Anda di halaman 1dari 13

JPI, Vol. x No.

x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

Pentingnya Mencegah Bahaya Pelecehan Seksual melalui Media


Animasi Kesehatan Reproduksi pada Siswa Tunarungu
Murni Winarsih 1), Lussy Dwiutami Wahyuni 2), Umi Nanik 3)
1
Program Studi Pendidikan Khusus
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta Timur
2
Program Studi Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta Timur
3
Program Studi Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta Timur
email: mwinarsih@unj.ac.id, sflussy@gmail.com, uminanikmlakas@yahoo.co.id

Abstrak
Tujuan penelitian ini, untuk memperoleh informasi tentang kebutuhan pengembangan media
animasi kesehatan reproduksi guna mencegah pelecehan dan penyimpangan seksual pada siswa
tunarungu. Penelitian ini dilakukan di 14 SLB se-Jabodetabek dengan pendekatan deskriptif kuantitatif.
Data penelitian diambil dari 105 guru berupa angket kuesioner dan dianalisis menggunakan statistik
deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa hambatan komunikasi yang dialami siswa tunarungu
menjadi penyebab utama kurang efektifnya pendididikan seks, dapat diatasi dengan mengembangkan
media animasi kesehatan reproduksi bagi siswa tunarungu. Media animasi dipandang lebih menarik dan
lebih efektif membantu siswa tunarungu untuk lebih mudah dalam memahami materi kesehatan
reproduksi. Oleh karena itu pengembangan media animasi kesehatan reproduksi pada siswa tunarungu
sangat perlu dan mendesak untuk dikembangkan guna memberikan pemahaman tentang kesehatan
seksual dan reproduksi kepada siswa tunarungu
Kata kunci: pelecehan seksual, media animasi, dan kesehatan reproduksi.
Abstract
The purpose of study was to acquire information about the need for expansion of developing
reproductive health animation media in order to prevent sexual harassment and abuse for deaf students.
The research was conducted at 14 school of special in Jakarta and West-Java Province with quantitative
method. Data was taken from 105 teachers through a questionnaire and analyzed using descriptive
analysis. The results of this research obtain communication barriers which are the main cause of the
ineffectiveness of sex education in deaf students can be overcome by developing reproductive health
media for deaf students. Animation media is seen as more interesting and more effective in terms of
helping deaf students with more easily understood reproductive health material. The study concludes that
learning of reproductive health for deaf students provide a good understanding of sex education in
reproductive health. The information presented through reproductive health animation media is also very
important to reduce and prevent acts of sexual harassment for deaf students.
Keywords: sexual harassment, animation media, and reproductive health.

1. PENDAHULUAN

Pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja, baik itu orang dewasa hingga anak-anak
sekalipun. Seringkali kasus ini korbannya adalah perempuan pelakunya adalah lelaki. Komisi
Nasional Perempuan Indonesia (komnasperempuan.go.id., 2015) mengklasifikasikan kekerasan
seksual berdasarkan hasil pengamatannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu: (1)
perkosaan, (2) intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, (3) pelecehan
seksual, (4) eksploitasi seksual, (5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, (6) prostitusi
paksa, (7) perbudakan seksual, (8) pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, (9)
pemaksaan kehamilan, (10) pemaksaan aborsi, (11) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi,

Jurnal Pendidikan Indonesia | 1


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

(12) penyiksaan seksual, (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, (14)
praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan
(15) kontrol seksual. Kekerasan seksual yang menimpa anak menempati posisi terbanyak, yaitu
50%-62% dari bentuk kekerasan lainnya pada anak (Unesco, 2016). Data yang diperoleh
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa terdapat 1.671 kasus
kekerasan seksual pada anak selama tahun 2011 sampai 2015 (Handayani, 2017). Komisi
Nasional Perlindungan Anak (kpai.go.id, 2019) menemukan tahun 2018, kasus yang ada dalam
urutan pertama adalah kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yaitu mencapai 1.434
kasus. Kasus tersebut di dominasi kasus kekerasan seksual, dimana laki-laki mendominasi
(berjumlah 103) sebagai pelaku dibanding anak perempuan (berjumlah 58). Berdasarkan
Catatan Tahunan Komnas 2019 (CATAHU 2019). Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan
yang paling mendominasi pada perempuan penyandang disabilitas, yaitu sebanyak 64% (57
kasus), meliputi perkosaan (35 kasus), persetubuhan (10 kasus), pencabulan (9 kasus),
pelecehan seksual (2 kasus) dan percobaan perkosaan (1 kasus). Kasus kekerasan seksual
pada penyandang disabilitas ini meningkat lebih dari 100% dari tahun 2017 yang hanya 24
kasus.

Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk kejahatan seksual yang sebagian besar
dilakukan kerabat atau kenalan korban, termasuk anggota keluarga, pacar, penyedia layanan
disabilitas, penyedia transportasi, individu penyandang disabilitas lainnya (Liou & Chen, 2016).
Di lingkungan sekolah dan kampus, kasus pelecahan seksual oleh rekan sebaya mereka yang
notabene masih remaja bahkan dua kali banyak dialami siswa penyandang disabilitas
dibandingkan siswa bukan penyandang disabilitas (Stermac, L., Cripps, J., Badali, V., & Amiri,
T., 2018). Pelecehan seksual merupakan segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau
mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh
orang yang menjadi sasaran, sehingga menimbulkan reaksi negatif, seperti malu, marah, benci,
tersinggung dan sebagainya (UNESCO, 2012). Chomaria (2014) mengungkapkan pelecehan
seksual sendiri tidak hanya kontak fisik namun juga nonfisik serta verbal, seperti menunjukan
alat kelamin pelaku pada anak, memaksa anak memperlihatkan alat kelaminnya, menunjukan
gambar yang berbau seksual, selain itu berupa perkataan, candaan, komentar, dan ajakan yang
membuat risih korban, akan tetapi kasus yang sering kita dengar hanya korban kontak fisik
yang dianggap sebagai kasus yang berat. Sementara, Paludi Paludi, Jr. (2003)
mengklasifikasikan pelecehan seksual ke dalam 5 kategori, (1) pelecehan gender
(menunjukkan pernyataan dan perilaku untuk menghina dan merendahkan); (2) perilaku
menggoda (menunjukkan perilaku tidak senonoh dan ofensif; (3) pelecehan dengan rayuan dan
iming-iming (melakukan permintaan aktivitas seksual tertentu dengan menjanjikan sesuatu); (4)
pemaksaaan dengan ancaman (melakukan pemaksaan aktivitas seksual dengan ancaman); (5)
pemaksaan seksual dengn kekerasan (pemaksaan seksual secara kasar, penyerangan, dan
pemerkosaan).

Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Cecen & Harisci (2013)
mengungkapkan bahwa korban pelecehan seksual dapat berasal dari berbagai tingkat sosial,
ekonomi, dan usia, baik laki-laki maupun perempuan, namun perempuan lebih beresiko dalam
pelecehan seksual karena pandangan masyarakat sendiri menganggap bahwa perempuan

Jurnal Pendidikan Indonesia | 2


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

lebih lemah dari laki-laki, disamping itu perempuan lebih sering menjadi korban dalam
pelecehan seksual baik ditempat umum maupun dilingkungan sekitarnya karena tidak memiliki
keberanian dan pengetahuan yang luas tentang seks sendiri, sehingga membutuhkan
perlindungan yang lebih oleh orang terdekatnya. Tindakan pelecehan seksual juga dapat terjadi
di berbagai tempat, seperti di sekolah dan kampus (Stermac, L., Cripps, J., Badali, V., & Amiri,
T., 2018). Di tempat-tempat kerja (Cheung, C., Baum, T., & Hsueh, A., 2018); McDonald, P., &
Charlesworth, S. (2016), rumah sakit (Ohihoin, A. G., Ezechi, O. C., Ifemeje, A. A., Medobi, E.
F., Ohihoin, N. E., & Taylor-Robinson, S. D. (2018), serta di dalam angkutan-angkutan umum
(Mukerjee, 2019) Terjadinya pelecehan seksual bisa dipicu oleh cara berpakaian seseorang,
apalagi sekarang ini pergaulan anak muda sudah semakin bebas dalam cara berpakaian dan
bergaul, maka dari itu tidak aneh sekarang ini banyak perempuan yang berpakaian senonoh.
Ironisnya korban pelecehan seksual itu tidak hanya perempuan normal akan tetapi sering juga
perempuan disabilitas mendapatkan perlakuan pelecehan itu (Iqbal Ramdhani, 2017). Lebih
memprihatinkan lagi, perempun disabilitas bahkan empat kali lebih banyak mengalami
pelecehan seksual dibandingkan peremuan normal Findley, P. A., Plummer, S. B., & McMahon,
S. (2016).

Pendidikan seks di banyak negara masih dianggap sebagai sesuatu hal yang tabu,
termasuk di Turki (Çuhadaroğlu, A. (2017), Jepang Nishioka, E. (2018), India Manivasakan, J.,
& Sankaran, S. (2016), dan tidak terkecuali di Indonesia Safitri, S. (2018). Namun, dengan
semakin terus meningkatnya kasus pelecehan seksual pada anak dan dampak yang diterima
kemudian hari, diperlukan adanya usaha-usaha pencegahan terjadinya korban berikutnya yang
salah satunya dengan memberikan pengetahuan atau pendidikan seks sejak usia dini. Hasil
penelitian dari Leitenberg & Gibson (Utami 2016) mengungkapkan bahwa pendidikan seks
dalam sekolah terbukti mampu menurunkan resiko terjadinya kekerasan seksual pada anak dan
tidak mengakibatkan kelainan perilaku seksual pada masa dewasa anak tersebut. Senada
dengan penelitian tersebut, maka penting bagi siswa tunarungu atau disabilitas pendengaran
untuk memahami tentang kesehatan seksual dan reproduksi yang biasanya diabaikan agar
mereka mampu mengurangi resiko mengenai masalah kesehatan seksual dan reproduksi serta
terkena kekerasan seksual (Rusinga, 2012). Namun demikian, sampai saat ini, banyak
hambatan dalam memberikan informasi-informasi kesehatan kepada penyandang disabilitas,
terutama penyandang disabilitas tunarungu. Berdasarkan kajian meta-analisis
Naseribooriabadi, T., Sadoughi, F., & Sheikhtaheri, A. (2017), hambatan-hambatan tersebut
dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) faktor interpersonal, (2) budaya, (3)
bahasa, dan (4) hambatan komunikasi. Di antara hambatan-hambatan tersebut, hambatan
komunikasi dan bahasa merupakan penyebab mendasar kurang efektifnya interaksi guru
dengan siswa penyandang tunarungu. Secara umum dipahami bahwa bahasa isyarat adalah
bahasa utama bagi siswa tunarungu, sehingga agar terjalin komunikasi yang efektif antara guru
dan siswa penyandang tunarungu, keduanya harus memahami penggunaan bahasa isyarat ini
dengan baik. Namun dalam praktiknya tidak semua siswa dan guru memiliki tingkat
penguasaan bahasa isyarat yang baik, sehingga interaksi antara guru dan siswa menjadi
terhambat Hal ini selaras dengan temuan penelitian Yasin, M. H. M., Tahar, M. M., Bari, S., &
Manaf, F. N. (2017) menunjukkan bahwa tingkat penguasaan bahasa isyarat untuk
pendengaran murid bermasalah dan guru pendidikan khusus berada di tingkat menengah,

Jurnal Pendidikan Indonesia | 3


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

karena pada umumnya guru mempelajari bahasa isyarat hanya melalui para kolega mereka.
Untuk itu, para peneliti merekomendasikan agar teknologi informasi dan komunikasi dapat
diintegrasikan ke dalam program dan pendidikan khusus tunarungu.

Berkaitan dengan sex education untuk siswa penyandang disabilitas, Handayani, E. S.,
Yamtinah, S., & Kristiyanto, A. (2019) menemukan bahwa belum terdapat program khusus
tentang pendidikan seksual. Selama ini sex education hanya diberikan secara implisit pada
pembelajaran-pembelajaran dengan materi terkait, seperti pada mata pelajaran IPA saat materi
tentang sistem reproduksi, melalui pengarahan ketika upacara sekolah, dalam pelajaran
agama, atau melalui sosialisasi dari puskesmas, organisasi GERKATIN (Gerakan untuk
Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) dan GAPAI (Gerakan Peduli Indonesia Inklusi).
Semestinya, sex education harus diberikan secara sistematis dan komprehensif melalui suatu
kurikulum terpadu (Ihwani, S. S., Muhtar, A., Musa, N., Yaakub, A., Mohamad, A. M., Hehsan,
A., & Rashed, Z. N. (2017), dan agar efektif, disampaikan melalui media yang tepat untuk siswa
tunarungu.. Schirmer menyatakan bahwa penggunaan multimedia seperti internet, video phone,
dan email dapat meningkatkan kemampuan penyandang disabilitas gangguan pendengaran
untuk berkomunikasi dari jauh (Center for Implementing Technology in Education (CITEd), n.d.).
Senada dengan hal tersebut, salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk
memfasilitasi para siswa tunarungu agar mendapatkan informasi dan edukasi tentang
pendidikan seks khususnya mengenai kesehatan reproduksi pada penelitian ini adalah media
visual berupa animasi. Teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah
penggabungan antara teori bahayanya pelecehan seksual yang menimpa siswa tunarungu dan
upaya pencegahannya melalui sex education dengan media animasi kesehatan reproduksi.
Media pembelajaran berupa animasi diharapkan lebih mudah dipahami oleh siswa tunarungu
daripada siswa harus mencari langsung dari internet. Tidak hanya hal positif, kadang kala
melalui internet siswa juga banyak ditunjukkan hal-hal negatif, sehingga alangkah lebih baik
apabila pelajaran mengenai kesehatan reproduksi diajarkan melalui sekolah.

Bukti media animasi sangat efektif bagi siswa tunarungu adalah hasil studi eksperimen
yang dilakukan oleh Sariyem, dkk terhadap materi kebersihan gigi dengan media animasi
mampu meningkatkan pengetahuan sekaligus mengurangi plak gigi subjek secara signifikan
(Sariyem, Santoso, & Supriyana, 2017). Tidak berbeda dengan itu dari hasil studinya Hidayat
dkk mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengatasi kendala pada penyandang disabilitas
gangguan pendengaran adalah dengan membuat materi pembelajaran berbasis multimedia
yang mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran untuk peserta didik dengan gangguan
pendengaran. Serangkaian pengembangan unsur-unsur teknologi audio, visual, dan digital
untuk memfasilitasi kegiatan belajar siswa dengan gangguan pendengaran sehingga gairah,
kualitas, dan prestasi mereka dapat ditingkatkan (Hidayat, Gunarhadi, & Hidayatulloh, 2017).

Berdasarkan uraian pada latar belakang, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang kebutuhan pengembangan media animasi kesehatan reproduksi guna
mencegah pelecehan dan penyimpangan seksual pada siswa tunarungu. Melalui media
tersebut, diharapkan siswa tunarungu bisa mendapatkan pengetahuan agar dapat mencegah
pelecehan seksual

Jurnal Pendidikan Indonesia | 4


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

2. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian tentang pencegahan bahaya pelecehan seksual melalui media animasi


kesehatan reproduksi pada siswa tunarungu menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode
analisisnya dilakukan dengan cara deskriptif. Penelitian ini dilakukan dari bulan April-Juni 2019
pada 14 SLB di wilayah Jabodetabek. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa
angket uji responden. Angket digunakan untuk mengetahui bagaimana respon guru
menggunakan media pembelajaran visual berupa animasi untuk pembelajaran kesehatan
reproduksi bagi siswa SLB tunarungu.

Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Uji respons terhadap produk penelitian
media animasi kesehatan reproduksi melibatkan sampel dari 105 guru pengajar disabilitas
tunarungu dari 14 SLB di wilayah Jabodetabek dengan teknik insidental sampling. Angket ini
sebagai sarana untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan pendidikan seksual
kesehatan reproduksi saat ini serta melalui angket ini media pembelajaran animasi apakah
disetujui untuk dilaksanakan dalam pembelajaran atau tidak, sekaligus menyampaikan
mengenai bahaya pelecehan seksual dan pentingnya penyelenggaraan sex education bagi
siswa tunarungu. Diharapkan apabila hasil dari respon para guru SLB sebagian besar setuju,
maka kesehatan reproduksi menggunakan media animasi bisa diberikan sebagai sex education
bagi siswa tunarungu untuk mengurangi resiko bahayanya pelecehan seksual. Sistem
pengukuran angket pada penelitian ini menggunakan skala Likert yang telah dimodifikasi
dengan 5 pilihan dan perhitungan skornya menggunakan distribusi frekuensi

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dimensi Pelaksanaan Pembelajaran Kesehatan Reproduksi


Data yang disajikan adalah data dari hasil skor dimensi pelaksanaan pembelajaran
kesehatan reproduksi dari 105 responden di 14 SLB wilayah Jabodetabek. Tabel deskripsi
statistiknya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Data Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Pembelajaran Kesehatan Reproduksi
di SLB Wilayah JABODETABEK
Kelas Interval Frekuensi Persentase Keterangan

40 – 46 1 0,94 Sangat Tidak Setuju


47 – 52 20 19,05 Tidak Setuju
53 – 59 65 61,91 Setuju
60 – 66 16 15,24 Sangat Setuju
67 – 71 3 2,86 Sangat Setuju Sekali
105 100

Jurnal Pendidikan Indonesia | 5


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

Uji responden ini untuk mengetahui frekuensi mengenai adanya pelaksanaan


pembelajaran kesehatan reproduksi di SLB wilayah Jabodetabek. Berdasarkan Tabel 1,
diketahui bahwa dari 105 responden dengan 18 butir penyataan dimensi program kesehatan
reproduksi, hasil terbanyak terdapat pada kisaran skor 53-59 yaitu sebanyak 65 orang (61,91%)
responden menyatakan setuju adanya pelaksanaan pembelajaran kesehatan reproduksi bagi
siswa tunarungu. Sebaliknya, responden paling sedikit atau sebanyak 1 orang (0,94%) atau
kisaran skor 40-46 menilai Sangat Tidak Setuju. Hasil uji responden dapat diartikan bahwa
guru SLB di wilayah jabodetabek sebagian besar menilai positif dan menghendaki adanya
pelaksanaan pembelajaran kesehatan reproduksi bagi siswa tunarungu di SLB wilayah
Jabodetabek. Diharapkan dari hasil tersebut, pendidikan seks mengenai kesehatan reproduksi
bisa disampaikan kepada siswa tunarungu. Dengan pemahaman yang baik mengenai
pendidikan seks khususnya materi kesehatan reproduksi, mereka bisa menghindari bahaya
terjadinya pelecehan seksual akibat ketidaktahuan, ataupun mencari sumber pembelajaran
sendiri dari internet.
Membekali siswa tunarungu dengan pendidikan seksual terbukti cukup menjadi perhatian
para guru SLB di wilayah Jabodetabek. Selain dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman siswa tentang pertumbuhan dan perkembangan yang berhubungan dengan fisik,
psikis, atau fungsi seksual, agar siswa mampu mengatasi perubahaan yang ada didalam diri
mereka seiring dengan pertambahan usia. Mayoritas responden juga menyatakan persetujuan
mereka bahwa memberikan pendidikan seksual sejak dini adalah upaya preventif agar siswa
mampu mengendalikan dorongan seksualnya sehingga tidak terjerumus dalam perilaku yang
merugikan diri sendiri maupun orang lain, pendidikan seksual juga dianggap dapat
menghindarkan siswa dari tindakan pelecehan seksual akibat ketidaktahuan mereka tentang
kesehatan reproduksi.
Hasil kajian kajian McDaniels, B., & Fleming, A. (2016) tentang penelitian-penelitian terkait
sex education terhadap penyandang disabilitas di sekolah menemukan bahwa tidak
memadainya sex education di sekolah dan kurangnya pemahaman siswa tentang kesehatan
reproduksi menyebabkan siswa-siswa penyandang disabilitas berada pada risiko yang lebih
besar terhadap pelecehan seksual. Penelitian Basile, K. C., Breiding, M. J., & Smith, S. G.
(2016) menyimpulkan bahwa pria dan wanita penyandang disabilitas berada pada risiko yang
tinggi mengalami kekerasan seksual, dibandingkan dengan mereka yang normal. Hal ini
menjelaskan pentingnya memberikan sex education kepada penyandang disabilitas sejak dini,
karena pelecehan seksual dalam jangka panjang akan berdampak buruk seperti depresi dan
merusak diri, cemas, perasaan rendah diri dan merasa ternodai, kurang harga diri, sulit percaya
dengan orang lain, dan perilaku seksual yang tidak normal (Browne & Finkelhor, 2006; Firman
& Syahniar, 2018).

Dimensi Pengembangan Media Kesehatan Reproduksi


Data yang disajikan adalah data dari hasil skor dimensi pengembangan media kesehatan
reproduksi dari 105 responden di 14 SLB wilayah jabodetabek. Tabel deskripsi statistiknya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2: Data Pengembangan Media Kesehatan Reproduksi di SLB Wilayah JABODETABEK
Kelas Interval Frekuensi Persentase Keterangan

21 – 26 0 0,00 Sangat Tidak Setuju

27 – 31 1 0,94 Tidak Setuju

32 – 38 31 29,53 Setuju

39 – 44 49 46,67 Sangat Setuju

45 – 50 24 22,86 Sangat Setuju Sekali

Jurnal Pendidikan Indonesia | 6


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

105 100,00

Uji responden ini dimaksudkan untuk mengetahui apabila dalam pelaksanaan sex
education, dilakukan pengembangan pada medianya. Jadi tidak hanya berupa sosialisasi saja,
tetapi guru mampu menampilkan media yang membuat siswa tunarungu mudah memahaminya.
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa dari 105 responden dengan 13 butir penyataan dimensi
pengembangan media kesehatan reproduksi, responden terbanyak terdapat pada kisaran skor
39-44 yaitu sebanyak 49 orang (46,67%) responden menilai sangat Setuju adanya
pengembangan media kesehatan reproduksi bagi siswa tunarungu. Sebaliknya, responden
yang tidak menghendaki adanya pengembangan media memiliki jumlah paling sedikit baik yang
menilai tidak setuju maupun sangat tidak setuju ada sebanyak 1 orang (0,94%) atau kisaran
skor 27-31. Dengan demikian dapat diartikan bahwa guru SLB di wilayah Jabodetabek menilai
positif tentang akan diadakannya pengembangan media kesehatan reproduksi bagi siswa
tunarungu di SLB wilayah Jabodetabek.
Hambatan komunikasi adalah perhatian para guru dalam membelajarkan siswa
tunarungu, karena penggunaan bahasa tubuh atau bahasa isyarat dapat menjadi penghalang
terjadinya penyampaian materi secara efektif sehingga pemanfaatan media-media visual,
animasi, simulasi dipandang sebagai pendekatan yang tepat untuk membelajarkan siswa
tunarungu (Yuksel, C., & Unver, V., 2016; Sotelo, J., Solano, A., Duque, J., & Cano, S., 2016;
dan Almutairi, A., & Al-Megren, S., 2017).
Hasil penelitian Razalli, A. R., Yusuf, N., Kassim, R., & Mamat, N. (2017) yang melakukan
survey terhadap 50 responden guru pendidikan khusus di sembilan sekolah tunarungu di Hulu
Selangor menyimpulkan bahwa penggunaan media-media pembelajaran visual salah satu
metode paling efektif untuk menyampaikan segala jenis pengetahuan dan menjadi alat penting
dalam pendidikan khusus untuk siswa tunarungu. Selain dapat meningkatkan minat siswa dan
guru dalam pembelajaran, media visual membantu dan menyediakan sarana untuk mencapai
tujuan dengan menekankan hal tertentu atau menjelaskan konsep atau fenomena baru.
Penggunaan media visual yang relevan bagi siswa tunarungu dapat meningkatkan pemahaman
mereka tentang media yang disajikan, memfasilitasi pembelajaran, memperkuat pengetahuan,
menjelaskan ide-ide dan menciptakan kegembiraan.

Dimensi Pengembangan Media Kesehatan Reproduksi Berbasis Animasi


Data yang disajikan adalah data dari hasil skor terkait respons terhadap pengembangan
media berbasis animasi untuk pembelajaran kesehatan reproduksi dari 105 responden di 14
SLB wilayah Jabodetabek. Tabel deskripsi statistiknya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3: Data Distribusi Frekuensi Respons terhadap Pengembangan Media Berbasis Animasi
untuk Pembelajaran Kesehatan Reproduksi di SLB Wilayah JABODETABEK
Secara Keseluruhan
Kelas Interval Frekuensi Persentase Keterangan

100 – 108 3 2,84 Sangat Tidak Setuju

109 – 117 23 21,91 Tidak setuju

118 – 126 44 41,91 Setuju

127 – 135 24 22,86 Sangat Setuju

136 – 144 11 10,48 Sangat Setuju Sekali

Jurnal Pendidikan Indonesia | 7


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

105 100

Uji responden Tabel 3 hampir serupa dengan uji pada Tabel 2, hanya saja di Tabel 3
pengembangan medianya difokuskan pada media animasi. Hasilnya adalah untuk meminta
respon dari guru apakah setuju diadakan pengembangan mengenai media animasi kesehatan
reproduksi bagi siswa tunarungu. Berdasarkan uji responden diperoleh hasil responden
terbanyak terdapat pada kisaran skor 118 - 126 yaitu sebanyak 44 orang (41,91%) menyatakan
setuju dan paling sedikit ada 3 orang (2,84%) menyatakan Sangat Tidak Setuju. Ada 79
responden (75,25%) menghendaki pengembangan media berbasis animasi bagi siswa
tunarungu untuk pembelajaran seks mengenai kesehatan reproduksi. Jumlah setuju yang
melebihi 50% ini mengindikasikan bahwa guru SLB di wilayah Jabodetabek sebagian besar
menilai positif bila akan dikembangkan media berbasis animasi untuk pembelajaran kesehatan
reproduksi bagi siswa tunarungu di SLB wilayah Jabodetabek. Dengan adanya pengembangan
media berbasis animasi ini, diharapkan siswa SLB tunarungu dapat memahami mengenai
pelecehan seksual dan mampu menanggulangi bahayanya.
Schaafsma, dkk (2015) mengidentifikasi strategi yang efektif untuk mengajar siswa
dengan disabilitas bisa dilakukan dengan pemodelan ataupun praktik terbimbing karena untuk
beberapa alasan mereka tidak memiliki paparan kurikulum khusus mengenai pendidikan seks,
dan terkadang mereka membutuhkan media pembelajaran khusus untuk mendukung
kebutuhan khusus mereka (Dawn A. Rowe, James Sinclair, Kara Hirano & Josh Barbour, 2018;
Treacy et al., 2017).
Media animasi adalah salah satu alat yang dapat menjembatani keterbatasan para
penyandang disabilitas dalam memperoleh pengetahuan seputar kesehatan reproduksi. Hal ini
terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan sekitar 50% lebih guru SLB (pengajar siswa
tunarungu) setuju dengan akan dikembangkannya materi sex education mengenai kesehatan
reproduksi tersebut kedalam bentuk media animasi. Hasil studi Ahmadi, Abbasi, &
Bahaadinbeigy, (2015), mengungkapkan bahwa penggunaan media animasi dapat membantu
guru dan keluarga siswa untuk memberikan pendidikan tentang kesehatan kepada siswa
penyandang disabilitas dengan gangguan pendengaran untuk dapat belajar secara lebih efektif.
Pemilihan media animasi ini diperkuat dengan hasil penelitian bahwa manusia memproses
informasi visual 60.000 kali lebih cepat daripada informasi berbasis teks (Raugust, 2006). Media
animasi dipandang lebih menarik disaksikan dan membantu siswa tunarungu lebih mudah
dalam memahami materi yang disampaikan, karena bisa mereka saksikan melalui video.
Edukasi mengenai kesehatan reproduksi dipandang penting sebagai upaya preventif
siswa dari tindakan pelecehan seksual akibat ketidaktahuan mereka tentang kesehatan
reproduksi. Meningkatnya kasus-kasus pelecehan seksual terhadap penyandang disabilitas
tunarungu semakin menegaskan betapa pentingnya para penyandang disabilitas tersebut
memiliki informasi dan diedukasi terkait kesehatan reproduksi. Hal ini senada dengan hasil dari
studi Romulo,dkk menyatakan bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi memiliki hubungan
negatif terhadap perilaku seksual remaja awal, yaitu semakin tinggi tingkat pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi maka akan membuat semakin rendah perilaku seksual
menyimpangnya. Maka dari itu, media animasi kesehatan reproduksi pada siswa tunarungu
sangat perlu dan mendesak untuk dikembangkan. Selain dapat mengurangi hambatan
komunikasi dalam pembelajaran dan efektif menumbuhkan pemahaman tentang kesehatan
seksual dan reproduksi, media animasi dapat meningkatkan minat siswa dan guru dalam
pembelajaran, membantu dan menyediakan sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran,
menjelaskan konsep atau fenomena baru secara lebih baik, serta relevan bagi siswa tunarungu
dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang materi yang disajikan. Pengembangan media
animasi ini juga diharapkan dapat mengurangi dan mencegah terjadinya tindakan pelecehan
seksual penyimpangan seksual pada siswa tunarungu.

Jurnal Pendidikan Indonesia | 8


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

4. SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Sex education sangat penting untuk mengurangi dan mencegah terjadinya tindakan
pelecehan seksual dan penyimpangan seksual pada siswa tunarungu. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa mayoritas guru SLB di wilayah jabodetabek memandang perlu adanya
pembelajaran kesehatan reproduksi bagi siswa tunarungu di SLB wilayah Jabodetabek untuk
mendapatkan pemahaman yang baik mengenai pendidikan seks dalam kesehatan reproduksi.
Hambatan komunikasi yang menjadi penyebab utama kurang efektifnya sex education pada
siswa tunarungu dapat diatasi dengan mengembangkan media kesehatan reproduksi bagi
siswa tunarungu di SLB wilayah Jabodetabek. Media animasi dipandang lebih menarik dan
lebih efektif membantu siswa tunarungu lebih mudah dalam memahami materi kesehatan
reproduksi. Oleh karena itu pengembangan media animasi kesehatan reproduksi pada siswa
tunarungu sangat perlu dan mendesak untuk dikembangkan guna memberikan pemahaman
tentang kesehatan seksual dan reproduksi kepada siswa tunarungu

Saran
Peneliti selanjutnya sebaiknya perlu mengembangkan media pembelajaran yang lebih
bervariasi lagi. Sehingga tidak hanya media animasi, tetapi materi pembelajaran juga harus
disinkronisasikan dengan media pembelajaran yang dikembangkan sesuai dengan kaidah-
kaidah untuk siswa tunarungu. Pengembangan tersebut juga harus memperhatikan kualitas dan
kebutuhan dari siswa, agar materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa tunarungu

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, M., Abbasi, M., & Bahaadinbeigy, K. (2015). Design and implementation of a software
for teaching health related topics to deaf students: The first experience in Iran. Acta
Informatica Medica, 23(2), 76–80. https://doi.org/10.5455/aim.2015.23.76-80
Anna C. Treacy, Shanon S. Taylor & Tammy V. Abernathy (2017): Sexual Health Education for
Individuals with Disabilities: A Call to Action, American Journal of Sexuality Education,
DOI: 10.1080/15546128.2017.1399492
Almutairi, A., & Al-Megren, S. (2017, November). Preliminary investigations on augmented
reality for the literacy development of deaf children. In International Visual Informatics
Conference (pp. 412-422). Springer, Cham
Bahri, Syaiful & Fajriani. (2015). Suatu Kajian Awal Terhadap Tingkat Pelecehan Seksual Di
Aceh. Majelis Pendidikan Daerah Aceh: Jurnal Pencerahan, 9(1), 50-65. ISSN: 1693 –
7775
Basile, K. C., Breiding, M. J., & Smith, S. G. (2016). Disability and risk of recent sexual violence
in the United States. American journal of public health, 106(5), 928-933.
Çeçen-eroğul, A. R. & Hasirci, O. K. (2013). The Effectiveness of Psycho-educational School-
based Child Sexual Abuse Prevention Training Program on Turkish Elementary Students.
Educational Science: Theory & Practice, 13(2), 725–729.
Center for Implementing Technology in Education (CITEd). (n.d.). Multimedia Instruction for
Students Who Are Deaf Re-published with permission from American Institutes for
Research. Retrieved from http://ctdinstitute.org/sites/default/files/file_attachments/CITEd-
Multimedia Instruction for Students who are Deaf FINAL.pdf

Jurnal Pendidikan Indonesia | 9


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

Cheung, C., Baum, T., & Hsueh, A. (2018). Workplace Sexual Harassment: Exploring The
Experience of Tour Leaders in An Asian context. Current Issues in Tourism, 21(13), 1468-
1485.
Çuhadaroğlu, A. (2017). The effects of sex education on psychological counselling students in
Turkey. Sex Education, 17(2), 209-219.
Chaerizanisazi. (2017). Urgensi Per-UU Kekerasan Seksual Terhadap Difabel. Retrieved June
18, 2019, from http://ciqal.blogspot.com/2017/12/urgensi-per-uu-kekerasan-seksual.html
Chomaria, N. (2014). Pelecehan Anak, Kenali dan Tangani, Menjaga Buah Hati dari Sindrom.
Solo: tiga Serangkai.
Dawn A. Rowe, James Sinclair, Kara Hirano & Josh Barbour (2018) Let's Talk About Sex …
Education, American Journal of Sexuality Education, 13:2, 205-216,
DOI:10.1080/15546128.2018.1457462
Esmail, Shaniff; Darry, Kim; Walter, Ashlea & Knupp, Heidi. (2010). “Attitudes and perceptions
towards disability and sexuality.” Disability and Rehabilitation; 32(14): 1148–1155.
European Expert Group on Sexuality Education (2015): Sexuality education– what is it?, Sex
Education, DOI: 10.1080/14681811.2015.1100599
Firman & Syahniar. (2018). Pencegahan Pelecehan Seksual Remaja Melalui Layanan Informasi
Menggunakan Pendekatan Contextual Teaching And Learning Di Sekolah Menengah
Atas (SMA). Universitas Negeri Padang (1-11). retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/328419555
Fitriani, Anisa. (2018). Studi Kasus Kejahatan Seksual Pada Anak Di Desa X Sebagai Upaya
Penyusunan Intervensi Berbasis Komunitas. Prosiding Seminar Nasional Psikologi
Unissula: penguatan keluarga di zaman now: Fakultas Psikologi (29-50).
Findley, P. A., Plummer, S. B., & McMahon, S. (2016). Exploring the experiences of abuse of
college students with disabilities. Journal of interpersonal violence, 31(17), 2801-2823.
Handayani, M. (2017).Pencegahan Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Melalui Komunikasi
antarpribadi Orang Tua dan Anak.Jurnal Ilmiah Visi PGTK Paud dan Dikmas.Vol. 12, No.
1.Hal.67-80.
Handayani, E. S., Yamtinah, S., & Kristiyanto, A. (2019). Analisis Kebutuhan Guru Sekolah Luar
Biasa (SLB) Terhadap Program Pendidikan Seksual bagi Siswa Tunarungu. Prosiding
Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta 2019.
Hidayat, L., Gunarhadi, & Hidayatulloh, F. (2017). Multimedia Based Learning Materials for Deaf
Students. European Journal of Special Education Research, 2(3), 77–87.
https://doi.org/10.5281/zenodo.376744
International Labour Organization. (n.d.). Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta.
Retrieved from https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf
Jatmikowati, T. E., Angin, R. & Ernawati. (2015, ). Model dan Materi Pendidikan Seks Anak Usia
Dini Perspektif Gender Untuk Menghindarkan Seksual Abuse. Cakrawala Pendidikan,
34(3), 434-448.komnasperempuan.go.id. (2015).kpai.go.id. (2019).
Liou, W. Y., & Chen, L. Y. (2016). Special Education Teachers’ Perspective on Mandatory
Reporting of Sexual Victimization of Students in Taiwan. Sexuality and Disability, 34(2),
131-143.

Jurnal Pendidikan Indonesia | 10


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

Marriott, C., Hamilton-Giachritsis, C., & Harrop, C. 2014. Factors promoting resilience following
childhood sexual abuse: a structured, narrative review of the literature. Journal Child
Abuse Review, 23(1), 17-34.
Mitchell, K. J., Ybarra, M. L., & Korchmaros, J. D. (2014). Sexual harassment among
adolescents of different sexual orientations and gender identities. Journal Child Abuse
and Neglect, 38(2), 280-295.
Mprah, Wisdom K. (2013). Sexual and reproductive health needs assessment with deaf people
in Ghana: Methodological challenges and ethical concerns. African Journal of Disability,
2(1), 1–7. https://doi.org/10.4102/ajod.v2i1.55
Mprah, Wisdom Kwadwo. (2015). Perceptions about Barriers to Sexual and Reproductive
Health Information and Services among Deaf People in Ghana. Disability, CBR &
Inclusive Development, 24(3), 21. https://doi.org/10.5463/dcid.v24i3.234
Manivasakan, J., & Sankaran, S. (2016). Sexual health education-is it still a taboo? A survey
from an urban school in Puducherry. International Journal of Reproduction, Contraception,
Obstetrics and Gynecology, 3(1), 158-161.
McDaniels, B., & Fleming, A. (2016). Sexuality education and intellectual disability: Time to
address the challenge. Sexuality and Disability, 34(2), 215-225.
McDonald, P., & Charlesworth, S. (2016). Workplace Sexual Harassment at The Margins.
Work, employment and society, 30(1), 118-134.
Michele Paludi and Carmen A. Paludi, Jr.(2003. A Handbook of Cultural, Social Science,
Management, and Legal Perspectives. Westport, CT: Praeger
Naseribooriabadi, T., Sadoughi, F., & Sheikhtaheri, A. (2017). Barriers and facilitators of health
literacy among D/deaf individuals: A review article. Iranian journal of public health, 46(11),
1465.
Nishioka, E. (2018). Historical transition of sexuality education in Japan and outline of
reproductive health/rights. Nihon eiseigaku zasshi. Japanese journal of hygiene, 73(2),
178.
Nishtha Mukerjee (2019) Investigating Women’s Safety In New Delhi’s Urban Transport
Systems. International Journal of Social Science and Economic Research, 04, (05), 3876
Ohihoin, A. G., Ezechi, O. C., Ifemeje, A. A., Medobi, E. F., Ohihoin, N. E., & Taylor-Robinson,
S. D. (2018). The Pattern of Sexual Assault in People Presenting to a Gynaecological Unit
of a Tertiary Hospital in South-West Nigeria. Annals of Medical and Health Sciences
Research.
Peraturan Pemerintah RI, Pub. L. No. 61 (2014). Retrieved from
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PP No. 61 Th 2014 ttg Kesehatan
Reproduksi.pdf
Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. (2014). Penyandang Disabilitas Pada Anak.
Ratna Pertiwi, K. (n.d.). Kesehatan Reproduksi Remaja Dan Permasalahannya. Retrieved from
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/PPM PEER KRR.pdf
Raugust, K. (2006). Teaching the Deaf Through Animation. Retrieved June 19, 2019, from
https://www.awn.com/animationworld/teaching-deaf-through-animation

Jurnal Pendidikan Indonesia | 11


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

Ramdhani, Iqbal. (2017). Kasus Pelecehan Seksual Dalam Transportasi Umum Menurut
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-I, 4(1),
pp. 95-120, DOI: 10.15408/sjsbs.v4i1.7871
Renu Addlakha, Janet Price & Shirin Heidari (2017) Disability and sexuality: claiming sexual and
reproductive rights, Reproductive Health Matters, 25:50, 4-9, DOI:
10.1080/09688080.2017.1336375
Rokhmah, I., & Warsiti, W. (2015). Identifikasi Kebutuhan Kesehatan Reproduksi Bagi Remaja
Perempuan Difabel (Tuna Grahita) Di Slb Negeri 2 Yogyakarta. Jurnal Kebidanan (Vol. 4).
Retrieved from https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jur_bid/article/view/1388/1442
Romulo, H. M., Noor Akbar, S., Mayangsari, M. D., Kunci, K., Pengetahuan, :, Reproduksi, K.,
… Awal, R. (n.d.). Peranan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Terhadap Perilaku
Seksual Remaja Awal (Role Of Reproductive Health Knowledge Towards Early
Adolescents’ Sexual Behaviors). Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/195897-ID-peranan-pengetahuan-kesehatan-
reproduksi.pdf
Rusinga, O. (2012). Perceptions of deaf youth about their vulnerability to sexual and
reproductive health problems in Masvingo District, Zimbabwe. African Journal of
Reproductive Health, 16(2), 271–282. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22916559
Razalli, A. R., Yusuf, N., Kassim, R., & Mamat, N. (2017). Visual Media Usage Teaching in the
Special Education Integration Programme (SEIP) of Hearing Impairment in Hulu Selangor.
Journal of ICSAR, 1(2), 112-120.
Sariyem, Santoso, B., & Supriyana. (2017). Effectiveness of Animation Media toward Teaching
Deaf Students on Dental Hygiene. ARC Journal of Dental Science, 2(4), 2456–2486.
https://doi.org/10.20431/2456-0030.0204001
Satria AN. (2013). Hak Reproduksi Difabel Kurang Perhatian. Retrieved June 18, 2019, from
https://www.ugm.ac.id/id/berita/4843-hak-reproduksi-difabel-kurang-perhatian
Schaafsma, Dilana; Kok, Gerjo; Stoffelen, Joke M. T. & Curfs, Leopold M. G. (2014):
Identifying Effective Methods for Teaching Sex Education to Individuals With Intellectual
Disabilities: A Systematic Review, The Journal of Sex Research, DOI:
10.1080/00224499.2014.919373
Sucahyo, N. (2018). Pemaksaan Pemasangan Alat Kontrasepsi Bagi Difabel Tidak Dibenarkan.
Retrieved June 18, 2019, from https://www.voaindonesia.com/a/pemaksaan-pemasangan-
alat-kontrasepsi-bagi-difabel-tidak-dibenarkan/4230938.html
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sulistiyowati, Anugrah; Matulessy, Andik & Pratikto, Herlan. (2018). Psikoedukasi Seks:
Meningkatkan pengetahuan untuk Mencegah Pelecehan Seksual pada Anak Prasekolah.
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, Vol. 06 (01), 17-27, eISSN: 2540-8291
Safitri, S. (2018). Applying a sex education programme in elementary schools in Indonesia:
Theory, application, and best practices. Diversity in Unity: Perspectives from Psychology
and Behavioral Sciences.
Sotelo, J., Solano, A., Duque, J., & Cano, S. (2016, September). Design of an interactive
system for teaching deaf children vowels. In Proceedings of the XVII International
Conference on Human Computer Interaction (pp. 1-2).

Jurnal Pendidikan Indonesia | 12


JPI, Vol. x No. x, Bulan Tahun
ISSN: 2541-7207 DOI: Nomor DOI

Tayo, A. B. & Olawuyi, B. O. (2016). Parental communication as a tool for preventing sexual
abuse among adolescent secondary school students. Journal of Education and Practice,
7(13), 116-123.
Utami, D. R. R. B. (2016). Peningkatan Efikasi Guru Mengajarkan Pencegahan Kekerasan
Seksual pada Anak Usia Prasekolah Digugus Wijaya Kusuma. Jurnal INFOKES, 6(2), 26-
31.
Yasin, M. H. M., Tahar, M. M., Bari, S., & Manaf, F. N. (2017). The sign language learning in
deaf student and special education teacher in integration program of hearing problem.
Journal of ICSAR, 1(2), 166-174.
Yuksel, C., & Unver, V. (2016). Use of simulated patient method to teach communication with
deaf patients in the emergency department. Clinical Simulation in Nursing, 12(7), 281-289.

Jurnal Pendidikan Indonesia | 13

Anda mungkin juga menyukai