hal yang tidak terduga dalam drama politik terbaru di Indonesia. Artikel ini tidak
akan menganalisis keputusan politik strategis Jokowi dalam memilih Ma'ruf. Namun,
artikel ini bertujuan untuk mengangkat ke permukaan masalah besar yang sejauh ini
luput dari pembahasan: dampak negatif dari pencalonan Ma'ruf terhadap kelompok
minoritas.
Kebanyakan ahli politik hanya fokus pada strategi politik Jokowi dalam memilih
Ma'ruf sebagai kandidat wakil presiden. Para ahli ini mendasarkan analisis mereka
pada cara-cara aktor politik mengambil pendekatan pragmatis untuk menang dan
mengalahkan lawan mereka.
Dengan pendekatan semacam ini, wajar jika penunjukan Ma'ruf dianggap sebagai
strategi politik yang canggih oleh para pendukung Jokowi atau sebagai strategi
politik yang licik oleh lawan-lawannya.
Banyak yang menganggap bahwa Jokowi adalah ahli strategi politik yang hebat.
Keputusannya memilih Ma'ruf bisa melemahkan lawan-lawan dari kubu Islam konservatif
dan mungkin akan membawa kemenangan bagi Jokowi pada pilpres di bulan April tahun
depan.
Yang hilang dari analisis ini adalah pembacaan terhadap dampak keputusan Jokowi
dalam memilih Ma'ruf terhadap kelompok minoritas agama, seksual, dan gender.
Ma'ruf bukanlah seorang tokoh ulama biasa. Ketika kita mengetik namanya dalam mesin
pencarian Google, kita akan menemukan jejak andilnya dalam penerbitan beberapa
fatwa terkait masalah-masalah yang sensitif.
Kepemimpinan Ma'ruf di MUI juga ditandai dengan penolakan keras terhadap nilai-
nilai “liberal”, “pluralisme”, dan “sekularisme”.
Dalam kondisi politik seperti ini, aspek seperti kebijakan politik dan perlindungan
hak-hak asasi manusia diabaikan untuk memberi tempat narasi-narasi yang mendorong
kedua kubu yang berlawanan pada titik ekstrem.
Kesuksesan kandidat politik akan bergantung pada kemampuan mereka untuk membuat
janji-janji populer yang mendukung sentimen publik, dan bukan pada kemampuan mereka
dalam melindungi hak-hak asasi warga negara Indonesia.
Pada akhirnya, publik mungkin tidak begitu peduli tentang siapa yang benar secara
moral. Mereka sebaliknya terdorong untuk membuktikan lawan mereka salah. Pada titik
ini, baik pendukung Jokowi maupun lawannya, Prabowo Subianto, telah kehilangan
nalar kritisnya untuk menilai dengan adil kandidat politik mereka.
Menegaskan diskriminasi
Keputusan Jokowi mungkin merupakan langkah politik yang cerdas untuk menangkal
kekuatan hebat dari kelompok Muslim konservatif di tengah iklim politik saat ini.
Namun, kita jangan lupa bahwa keputusannya juga memberikan penegasan dari calon
pemimpin negara atas sikap antagonistik Ma'ruf terhadap orang-orang yang
terpinggirkan.
Pemilihan Ma'ruf berarti pemberian tempat bagi perilaku misogini, homofobia, dan
diskriminasi agama di tingkat politik tertinggi di Indonesia.
Memang benar adanya bahwa ranah pembuatan kebijakan selalu ada harga yang harus
dibayar. Tetapi pertanyaannya adalah: mengapa orang yang terpinggirkan yang harus
membayar?