Review Jurnal Berkaitan Dengan Pembangunan di Desa Studi Kasus
Provinsi DI Yogyakarta Judul : Analisis Implementasi Kerjasama Sister-Province Antara Provinsi Yogyakarta dengan Gyeongsangbuk-Do Dalam Pengembangan Desa Penulis : Sannya Pestari Dewi Volume : Vol. 2 | No. 1 | 2020 | Hal. 42 – 54 Penerbit : Fakultas Ekonomi dan Sosial, Universitas AMIKOM Yogyakarta Reviewer : Lifya Fillahi Attaqi (185020100111034) Implementasi Kerjasama Sister-City Antara Yogyakarta dan Gyeongsangbuk-Do Dalam Pengembangan Desa Sumbermulyo, Bantul Yogyakarta Provinsi D.I. Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang intensif membangun inisiasi kerja sama dengan pemerintah lain di luar batas negara Indonesia. Bahkan, Yogyakarta terus berusaha mempertahankan keberlangsungan program hubungan kerja sama luar negeri dengan berbagai wilayah di luar Indonesia yakni dengan Korea Selatan. Sejak tahun 2009, Yogyakarta telah melakukan inisiasi kerja sama dengan salah satu provinsi di Korea Selatan yaitu provinsi Gyeongsangbuk-Do dibidang pengembangan desa (Humas Pemda DIY, 2019). Implementasi dari program kerja sister-city antara Yogyakarta dengan Gyeongsangbuk-Do awalnya dilaksanakan pembangunan infrastruktur Gedung Saemaul dan peningkatan pada budidaya sapi di Desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul yang berhasil terlaksana. Lalu, hal ini menarik Gyeongsangbuk-Do untuk memperluas program kerjasamanya ke desa lainnya seperti Desa Sumbermulyo yang memiliki karakteristik cukup unik dimana desa ini memiliki keanekaragaman penganut agama yang tergambar dari corak bangunan ibadah di wilayah tersebut yang memiliki jara antar tempat ibadah saling berdekatan. Desa Sumbermulyo sendiri didominasi oleh buruh tani sehingga menjadikan desa ini sebagai salah satu desa penghasil komoditas tani di Yogyakarta akan tetapi berdasarkan data tahun 2015 masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan kebanyakan lulusan SD, SMP, SMA sedangkan lulusan perguruan tingginya sedikit (Prayogo & Setiawati, 2017). Dari kondisi di atas merupakan suatu hal yang kompleks dalam penerapan kerja sama sister-city antara Yogyakarta dan Gyeongsakbu-Do, karena akan ada pengaruh faktor sumber daya dari interaksi antar penduduk di desa tersebut. Periode kerja sama yang sudah 10 tahun berjalan dan kompleksitas kondisi masyarakat serta kebaharuan dari penerapan konsep sister-city ditingkatan terkecil desa dirasakan perlu untuk dikaji lebih dalam pada programnya, sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana efektivitas implementasi kerja sama sister-city antara Yogyakarta dan Gyeongsangbuk-Do dalam pengembangan Desa Sumbermulyo, Bantul? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan memakai tiga jenis teknik analisis data yakni analytic induction, grounded theory, dan secondary analysis. Wawancara dilakukan dengan pelaksana kegiatan kerja sama di tingkat Desa Sumbermulyo beserta dokumen-dokumen kegiatan yang terkait, seperti laporan kegiatan program, kesepakatan kerja sama, RPJM Desa, dll. Desa Sumbermulyo dan Gyeongsangbuk-Do memiliki kemiripan dimana keduanya unggul dalam bidang pertanian padi yang menjadikan proyeksi untuk program pengembangan desa, khususnya di bidang pertanian. Selain itu, kedua provinsi ini sama-sama kaya akan budaya dan peninggalan sejarah yang akan menjadi daya tarik kedua provinsi ini. Program pengembangan desa dalam kurun waktu 5 tahun dimulai dari 30 September 2015 yang tertulis dalam MoU dikatakan bahwa ruang lingkup kerja sama yang dilakukan berupa peningkatan kapasitas dan penguatan nilai-nilai demokrasi dalam tata kelola pemerintahan desa yang baik. Selain program pengembangan produk unggul, juga dilaksanakan program pemberdayaan perempuan dengan memberikan pelatihan kepada ibu-ibu kelompok wanita tani untuk memanfaatkan lahan pekarangannya dengan menanam tanaman obat keluarga, kemudian mereka diberikan bantuan berupa pupuk kandang dan media untuk menanamnya. Tidak hanya itu, setiap dusun di desa Sumbermulyo diberikan pelatihan pengelolaan bank sampah dan pemberian bantuan berupa alat timbang dan media untuk pengelolaan sampahnya di setiap dusun. Kelompok wanita tani disetiap dusun juga dibekali pengetahuan pengolahan produk yang dapat dijual melalui BumDes seperti olahan pisang dan jagung. Pihak Korea Selatan juga memberikan bantuan lantai jemur bagi pertanian desa senilai 75 juta sebagai upaya untuk meningkatkan hasil panen padi di desa Sumbermulyo. Program pengembangan desa dalam kerangka sister-province D.I Yogyakarta dan Gyeongsangbuk-Do dapat ditinjau melalui empat indikator implementasi kebijakan publik, yakni: komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Akan tetapi hanya satu variabel yang berjalan dengan baik dan dapat dipenuhi yakni variabel disposisi. Kerja sama yang terjalin selama kurang lebih dua tahun ini nyatanya tidak berhasil dilaksanakan sampai tenggat waktu yang ditentukan, dimana kuantitas pelatihan yang diberikan hanya empat kali dalam kurun waktu dua tahun juga tidak sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan produk unggul di Desa Sumbermulyo. Memang pada dua tahun awal program ini sudah melibatkan banyak aktor mulai dari universitas, pemerintah dan tokoh masyarakat, namun antusiasme dari kerja sama ini tidak berlangsung lama. Keterbatasan dana juga menjadikan kerja sama tidak berkembang sehingga kerja sama ini berada pada tingkatan sister-city dinamis. Manfaat dari kerja sama antara kedua provinsi ini berupa saling tukar pengetahuan, adanya peran aktif dari pemerintah daerah, mempererat persahabatan baik dari pemerintah maupun masyarakat kedua pihak, dan pertukaran budaya. Akan tetapi, pertukaran budaya kedua pihak tidak berjalan dengan maksimal pada kerja sama sister-province ini. Seperti yang disebutkan Salam (dalam Nuralam, 2018) pemerintah Indonesia belum memiliki kesiapan pada penarapan konsep sister-city di berbagai wilayahnya, sebab orientasi dari konsepnya masih pada jumlah kerja sama yang ditandatangani bukan pada kualitas pelaksanaan kerja sama di wilayah tersebut. Terdapat beberapa saran untuk memaksimalkan kerja sama sister-province selanjutnya antara D.I Yogyakarta dengan Gyeongsangbuk-Do pada pengembangan desa Sumbermulyo yaitu : 1. Program kerja sama yang ingin dilaksanakan sebaiknya dilakukan secara bottom-up tidak hanya dari pihak atas sehingga sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kelompok sasaran 2. Sebaiknya pemerintah D.I Yogyakarta ataupun pemerintah desa membuat sebuah aturan ataupun setidaknya SOP dari pembuatan perjanjian kerja sama dan pelaksanaan kerja sama yang melibatkan pihak internasional sehingga koordinasinya bisa sampai kepada alur koordinasi pemerintahan tertinggi 3. Pemerintah D.I Yogyakarta setidaknya meninjau kembali pelaksanaan setiap kerja sama yang disepakati bukan hanya berfokus pada jumlah kerjasamanya.