Anda di halaman 1dari 7

3d.

Internet telah menjadi instrumen paling kuat dalam abad ke-21 untuk meningkatkan
transparansi dalam mengawasi kerja pemerintahan, memberi akses pada informasi, dan juga
memfasilitasi warga untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang demokratis.
Dengan adanya internet, terjadi apa yang disebut Castells (2012) dengan “mass
selfcommunication”, yakni penggunaan internet dan jaringan nirkabel sebagai platform dari
komunikasi digital sehingga produksi pesan dilakukan secara otonom oleh warga dan sulit
dikontrol oleh pemerintah atau korporasi. Itu yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
gerakan masyarakat baru ini. Di Indonesia juga sudah terjadi pemanfaatan internet untuk
demokrasi. Pemilu 2014 menandai inisiatif digital untuk meningkatkan kualitas demokrasi di
Indonesia. Dalam Temu Demokrasi Digital 2014 yang digagas Forum Demokrasi Digital (FDD)
John Muhammad dari Public Virtue Institute menyebutkan setidaknya pada 2014 telah lahir 64
inisiatif di internet berupa platform, website dan mobile apps yang berusaha memperbaiki
demokrasi dengan rincian ada 33 buah inisiatif berbasis platform/website, 30 buah berbasis
mobile application dan 1 buah berbasis keduanya. Ini diluar inisiatif yang bersifat partisan atau
yang dilahirkan oleh media massa. Sebagai contoh Situs kawalpemilu.org yang berbasis e-
counting menjadifenomenal pada Pemilu 2014 lalu karena berhasil mengawal suara publik dan
mengontrol kinerja KPU.

Namun berbagai catatan mengenai keberadaan demokrasi yang berjalan dengan


memanfaatkan teknologi informasi dari internet dan media sosial bukan berarti tidak mendapat
halangan dan ancaman. Halangan dan ancaman atas demokrasi di internet dibagi ke dalam dua
kelompok. Kelompok pertama yang berasal dari regulasi atau peraturan negara, sedang yang
kelompok kedua yang berasal dari kekuatan anti-demokrasi yang juga hidup dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Kehadiran Undang-Undang Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008 atau disingkat UU ITE sejak tahun 2008
merupakan bentuk regulasi yang semula dianggap bisa melindungi kepentingan swasta, negara,
dan publik dari ancaman-ancaman kejahatan siber (cybercrimes). Selain UU ITE, SAFENET
melihat kebijakan sensor lewat praktik filtering dan blokir situsweb yang dipakai juga untuk
merepresi kebebasan ekspresi alih-alih untuk 34 membendung kejahatan berbasis diskriminasi
etnis dan ras serta terorisme. Sehingga implikasinya pada demokrasi dapat dilihat dari sejumlah
indikator, antara lain:

1. Pertama, terjadi efek jeri sehingga pengguna internet/media sosial takut untuk memanfaatkan
lagi teknologi internet ini untuk demokrasi. Kedua, terjadi penutupan media online baik
karena pemiliknya dituntut dengan UU ITE atau situswebnya diblokir oleh Kominfo atas
aduan masyarakat. Ketiga, pelemahan gerakan-gerakan masyarakat baru dengan cara
mengkriminalisasikan aktoraktor demokrasinya dengan UU ITE. Untuk contoh yang terakhir
dapat merujuk pada pemidanaan 11 aktivis dalam setahun terakhir. Kelompok kedua yang
mengancam demokrasi digital adalah para pengguna internet dan media sosial untuk agenda
anti-demokrasinya. Pertama, ancaman datang dari bentuk-bentuk “slacktivisme” yakni bentuk
kegiatan online yang tak punya dampak langsung pada perubahan sosial. Bentuknya mulai
dari membubuhkan “like” pada status/facebook page hingga petisi online yang tidak
mengubah apapun di dalam kenyataan. Ancaman-ancaman ini sangat melemahkan upaya
untuk menjadikan media sosial punya dampak kepada perubahan sosial.Terhadap yang
terakhir ini, perlahan mulai dikenali sebagai ancaman yang serius karena menjadikan “social
cause” hanya sebagai bendera/slogan kosong dari kegiatan marketing. Karena sulit dibedakan
antara slacktivisme dan aktivisme sosial di tahapan awal, banyak masyarakat yang terjebak
dan kemudian berapriori pada perubahan sosial yang hendak ditawarkan lewat media sosial.
Mereka takut perubahan yang ditawarkan hanyalah perubahan semu. Sikap skeptis mulai juga
muncul dengan mengatakan bahwa kekuatan media sosial untuk melakukan perubahan sosial
tak lain hanyalah gembar-gembor omong kosong dari social media evangelists. Bila
skeptisisme ini meluas, bukan tidak mungkin media sosial justru kian melemah.
2. Kedua, ancaman datang dari sisi teknologinya. Algoritma News Feed di Facebook memang
dibuat berdasarkan ketertarikan seseorang. Jadi, sistem tersebut akan menampilkan konten-
konten yang dirasa diinginkan oleh pengguna. Namun, konten-konten tersebut tak dibuat
untuk bisa membedakan apakah konten yang ditampilkan fakta atau bukan. Karena itu,
hampir mungkin seseorang hanya akan melihat konten yang sesuai dengan ketertarikannya
meskipun hal itu palsu. Konten yang ditampilkan di News Feed akan melewatkan semua
informasi dari sudut pandang berbeda. Hal itu menurut sebagian orang tentu berpengaruh
pada pendapat seseorang karena diberi informasi yang sama terus-menerus. Inilah yang
disebut oleh Eli Pariser sebagai gelembung filter. Dalam buku The Filter Bubble: What the
Internet Is Hiding from You, Eli Pariser menulis bahwa Google dan Facebook sebagai mesin
pencari dan situs jejaring sosial paling populer memiliki sistem rekomendasi yang
menyesuaikan dengan perilaku berinternet kita. Setiap pencarian informasi di Google akan
tercatat, setiap interaksi dan perubahan profil di Facebook akan tercatat. Begitu juga di
platform Twitter. Pilihan berkawan sudah menentukan jenis informasi yang didapat sebuah
akun berdasarkan gelembung filter yang bekerja. Akibatnya di Twitter, pencarian informasi
lebih bergantung pada tanda pagar (hashtag) yang menjadi trending topic. Catatan inilah yang
digunakan dalam merekomendasikan sebuah informasi. Bahkan dalam algoritma Twitter,
teknologi yang ada saat ini tidak bisa membedakan mana ekspresi politik yang datang dari
individu dan mana yang difabrikasi untuk menyampaikan dukungan oleh akun bot atau akun
yang disebut pendengung (buzzer) politik.
3. Ketiga, dilakukannya kampanye kebencian dengan mengkafir-kafirkan pemeluk agama lain di
luar kelompoknya, diskriminasi terhadap kelompok LGBT, praktik pengarusutamaan
informasi bohong lewat buzzer dan bot, serta trolling kebencian yang dilancarkan secara
masif dan terencana. Ada banyak kelompok yang harus diwaspadai karena secara aktif
mereka paham cara kerja internet dan media sosial untuk mereproduksi pesan yang mereka
perjuangkan.

Dengan model komunikasi Web 3.0, dunia siber sebenarnya menawarkan output informasi
yang beragam dan demokratis. Maksudnya, karena setiap pengguna memiliki kesempatan yang
sama untuk menyampaikan pendapat, mengolah informasi, lalu kemudian menyebarkan kepada
pihak lain, sehingga perbedaan pendapat adalah sebuah konsekuensi logis dari teknologi
informasi yang disruptif semacam media sosial. Namun dengan eksistensi masalah yang
mengancam demokrasi itu, jalan mulus demokrasi digital masih perlu diperjuangkan. Maka dari
itu dibutuhkan upaya bersama dari mereka yang mempercayai teknologi internet bisa digunakan
untuk demokrasi agar masalah ini tertangani secara baik, karena bila tidak lekas-lekas diatasi
maka akan menimbulkan persoalan serius dalam demokrasi Indonesia. Saran yang dapat
diberikan untuk menanganinya yakni merevisi (lagi) berbagai regulasi yang menghambat
demokrasi digital dengan perspektif menghargai hak asasi manusia dalam teknologi baru,
melakukan literasi digital di kalangan usia muda (anak dan remaja) agar mereka melek
pemanfaatan internet yang demokratis, dan konsolidasi dari para kelompok teknologi
pembebasan untuk terus mendorong pemanfaatan internet untuk demokrasi di Indonesia.
Konsolidasi ini barangkali benihnya sudah ada, tapi masih perlu diperluas dengan melibatkan
lebih banyak pihak semisal gerakan perempuan dan para pendidik di sekolah-sekolah.

Sumber : Jurnal Dialog Kebijakan Publik

(http://digilib.uinsgd.ac.id/19866/1/Junal%20Dialog%20Kebijakan%20Publik.pdf)

4b.

Sejarah AS tidak dapat dilepaskan dari perbudakan keturunan kaum Afrika (biasa disebut di
sana sebagai African American). Keturunan Afrika di Amerika berperan dalam membangun AS
sebagai sebuah negara bangsa sejak abad ke-17, namun supremasi kaum kulit putih selalu
menjadikan kaum African American diperlakukan sebagai masyarakat kelas kedua. Meski
perbudakan keturunan Afrika di AS dihapuskan pada abad ke-19, dan hak sipil serta hak untuk
berpartisipasi dalam pemilihan umum disahkan pada 1960-an, diskriminasi masih terus dialami
oleh masyarakat African American. Salah satunya adalah dalam hal sosial ekonomi. Sejumlah
besar masyarakat kulit hitam saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, dan kebanyakan keluarga
kulit putih memiliki kekayaan sepuluh kali lipat  dibanding keluarga African American. Sebagian
besar (40%) narapidana di negara itu adalah orang kulit hitam. Kekerasan yang terjadi oleh polisi
terhadap kaum African American salah satunya didasari oleh adanya struktur kelas dan hierarki
ras yang mengakar dan menyebabkan bias rasial. Bias ini tidak hanya dimiliki oleh polisi, namun
karena polisi adalah pihak yang berwenang untuk menggunakan senjata dan menangkap orang
tertentu, bias rasial pada petugas kepolisian dapat menjadi sangat fatal. Inilah yang kemudian
mendorong munculnya gerakan Black Lives Matter, yang bertujuan agar pihak yang memiliki
kewenangan besar seperti polisi tidak dengan mudah mengambil keputusan genting yang dapat
berakibat pada hilangnya nyawa dengan didasari bias tersebut.

Dari sisi sejarah, Papua cukup berbeda dengan African American. Isu yang paling utama di
Papua adalah adanya tuntutan kemerdekaan bagi Papua. Sejak awal kemerdekaan Indonesia,
pada Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, status Papua telah menjadi perdebatan antara
Indonesia dan Belanda. Belanda ingin menjadikan Papua sebagai negara tersendiri di bawah
naungan kerajaan  karena orang asli Papua memiliki etnis dan ras yang berbeda dari mayoritas
masyarakat Indonesia. Konflik atas status Papua ini terus berlangsung walau pemerintah
Indonesia melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Dalam Pepera itu, 1.000 orang
yang dipilih khusus diminta mewakili seluruh populasi Papua menyatakan sepakat untuk
bergabung dengan Indonesia. Berbeda dengan African American, masyarakat asli Papua telah
menempati wilayah yang saat ini masuk menjadi provinsi Papua dan Papua Barat bahkan
sebelum kemerdekaan Indonesia. Sejarah yang berbeda ini juga menjadikan tujuan kedua
gerakan berbeda. Sebagian masyarakat Papua menuntut independensi dari Indonesia,
karena sejarah status Papua yang cukup kompleks, ditambah posisi Papua yang merupakan salah
satu daerah termiskin di Indonesia terlepas dari wilayahnya yang memiliki kekayaan alam yang
besar. Sementara tujuan gerakan anti-rasisme Black Lives Matter lebih kepada
mendorong penghapusan ketidakadilan sistematis bagi kelompok African American sebagai
bagian dari masyarakat AS.

Slogan Papuan Lives Matter menjadi ramai diperbincangkan karena adanya kekerasan


berkelanjutan yang dialami oleh masyarakat asli Papua di tangan pihak berwenang, yang
mengatasnamakan kedaulatan dan keamanan Indonesia, dan tidak jauh berbeda dengan
kekerasan yang dialami kelompok African American. Pada 2019, terjadi kerusuhan di Wamena
yang diawali dengan peristiwa pengepungan dan rasisme di asrama mahasiswa Papua di
Surabaya, Jawa Timur, yang merendahkan masyarakat Papua. Peristiwa tersebut hanya satu dari
sekian banyak kekerasan rasis yang terjadi, sebagian karena secara fisik mereka merupakan
bagian dari ras melanesia yang berbeda dengan mayoritas etnis di Indonesia. Pasca peristiwa
tersebut, semakin terlihat bahwa bagi masyarakat asli Papua, pembahasan mengenai rasisme
tidak dapat dilepaskan dari diskusi mengenai perjuangan untuk menentukan nasib mereka
sendiri. Ketika isu Black Lives Matter mencuat, tidak heran apabila kemudian diskusi mengenai
Papua kembali diangkat. Adanya diskriminasi karena ras menempatkan masyarakat asli Papua
dan kaum African American secara sosial dan ekonomi berada di bawah kelompok mayoritas di
negara masing-masing. Selain itu, keduanya mengalami kekerasan baik oleh anggota masyarakat
lain maupun oleh pemerintah. Sehingga, memanfaatkan momentum Black Lives Matter menjadi
penting untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa rasisme tidak hanya terjadi di Amerika
Serikat, namun juga di “rumah” kita sendiri.

(https://theconversation.com/membandingkan-gerakan-black-lives-matter-di-amerika-dan-
papuan-lives-matter-di-indonesia-apa-yang-sama-apa-yang-beda-140069)

Jenis dan bentuk perilaku kolektif : Opini Publik

(https://kasmanjaati78.wordpress.com/2010/11/12/macam-macam-perilaku-kolektif/)
4c.

Berdasarkan pernyataan tersebut, hal ini terjadi sesuai dengan teori Le Bon perilaku kolektif
dapan ditentukan oleh 6 faktor berikut ini :

1. Situasi social
2. Ketegangan structural, kesenjangan dan ketidakserasian antar kelompok
3. Berkembang kepercayaan umum
4. Factor yang mendahului
5. Mobilisasi tindakan.
(http://agus93winasis.blogspot.com/2013/11/pengertian-perilaku-kolektif.html)

5a.

Setting pertama dibuka dengan cuplikan adegan Perang Vietnam dan diskusi  pejabat
pemerintah AS terkait perang ini. Dan selanjutnya cerita mulai  berfokus pada Kay Graham, Ben
Bradleebeserta tim wartawan The Washington Post yang berjuang mengungkap Pentagon Papers
ke publik. Sebagai informasi, Pentagon Papers adalah serangkaian dokumen paling rahasia
(klasifikasi Top Secret)  Departemen Pertahanan AS terkait keterlibatan pemerintah AS dalam
Perang Vietnam. Dokumen ini terdiri dari 47 volume yang disusun dalam  rentang tahun 1967 --
1969, mencakup 3,000 halaman narasi dan 4,000  halaman dokumen pendukung. Penelitian ini
dipimpin oleh seorang Analis Militer, Daniel Ellsberg, yang kemudian malah membelot dan
beropini  bahwa seharusnya seluruh informasi hasil penelitian tim-nya diketahui  publik. Daniel
Ellsberg kemudian mengkopi dokumen tersebut dan memberikannya kepada Neil Shenaan, salah
seorang wartawan The New York Times. Koran tersebut adalah yang pertama kali
mempublikasikan salah satu isi Pentagon Papers dan langsung menyita perhatian publik,
termasuk Gedung Putih.

Gedung Putih langsung melayangkan peringatan kepada New York Times dan melarang
mempublikasikan lebih jauh isi Pentagon Papers dengan alasan dapat mengakibatkan kehancuran
negara, kematian langsung  tahanan perang AS, memperpanjang perang dan sebagainya. Dan
karena New York Times menolak, gugatan perdata pun dilayangkan pemerintah AS sehingga
New York Times diputuskan tidak boleh menerbitkan kembali Pentagon Papers.

Dari sinilah The Washington Post mulai berperan. Saat kasus Pentagon Papers ini
berlangsung, Kay Graham baru saja kehilangan suami yang sekaligus menjabat sebagai pimpinan
The Washington Post, mendadak harus menjalankan perusahaan keluarga tersebut. Untuk
menstabilkan kondisi keuangan perusahaan, Kay Graham harus menjual  sejumlah sahamnya
kepada publik. Setelah New York Times dilarang menerbitkan Pentagon Papers, tak disangka
Ben Bradlee juga mendapatkan narasumber terpercaya terkait Pentagon Papers. Empat ribu
halaman salinan dokumen tak beraturan itupun mulai disusun sedemikian rupa untuk
menerbitkan artikel berikutnya. Kay  Graham dihadapkan pada dilema berat oleh dewan
direksinya. Sebagian  mendorongnya (terutama Ben Bradlee) untuk menerbitkan artikel tersebut
dengan pertimbangan bahwa seharusnya pers tidak bisa didikte pemerintah  dan sebagian
menentangnya karena berpotensi menyebabkan para investor  akan menarik sahamnya dari The
Washington Post. Disatu sisi,  Kay Graham ingin tetap berpegang pada prinsip kebebasan pers
sementara  disisi lain ia juga tidak ingin kehilangan perusahaannya, karena  kemungkinan
terburuknya adalah The Washington Post tutup dan ia dipenjara karena melawan pemerintah.

Pada  akhirnya, Kay memutuskan untuk tetap mempublikasikan artikel tersebut  dan tentunya
langsung menyulut reaksi dan peringatan dari Gedung Putih. The Washington Post dilarang
keras masuk ke Gedung Putih lagi dan dituntut di pengadilan. Kasus New York Times dan
Washington Post melawan pemerintah menjadi kasus yang paling terkenal dengan sebutan New
York Times vs United States. Namun tak disangka, ternyata Pentagon Papers juga telah tersebar
ke surat kabar lainnya mulai dari Times, Boston Globe dan lainnya. Pada bagian akhir film yang
menampilkan seorang sekuriti memergoki pembobolan sebuah ruang  perkantoran di malam hari,
yang ternyata adalah Kantor Komite Nasional  Partai Demokrat. Pembobolan ini berujung pada
pengungkapan Skandal Watergate yang diselidiki oleh dua wartawan The Washington Post yang
menyeret Presiden Nixon pada pengunduran dirinya.

5b.

Ekonomi politik media adalah mengkaji tentang proses produksi, distribusi, dan
konsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh hubungan pengelola media, pemodal atau
kapitalis dan negara atau pemerintah sebagai penguasa dalam arti politis. Dalam tahapannya film
tesebut sudah memenuhi 3 tahap yang dapat digunakan dalam membongkar rahasia yang
dilakukan oleh media massa menurut Vincent Moskow yaitu :

1. Komodifikasi
Upaya yang dilakukan oleh media massa dalam merubah segalanya agar dapat dijadikan
sebagai alat penghasil keuntungan. Dalam uraiannya disebutkan komodifikasi konten, audien/
penonton, dan pekerja.
2. Spesialisasi
Upaya yang dilakukan pemilik media untuk mengatasi jarak dan waktu, dengan
pemanfaatan teknologi, agar dapat memaksimalkan kerja dalam rangka peningkatan
keuntungan.
3. Strukturasi
Interaksi interdependensi antar agen dengan struktur sosial yang melingkupinya dan saling
mempengaruhi dalam kegiatan produksi di antara pekerja dan pemilik modal, sehingga
menentukan kuasa siapa yang berpengaruh pada saat bekerja.

Di dalam film, telah terjadi praktik ekonomi politik media.


5c.

Pelajaran yang berharga yang dapat diambil dari film tersebut yaitu, selalu memikirkan dampak
positif dan negatif dari setiap tindakan yang dipilih serta selalu melakukan semua tindakan sesuai
dengan peraturan atau hukum yang ada di sebuah negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai