuliskan cerita indahku menjadi guru.
Sungguh aku telah jatuh cinta, dan akan kugenggam cintaku hingga akhir hidupku mengabdi untuk
anak negri.

Ketika cinta telah memanggil


Tiada lagi halang rintangan yang dapat membendung
Setiap tetes keringat terasa begitu manis
Setiap kerutan di dahi begitu asik

Ketika cinta memanggil


Setiap langkah begitu ringan
Setiap kata begitu bermakna
Setiap sentuhan begitu menguatkan

Tiada lagi sedih hati, gunda gulana dan marah-marah


Kecuali hanya sebentar saja, lalu pergi, hilang tanpa bekas
Yang ada hanyalah rindu
Semangat menggelora
Mimpi yang melangit
Kasih yang menyentuh
Pengabdian yang tulus
Tekad tuk menghamba
bagi anak negeri

Anda mungkin juga menyukai