PUTUSAN
Nomor 52/PUU-XVI/2018
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing bertanggal 23 Juni
2018 dan 11 Juli 2018 memberi kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H.,
M.H., Ryan Muhammad, S.H., M.Si (Han)., Bayu Segara, S.H., dan Raden Laksito
Pangluaran, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam Y&V Law
Office, yang berkedudukan hukum di Gang Duren RT. 05/RW. 03 Ciapus, Desa
Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, baik
sendiri-sendiri ataupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa;
Selanjutnya Pemohon I sampai dengan Pemohon IX disebut
sebagai -------------------------------------------------------------- para Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
I. KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD
1945) menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”;
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;
3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengujian undang- undang terhadap UUD
1945 yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK)
yang menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-
undang (UU) terhadap UUD NRI Tahun 1945”;
4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”.
5
KERUGIAN KONSTITUSIONAL
14. Bahwa para pemohon telah diberikan hak imunitas dalam UU Advokat
dalam menjalankan tugasnya berdasarkan itikad baik sebagaimana diatur
dalam norma “a quo”. Namun ketentuan norma “a quo” tidak memberikan
kepastian hukum karena tidak jelas bagaimana PARA PEMOHON
mendapatkan hak imunitas tersebut.
15. Bahwa PEMOHON I, PEMOHON III, PEMOHON IV, PEMOHON V, VI,
PEMOHON VII dan PEMOHON VIII dalam menjalankan tugas profesinya
sebagai Advokat dan calon advokat berpotensi secara pasti dapat dituntut
dipengadilan baik secara perdata dan pidana saat diduga melakukan
Perbuatan Melawan Hukum (Perdata) atau melakukan dugaan Tindak
pidana, karena dalam menjalankan tugasnya, profesi advokat sangat
rentan masuk ke dalam unsur-unsur yang ada dalam ketentuan norma
perdata maupun pidana walaupun yang dilakukan berdasarkan itikad baik
(berdasarkan hukum).
9
baca/lt52690e19e5dd8/dinilai-malpraktik--firma-hukum-digugat-ke-
pengadilan)
24. Bahwa kasus dugaan malpraktik serupa juga pernah dialami oleh salah
satu firma hukum ternama di Indonesia, yaitu firma hukum Hadinoto,
Hadiputranto & Partners (HHP). Pada tahun 2001 pihak HHP pernah
digugat secara perdata oleh Kliennya, yaitu PT. Permindo Tubularta
selaku penggugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam kasus
tersebut pihak HHP selaku konsultan hukumnya dianggap oleh PT.
Permindo Tubularta telah melakukan perbuatan melawan hukum atas
dasar perbuatan salah satu foreign-counsel-nya yang dianggap telah
sengaja melalaikan pekerjaannya sebagai konsultan hukum yang
mengakibatkan kerugian bagi pihak PT. Permindo Tubularta dalam
menyelesaikan segitiga sengketa perjanjian pengeboran minyak yang
melibatkan Pilona Petro Tanjung Lontar Ltd, dan Equatorial Energy Inc,
suatu perusahaan yang berbasis di Kanada. (sumber: http://www.
hukumonline.com/berita/baca/hol4042/hhp-tak-terbukti-lakukan-perbuatan-
melawan-hukum).
25. Bahwa apabila mengacu pada ketentuan norma a quo seharusnya pihak
ABNR tidak dapat dituntut secara perdata ke pengadilan. Namun dengan
tidak adanya kejelasan keberlakuan ketentuan norma a quo, maka
advokat dapat dituntut secara perdata ke pengadilan dan pengadilan akan
menerima karena berlaku asas Ius Curia Novit/Curia Novit Jus.
26. Bahwa Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan (hal. 821), Ius Curia Novit/Curia Novit Jus berarti hakim
dianggap mengetahui semua hukum sehingga Pengadilan tidak boleh
menolak memeriksa dan mengadili perkara. Prinsip ini juga ditegaskan
dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yang menyatakan:
“(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup
usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.”
13
27. Bahwa apabila penilain atas kinerja advokat dilakukan oleh Pengadilan
tanpa melalui mekanisme DKOA maka hal tersebut tidak sesuai dengan
jaminan yang diberikan oleh Pasal 16 UU Advokat, oleh karenanya
ketentuan norma a quo merugikan PARA PEMOHON karena
menimbulkan ketidakpastian hukum
28. Bahwa dengan dengan dilakukannya pemanggilan dan pemeriksaan
ataupun dituntutnya Advokat di pengadilan baik secara perdata maupun
pidana karena diduga melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan baik perdata maupun pidana tanpa melalui
mekanisme pemeriksaan Itikad baik oleh DKOA, maka terhadap hal
tersebut :
a. telah mencoreng kehormatan Profesi Advokat (Officium Nobile).
b. telah melanggar ketentuan norma a quo
c. mengakibatkan PARA PEMOHON mengalami ketidakpastian hukum
terhadap berlakunya norma a quo, dimana advokat tetap dapat dituntut
di secara perdata maupun pidana saat menjalankan tugas profesinya.
Padahal norma a quo telah memberikan jaminan adanya Hak imunitas
yang penekanannya ada pada Itikad baik (Putusan MK Nomor 7 Tahun
2018).
Hal ini telah melanggar hak konstitusional PARA PEMOHON yang
dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
29. Bahwa dengan demikian PARA PEMOHON memiliki legal standing
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-
V/2007.
30. Bahwa apabila permohonan Para Pemohon ini dikabulkan maka dapat
dipastikan kerugian yang akan dialami PARA PEMOHON dikemudian hari
tidak akan terjadi lagi.
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6239/apakah-
advocat-dan-notaris-tidak-bisa-dituntut-pidana)
1.2. Bahwa di Indonesia, Advokat yang sedang menjalankan tugas
profesinya diberikan hak imunitas oleh UU Advokat dan Hak
imunitas tersebut ditegaskan dalam beberapa Putusan
Mahkamah Konstitusi.
1.3. Bahwa ketentuan norma yang mengatur tentang hak imunitas
Advokat dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
diatur pada Pasal 16 yang menyatakan bahwa:
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata
maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya
dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien
dalam sidang pengadilan”.
1.29. Bahwa hal ini tentunya berbeda jika diletakan dalam konteks
adanya perlakuan yang berbeda dengan Warga Negara biasa,
karena Advokat adalah profesi yang diberikan perlakuan
berbeda saat menjalankan tugas profesinya untuk membela
kepentingan hukum kliennya. Dimana oleh Undang-Undang
diberikan Hak Imunitas dengan dilandasi Itikad baik.
1.30. Bahwa hak-hak yang dimiliki oleh Advokat yang dijamin dalam
UU Advokat dapat dimasukan sebagai unsur tindak pidana
maupun perdata, diantaranya:
a. Hak untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang [Pasal 19 ayat
(1) UU Advokat], serta Hak kerahasiaan hubungannya
dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan
dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan
perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik Advokat [Pasal 19 ayat (2) UU Advokat]. Dalam
hal ini Advokat dapat disangka melakukan perbuatan yang
menghalang-halangi atau mempersulit proses penyidikan,
ketika penyidik terkendala memperoleh informasi, data,
maupun dokumen yang disimpan atau dirahasiakan oleh
Advokat terkait dengan kliennya yang menjadi tersangka
dalam suatu perkara pidana. Sebab pada umumnya
Advokat memiliki atau menyimpan berbagai informasi,
data, maupun dokumen yang berkaitan dengan perkara
kliennya, sekalipun hak kerahasiaan tersebut digunakan
oleh Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dengan
itikad baik.
b. Hak Retensi yang dimiliki Advokat sebagai penerima
kuasa. Dimana berdasarkan ketentuan Pasal 1812
KUHPer menyatakan: “Penerima kuasa berhak untuk
menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada
ditangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala
28
IV. PETITUM
Selain itu, para Pemohon juga mengajukan keterangan tertulis Ahli atas
nama Ahluddin Saiful Ahmad yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 5 November 2018, serta keterangan saksi atas nama Dian Agusdiana,
35
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan
bahwa Bunyi Ketentuan Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan Asas
Kejelasan Rumusan dan Asas Kejelasan Tujuan dalam Asas-Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Selanjutnya, ahli memberikan keterangan tambahan yang didengar dalam
persidangan tanggal 7 November 2018, yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut:
− Bahwa menurut ahli, UU Advokat yang memberikan hak imunitas kepada
advokat tidak berfungsi dengan baik atau sia-sia karena tidak memberikan
penjelasan lebih lanjut mekanisme hak imunitas tersebut didapatkan oleh
advokat. Menurut ahli, mekanisme tersebut haruslah tercantum dalam undang-
undang tanpa harus ada pendelegasian kewenangan lebih lanjut pada
peraturan perundang-undangannya di bawah undang-undang itu sendiri.
Keharusan tersebut dinyatakan oleh ahli karena memperi perlindungan dan
menjamin profesi advokat sebagai profesi yang bebas dan mandiri merupakan
sesuatu hal yang substansial.
− Bahwa ahli menyatakan belum pernah membaca risalah pembentukan UU
Advokat khususnya terkait dengan keberadaan Pasal 16 UU Advokat itu
sendiri;
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
4. Menurut para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 16 UU Advokat bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dipenuhi syarat:
- Bahwa frasa “tidak dapat dituntut secara pidana dalam menjalankan tugas
profesinya dengan itikad baik” tidak dimaknai “Pengajuan Permohonan
Gugatan Perdata ataupun Proses Pemanggilan dan permintaan
keterangan sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana kepada
Advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya dapat dilakukan
setelah mendapatkan Keputusan hasil pemeriksaan dari Dewan
Kehormatan Profesi Advokat”.
- Bahwa frasa “Itikad baik” tidak dimaknai “Advokat tidak dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas
profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien
dalam sidang pengadilan, dengan terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat untuk
mendapatkan penilaian dan keputusan.”
a. Adanya hak konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan
oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. Kerugian Konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3. Adapun kedudukan Hukum (legal standing) menurut Para Pemohon yaitu:
a. Bahwa para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang mempunyai
hak konstitusionalnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3),
Pasal 24D ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945.
b. Para Pemohon dalam Perkara nomor 52/PUU-XVI/2018 terdiri dari:
1) Pemohon I s.d. Pemohon V adalah WNI berprofesi sebagai advokat
dan advokat magang yang menganggap berpotensi secara pasti dapat
dituntut di pengadilan baik secara perdata dan pidana saat diduga
melakukan perbuatan melawan hukum (Perdata) atau melakukan
dugaan tindak pidana.
2) Bahwa Pemohon II pernah berurusan dengan hukum dimana dalam
menjalani proses pemanggilan dan pemeriksaan sebagai saksi tidak
mendapatkan kepastian hukum dari jaminan Hak Imunitas dari pasal
a quo. Bahwa tidak ada mekanisme melalui DKOA terlebih dahulu
sebelum Pemohon II dipanggil dan diperiksa oleh pihak kepolisian.
c. Para Pemohon dalam perkara Nomor 56/PUU-XVI/2018 terdiri dari:
1. Bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III adalah WNI selaku
dosen dan advokat yang memberikan jasa konsultasi-konsultasi hukum,
jasa pelayanan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu,
advokasi dan/atau bantuan hukum baik secara litigasi maupun non
litigasi yang dalam menjalankan tugasnya tidak memiliki jaminan
perlindungan hukum dan terjadi ketidakpastian hukum karena sangat
44
rentan digugat secara perdata oleh klien atau mantan klien, maupun
dilaporkan atas dugaan tindak pidana malpraktik advokat secara
sepihak tanpa melalui proses DKOA.
2. Bahwa para Pemohon beranggapan sangat berpotensi (memiliki
potensi) dikemudian hari melakukan perbuatan itikad tidak baik dalam
memberikan jasa pelayanan dan konsultasi hukumnya serta bantuan
hukum di pengadilan padahal belum tentu benar apa yang dilakukan
oleh para Pemohon seperti yang diduga atau disangkakan oleh klien
atau mantan klien.
4. Dalil kerugian berdasarkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon
tersebut, yaitu:
a. Pemohon mengalami ketidakpastian hukum dimana dalam menjalankan
tugas profesinya sebagai Advokat dan Advokat magang tetap dapat dituntut
di Pengadilan baik secara perdata dan pidana padahal ketentuan a quo
telah memberikan jaminan adanya hak imunitas Advokat yang
penekanannya ada pada “itikad baik”.
b. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya, dimana hak imunitas
Advokat di satu sisi dilindungi baik di dalam pengadilan maupun di luar
pengadilan, sementara di sisi lain tidak memiliki kepastian hukum, menjadi
terancam perlindungan hukumnya tanpa mendapatkan penilaian “itikad
baik” oleh DKOA.
5. Terhadap kedudukan hukum (legal standing) dan dalil kerugian para Pemohon,
Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
a. Bahwa kerugian konstitusional adalah kerugian yang dapat mengurangi
atau menghilangkan hak-hak seseorang atau badan hukum yang dijamin
dalam ketentuan UUD Tahun 1945.
b. Para Pemohon tidak dapat menjelaskan adanya kerugian baik dalam hal
mengurangi atau menghilangkan hak-haknya dalam kedudukanya sebagai
profesi advokat dirugikan akibat pasal yang diuji yang dijamin dalam Pasal 1
ayat (3), Pasal 24D ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945.
c. Bahwa terhadap hak konstitusional Pasal 1 ayat (3), Pasal 24D ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, para
45
Pemohon sebagai profesi advokat terdapat perbuatan yang tidak adil yang
dapat mengurangi atau menghilangkan hak-haknya sebagai profesi advokat
terutama dalam menjalankan profesinya sesuai kewenangannya.
d. Akibat dari dalil kerugian tersebut, tidak terlihat adanya penghilangan hak
atau mengurangi hak konstitusional atau secara spesifik (khusus) dan
aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dapat menghilangkan hak dan
kewajibannya sebagai profesi Advokat.
e. Bahwa kerugian yang didalilkan para Pemohon sebenarnya bukanlah
merupakan kerugian konstitusional (constitutional rights) akan tetapi lebih
kepada asumsi belaka.
f. Bahwa “itikad baik” merupakan frasa penekanan prilaku seseorang untuk
bertindak yang lebih patut.
g. Penilaian “itikad baik” terhadap seseorang dapat dilakukan oleh siapa saja
tidak sebatas orang tertentu namun dapat dilakukan oleh masyarakat
secara luas.
h. Dalam hal penilaian “itikad baik” seseorang dilakukan oleh masyarakat
secara umum dan merupakan perbuatan yang tidak beritikad baik,
perbuatan tersebut dapat dilakukan suatu tindakan, baik tindakan secara
sosial, adat istiadat maupun secara hukum.
i. Jika frasa “itikad baik” sebagai alasan inkonstitusional para Pemohon
merupakan alasan yang tidak beralasan hukum, meskipun dikehendaki
dalam penilaiannya dilakukan pihak tertentu.
a. “itikad baik” bukan merupakan norma hukum yang dapat dijadikan sebagai
landasan hukum, namun “itikad baik” merupakan norma sosial yang dapat
dijadikan sebagai penekanan norma hukum.
b. “itikad baik” bukan merupakan bagian dari unsur pidana sehingga penilaian
“itikad baik” tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk seseorang dituntut
secara pidana.
c. Pemeriksaan perilaku “itikad baik” yang dilakukan baik oleh DKOA, polisi,
jaksa maupun masyarakat tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum
untuk seseorang dituntut pidana sepanjang perbuatan seseorang tersebut
tidak memenuhi adanya unsur pidana. Sehingga untuk menjadikan alasan
dapat diperkarakan karena hanya adanya penilaian “itikad baik” sangatlan
tidak beralasan hukum.
d. Dalam kaitan tindak pidana yang menjadi alasan pembenaran seseorang
dapat diperiksa, ditahan, dituntut sampai dengan dijatuhi hukuman tidak
bisa terlepas dari perbuatan seseorang yang memenuhi unsur pidana.
Secara praktek peradilan unsur pidana tersebut yang dapat menentukan
berat ringannya suatu perbuatan pidana bahkan seseorang juga dapat
terbebas dari hukuman atau tuntutan karena unsur pidananya kurang kuat
atau lemah.
5. Jika pemeriksaan “itikad baik” dilakukan oleh DKOA terlebih dahulu yang
kemudian diserahkan kepada penegak hukum polisi atau jaksa sebagaimana
permohonan Pemohon bahwa “Pengajuan permohonan gugatan perdata
ataupun proses pemanggilan dan permintaan keternagan sehubungan
dngan adanya dugaan tindak pidana kepada advokat yang sedang
menjalankan tugas profesinya dapat dilakukan setelah mendapatkan
keputusan hasil kewenangan pemeriksaan dari Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat”, Presiden memberikan pandangan sebagai berikut:
a. Bahwa permohonan tersebut tidak beralasan hukum yang dalam
implementasinya dapat merusak sistem hukum terutama sistem hukum
pidana.
b. Bahwa secara proses pemanggilan dan permintaan keterangan
sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana umum telah menjadi
52
PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Presiden memohon
kepada yang terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa,
memutus, dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tersebut tidak
dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);
2. Menerima keternagan Presiden secara keseluruhan;
3. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing);
4. Menyatakan ketentuan Pasal 16 UU Advokat tidak bertentangan dengan Pasal
1 ayat (3), Pasal 24D ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat
(2) UUD 1945.
Namun demikian apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
mohon putusan yang bijaksanan dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pasal 16
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan
pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
10. Bahwa peranan Dewan Kehormatan adalah sangat diperlukan untuk menilai
dan menjaga perilaku setiap anggota organisasi advokat, atas dasar pemikiran
itulah kemudian negara mengamanahkan berdasarkan UU Advokat kepada
Organisasi Advokat/Dewan Kehormatan membentuk, menegakkan suatu kode
etik sekaligus menjadi tolak ukur menentukan dan mengawasi perilaku advokat
itu sendiri. Hal tersebut terdapat dalam BAB IX Pasal 26 s.d. 27 UU Advokat:
BAB IX, KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT
Pasal 26
1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun
kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat.
2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan
ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
3) Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
4) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan
oleh Organisasi Advokat.
5) Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili
pelanggaran kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat.
6) Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap
kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana.
7) Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran
kode etik profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat.
Pasal 27
1) Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
2) Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama
dan Dewan Kehormatan di tingkat Pusat mengadili pada tingkat
banding dan terakhir.
3) Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat.
4) Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan
Kehormatan membentuk majelis yang susunannya terdiri atas unsur
Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh
masyarakat.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan
Dewan Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik.
11. Bahwa dalam maksud menjaga marwah dan kehendak negara hukum,
menjadi sangat penting terkait penegakan hak imunitas advokat sebagaimana
terdapat pada Pasal 16 UU Advokat didudukkan sesuai dengan porsinya yaitu
dilakukan oleh suatu instrument penegakan oleh Dewan Kehormatan profesi
57
I. PETITUM
Berdasarkan seluruh dalil-dalil dan argumentasi yang telah PARA PIHAK
uraikan di atas, kami memohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan Uji Materil Perkara
Nomor 52/PUU-XVI/2018 berkenan untuk menjatuhkan Putusan dengan amar
sebagai berikut:
DALAM PUTUSAN SELA
1. Menerima dan menetapkan para Pihak Terkait untuk menjadi Pihak Terkait
Langsung dalam perkara Permohoan Uji Materiil a quo;
2. Memberikan hak-hak dalam persidangan kepada para Pihak Terkait
sebagaimana hak-hak para Pemohon.
58
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
1. Bahwa para Pemohon (Pemohon I sampai dengan Pemohon IX) yang masing-
masing sebagai Advokat, Advokat Magang, dan Calon Advokat, beranggapan
dalam menjalankan tugas profesinya masih tetap berpotensi dapat dituntut di
pengadilan baik secara perdata dan pidana pada saat menjalankan tugas
profesinya dalam mendampingi kliennya atau setelah mendampingi kliennya
walaupun dilakukan berdasarkan iktikad baik, hal tersebut diakibatkan karena
ketentuan norma Pasal 16 UU 18/2003 tidak menjelaskan lebih lanjut
mekanisme mendapatkan hak imunitas Advokat;
4. Menurut para Pemohon apabila penilaian atas unsur iktikad baik sebagaimana
tercantum dalam Pasal 16 UU 18/2003 dilakukan oleh pengadilan
sebagaimana praktek yang terjadi selama ini tanpa melalui mekanisme
pemeriksaan DKOA terlebih dulu maka hal tersebut tidak memberikan jaminan,
perlindungan serta kepastian hukum sebagaimana diamanatkan oleh UUD
1945.
Pokok Permohonan
1. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan norma dalam pasal a quo meskipun
telah pernah diuji tidaklah ne bis in idem oleh karena terdapat alasan yang
berbeda yaitu:
3. Bahwa menurut para Pemohon yang berhak menilai iktikad baik atas tindakan
dan perbuatan Advokat saat sedang menjalankan profesinya bukanlah
penyidik ataupun pengadilan, namun perlu adanya suatu mekanisme yang
66
4. Bahwa menurut para Pemohon, sama halnya dengan Advokat, anggota DPR
mendapatkan jaminan hak imunitas saat sedang menjalankan tugasnya
sebagaimana diberikan oleh Pasal 224 ayat (1) dan ayat (2) UU MD3 dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018,
pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Izin Presiden inilah
yang menjadi mekanisme hak imunitas;
[3.13.1] Bahwa Advokat merupakan salah satu bagian dari penegak hukum yang
memiliki tugas memberikan bantuan hukum kepada masyarakat (klien) yang
mengalami masalah hukum, sehingga dengan demikian keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Secara prinsipil, Advokat adalah officium nobile
artinya sebuah profesi yang terhormat, yakni seseorang yang berprofesi
memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang dapat
berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan klien.
Dalam kerangka pembelaan hukum, Advokat diberikan keistimewaan berupa hak
imunitas oleh undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 UU
18/2003 yang menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata
maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk
kepentingan pembelaan klien. Bahkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 26/PUU-XI/2013, bertanggal 14 Mei 2014, imunitas tersebut berlaku baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Sehingga, terhadap Pasal 16 UU 18/2003 sejak
tanggal 14 Mei 2014 harus ditafsirkan sesuai dengan putusan Mahkamah
dimaksud.
[3.13.2] Bahwa berdasarkan uraian dalam Paragraf [3.13.1] di atas, hak imunitas
Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat
Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut
digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau
tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud
dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan
demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU
18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus
tetap berdasarkan aturan hukum. Lebih lanjut, dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Nomor 7/PUU-XVI/2018 dinyatakan, “Kata kunci dari rumusan hak
imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien”
melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan
sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi”. Maka
71
[3.13.3] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang beranggapan hanya
DKOA yang berhak menilai iktikad baik dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh
Advokat, Mahkamah berpendapat, Advokat dalam menjalankan tugas profesinya
harus mematuhi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, persoalan selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah
iktikad baik yang dimaksud oleh para Pemohon apakah iktikad baik tersebut
termasuk dalam hal pelanggaran kode etik atau perbuatan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan.
dengan nilai-nilai moral yang melekat pada profesi Advokat (Kode Etik Profesi
Advokat), sehingga untuk menilai iktikad baik yang berhubungan dengan
perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat tentunya bukan lagi menjadi
wilayah kewenangan DKOA tetapi menjadi kewenangan penegak hukum dalam
kasus konkret yang dihadapi oleh seorang advokat, baik perbuatan pidana
maupun perdata. Jika ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 diubah seperti rumusan
petitum permohonan para Pemohon maka akan terjadi pertentangan dengan Pasal
26 UU 18/2003.
(2) Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, jaksa dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
tersebut terhenti dan menunggu izin dari Jaksa Agung sebagaimana disebutkan
dalam permohonan para Pemohon. Lebih lanjut Pasal 12 Kode Perilaku Jaksa
menyatakan, “Tindakan administratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana
dan hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil apabila
atas perbuatan tersebut terdapat ketentuan yang dilanggar”, yang artinya proses
hukum dapat berjalan secara bersamaan dengan proses pemeriksaan etik di
Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran etik dengan pelanggaran pidana
atau perdata dari seorang Jaksa merupakan dua hal yang berbeda untuk dinilai
dan tidak harus menunggu salah satu proses pemeriksaan dari keduanya selesai
lebih dulu.
tidak relevan karena advokat bukanlah pejabat negara sebagaimana anggota DPR
dan anggota BPK.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
KETUA,
ttd.
Anwar Usman
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
Aswanto Suhartoyo
76
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.