Anda di halaman 1dari 132

DAMPAK GERAKAN DI/TII TERHADAP KEHIDUPAN

SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT DESA RAJAWETAN


KECAMATAN TONJONG KABUPATEN BREBES TAHUN
1950-1960

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora IAIN Purwokerto
sebagai Syarat untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana dalam Sejarah Peradaban Islam (S.Hum)

Oleh
WINDY LIDYANINGSIH
1717503040

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2021
i
ii
NOTA DINAS PEMBIMBINGAN

Purwokerto, 19 Agustus 2021


Hal : Pengajuan Munaqosah Skripsi
Windy Lidyangsih
Lamp : 5 Eksemplar

Kepada, Yth.
Dekan FUAH IAIN Purwokerto
Di Purwokerto

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Setelah melakukan bimbingan, telaah, arahan, dan koreksi,. Maka


melalui surat ini, saya sampaikan bahwa:
Nama : Windy Lidyaningsih
NIM : 1717503040
Fakultas : Ushuluddin, Adab, dan Humaniora
Jurusan : Sejarah dan Sastra
Program Studi : Sejarah Peradaban Islam
Judul : Dampak Gerakan DI/TII Terhadap Kehidupan Sosial
Keagamaan Masyarakat Desa Rajawetan Kec. Tonjong
Kab. Brebes Tahun 1950-1960.

Sudah dapat diajukan kepada Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan


Humaniora, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto untuk
dimunaqosahkan dalam rangka memperoleh gelar Sarjana dalam
Humaniora (S.Hum).
Demikian, atas perhatian Bapak/Ibu, saya mengucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Pembimbing,

Nurrohim, Lc., M.Hum


NIP. 198709022019031011

iii
DAMPAK GERAKAN DI/TII TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL
KEAGAMAAN MASYARAKAT DESA RAJAWETAN KECAMATAN
TONJONG KABUPATEN BREBES TAHUN 1950-1960

WINDY LIDYANINGSIH
1717503040
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto
Jl. A. Yani 40-A (+62 281)635624 Purwokerto 53126
Email: windylidyaningsih10@gmail.com

Abstrak

Gerakan DI/TII merupakan salah satu gerakan politik Islam yang ada di
Wilayah Indonesia. Gerakan DI/TII lahir atas kondisi perpolitikan bangsa Indonesia
pasca kemerdekaan lebih tepatnya setelah disahkannya Perjanjian Renville pada 17
Januari 1948, yang menarik mundur pasukan militer ke garis Demarkasi Van Mook.
Gerakan DI/TII terjadi pada tahun 1949-1962 dan menyebar di berbagai wilayah
Indonesia, salah satunya di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah dengan
basis gerakan di wilayah Brebes-Tegal. Keberadaan gerakan DI/TII di wilayah
Brebes diyakini oleh masyarakat sempat mempunyai dampak dalam tatanana
kehidupan sosial dan keagamaan, terutama di wilayah Desa Rajawetan Kecamatan
Tonjong Kabupaten Brebes yang terjadi pada kisaran tahun 1950-1960.
Penelitian ini akan memfokuskan pada bagaimana sejarah gerakan DI/TII
di Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes tahun 1950-1960 dan
bagaimana dampak sosial keagamaan yang dialami oleh masyarakat setempat.
Untuk menganalisis terkait penelitian ini, peneliti menggunakan teori gerakan
sosial dan dampak sosial keagamaan. Teori gerakan sosial menjelaskan mengenai
latar belakang sejarah gerakan DI/TII, sedangkan teori dampak sosial keagamaan
digunakan untuk mengetahui pengaruh yang dialami oleh masyarakat setempat
akibat keberadaan gerakan DI/TII terutama dalam bidang keagamaan. Metode
penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian sejarah yang meliputi: heuristik,
verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan DI/TII mempunyai dampak
sosial seperti: kekurangan makan, perubahan sikap masyarakat, pembakaran rumah,
pembunuhan dan penculikan. Sedangkan dalam keagamaan yaitu: perkembangan
agama Islam di Desa Rajawetan dan terancamnya pancasila sebagai dasar negara
Indonesia yang sudah menjadi kesepakatan bersama.

Kata Kunci : DI/TII, Dampak Sosial, Dampak Keagamaan, Rajawetan

iv
THE IMPACT OF THE DI/TII MOVEMENT ON THE SOCIO-
RELIGIOUS LIFE OF THE RAJAWETAN VILLAGE, TONJONG SUB-
DISTRICT, BREBES DISTRICT IN 1950-1960

WINDY LIDYANINGSIH
1717503040
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto
Jl. A. Yani 40-A (+62 281)635624 Purwokerto 53126
Email: windylidyaningsih10@gmail.com

Abstract

The DI/TII movement is one of the Islamic political movement in Indonesia.


The DI/TII movement was born out of the political conditions of the post-
independence Indonesia nation, more precisely after the ratification of the Renville
Agreement on 17 January 1948, which pulled military troops back to the Demarkasi
Van Mook. The DI/TII movement occurred in 1949-1962 and spread in various
parts of Indonesia, one of which was in Central Java led by Amir Fatah with a
movement base in the Brebes- Tegak region. The existence of DI/TII in the Brebes
area is belived by the local community to have an impact on the order of social adn
religious life, esppecially in the area of Rajawetan Village, Tonjong District, Brebes
Regency, which occurred in the 1950-1960.
This study will focus on the history of the DI/TII movement in Rajawetan
Village, Tonjong District, Brebes Regency in 1950-1960 and how the socio-
religious impact experienced by the local community. To analyze this research the
researcher uses the theory of social movement and the social impact of religion.
Social movement theory explains the background of the DI/TII movement, while
the socio-religious impact theory is used to determine the influence experienced by
local communities due to the existence of the DI/TII movement, especially in the
religious field.
The research method used is the historical research method which includes:
Heuristics, Verification, Interpretation, and Hostoriography. The results showed
that the DI/TII movement had social impacts such as food shortages, changes in
people’s attitudes, house burnings, murders and kidnappings. Whereas in religion,
namely the development of Islam in Rajawetan Village and threatened Pancasila as
the basis of the Indonesia state which has become a mutual agreement.

Keywords : DI/TII, Social impact, Religious impact, Rajawetan

v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini


berpedoman pada Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomr: 158/1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf latin Nama
‫ا‬ alif Tidak Tidak dilambangkan
dilambangkan
‫ب‬ ba’ B be
‫ت‬ ta’ T te
‫ث‬ ša Š Es (dengan titik di atas)
‫ج‬ jim J je

‫ح‬ ĥ H ha (dengan titik di bawah)


‫خ‬ kha’ Kh ka dan ha
‫د‬ dal D de
‫ذ‬ źal Ź ze (dengan titik di atas)
‫ر‬ ra’ R er
‫ز‬ zai Z zet
‫س‬ Sin S es
‫ش‬ syin Sy es dan ye
‫ص‬ şad Ş es (dengan titik di bawah)
‫ض‬ ďad Ď de (dengan titik di bawah)
‫ط‬ ţa’ Ţ te (dengan titik di bawah)
‫ظ‬ ża’ Ż zet (dengan titik di bawah)
‫ع‬ ‘ain ‘ koma terbalik di atas
‫غ‬ gain G ge
‫ف‬ fa’ F ef

vi
‫ق‬ qaf Q qi
‫ك‬ kaf K ka
‫ل‬ Lam L ‘el
‫م‬ mim M ‘em
‫ن‬ nun N ‘en
‫و‬ waw W w
‫ه‬ ha’ H ha
‫ء‬ hamzah’ apostrof
‫ي‬ ya’ Y Ye
Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis rangkap
‫متعددة‬ ditulis muta‘addidah
‫عدة‬ ditulis ‘iddah
Ta’ Marbūţah di akhir kata Bila dimatikan tulis h
‫حكمة‬ ditulis ĥikmah
‫جزية‬ ditulis jizyah
(Ketentuan ini tidak diperlakuakn pada kata-kata arab yang sudah terserap ke dalam
bahasa Indonesia, seperti zakat, salat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki
lafal aslinya)

a. Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka
ditulis dengan h.
‫كرامة األولياء‬ Ditulis Karāmah al-auliyā’

b. Bila ta’ marbūţah hidup atau dengan harakat, fatĥah atau kasrah atau ďammah
ditulis dengan t
‫زكاة الفطر‬ ditulis Zakāt al-fiţr
Vokal Pendek
-------- fatĥah Ditulis a
-------- kasrah ditulis i

vii
-------- ďammah ditulis u

Vokal Panjang
1. Fatĥah + alif Ditulis Ā
‫جاهلية‬ Ditulis jāhiliyah
2. Fatĥah + ya’ mati Ditulis Ā
‫تنـسى‬ Ditulis tansā
3. Kasrah + ya’ mati Ditulis Ī
‫كـر يم‬ Ditulis karīm
4. D}ammah + wāwu mati Ditulis ū
‫فروض‬ Ditulis furūď
Vokal Rangkap
1. Fatĥah + ya’ mati ditulis ai
‫بينكم‬ ditulis bainakum
2. Fatĥah + wawu mati ditulis au
‫قول‬ ditulis qaul
Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
‫أأنتم‬ ditulis a’antum
‫أعدت‬ ditulis u‘iddat
‫لئن شكـرتم‬ ditulis la’in syakartum
H. Kata Sandang Alif +Lam
a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
‫القرآن‬ ditulis al-Qur’ān
‫القياس‬ ditulis al-Qiyās

b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf


Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)nya.
‫السماء‬ ditulis as-Samā’
‫الشمس‬ ditulis asy-Syams

viii
Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat
Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya.
‫ذوى الفروض‬ ditulis zawī al-furūď
‫أهل السنة‬ Ditulis ahl as-Sunnah

ix
MOTTO

Islam agamaku, Pancasila negaraku.

x
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Almamater Sejarah Peradaban Islam

Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora

Kedua orang tua saya Bapak Sugiyanto dan Ibu Marsitah

Edi Mashudi, S.Pd, Muh. Mujiariyanto, S.Pd, dan Kholistyowati, S.Pd

Khafi Kurniasih, Mela Shifa Fauziah, Ida Istiqomah, Sulis Yusria Rezqi, Ridha
Nindya P, Indah Khilma W

Dan sahabat-sahabat seperjuangan lainnya yang tidak bisa sebut satu persatu-satu
namanya

TERIMAKASIH UNTUK SEGALA KEBAIKAN KALIAN SEMUANYA.

xi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kita semua bisa menjalani kehidupan ini

dengan bahagia. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman

yang terang dengan adanya Iman Islam. Semoga kita semua kelak mendapatkan

syafa’atnya di hari akhir nanti. Aamiin...

Dengan mengucap Alhamdulillahirobbil’alamin saya dapat menyelesaikan

penulisan skripsi dengan judul “Dampak Gerakan DI/TII terdahap Kehidupan

Sosial Keagamaan Masyarakat Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong Kabupaten

Brebes Tahun 1950-1960”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) dari Program Studi Sejarah

Peradaban Islam, Jurusan Sejarah dan Sastra, Fakultas Ushuluddin Adab dan

Humaniora, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto. Dalam penulisan ini tidak

terlepas dari bimbingan, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Penulisan hanya

bisa mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag, Rektor Institut Agama Islam Negeri

Purwokerto.

2. Dr. Hj. Naqiyah, M.Ag, Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan

Humaniora Intitut Agama Islam Negeri Purwokerto.

3. Dr. Hartono, M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin Adab dan

Humaniora Intitut Agama Islam Negeri Purwokerto.

xii
4. Hj. Ida Novianti, M.Ag, Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin Adab dan

Humaniora Intitut Agama Islam Negeri Purwokerto.

5. Dr. Farichatul Maftuchah, M.Ag, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin

Adab dan Humaniora Intitut Agama Islam Negeri Purwokerto.

6. A.M. Ismatulloh, M.Si, Ketua Program Studi Sejarah Peradaban Isla,

Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Intitut Agama Islam Negeri

Purwokerto.

7. Arif Hidayat, M.Hum, Sekretaris Program Studi Sejarah Peradaban

Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Intitut Agama Islam

Negeri Purwokerto.

8. Waliko, M.Ag Selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan

motivasi dan bimbingan. Semoga selalu diberikan kesehatan dan rezqi

yang melimpah. Aamiinn.

9. Nurrohim, Lc., M.Hum selaku pembimbing skripsi yang telah sabar

dalam membimbing penulisan skripsi, semoga selalu diberikan

kesehatan dan rezqi yang melimpah. Aamiin.

10. Segenap Dosen dan Staff Adminitrasi Fakultas Ushuluddin Adab dan

Humaniora Intitut Agama Islam Negeri Purwokerto yang telah

memberikan ilmunya.

11. Kedua orang tua saya Bapak Sugiyanto dan Ibu Marsitah yang selalu

mendoakan dan memberikan semangat untuk mengerjakan skripsi,

memberikan dukungan moral dan materiil, sehingga skripsi ini bisa

sampai pada tahap akhir.

xiii
12. Kakak saya Edi Mashudi, M. Mujiariyanto, dan Kholistyowati yang

telah memberikan motivasi dalam proses penulisan skripsi ini.

13. Ibu Catem, Bapak Taro, Bapak Rojikin, Bapak Sadrun Sadar, Bapak

Darto, Bapak Raid, dan Ibu Dayep yang telah berkenan menjadi

Narasumber dalam penulisan skripsi ini.

14. Neneng Irwanti, S.Hum dan Dewi Rokhmah S.Pd yang telah

memberikan motivasi dan arahan dalam penulisan skripsi.

15. Sahabat-sahabat seperjuangan SPI 17, MPK 2017 SMA BU NU

Bumiayu, LK FUAH, PMII Rayon FUAH, dan keluarga besar

mahasiswa FUAH. Terimakasih atas segala kenangannya dan ilmunya.

Semoga Allah SWT selalu memudahkan segala urusan kalian dan

memberikan kesehatan serta rezqi yang melimpah.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak

kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, kiranya bagi pembaca bisa

meberikan kritik dan saran yang membangun guna penulisan skripsi

yang lebih baik lagi. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat

khususnya bagi penulis ataupun para pembaca, serta memotivasi para

pembaca agar mempunyai semangat untuk menggali sejarah lokal.

Purwokerto, 19 Agustus 2021

Windy Lidyaningsih
NIM. 1717503040

xiv
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................... i

PENGESAHAN ........................................................................................ ii

NOTA DINAS PEMBIMBING ............................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................... iv

PEDOMAN TRASNLITERASI .............................................................. vi

MOTTO .................................................................................................... x

PERSEMBAHAN .................................................................................... xi

KATA PENGANTAR ............................................................................ xii

DAFTAR ISI ........................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xvii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Peneletian ..................................................... 7

D. Tinjaun Pustaka ............................................................................. 8

E. Landasan Teori ............................................................................ 11

F. Metode Penelitian........................................................................ 14

G. Sistematika Penulisan ................................................................. 16

xv
BAB II: SEJARAH DI/TII DI DESA RAJAWETAN TAHUN 1950-1960

A. Gambaran Umum Desa Rajawetan ............................................. 19

B. Sejarah Gerakan DI/TII di Brebes............................................... 21

C. Sejarah Gerakan DI/TII di Desa Rajawetan ................................ 35

BAB III: DAMPAK GERAKAN DI/TII TERHADAP KEHIDUPAN

MASYARAKAT DESA RAJAWETAN TAHUN 1950-1960

A. Dampak Gerakan DI/TII Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat

Desa Rajawetan ........................................................................... 46

B. Dampak Gerakan DI/TII Terhadap Kehidupan Keagamaan

Masyarakat Desa Rajawetan ....................................................... 53

BAB IV: PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 63

B. Saran ............................................................................................ 64

xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Keterangan Lulus Seminar Proposal
Lampiran 2 : Surat Keterangan Telah Mengikuti Ujian Komprehensif
Lampiran 3 : Blanko Bimbingan Skripsi
Lampiran 4 : Surat Rekomendasi Munaqosah
Lampiran 5 : Sertifikat BTA/PPI
Lampiran 6 : Sertifikat Pengembangan Bahasa Arab
Lampiran 7 : Sertufikat Pengembangan Bahasa Inggris
Lampiran 8 : Sertifikat PPL
Lampiran 9 : Sertifikat KKN
Lampiran 10 : Sertifikat Aplikom
Lampiran 11 : Surat Permohonan Riset ke Lokasi
Lampiran 12 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Lokasi
Lampiran 13 : Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 14 : Transkrip Wawancara dengan Narasumber

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bukanlah akhir dari

sebuah perjuangan. Sebab kemerdekaan yang telah diperoleh dengan

perjuangan yang besar harus dipertahankan. Kedatangan NICA yang

diboncengi oleh Sekutu (Belanda) merupakan ancaman yang tidak bisa

diremehkan, karena Belanda masih ingin menguasai Indonesia kembali.

Dengan demikian, upaya untuk mempertahankan kemerdekaan terus

dilakukan baik melalui peperangan ataupun diplomasi.

Sekutu membentuk AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)

yang dipimpin oleh Sir. Philip Christison. Tugas dari AFNEI yaitu melucuti

pasukan Jepang, membebaskan tawanan perang, dan melakukan

perundingan dengan RI (Aman, 2019: 25). Adapun hasil perudingan yang

diperoleh sebagai berikut (Aman, 2019: 26):

a. Tentara Inggris tidak akan memasukkan tentara Belanda.

b. Menjaga keamananan dan ketentraman bersama.

c. Menjalin kerjasama antara Indonesia dengan Sekutu.

d. Tentara Inggris akan melucuti pasukan Jepang.

Namun, pada kenyataannya Inggris melanggar perjanjian tersebut.

Justru Inggris mengembalikan status Indonesia kepada Belanda. Tentu ini

merupakan pelecehan terhadap kemerdekaan Indonesia. Mendengar hal

1
2

semacam itu membuat pejuang bangsa Indonesia untuk melakukan

perlawanan terhadap Belanda. Seluruh perlawanan hampir terjadi di

wilayah yang diduduki Belanda.

Upaya mempertahankan kemerdekaan bukan hanya sekedar

perlawanan dalam bentuk perang saja, namun juga diplomasi terus

dilakukan oleh tokoh bangsa. Upaya diplomasi yang dilakukan yaitu

menjalin hubungan internasional, perjanjian Linggarjati, Perjanjian

Renville, Perjanjian Roem-Royen, Konferensi antar Indonesia, dan

Konferensi Meja Bundar.

Perjanjian Renville antara pihak Indonesia dengan Belanda di kapal

Renville pada 8 Desember 1947 dengan perwakilan Indonesia Amir

Syariffudin sedangkan Belanda diwakilkan oleh Abdulkadir Wijiatmojo

(Aman, 2019: 33). Baru pada tanggal 17 Januari 1948 Perjanjian Renville

disahkan. Hasil salah satu isi perjanjiannya yaitu menarik seluruh pasukan

dari Indonesia untuk meninggalkan wilayah kependudukan Belanda dan

kembali pada garis Demarkasi Van Mook. Isi perjanjian inilah yang

mengakibatkan perpecahan dan rasa kekecewaan pasukan militer Indonesia

terhadap pemerintah Indonesia, yang dianggap tidak tegas dalam

mempertahankan kemerdekaan. Pasukan militer Indonesia menganggap

bahwa pemerintahan telah melakukan kolaborasi dengan Belanda (Yahya

A, 2005: 53). Pasukan militer Indonesia yang tidak hijrah ke Yogyakarta

dan memilih untuk tetap bertahan di wilayah kedudukan Belanda,

menimbulkan pemberontakan-pemberontakan. Pemberontakan daerah


3

dimulai pada wilayah Jawa Barat yang dikenal dengan nama Darul Islam

(DI) yang didirikan oleh SM Kartosuwiryo dan panglima laskar Sabilillah

yaitu Raden Oni Syahroni (Soraya, Abdurakhman, 2019: 122). Darul Islam

merupakan respon S.M. Kartosuwiryo karena menganggap bahwa

pemerintah menyerahkan dan meninggalkan wilayah Jawa Barat kepada

Belanda (MC Ricklefs, 2001:457). S.M. Kartosuwiryo memperoklamirkan

diri menjadi pemimpin dari gerakan DI di Jawa Barat. Pada awalnya

gerakan ini bertujuan untuk melawan Belanda di Jawa Barat, pada akhirnya

bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Karena beberapa kali

S.M. Kartosuwiryo mendapatkan peluang untuk mendirikan NII atas

perlawanan Belanda ke Yogyakarta dan perjanjian Roem Royen (Soraya,

Abdurakhman, 2019: 123). Selain itu Darul Islam (DI) membentuk Tentara

Islam Indonesia (TII) sebagai besik keamanannya yang diambil dari

pasukan militer Indonesia yang tidak melakukan hijrah ke Yogyakarta.

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat memicu daerah lain untuk melakukan

gerakan yang sama, seperti Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi.

Gerakan DI/TII di Jawa Tengah sudah terjadi pada masa

kemerdekaan yang dilakukan oleh Abas Abdulullah. Hanya saja gerakannya

tidak begitu keras dan luas. Setelah Batalyon 426 (Kudus) bergabung

dengan DI/TII dan melakukan pemberontakan menjadi berpengaruh

terhadap masyarakat (Zainudin Dkk, 2020: 4). Gerakan ini dipimpin oleh

Amir Fatah yang diangkat langsung oleh S.M. Kartosuwiryo. Wilayah

kekuasaan Amir Fatah di Jawa Tengah yaitu Brebes-Tegal-Pekalongan.


4

Adapun pusat gerakan DI/TII di Jawa Tengah yaitu di wilayah Brebes

bagian Selatan lebih tepatnya Kecamatan Salem (Aman, 2019: 53).

Kecamatan Salem menjadi pusat gerakan DI/TII karena wilayahnya yang

berbatasan langsung dengan Kuningan Jawa Barat sehingga memudahkan

untuk menjalin komunikasi antara DI/TII di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Selain itu juga kondisi geografis yang berupa pegunungan memudahkan

DI/TII menyusun tektik gerilya.

Pada awalnya Amir Fatah diangkat menjadi ketua koordinator

SWKS III. Jabatan baru ini dimanfaatkan oleh Amir Fatah untuk

mendapatkan kepercayaan di wilayah Brebes-Tegal. Namun, tidak lama

kemudian Amir Fatah menyerahkan jabatannya. Pada tanggal 5 Mei 1949

Amir Fatah justru menyerang SWKS III yang berada di Desa Bentarsari

Salem, dengan pasukan satu bataliyon. Serangan dimulai pukul 09.00-

01.00, pukul 05.00 Amir Fatah berhasil meduduki Bentarsari (Euis Karlina,

2015:6).

Setelah berhasil menguasai Desa Bentarsari, Amir Fatah

melanjutkan ekspansinya kebeberapa desa untuk memperluas wilayahnya.

Amir Fatah juga mampu merekrut anggota baru. Tindakannya ini diketahui

oleh TNI, sehingga TNI bekerjasama dengan OPR (Operasi Pengamanan

Rakyat) untuk menghentikan tindakan yang dilakukan oleh Amir Fatah.

Jumlah DI/TII yang lebih sedikit dibandingkan TNI dan OPR mulai

terpojokkan dan mencari tempat perlindungan. Namun tidak lama


5

kemudian, Amir Fatah mampu menghimpun kembali kekuatannya dengan

basis wilayah di Bumiayu.

DI/TII tidak hanya berada di Kecamatan Salem namun juga hampir

tersebar di seluruh kecamatan di Brebes Selatan seperti: Paguyangan,

Sirampog, Bumianyu, Bantarkawung, Tonjong. Wilayahnya yang berupa

hutan dijadikannya sebagai markas DI/TII. Salah satunya di Desa

Rajawetan Kecamatan Tonjong, terdapat pasukan DI/TII yang dipimpin

oleh Mukhrodi dan Kosim (wawancara Bapak Taro, 2019).

DI/TII masuk ke Desa Rajawetan melalui hutan-hutan, karena

wilayahnya yang sebagian besar berupa hutan. Sehingga digunakan oleh

DI/TII sebagai markasnya, seperti di hutan Ujung Timur, Sigedong,

Wongwelang, Kalimringinan, Bulakrayahan, Delaksana. DI/TII bukan

sekedar bersembunyi di dalam hutan saja, namun juga melakukan tindakan

terhadap masyarakat Desa Rajawetan. Tindakan DI/TII di Desa Rajawetan

aktif dilakukan pada malam. Pada waktu malam pasukan DI/TII turun dari

hutan untuk mencari makanan kepada masyarakat desa dengan cara

memaksa. Bahkan tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap

masyarakat jika tidak diberikan makanan. Selain itu pasukan DI/TII juga

melakukan penculikan, pembunuhan dan bahkan pembakaran rumah

masyarakat. Untuk menghindari tindakan DI/TII, masyarakat Rajawetan

terpaksa harus mengungsi ke desa yang dianggap lebih aman, hingga

beberapa bulan. Akibat adanya tindakan DI/TII, peneliti berasumsi bahwa


6

tindakan DI/TII di Desa Rajawetan mempunyai dampak negatif yang luas

terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang sosial-keagamaan.

Oleh sebab itu, menarik untuk dituliskan mengenai dampak sosial

keagamaan gerakan DI/TII terhadap masyakarat Desa Rajawetan

Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes pada tahun 1950-1960. Selain itu

penulisan terkait sejarah lokal di Desa Rajawetan belum ada, apalagi tentang

DI/TII yang mempunyai dampak terhadap masyarakat.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, batasan penelitian yaitu dampak

sosial keagamaan. Dampak yang dialami oleh masyarakat Desa Rajawetan

baik yang postif maupun yang negatif, terutama dalam bidang sosial

keagamaan. Sebagai akibat dari adanya gerakan DI/TII. Rentang waktu

yang diambil karena pada tahun 1950 DI/TII sudah ada di Desa Rajawetan

dan melakukan tindakannya kepada masyarakat. Di tahun 1950 juga

masyakarat Desa Rajawetan mengungsikan diri ke Kutayu, Batuagung, dan

Jejeg untuk menghindari tindakan DI/TII. Hingga akhirnya pada tahun 1960

DI/TII berhasil dibubarkan oleh TNI dan OPR. Oleh karena itu, diperoleh

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah gerakan DI/TII di Desa Rajawetan?

2. Bagaimana dampak gerakan DI/TII terhadap Kehidupan Sosial

Keagamaan Masyarakat Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong

Kabupaten Brebes tahun 1950-1960?


7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan judul yang telah dijelaskan pada latar belakang serta

penjelasan pada rumusan masalah, maka dapat diperoleh tujuan sebagai

berikut:

1. Mengetahui sejarah gerakan DI/TII di Desa Rajawetan.

2. Mengetahui dampak gerakan DI/TII terhadap Kehidupan Sosial

Keagamaan Masyarakat Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong

Kabupaten Brebes tahun 1950-1960.

b. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang sudah dipaparkan di atas maka, manfaat

penelitian sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu dapat digunakan

sebagai bahan rujukan pada penelitian yang sejenis di masa yang akan

mendatang. Digunakan sebagai bahan bacaan di perpustakaan IAIN

Purwokerto dan perpustakaan FUAH sebagai penambahan ilmu

pengetahuan terkait sejarah lokal terutama di wilayah Brebes.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat parktis dari penelitian ini yaitu dapat digunakan

sebagai sumber informasi baru terkait sejarah lokal terutama untuk

pemerintahan atau masyarakat umum Desa Rajawetan.


8

D. Tinjauan Pustaka

Adapun karya yang digunakan sebagai pembanding dalam

penelitian “Dampak Gerakan DI/TII terhadap Kehidupan Sosial

Keagamaan Masyarakat Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong Kabupaten

Brebes pada tahun 1950-1960, menggunakan beberapa karya diantaranya

sebagai berikut:

1. Gerakan DI/TII di Brebes Selatan Kab. Brebes Jawa Tengah 1948-

1957 Skripsi yang dituliskan oleh Safrudin Arief mahasiswa UNS pada

tahun 2006. Di dalam tulisannya membahas tentang gerakan DI/TII di

wilayah Brebes Selatan, mulai dari faktor yang melatarbelakangi

gerakan DI/TII di Brebes Selatan, aktivitas DI/TII, serta pengaruh

gerakan DI/TII terhadap kestabilan keamanan di Brebes Selatan.

Persamaan dalam penelitian ini yaitu membahas terkait gerakan DI/TII

di Brebes. Sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini lebih

difokuskan pada dampak sosial keagamaan secara postif maupun negatif

yang dialami masyaraka desa akibat adanya gerakan DI/TII tahun 1950-

1960-an.

2. Disertasi Universita Gadjah Mada karya Lidya Kambo dengan judul

Forced Religious Conversion by DI/TII Movenment in Tana Toraja

during 1950-1965: A Study of Collective Memory an Ethno-Religious

Identity, yang dituliskan pada tahun 2018. Dalam disertasi ini

membahas mengenai hubungan antara memori kolektif dan bentukan

identitas kolektif terhadap pemaksaan masyarakat Tana Toraja untuk


9

memeluk agama Islam. Persamaan dalam penelitian ini membahas

terkait sejarah DI/TII. Perbedaannya yaitu dalam disertasi ini membahas

terkait gerakan DI/TII melalui memori kolektif tentang pemaksaan

memeluk agama Islam masyarakat Tana Toraja. Memori kolektif

mengenai pemaksaan memeluk agama Islam telah membangun identitas

representatif masyarakat Toraja secara kultural, agama maupun politik.

Sedangkan penelitian ini membahas terkait dampak sosial keagamaan

dalam kehidupan masyarakat Desa Rajawetan serta kondisi masyarakat

pada masa gerakan DI/TII tahun 1950-1960-an.

3. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Kecamatan Salem

Brebes: Persebaran dan Pembrontakannya (1948-1951) Skripsi yang

ditulis oleh Euis Karlina mahasiswa UNY pada tahun 2015. Di dalam

tulisannya menjelaskan tentang awal persebaran DI/TII, pemberontakan

yang dilakukan oleh DI/TII, hingga penumpasannya. Persamaan dengan

penelitian ini menjelaskan tentang sejarah gerakan DI/TII di wilayah

Brebes. Perbedaanya yaitu dalam skripsi tersebut sekedar memaparkan

sejarah gerakan DI/TII dan akhir dari gerakannya. Sedangkan penelitian

yang diajukan lebih difokuskan pada tatanan kehidupan masyarakat

terutama dampak sosial keagamaan yang dialaminya baik secara postif

maupun negatif.

4. Aktivitas Gerombolan DI/TII dan Dampaknya Terhadap Masyarakat

Sidrap 1950-1965 yang ditulis oleh Eka Wulandari, Jumadi, dan La

Malihu. Jurnal Pemikiran Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan


10

PATTINGALLOANG, vol. 7, No. 2 tahun 2020. Dalam jurnal ini

menjelaskan mengenai latar belakang munculnya gerakan DI/TII,

aktivitas, dan dampaknya terhadap masyarakat Sidrap. Adapun aktivitas

yang dilakukan DI/TII yaitu pemutusan kawat telepon, perusakan

infastruktur seperti jalan dan jembatan, penculikan serta penembangan

pohon. Persamaan dengan penelitian ini yaitu membahas terkait gerakan

DI/TII dan dampaknya terhadap masyarakat. Mulai dari awal datangnya

gerakan hingga dampak yang dialami terhadap wilayah yang digunakan

oleh DI/TII. Perbedaanya yaitu tempat dan penelitian ini lebih

difokuskan pada dampak sosial keagamaan masyarakat yang nantinya

mempunyai pengaruh terhadap kehidupan di masa selanjutnya terkait

perkembangan agama Islam di Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong

Kabupaten Brebes.

5. Peranan Organisasi Keamanan Desa (OKD) sebagai Wahana Bagi

Para Pemuda dalam Menghadapi Gerombolan DI/TII 1962 ditulis

oleh Alex Anis Ahmad. Jurnal Candrasangkala vol. 3 no.2 tahun 2017.

Dalam tulisan ini menjelaskan tentang peranan OKD dalam menumpas

gerakan DI/TII dan bekerjasama dengan TNI. Persamaan dengan

penelitian ini yaitu membahas sejarah gerakan DI/TII dengan fokus pada

peranan OKD yang membantu pembubaran DI/TII. Sedangkan

perbedaannya yaitu penelitian ini lebih difokuskan terhadap pengaruh

dalam bidang sosial keagamaan yang dialami masyarakat serta upaya

yang dilakukan dalam melawan tindakan DI/TII.


11

Berdasarkan pembanding di atas, penelitian mengenai “Dampak

Gerakan DI/TII Terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat

Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes Tahun 1950-

1960” mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaan dengan karya

di atas yaitu membahas mengenai sejarah gerakan DI/TII mulai dari

awal faktor yang menjadi mula berdirinya hingga pada runtuhnya

gerakan DI/TII. Sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini lebih

difokuskan pada dampak yang dialami oleh masyarakat akibat adanya

gerakan DI/TII melihat dari bidang sosial keagamaan, karena gerakan

ini dalam tindakannya dikenal melakukan tindakan yang kriminal

terhadap masyarakat dan menjadikan agama Islam sebagai ideologi

gerakannya.

E. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan pendekatan multidimensional.

Pendekatan multidimensional digunakan karena adanya visi dalam

mengkadi permasalahan pada peristiwa sejarah dari berbagai aspek atau

presfektif misalnya: ekonomi, sosial, politik, kultur, dan sebagainya

(Miftahudin, 2020: 26). Pendekatan yang digunakan diantaranya: sosial,

agama, politik, dan ekonomi. Pendekatan sosial dalam sejarah digunakan

untuk memperhatikan masyarakat secara keseluruhan serta aspek perubahan

perilaku manusia (Mifathudin, 2020: 42). Dengan demikian pendekatan

sosial digunakan untuk melihat peristiwa yang dialami oleh masyarakat

pada masa DI/TII. Pendekatan keagamaan di dalam sejarah digunakan


12

untuk menemukan sumber dan jejak perkembangan perilaku keagamaan

guna mendapatkan pola-pola interaksi antara agama dan masyarakat

(Dudung, 2011: 23). Oleh sebab itu, pendekatan keagamaan digunakan

untuk melihat pola interaksi agama dengan masyarakat terkait dampak yang

dialami akibat adanya gerakan DI/TII di Desa Rajawetan tahun 1950-1960.

Pendekatan politik dalam sejarah sebagai alat analisis untuk mengetahui

peristiwa sejarah (Mifathun, 2020: 46). Dengan pendekatan politik ini dapat

digunakan untuk menganalisis asal mula lahirnya gerakan DI/TII tidak

terlepas dengan kondisi politik Indonesia apa saat itu, yang mengakibatkan

kekecewaan pada sebagian pasukan militer atas perjanjian Renville tahun

1949. Sehingga hal tersebut, menjadikan gerakan DI/TII sampai di Desa

Rajawetan dan melakukan aktivitas hingga tahun 1960-an. Ekonomi,

adanya tindakan yang dilakukan oleh gerakan DI/TII mengakibatkan

adanya gerakan sosial keagamaan yang akhirnya meruntut pada dampak

secara ekonomi.

Teori digunakan yaitu teori gerakan sosial dan dampak sosial.

Gerakan sosial diartikan sebagai gerakan bersama sekelompok orang atau

masyarakat untuk menentang atau mendesak sebuah perubahan (Abdul

Jamil, 2013: 132). Salah satu tokoh yang mendefinisikan gerakan sosial

yaitu Sydney Tarrow, gerakan sosial adalah tantangan kolektif yang

didasarkan pada tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang

berkelanjutan dengan para golongan elit, penentang, dan pemegang

wewenang (Suharko, 2006: 3). Dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial


13

merupakan upaya yang dilakukan sekelompok masyarakat atau personal

guna menentang para golengan elit.

Menurut Mc. Adam dkk, gerakan sosial terjadi karena tiga faktor

yaitu: kesempatan politik (political opportunities), struktur organisasi

(mobilization structures), dan proses pembingkaian (framing processes)

(Dady Hidayat: 2012: 120). Political Opportunity terjadi karena kondisi

struktur politik yang dalam hal ini mempunyai pengaruh signifikan terhadap

tumbuh dan perkembangannya gerakan sosial (Dady Hidayat, 2012: 120).

Hal tersebut sejalan dengan latar belakang munculnya gerakan DI/TII akibat

kondisi perpolitikan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan terlebih setelah

disahkannya Perjanjian Renville, Agresi Militer Belanda II, dan Roem

Royen yang berhasil mempersempit wilayah Indonesia. Dengan kondisi

politik yang kian melemah dan adanya jiwa solidaritas bersama antar

pasukan yang dipimpin S.M. Kartosuwiryo serta semangat keagamaan

akhirnya lahir gerakan DI/TII, bertujuan untuk mendirikan NII sebagai ganti

dari pemerintahan Republik Indonesia. Mobilization Structures adalah cara

yang digunakan sejumlah kelompok masyarakat melebur dalam aksi koletif

termasuk gerakan dan bentuk organisasinya.

Menurut Fardani dampak sosial yaitu suatu bentuk akibat atau

pengaruh yang terjadi karena sesuatu (Isna Fitria Agsutin, 2016: 162).

Sedangkan pengaruh diartikan sebagai akibat yang terjadi di masyarakat

karena suatu kejadian baik dari dalam maupun luar masyarakat itu sendiri.
14

Dampak sosial menurut Fardani dapat membuat perubahan baik positif

maupun negatif.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian sejarah karena menuliskan tentang dampak sosial masyarakat

yang terjadi pada tahun 1950-1960. Penelitian ini menggunakan metode

sejarah lisan dan literasi. Sejarah lisan diperoleh dengan cara wawancara,

observasi, dan dokumentasi. Sedangkan literasi diperoleh dari buku, jurnal,

dan artikel lepas.

Adapun tahapan dalam metode penelitian sejarah yaitu:

1. Heuristik

Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah.

Heuristik yaitu mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan

topik penelitian. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

sumber primer dan sumber sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber yang diperoleh langsung dari

peristiwa yang terjadi. Sejarah lisan menjadi sumber primer

manakala dialami, dilihat, dirasakan atau dipikirkan secara langsung

oleh narasumber (Dienaputra Reza, D. 2007: 23). Sejarah lisan bisa

diperoleh dengan cara melakukan wawancara terhadap pelaku

sejarah dan saksi sejarah. Selain itu peneliti menggunakan sumber

utama yang dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian ini yaitu


15

buku yang dituliskan oleh Pusat Sejarah TNI dengan judul “Sejarah

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dan Penumpasannya”

dan buku karya C.Van. Dijk yang berjudul “Darul Islam Sebuah

Pemberontakan” cetakan ke III tahun 1993.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder yaitu sumber yang disampaikan bukan dari saksi

mata (Dudung, 2011: 105). Sumber sekunder didapatkan dari buku,

jurnal, skripsi, artikel lepas. Sejarah lisan sumber sekunder bisa

diperoleh melalui wawancara dengan pengkisah yang tidak

mengalami peristiwa secara langsung namun mendapatkan cerita

dari pelaku sejarah atau saksi sejarah.

Dalam pengumpulan sumber diperlukan teknik sampling

untuk dapat menentukan sampel yang akan digunakan dalam

penelitian. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan

Purposive Sampling. Purposive Sampling merupakan teknik

pengambilan sumber dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,

2010: 218-219). Pertimbangan tertentu, misalnya pengkisah yang

dianggap paling mengetahui peristiwa terjadinya gerakan DI/TII di

Desa Rajawetan. Pengkisah yang mengetahui peristiwa DI/TII

seperti pelaku sejarah DI/TII, masyarakat yang hidup pada masa

DI/TII, dan tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui tentang

sejarah DI/TII. Sehingga dapat memudahkan dalam pengumpulan

informasi. Dari teknik purvosive sampling ini diperoleh nama-nama


16

narasumber, sehingga memudahkan dalam penggumpulan

informasi.

Dari teknik purvosive sampling diperoleh

narasumber/pengkisah sebagai berikut:

No. Nama Status

1. Taro OPR

2. Rojikin OPR

3. Catem Masyarakat yang hidup pada saat DI/TII

4. Raid Sesepuh Desa

5. Sadar Masyarakat yang hidup saat peristiwa DI/TII

6. Darto Masyarakat yang dimendapatkan cerita DI/TII

dari saksi sejarah

7. Danyep Sesepuh Desa

2. Verifikasi

Setelah data terkumpul tahapan selanjutnya yaitu verifikasi. Verifikasi

merupakan tahapan untuk mengktitik sumber melalui kritk ekstren

(Auntentisitas) dan kritik intern (Kredibilitas) (Kuntowijoyo, 2013:77).

Kritik ekstern yang dilakukan jika sumber yang ditemukan berupa

dokumen maka dapat diketahui keasliannya dari bentuk fisik dan latar

belakang penulis. Namun jika sumber yang ditemukan berupa lisan,

maka kita perlu melihat statusnya sebagai saksi sejarah atau pelaku
17

sejarah. Sedangkan kritik intren untuk sumber berupa dokumen bisa

dilihat dari referensi yang digunakan dan kesesuaian dengan fakta

umum. Sumber lisan bisa dilihat dari daya ingat, konsistensi dalam

menyampaikan dengan melihat hasil informasi wawancara pertama dan

kedua, serta kesesuaian dengan sumber lainnya. Sebagai contohnya

sumber dokumen yang penulis gunakan yaitu Buku “Pemberontakan

DI/TII di Jawa Tengan dan Penumpasannya” yang diterbitkan oleh

Dinas Sejarah TNI AD 1982. Untuk mengetahui keasliannya bisa dilihat

dari bentuk fisik sedangkan kredibilitasnya bisa dilihat dengan

menyesuaikan fakta sejarah. Sedangkan, sumber lisan salah satu

narasumbernya yaitu Bapak Taro yang tergabung dalam OPR masih

ingat dengan peristiwa DI/TII dan konsisten dalam penyampaiannya.

3. Interpretasi

Ketika sumber sudah verifikasi maka tahapan selanjutnya interpretasi

yaitu menganalisis. Analisis sendiri berarti menguraikan sumber-

sumber tersebut guna menyatukan data yang sudah terverifkasi dengan

teori-teori yang akan digunakan (Dudung, 2011: 114). Teknik analisis

data yang digunakan pada penelitian ini yaitu reduksi. Reduksi adalah

proses pemilihan, pemusatan atau penyederhanaan, pengabstrakan dan

tranformasi data kasar yang diperoleh dari hasil lapangan (Ahmad

Rijali, 2018: 91). Hasil wawancara dari lapangan di sini berupa

informasi dari para narasumber. Data hasil wawancara yang luas perlu

di catat secara rinci dan teliti. Karena semakin banyak narasumber maka
18

informasi yang didapatkan semakin luas dan beragam. Sehingga perlu

dilakukan analisis data dengan memilih atau memfokuskan pada data

pokok bisa diambil sesuai dengan tema yang akan ditulis.

4. Historiografi

Tahap akhir dari metode penelitian sejarah yaitu histiriografi.

Historiografi yaitu penulisan atau peloran terkait hasil penelitian yang

telah dilakukan, sehingga memberikan informasi baru. Penyusunnya

disesuaikan dengan tema-tema yang telah disusun dalam rumusan

masalah. Penulisan ini lebih difokuskan pada penulisan sejarah

deskriptif-analitif yaitu menjelaskan terkait peristiwa gerakan DI/TII

serta menganalisis dampak yang dialami oleh masyarakat Desa

Rajawetan Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian dari judul “Dampak Sosial Keagamaan Gerakan

DI/TII terhadap Masyarakat Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong

Kabupaten Brebes tahun 1950-1960, dibagi ke dalam beberapa bab sebagai

berikut:

Bab 1 diberi judul pendahuluan, berisikan pembahasan tekait latar

belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dari penelitian, landasan

teori yang digunakan dalam penelitian, tinjau pustaka sebagai pembanding

dengan penelitian yang dilakukan, metode penelitian yang digunakan dan

sistematika penulisan. Bab ini merupakan gambaran secara umum terkait

penelitian yang dibahas pada bab berikutnya.


19

Bab 2 diberi judul sejarah gerakan DI/TII di Desa Rajawetan. Pada

bab ini berisikan tentang gambaran umum Desa Rajawetan kemudian

dilanjutkan dengan sejarah gerakan DI/TII. Penulisan pada bab ini

difokuskan pada sejarah gerakan DI/TII mulai dari Brebes Selatan hingga

keberadaannya di Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes

kisaran tahun 1950-1960.

Bab 3 diberi judul dampak gerakan DI/TII terhadap tatanan

kehidupan sosial keagamaan masyarakat Desa Rajawetan Kecamatan

Tonjong Kabupaten Brebes tahun 1950-1960. Penulisan bab ini difokuskan

pada dampak sosial keagamaan yang dialami oleh masyarakat secara positif

maupun negatif. Selain itu juga menjelaskan respon atau upaya yang

dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi tindakan DI/TII.

Bab 4 diberi judul penutup yang berisikan penyimpulan dari

pembahasan yang ada pada bab 2 dan bab 3. Bukan hanya menyimpulkan

saja namun juga memberikan saran dari peneliti untuk pembaca mengenai

kendala yang dilakukan selama penelitian dan menjadikan tolak ukur

terhadap penelitian yang serupa.


BAB II
SEJARAH DI/TII DI DESA RAJAWETAN

A. Gambaran Umum Desa Rajawetan

Desa Rajawetan termasuk wilayah Brebes bagian Selatan yang

berbatasan dengan Kabupaten Tegal. Berdasarkan data yang didapatkan,

Desa Rajawetan sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda karena di hutan

Desa Rajawetan pernah ditemukan makam orang Belanda. Menurut sejarah

lisan yang berkambang di masyarakat, nama Rajawetan diambil dari kata

Raja dan Wetan. Raja sendiri merupakan seorang pengembara laki-laki yang

datang dari wilayah wetan. Wilayah wetan yang dimaksud oleh masyarakat

setempat yaitu wilayah Jawa Tengah bagian Timur. Kedatangan

pengembara dari Jawa Tengah bagian Timur inilah yang dianggap sebagai

pendiri Desa Rajawetan dan orang yang pertama kali mengenalkan ajaran

agama Islam. Terbukti adanya beberapa makam para sesepuh desa yang

diyakini oleh masyarakat setempat sebagai makam para wali di Dukuh

Babakan Desa Rajawetan.

Secara geografis Desa Rajawetan memiliki luas wilayah 1.872,00

Ha, dengan jumlah kartu keluarga pada tahun 2019 sebanyak 1181. Desa

Rajawetan terdiri dari 5 Rukun Warga dan 17 Rukun Tetangga. Adapun

batas wilayah Desa Rajawetan sebagai berikut (Profil Desa Rajawetan

Tahun 2019):

Sebelah Utara : Margasari (Tegal)

Sebelah Selatan : Kutayu (Brebes)

19
20

Sebelah Barat : Sawitali Bumijawa (Tegal)

Sebelah Timur : Jejeg Bumijawa (Tegal)

(Gambar Wilayah Desa Rajawetan)


Sumber: Arsip Peta Desa Rajawetan

Mayoritas masyarakat Desa Rajawetan menganut agama Islam dan

masih beberapa masyarakat yang menganut Islam Kejawen. Sedangkan

mata pencaharian masyarakat Desa Rajawetan sebagian besar sebagai

petani dan buruh (Profil Desa Rajawetan 2019). Ditinjau dari pendidikan,

umumnya masyarakat Desa Rajawetan hanya menempuh pendidikan

hingga tingkat Sekolah Dasar (Profil Desa Rajawetan tahun 2019). Namun

sekitar tahun 2005, pendidikan mulai mengalami peningkatan hingga pada

tingkat Sekolah Menengah Pertama. Hingga tahun 2019 pendidikan di Desa

Rajawetan terus mengalami peningkatan terutama dalam pendidikan di


21

bidang agama. Dalam bidang budaya, masyarakat Rajawetan mempunyai

beberapa kebudayaan yang sampai sekarang masih dilaksanakan. Seperti:

mitoni, ngatapi, mider desa, Haul para wali Rajawetan, upacara kematian

(peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari), ruwat bumi, dan sintren.

Mider desa dilakukan sebagai upaya untuk meminta keselamatan dengan

cara keliling desa dan membaca selawat serta takbir. Sedangkan sintren

dilakukan pada saat musim kemarau panjang. Beberapa masyarakat

menganggap bahwa sintren sebagai upaya untuk meminta hujan.

Masyarakat lainnya beranggapan sebagai hiburan karena banyak lahan

kosong yang tidak bisa ditanami dan kesulitan mencari air. Kebudayaan

yang lainnya tidak jauh berbeda dengan daerah lain.

B. Sejarah DI/TII di Brebes

Berdirinya gerakan DI/TII dilatar belakangi dengan kondisi politik

Indonesia atas hasil dari perjanjian Renville pada tahun 1949 yang

mempersempit wilayah kekuasaan Indonesia, sehingga menyebabkan

kekecewaan pada rakyat Indonesia terutama yang bertempat tinggal di

wilayah perbatasan seperti Jawa Barat. Rasa kekecewaan inilah yang

menjadi faktor berdirinya gerakan DI/TII yang awalnya membantu

pemerintah untuk melawan Belanda namun penyerangan Belanda terhadap

Indonesia yang menyebabkan Yogyakarta berhasil dikuasai. Dengan

solidaritas yang tertanam dalam tubuh laskar hizbullah dan laskar sabilillah

menjadikan mereka untuk bergerak melalukan perubahan, karena Indonesia

telah jatuh ditangan Belanda. Oleh sebab itu, S.M. Kartosuwiryo


22

mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai pengganti dari negara

Indonesia. Hal ini sependapat dengan Sydney Tarrow yang menyatakan

bahwa gerakan sosial muncul dari tantangan kolektif didasarkan pada tujuan

bersama serta solidaritas sosial, dalam interaksi secara berlanjut dengan

golongan elit, penentang, dan pemegang kekuasaan. Selain itu Abdul Jamil,

menuliskan bahwa gerakan sosial merupakan gerakan yang dilakukan oleh

sekelompok orang atau masyarakat untuk menentang atau mendesak sebuah

perubahan. Hal ini yang terjadi pada DI/TII, gerakan DI/TII menginginkan

perubahan dengan mendirikan negara Islam yang dianggap lebih sesuai

dengan kondisi pada saat itu.

Gerakan yang menggunakan agama Islam sebagai ideologi dalam

perjuangannya dimulai dari wilayah Jawa Barat yang dipelopori oleh S.M.

Kartosuwiryo, kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Jawa

Tengah dipimpin oleh Amir Fatah, Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar

Muzakar, Aceh dipimpin oleh Daud Breureuh, dan Kalimantan dipimpin

oleh Ibnu Hajar (Ali Shodiqin, 2015: 27). Secara resmi gerakan ini

mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 oleh S.M.

Kartosuworyo di Tasikmalaya Jawa Barat. Akan tetapi proses persiapannya

sudah ada sejak tahun 1948 yaitu dengan adanya perjanjian Renville pada

17 Januari 1948. Dalam proses persiapan berdirinya NII, S.M. Kartowusiryo

mencari pengikutnya hingga ke wilayah Jawa Tengah terutama wilayah-

wilayah yang penduduknya menganut agama Islam fanatik. Salah satu

wilayah di Jawa Tengah yang mayoritas penduduknya beragama Islam


23

Fanatik yaitu Karesidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal,

Pemalang dan Pekalongan.

Keadaaan politik dan militer Indonesia kurang menguntungkan

akibat disahkannya perjanjian Renville yang menarik pasukan di wilayah

yang telah diduduki Belanda untuk hijrah ke Jawa Tengah. Karesidenan

Pekalongan merupakan salah satu wilayah yang terkena dampaknya dari

perjanjian Renvile. Sehingga pasukan militer TNI dan laskar-laskar

perjuangan yang berada di Karesidenan Pekalongan terpaksa harus

mengundurkan diri ke wilayah Banjarnegara dan Wonosobo (C. Van Dijk,

1993: 127).

Sementara dalam bidang militer telah terjadi Reorganisasi dan

Rasionalisasi yang dikenal dengan (Rera). Reorganisasi dan Rasionalisasi

dilakukan karena terjadi penumpukan pasukan militer di wilayah Jawa

Tengah sebagai akibat dari Perjanjian Renville. Hal tersebut membuat

negara harus mengeluarkan biaya yang terlalu besar. Sehingga pasukan

militer dari laskar-laskar perjuangan terpaksa sebagian dikembalikan

kepada masyarakat dan pasukan yang masih ada dijadikan sebagai pasukan

mobil dan teritorial (Dinas Sejarah TNI, 2012: 2).

Di Brebes laskar perjuangan BPRI dan laskar Rakyat digabungkan

ke Batalyon 51 dan Hizbullah digabungkan dengan Batalyon 52 yang

berada di bawah Divisi III Diponegoro. Penggabungan inilah menyebabkan

pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh Abbas Abdullah melakukan infiltrasi

ke wilayah Brebes. Kemudian Abbas Abdullah mendirikan Majelis Islam


24

(MI) dengan pasukannya Mujahidin. Gerakan ini tidak bertahan lama,

kemudian dilanjutkan oleh Amir Fatah.

Amir Fatah lahir di Kroya, Cilacap. Pendidikan Amir Fatah sebagian

besar diperoleh dari pondok pesantren seperti: Termas Pacitan, Tebu Ireng

Jombang, Benda Kediri, Jampes Kediri (Safrudin Sarif, 2006: 9). Amir

Fatah melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar Mesir. Beberapa

pengalaman yang diperoleh Amir Fatah diantaranya: Anggota Jong

Islamieten Bond, anggota Ansor (NU), menjadi pasukan dari Hizbullah

dengan jabatan sebagai komandan di wilayah Jawa dan menjabat sebagai

Ketua Dewan Pembela Masyumi.

Amir Fatah yang bergabung menjadi anggota Masyumi memasuki

Tegal-Brebes dengan membawa pasukannya serta membentuk jaringan

“Pemerintah Islam” (Fans Hitipeuw, 1985:53). Jaringan Pemerintah Islam

bekerja membentuk organisasi Islam sietiap wilayah mulai dari tingkat

kabupaten sampai ke desa-desa. Hal tersebut dilakukan agar perangkat atau

pekerja pemerintahan berasal dari orang-orang Islam terutama yang

mendukung gerakan Amir Fatah.

Di sisi lain pengalaman Amir Fatah yang menjabat jabatan sebagai

komandan Hizbullah di Jawa, ternyata membawa peluang tersendiri. Amir

Fatah diangkat menjadi ketua koordinator SWKS1 III oleh Wongsoatmojo.

1
Akibat terjadinya serangan Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948, membuat TNI harus
bergerak ke wilayah-wilayah yang telah diduduki untuk mengimbangi penyerangan dari Belanda.
Pada 25 Desember 1948 Panglima Markas Besar Komandan Djawa membentuk wilayah perlwanan
dalam bentuk Wehkreise (WK), Sub Wehkreise (SWKS) dan sektor. Wilayah Brebes berada di bawah
SWKS III.
25

Tugas dari SWKS III yaitu mengatasi pengaruh Majelis Islam yang

dilakukan oleh Harun Suryodimejo dan mengawasi pasukan dari laskar-

laskar liar yang bergabung ke dalam TNI (Dinas Sejarah TNI, 2012: 8).

Jabatan baru yang didapatkan oleh Amir Fatah tentu digunakan sebaik

mungkin untuk mengumpulkan kembali kekuatan dengan MI yang berada

di Brebes dan Tegal. MI sendiri merupakan organisasi Islam yang didirikan

atas konferensi para pemimpin Masyumi. Selain itu, Amir Fatah juga

membentuk Darul Islam (DI) di wilayah Brebes-Tegal untuk melakukan

kegiatan atas dasar hukum Islam. Guna memperkuat gerakannya Amir

Fatah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII), Badan Keamanan Negara

(BKN), dan Pahlawan Darul Islam (PADI) yang diambil dari pasukan

Hizbullah dan laskar-laskar perjuangan di wilayah Brebes. Tindakannya

tidak diketahui oleh TNI karena Amir Fatah mampu bersandiwara

melakukan tugasnya secara maksimal. Hal tersebut terbukti dalam surat

Kepala Staf SWKS III Kepada Komandan Brigade pada bulan Maret 1949

yang berbunyi ((Dinas Sejarah TNI, 2012: 9):

Sekarang kami telah menaruh kepercayaan penuh kepada saudara


Amir Fatah Widjayakusuma, dan suasana mendung yang meliputi
daerha kami telah lenyap dan cuaca kembali terang, dan selanjutnya
bekerja bersama-sama dengan tak ada curiga mencurigai lagi.

Di balik itu, Amir Fatah telah berhasil menghimpun kekuatannya di

wilayah Brebes dan Tegal. Melihat perkambangan pasukan Amir Fatah dan

MI yang menguasai jabatan pemerintah mulai dari desa hingga kabupaten.

Ternyata menimbulkan kerenggangan terhadap TNI, karena mereka sama-


26

sama memiliki pasukan yang berjuang di pemerintahan daerah. Sehingga

secara terang-terangan TNI mengajak masyarakat dan MI bergabung

dengan TNI, namun ajakan tersebut tidak mendapatkan respon yang baik

oleh masyarakat dan MI. Maka Koman dan Wehrkreise I/III mengeluarkan

dekrit untuk membubarkan dan melarang berdirinya organisasi MI serta

memberikan sanksi terhadap pemerintah militer yang membantu gerakan

MI (Dinas Sejarah TNI, 2012: 13). Mendengar dekrit tersebut, Amir Fatah

terpaksa harus menarik mundur pasukannya ke Pengerasan Bantarkawung.

Di sisi lain, Gerakan Amir Fatah berubah menjadi melawan

pemerintahan Indonesia dikarenakan Presiden Soekarno telah tertangkap

dan diasingkan oleh Belanda. Amir Fatah menganggap negara Indonesia

mengalami kekosongan kepemimpinan dan Indonesia sudah hilang.

Sehingga pada bulan Maret 1949 diadakan pertemuan di Pasir Pajang yang

dihadiri oleh pamongpraja hingga kepala desa yang mendukung gerakan

Amir Fatah. Pada pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk melakukan

perjuangan melawan penjajah yang dipimpin oleh Amir Fatah untuk

wilayah Jawa Tengah dengan basis gerakan berada di Brebes dan Tegal.

Kedekatan Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwiryo menjadi sebab

lahirnya DI/TII di wilayah Jawa Tengah terutama Brebes dan Tegal. Amir

Fatah dan S.M. Kartosuwiryo sudah memliki kedekatan sejak bergabung

dengan masyumi. Melihat kondisi pemerintahan Indonesia yang kacau

akibat penangkapan Presiden Soekarno. Akhirnya S.M. Kartosuwiryo

mengutus Kamran Cakrabuana pada akhir bulan Maret untuk menemui


27

Amir Fatah. Dalam pertemuan tersebut Amir Fatah diminta untuk segera

memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Tengah. Tidak

lama kemudian, Amir Fatah memproklamirkan Negara Islam Indonesia

pada 27 April 1949 di Desa Pengerasan Kecamatan Bantarkawung.

Sebagian besar gerakan DI/TII Amir Fatah berada di Brebes Selatan karena

wilayah yang berupa hutan yang lebat dan pegunungan sehingga dapat

digunakan untuk menyusun taktik gerilya. Pusat gerakan DI/TII Brebes

berada di wilayah Kecamatan Salem. Wilayah tersebut dianggap sangat

strategis untuk menjalin komunikasi dengan S.M. Kartosuwiryo. Selain itu

sebagian besar wilayah Kecamatan Salem masih berupa hutan yang sulit

dijangkau, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Dari sinilah gerakan DI/TII

di Jawa Tengah dikenal dengan gerakan DI/TII Amir Fatah, karena Amir

Fatah lah yang menjadi pelopor dan pemimpin gerakan DI/TII di wilayah

kekuasaan Brebes dan Tegal.

Setelah Amir Fatah berhasil memproklamirkan NII di Pangerasan

Bantarkawung. Amir Fatah mulai melakukan tindakannya terhadap TNI

dengan cara menghambat jalannya perbelakan mereka. Amir Fatah

melanjutkan aksinya dengan menyerang markas SWKS III yang berada di

Desa Bentarsari Kecamatan Salem pada 5 Mei 1949. Aksi pertama Amir

Fatah berjalan lancar, terbukti pada 6 Mei 1949 Bentarsari berhasil dikuasai.

Pasukan Amir Fatah meniupkan terompet, mengumandangkan takbir, serta

mengkibarkan bendera yang berwarna merah dengan lambang bulan sabit

dan bintang sebagai tanda bahwa Bantarsari telah dikuasai (Dinas Sejarah
28

TNI, 2012: 44). Keberhasilan Amir Fatah menguasai Bantarsari dan

bertambahnya pasukan menjadi 1400 orang merupakan pembakar semangat

bagi pasukan Amir Fatah untuk melakukan penyerangan terhadap wilayah

lain seperti penyerangan di pos TNI Margasari, Prupuk, Larangan, dan

Tonjong (C. Van Dijk, 1993: 132). Penyerangan yang dilakukan secara tiba-

tiba dan disertai dengan seruan tahlil terkadang membuat pasukan TNI

kalang kabut. Sehingga TNI tidak sempat mengambil senjatanya dan

melawan dengan tangan kosong. Penyerangan ini berhasil memecah

kekuatan TNI yang berada di Brebes dan memindahkan markas SWSK III.

Melemahnya TNI di wilayah Brebes, Kolonel Mukh Bakhrun

mengangkat Mayor Suyoto untuk melakukan penyerangan terhadap DI/TII

dengan kosentrasi wilayah di Bentarsari, Sela, dan Bantarkawung. Dalam

penyerangan ini Mayor Suyoto dibantu oleh Kompi Kenal, satu kompi dari

Batalyon Pellupessy, satu seksi pasukan mobrig, dan tentara pelajar dari

Purwokerto yang dipimpin oleh Brigen Encung (Dinas Sejarah TNI, 2012:

47). Penyarangan yang dilakukan dari berbagai jurusan dan serentak

membuat pasukan DI/TII Amir Fatah semakin terdesak dan terpecah

menjadi kelompok-kelompok kecil. Pasukan DI/TII yang berasal dari

Bentarsari sebagian melarikan diri ke wilayah Kutayu, Hutan Mulyatapa,

dan Tegal untuk mengamankan diri dan menyusun taktik gerilya (Dinas

Sejarah TNI, 2012: 48).

Hancurnya gerakan DI/TII di Bentarsari tidak membuat pasukan

DI/TII menyerah begitu saja. Dengan diproklamirkannya NII di


29

Tasikmalaya Jawa Barat pada 7 Agustus 1949, merupakan pembangkit

semangat bagi pasukan DI/TII Amir Fatah. Sehingga tidak lama, Amir

Fatah mampu mengumpulkan kembali kekuatan pasukannya dengan

menempatkan pasukannya pada bekas pos-pos TNI serta menjadikan

Bumiayu dan Hutan Mulyatapa sebagai markasnya. Amir Fatah dan

beberapa pejabat yang berasal dari MI melakukan pertemuan dan

menghasilkan sebuah cara untuk mempertahankan gerakan DI/TII di Brebes

yang dikenal dengan Minimum Program. Adapun isi minimum program

yaitu: mempertahankan wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh DI/TII

dan melakukan kaderasasi masa melalui kegiatan keagamaan (Dinas

Sejarah TNI, 2012: 49). Dengan adanya minimum program diharapkan

wilayah kekuasaan DI/TII bisa bertambah minimal bertahan dan

menanamkan pemahaman mengenai agama Islam baik untuk pasukan

DI/TII ataupun masyarakat agar tergabung dengan DI/TII. Minimum

program wajib diterapkan di wilayah kekuasaan DI/TII di Brebes terutama

dalam kaderisasi masa agar jumlah pasukan DI/TII semakin bertambah.

Setelah upaya pengembalian kekuatan DI/TII dianggap cukup

matang, Amir Fatah melancarkan gerakannya dengan melakukan

penyerangan ke wilayah Brebes bagian Utara terutama Brebes Kota. Tiga

kali penyerangan dilakukan hanya satu kali berhasil menguasai Brebes

dengan waktu empat jam saja. Karena rencana penyerangan Amir Fatah

sudah diketahui oleh TNI. Sehingga TNI dapat melakukan upaya

pertahanan di wilayah Brebes.


30

Guna mencegah terjadinya serangan kembali oleh pasukan DI/TII

Amir Fatah, TNI mengadakan operasi Gerakan Banteng Nasional (GBN)

yang dipimpin oleh Letkol Saribi. Tujuan dari GBN yaitu untuk mengisolasi

pasukan DI/TII Amir Fatah yang berada di Brebes agar tidak menjalin

hubungan dengan DI/TII di Jawa Barat. Dalam menjalankan operasi GBN

Letkol Saribi di bantu oleh tiga Divisi yaitu Brawijaya, Siliwangi, dan

Diponegoro (C. Van Dijk, 2012: 133). Selain itu Letkol Saribi membagi

wilayah Brebes menjadi dua sektor yaitu sektor pertama di wilayah Brebes

Utara dan sektor kedua di wilayah Brebes Selatan. Adapun pasukan yang

membantu Letkol Saribi yaitu: Batalyon Sarjono, Batalyon Suryosumpeno,

Batalyon Sudarmo, Batalyon Surono, Batalyon Brotosiswoyo, dan dua

Batalyon Bantuan Tempur (Dinas Sejarah TNI, 2012: 83).

Oprasi GBN dilakukan secara empat tahap: pertama, mengganti

pejabat pemerintah dan militer yang kurang disengani oleh masyarakat.

Kedua, melakukan kesejahteraan terhadap masyakarat yang berada

diperbatasan wilayah yang terkena pengaruh DI/TII. Ketiga, oprasi militer

dengan melakukan penerangan dan penyusupan melalui kegiatan sosial

kemasyarakatan. Keempat, mengembalikan stabilitas keamanan dengan

cara patroli. Namun operasi GBN dianggap kurang efektif karena memakan

waktu yang lama. Ditambah lagi pasukan DI/TII melakukan taktik gerilya

di hutan-hutan yang sukar dijangkau, sehingga menyebabkan kesulitan bagi

TNI dalam melakukan penyerangan. Kelemahan TNI inilah dijadikan

kesempatan oleh pasukan DI/TII untuk melakukan penyerangan ke wilayah


31

Brebes Utara terbukti kantor Kabupaten dan kantor telegraf dikuasai pada

tahun 1950. Penguasaan Kantor Kabupaten dan Kantor telegraf tidak bisa

bertahan lebih lama karena TNI mendapatkan bantuan pasukan dari

Semarang. Sehingga pasukan DI/TII mengundurkan diri dan kembali ke

markasnya di hutan-hutan Brebes. Meskipun DI/TII tidak dapat menguasai

lebih lama kantor Kabupaten, namun baginya merupakan sebuah

peningkatan prestasi karena setelah sekian lama DI/TII dapat menguasai

Kantor Kabupaten kurang lebih 5 bulan. Sedangkan dari pihak TNI hal

tersebut merupakan penurunan prestasi karena tidak dapat mempertahankan

wilayah Brebes Utara. Selama kekalahan pasukan DI/TII atas kantor

Kabupaten, pasukan DI/TII hanya melakukan tindakan kriminal seperti

merampok kepada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan markas DI/TII

sebagai usaha untuk mempertahankan hidup di hutan.

Meletusnya AUI (Angakatan Umat Islam) yang dipimpin oleh Kyai

Mahfudz Abdurrahman alias Kyai Sulomangu Kebumen pada tahun 1950

merupakan angin segar bagi pasukan DI/TII di Brebes. Kesempatan ini

digunakan oleh DI/TII untuk memecah kekuatan TNI. Pasukan DI/TII

melakukan propaganda politik untuk mengimbangi gerakan AUI. Sehingga

dengan mudah pasukan TNI menjadi terbagi-bagi kontrasinya. Selain itu,

sisa-sisa pasukan AUI menggabungkan diri dengan pasukan Amir Fatah

untuk berjuang mendirikan negara Islam. Hal tersebut, menguntungkan

pasukan DI/TII di Brebes dengan penambahan jumlah anggotanya.


32

Pasukan DI/TII tersebar dibeberapa tempat yang dijadikan sebagai

Terugvalbasis dan Uitvalbasis. Terugvalbasis merupakan wilayah yang

berupa hutan dan pengunungan sebagai tempat persembunyiannya.

Sedangkan Uitvalbasis merupakah wilayah yang dijadikan sebagai aksi

gerakan DI/TII. Pada bulan September gerakan DI/TII paling menonjol di

wilayah Tonjong.

Sementara pihak pemerintah Indonesia sedang merencakan upaya

untuk membubarkan gerakan DI/TII. Al Fatah sebagai pemimpin dalam

rencana pembubaran DI/TII telah melakukan pengusupan pada pusat

gerakan DI/TII di Jawa Barat. Informasi yang didapatkan oleh Al Fatah

membuat pemerintah mengeluarkan maklumat agar seluruh pasukan DI/TII

bergabung dengan pemerintah Indonesia dan TNI. Bagi pasukan DI/TII

yang menyerahkan diri akan diberikan amanah untuk menjadi APRI atau

polisi. Ternyata maklumat tersbeut direspon baik oleh Amir Fatah, Amir

Fatah bersedia untuk melakukan perundingan dengan pihak pemerintahan

Indonesia di Jakarta tentunya dengan beberapa persyaratan.

Sebelum Amir Fatah berangkat ke Jakarta untuk melakukan

perundingan, terlebih dahulu Amir Fatah menemui S.M. Kartosuwiryo.

Namun dalam perjalannya pasukan Amir Fatah mengalami beberapa kali

serangan yang dilakukan oleh TNI. Akibatnya pasukan DI/TII Amir Fatah

banyak yang meninggal dan terpecah-pecah. Selain itu pasukan DI/TII

kekurangan perbekalan. Melihat pasukan DI/TII yang terus berkurang,

Amir Fatah menyerahkan diri pada 20 Desember 1950 kepada TNI yang
33

berada di Desa Cisayong, Ciawi, Tasikmalaya (Dinas Sejarah TNI, 2012:

94). Penyerahan Amir Fatah diikuti oleh Mughny, Muhammad Kholil, Abu

Jahri, Nurokhman, dan ratusan pasukan DI/TII di Bumiayu. Meskipun Amir

Fatah dan beberapa pasukannya sudah menyerahkan diri, namun sisa-sisa

gerakan DI/TII yang berada di hutan Brebes terus melakukan aksinya

dengan meneror masyarakat. Sisa-sisa gerakan DI/TII berpusat di Tonjong

yang dipimpin oleh Kamran Cokrobuono. Karena wilayah Tonjong

sebagain besar masih berupa hutan lebat dan pegunungan sehingga

dijadikan markas sisa-sisa gerakan DI/TII.

Hubungan antara Amir Fatah dengan Bataliyon 423 dan Bataliyon

426 di Kudus, rupanya membawa keuntungan bagi sisa-sisa gerakan DI/TII

di Brebes. Pasalnya, Amir Fatah berhasil menyusupkan pasukannya ke

dalam kedua bataliyon tersebut. Meskipun kedua Bataliyon tersebut

bergabung menjadi TNI namun mereka berasal dari laskar hizbullah dan

sabilillah dengan semangat perjuangan “jihad fi sabilillah”. Ketika ada

golongan ekstrem kanan yang sejalan dengan pemikiran mereka, maka

tanpa ragu-ragu mereka bersedia untuk bergabung demi mewujudkan tujuan

bersama. Pada saat sisa-sisa pasukan DI/TII Amir Fatah mulai mengalami

kekalahan, maka kedua bataliyon siap membantu baik secara meterial dapat

berupa persenjataan. Sehingga pasukan DI/TII di Brebes terdiri dari tiga

kekuatan yaitu: sisa pasukan DI/TII Amir Fatah, sisa anggota AUI, dan

Bataliyon 426. Hal tersebut, menjadikan pasukan DI/TII semakin kuat dan
34

terpencar diberbagai wilayah di Brebes. Hasilnya, pasukan DI/TII berhasil

menguasai beberapa wilayah seperti Paguyangan dan Sirampog.

Mengingat keberhasilan pasukan DI/TII, pasukan TNI terus

meningkatkan kekuatan dan strateginya dalam menumpas gerakan DI/TII.

Upaya penumpasan sisa-sisa gerakan DI/TII terus ditingkatkan oleh

pasukan TNI melalui dua tahap. Tahap pertama pengecekan masyarakat

yang membantu pasukan DI/TII. Sedangkan tahap kedua, melakukan

penyergapan di wilayah pegunungan terutama Pangerasan, Tonjong, dan

Brebes. Dalam penyergapan ini pihak DI/TII mengalami kekelahan dan

banyak pasukan yang meninggal salah satunya Kamran Cokrobuono selaku

pemimpin di wilayah Tonjong.

Kembalinya kekuatan pasukan DI/TII, TNI membentuk daerah

Gerakan Banteng Negara (GBN) di Brebes menjadi tiga sektor yaitu (Dinas

Sejarah TNI, 2012: 99): Sektor A wilayah Jipang dan Larangan, Sektor B

untuk wilayah Jatibarang, Salem, Ketanggungan, dan Sektor T2 untuk

wilayah Tonjong. Selain itu, TNI menggunakan strategi Banteng Stelsel

sebagai upaya pengembangan dari GBN dan membentuk pasukan tempur

dengan nama Banteng Raiders yang terdiri dari lima kompi. Strategi

Banteng Raider mulai dilaksanakan pada tahun 1953 dengan fokus wilayah

Tonjong yang menjadi pusat sisa gerakan DI/TII. Cara kerja Banteng Raider

menggunakan taktik “Nyundung” dengan penyamaran di markas DI/TII.

Namun taktik “nyundung” mudah diketahui oleh pasukan DI/TII. Sehingga


35

TNI harus mengganti dengan taktik “ayam alas” yaitu mengintai dari

pohon-pohon.

Strategi yang dilakukan oleh pasukan Banteng Raider rupa berhasil

melumpuhkan gerakan DI/TII di Brebes. Penyergapan yang dilakukan oleh

pasukan TNI secara tiba-tiba membuat pasukan DI/TII tidak bisa berkutik.

Sehingga banyak markas-markas mereka yang diserang dan senjata

diamankan oleh TNI. Melemahnya pasukan DI/TII menyebabkan teror

terhadap masyarakat semakin meningkat. Teror yang dilakukan oleh sisa-

sisa pasukan DI/TII hingga tahun 1961. Meskipun sisa pasukan DI/TII

sudah kalah secara politik dan militer, namun mereka tetap bertahan di

hutan-hutan. Karena mereka tidak mempunyai keberanian untuk

menyerahkan diri ke TNI. Setelah S.M. Kartosuwiryo ditangkap dan

dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah membuat sisa-sisa gerakan DI/TII

semakin melemah. Mereka sudah tidak mempunyai keberanian lagi selain

menyerahkan diri. Selain itu, pasukan DI/TII mengalami kesulitan untuk

mendapatkan logistik sehingga terpaksa harus menyerahkan diri. Hingga

pada tahun 1962, TNI menyatakan bahwa pasukan DI/TII Jawa Tengah

sudah tidak ada lagi (Nur Fatimah dan Indriyanto, 2020: 141).

C. Sejarah DI/TII di Desa Rajawetan

Gerakan DI/TII yang muncul akibat kondisi perpolitikan Indonesia

dan jiwa solidaritas keagamaan yang besar, menyebabkan gerakan DI/TII

menyebar hingga ke wilayah pedesaan. Keberadaan gerakan DI/TII di Desa

Rajawetan diawali dengan gerakan DI/TII Amir Fatah yang menyebar di


36

wilayah Brebes Selatan, akibat adanya penyerangan TNI terhadap pasukan

DI/TII di Bentarsari mengakibatkan pasukan DI/TII terpecah menjadi

kelompok-kelompok kecil yang menyebar ke hutan Mulyatapa Purbayasa,

Kutayu, dan Tegal. Dari wilayah tersebut pasukan DI/TII dapat sampai di

wilayah Desa Rajawetan. Gerakan DI/TII di Desa Rajawetan dimulai

kisaran waktu 1950-1960-an. Gerakan ini aktif di waktu malam dan dikenal

dengan gerakan yang sering melakukan tindakan kriminal terhadap

masyarakat. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh pasukan DI/TII semata-

mata untuk menompang kehidupan mereka selama di hutan supaya dapat

mewujudkan tujuan besar pasukan DI/TII yaitu berdirinya Negara Islam

Indonesia. Gerakan DI/TII di Desa Rajawetan kurang mendapatkan respon

positif dari masyarakat setempat karena masyarakat bukan penganut agama

Islam fanatik.

Gerakan DI/TII berhasil merekrut beberapa masyarakat Desa

Rajawetan menjadi anggotanya, tercatat beberapa masyarakat yang

bergabung dengan DI/TII yaitu: Sueb, Sahroni, Sahir, Kartomo, Sajid

(Sahrun Sadar, Wawancara 2021). Masyarakat yang bergabung dengan

pasukan DI/TII tidak ikut serta melakukan tindakan kriminal. Mereka hanya

membantu pasukan DI/TII baik informasi maupun sumbangan kebutuhan

makanan. Karena mereka sendiri bergabung dengan DI/TII pada hakikatnya

hanya untuk mencari keamanan untuk dirinya sendiri dan keluarganya.

Wilayah geografis Desa Rajawetan yang strategis berbatasan

langsung dengan Tegal dan Kutayu, selain itu wilayahnya yang berupa
37

hutan lebat dan pegunungan. Sehingga hutan-hutan di sekitar Desa

Rajawetan dapat dijadikan markas gerakannya. DI/TII di Desa Rajawetan

bermarkas di hutan-hutan seperti: Sigedong. Ujung Timur, Kalimringinan,

Wongwelang, Kalisuru, Delaksana, dan Bulakrayahan. Markas DI/TII

terdapat dua tempat yang paling berpengaruh yaitu Sigedong dan

Kalimringinan. Sigedong sendiri merupakan wilayah yang berbatasan

dengan Kutayu. Hutan Sigedong cenderung lebih lebat. Sehingga digunakan

oleh pasukan DI/TII sebagai markasnya. Dari pasukan DI/TII di Sigedong

ini berhasil menarik beberapa masyarakat desa terutama dari Dukuh

Sarangpanjang yang tergabung. Pasukan DI/TII di Sigedong dipimpin oleh

Muhrodi (Taro, wawancara 2020). Muhrodi merupakan penduduk asli

Kutayu. Sedangkan, markas DI/TII yang paling besar berada di

Kalimringinan yang dipimpin oleh Kosim (Sahrun Sadar, wawancara,

2021). Kosim adalah salah satu pemimpin pasukan DI/TII Resimen

32/Sunan Kudus yang mendapatkan tugas utama untuk menguasai wilayah

Tegal bagian Timur (Dinas Sejarah TNI, 2012: 102). Kalimringinan

digunakan sebagai markas DI/TII karena wilayahnya yang berada di

perbatasan Tegal dan Brebes. Sehingga memudahkan DI/TII di wilayah

Brebes dan Tegal untuk menjalin komunikasi. Berdasarkan data yang

terkumpul, di Kalimringinan terdapat 17 rumah, 1 musalla, dan beberapa

tempat ternak (Catem, wawancara, 2021).

Sejak bulan Juni 1950 pasukan DI/TII mulai melakukan tindakan

kriminalnya dengan meminta makanan secara paksa kepada masyarakat


38

terutama di desa-desa yang dijadikan sebagai markas DI/TII (Dinas Sejarah

TNI, 2012: 87). Tindakan meminta makanan secara paksa dilakukan

semata-mata untuk mencukupi kebutuhan bahan pokok pasukan DI/TII.

Karena pasukan DI/TII tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat

setempat sehingga tidak adanya bantuan makanan yang diberikan.

Ditambah lagi, kehidupan pasukan DI/TII yang berada di hutan menjadikan

mereka mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

Sehingga mereka melakukan tindakan meminta makanan secara paksa

kepada masyarakat untuk mempertahankan kehidupan demi

memperjuangkan tujuan pasukan DI/TII. Kebutuhan pangan pasukan DI/TII

hanya mengandalkan hasil penjarahan dari masyarakat.

Tindakan meminta makanan kepada masyarakat, dilakukan ketika

menjelang waktu Salat Isya, biasanya pasukan DI/TII mulai turun ke

permukiman penduduk untuk menggeladah isi rumah dan mencari

makanan. Jika tidak diberikan makanan pasukan DI/TII tidak segan-segan

untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat. Bukan sekedar makanan

saja yang diminta secara paksa oleh DI/TII, hewan ternak yang dimiliki

masyakarat juga diambil. Hewan ternak yang biasa diambil yaitu ayam,

kambing, sapi, dan kerbau. Jumlah pasukan DI/TII yang meminta makanan

dan hewan ternak berjumlah antara 10-50 orang.

Tindakan yang dilakukan pasukan DI/TII menimbulkan ketakutan

masyarakat Desa Rajawetan terutama menjelang sore hari, mereka mulai

diselimuti perasaan cemas dan waspada akan datangnya pasukan DI/TII ke


39

rumah-rumah penduduk. Untuk menghindari tindakan pasukan DI/TII,

masyarakat Desa Rajawetan pada pertengahan tahun 1950 terpaksa harus

mengungsi ke desa-desa yang dianggap lebih aman seperti Kutayu,

Batuagung, dan Jejeg (Catem, wawancara, 2021). Pengungsian dilakukan

selama beberapa bulan.

Menjelang akhir tahun 1950, TNI berhasil menyudutkan pasukan

DI/TII ke wilayah pegunungan dan hutan rimba. Kesempatan tersebut

digunakan oleh TNI untuk mengadakan konsolidasi teritorial, sehingga

masyakarat yang mengungsi memungkinkan untuk kembali ke desanya

masing-masing. Mereka mulai menjalankan kehidupan seperti semula di

desanya dengan dibantu TNI dalam bidang keamananannya. TNI yang

bertugas di Desa Rajawetan terdapat satu kompi yang dipimpin oleh Sarjono

dan bermarkas di Dukuh Rajawetan. Adapun pemimpin Pleton di Desa

Rajawetan yaitu (Sahrun Sadar, wawancara 2021):

1. Subur sebagai pemimpin Pleton 1

2. Darab sebagai pemimpin Pleton 2

3. Taram sebagai pemimpin Pleton 3

4. Hadi sebagai pemimpin Pleton 4

Untuk membantu kemanan Desa Rajawetan, Sarjono membentuk

lembaga keamanan desa yang diambil dari pemuda. Lembaga keamanan

tersebut diberi nama WBU. Kemudian berganti menjadi Handra dan yang

terakhir yaitu OPR (Operasi Pengamanan Rakyat). Anggota OPR sendiri

yaitu Suhari, Taro, Wartono, Kusen, Tomo, Wasroni, Rojikin, Sadi, Tabas,
40

Duin, Kanan, Wahab, Daun, Nadar, Sahrun Sadar, Juremi, Sukiman (Taro,

Wawancara, 2020). Pemimpin OPR Rajawetan yaitu Sukiman. OPR

bertugas secara bergantian siang dan malam untuk melakukan operasi

kemanan keliling desa, yang berjumlah 12 orang setiap harinya. Dua belas

orang ini dibagi di setiap dukuhnya dan sisanya menjaga posko TNI yang

berada di Dukuh Rajawetan.

Setelah dibentuknya lembaga keamanan desa, masyarakat kembali

ke Desa Rajawetan karena kondisi desa dianggap sudah jauh lebih aman

dibandingkan sebelumnya. Kembalinya masyarakat desa membuat pasukan

DI/TII terus melakukan aksinya, bukan sekedar meminta makanan secara

paksa. Namun juga melakukan penculikan bahkan pembunuhan terhadap

pejabat pemerintah dan pemuda desa yang dianggap berpengaruh.

Penculikan terhadap pemerintah desa sering kali mengalami kegagalan.

Karena pejabat desa berhasil kabur dan bersembunyi dari kejaran DI/TII.

Oleh sebab itu, DI/TII melakukan pertemuan di Dukuh Gembor untuk

merencanakan penculikan terhadap istri para pejabat pemerintah desa

seperti: Tiwen, Suriem, Dames, dan Taswen (Catem, wawancara 2021).

Perencanaan penculikan para istri ini bertujuan untuk memancing keluar

para pejabat desa yang bersembunyi. Namun upaya tersebut tidak berhasil

karena diketahui oleh masyarakat terlebih dahulu. Penculikan dan

pembunuhan terjadi pada pemuda desa yang mempunyai pengaruh besar

dan bergabung dengan OPR. Adapun pemuda desa yang diculik dan

dibunuh yaitu: Tabas (Dukuh Babakan), Tabas (Dukuh Wanayasa),


41

Wangsadayat (Dukuh Gembor), Sahid (Dukuh Rajawetan), Tahari, Tanyan,

dan Sarab (Sahrun Sadar, wawancara 2021). Jasad para pemuda desa sampai

saat ini tidak diketahui dengan pasti keberadaannya. Berdasarkan data yang

dikumpulkan, beberapa dari mereka ada yang dikuburkan di hutan sekitar

Desa Rajawetan dan ada juga yang di kubur di luar Desa Rajawetan.

Aktivitas pasukan DI/TII menjadi lebih aktif dan meningkat sejak

tahun 1953 dan mencapai puncaknya pada tahun 1957 (Ghofar Asnanto,

2019:65). Adanya gerakan DI/TII yang semakin aktif menjadikan pasukan

TNI bekerja lebih keras dalam upaya penumpasannya. Sehingga pasukan

TNI menggunakan strategi Opreasi Banteng Raider untuk menumpas

gerakan DI/TII. Hal tersebut, menyebabkan pasukan DI/TII terpojokkan dan

menjadi terpusat di wilayah Tonjong. Dengan pusat gerakan DI/TII yang

berada di Tonjong, membuat pasukan DI/TII di Desa Rajawetan semakin

meningkat melakukan tindakan kriminal kepada masyarakat. Tindakan

kriminal menjadi lebih aktif dilakukan pada malam hari tentunya membawa

keuntungan tersendiri dari pihak DI/TII karena pasukan DI/TII dengan

mudah melarikan diri dan bersembunyi. Ditambah lagi, Desa Rajawetan

belum ada listrik, pencahayaan masih menggunakan obor. Selain itu,

pasukan DI/TII lebih memahami wilayah Desa Rajawetan dibandingkan

dengan TNI dan OPR. Sehingga pencarian pasukan DI/TII tidak mudah

dilakukan pada malam hari. Sedangkan pada pagi dan siang hari pasukan

DI/TII bertindak sebagai masyarakat biasa untuk menghindari kejaran dari

TNI. Sebagaimana yang dituturkan oleh Catem,


42

Nah enyong tes kulak bodin kiye bae ning Buniwah, lah wong iya
tentara ngonjeg bedil ana apalah. Takon, bu anu tes ning endi?
Lah anu tes kulak bodin. Rupane ana tentara ora? yong anu
enyonge adoh, keteplak anu sing Linggapura manjate mrene
ngetan mbuh ta mbuh pan meng ndi. Enyong tah anu ora ngertilah,
enyong ta pan tuku bodin nang Bumiwah. Nah uwis oh lah tentara
ucul-ucul bedil, topi, pakaian di lelep dibeletna. Cluput katok
bodol klambi bodol cluput topi bodol cluput pacul kecok-kecok.
“Saya setelah membeli singkong di Buniwah, orang iya tentara
membawa senapan juga. Tanya, Bu habis dari mana? Lah abis beli
Singkong. Sepertinya ada tentara tidak? Saya kan jauh, jalan dari
Linggapura naik ke sini tapi tidak tahu mau kemana. Saya tidak
tau, saya mau beli singkong di Buniwah. Setelah itu tentara
melepaskan senapan, topi, pakaiannya ditenggelamkan dilumpur.
Kemudian mengambil celana yang sudah rusak, baju yang sudah
rusak, dan topi yang sudah rusak, mengambil cangkul.”

Penyamaran yang dilakukan oleh pasukan DI/TII pada pagi dan

siang hari, membuat pasukan TNI kesulitan untuk membedakan antara

penduduk desa dengan pasukan DI/TII. Sehingga pasukan TNI mengalami

kesulitan untuk menangkap pasukan DI/TII di Desa Rajawetan.

Ditengah aktifnya gerakan DI/TII, pada tahun 1956 terjadi

penyerangan di Desa Rajawetan oleh pasukan DI/TII yang bermarkas di

Kalimringinan, Sigedong, Kutayu, dan gabungan dari desa lain di sekitar

wilayah Tonjong. Penyerangan terjadi pada hari Jum’at Kliwon. Pada saat

itu di Desa Rajawetan hanya terdapat satu regu yang dipimpin oleh Sahiri.

Sedangkan Sarjono dan pasukan yang lainnya sedang mendapatkan tugas

untuk membantu pasukan TNI di Kalikidang, Paguyangan untuk melawan

serangan dari DI/TII (Sahrun Sadar, wawancara 2021). Situasi tersebut

dimanfaatkan oleh pasukan DI/TII untuk menyerang Desa Rajawetan.

Penyerangan terjadi di Timur lapangan Desa Rajawetan. Untuk melawan


43

pasukan DI/TII yang berjumlah ratusan orang, Sahiri dibantu oleh pasukan

Embe dari Cempaka sebanyak 60 orang (Sahrun sadar, wawancara 2021).

Meskipun jumlah pasukan DI/TII lebih banyak, namun penyerangan ini

berhasil dimenangkan oleh pasukan Sahiri. Karena persenjataan yang

digunakan oleh pasukan Sahiri lebih banyak dibandingkan dengan yang

dimiliki oleh DI/TII satu senjata untuk dua sampai tiga orang. Pasukan

DI/TII terpecah-pecah dan melarikan diri ke wilayah Mengersilayur

sedangkan yang meninggal dikuburkan di Utara Lapangan Rajawetan.

Dalam penyerangan ini Sahiri berhasil mengamankan senjata sebanyak 26

senapan dan 11 pistol (Sahrun Sadar, wawancara 2021).

Akibat ternyadinya perangan oleh pasukan DI/TII di Desa

Rajawetan, membuat pasukan TNI dan OPR harus bekerja lebih keras

kembali supaya tidak terjadi penyerangan susulan di Desa Rajawetan. Oleh

sebab itu, dalam penyumpasan dan penangkapan pasukan DI/TII di Desa

Rajawetan, Sarjono bekerjasama dengan OPR. OPR bukan sekedar

membantu dalam bidang militer saja namun juga sebagai penunjuk jalan ke

hutan-hutan yang dijadikan markas oleh DI/TII. Pada awalnya TNI

bekerjasama dengan para pemuda desa untuk membuat pagar keliling di

seluruh desa (Raid, wawancara 2021). Tujuannya agar pasukan DI/TII tidak

memasuki kepermukiman penduduk. Pagar keliling dibuat dari bambu

dengan rangkap tiga sehingga pagar yang dibuat lebih kuat dan kokoh. Di

setiap Dukuhnya diberi pintu dan dijaga oleh para pemuda berjumlah dua
44

orang. Namun cara ini ternyata kurang efektif terbukti pasukan DI/TII masih

dapat menerobos pintu dan penjaganya.

Mengingat strategi pagar keliling ini kurang efektif. Maka TNI

mengubahnya dengan strategi lain. Startegi yang digunakan selanjutnya

menggunakan taktik “Nyundung” dan taktik “Ayam Alas” yang digunakan

oleh pasukan Banteng Raider (BR). Taktik nyundung yaitu penyergapan

pasukan DI/TII dengan cara menunggu di tempat yang digunakan untuk

konsolidasi (Nurul Fatimah dan Indriyanto, 2020:140). Biasanya TNI atau

OPR melakukan penyamaran terlebih dahulu sebelum melakukan

penyergapan ke markas DI/TII. Penyamaran dilakukan untuk

mengumpulkan informasi dan mengetahui aktivitas gerakan pasukan

DI/TII. Setelah pengumpulan informasi dilakukan, selanjutnya pasukan

TNI dapat melakukan serangan secara mendadak di markas pasukan DI/TII.

Hanya saja taktik ini tidak bertahan lama karena pasukan DI/TII menyadari

telah adanya penyusupan di markasnya. Oleh sebab itu, TNI mengganti

strategi penyerangan dengan taktik “ayam alas”. Taktik ayam alas dilakukan

dengan cara pengintaian dari pohon-pohon dengan jarak kurang lebih 150

meter dari markas DI/TII. Pengintaian dilakukan oleh OPR yang

didampingi oleh TNI. OPR dan TNI yang diberi tugas melakukan

pengintaian biasanya menggunakan pakaian bebas dan dilengkapi dengan

radio angin. Sehingga hasil dari pengintaian bisa langsung disampaikan ke

markas TNI yang berada di Dukuh Rajawetan. Taktik ayam alas dilakukan

secara bergantian siang dan malam. Sebagai hasil dari taktik ayam alas,
45

pasukan TNI bekerjasama dengan TNI Tegal dapat melakukan penyerangan

terhadap markas besar DI/TII di Kalimiringinan. Penyerangan yang

dilakukan dari berbagai arah dan secara mendadak membuat pasukan DI/TII

kalang kabut sehingga dapat dikalahkan oleh TNI. Dalam penyerangan ini

pasukan DI/TII banyak yang meninggal dunia dan beberapa darinya dapat

melarikan diri. Sekitar 17 senjata berhasil diamankan oleh TNI (Sahrun

Sadar, wawancara 2021). Kekalahan pasukan DI/TII di markas

Kalimringinan sebagai akhir dari gerakan DI/TII di Desa Rajawetan dan

dinyatakan aman. Pasalnya jumlah pasukan DI/TII di Kalimringin lebih

banyak dan aktif. Dengan kekelahan tersebut, pasukan DI/TII semakin

berkurang bahkan tidak berani untuk melakukan tindakannya ke desa

sehingga kehidupan masyarakat kembali normal.

Berdasarkan data yang terkumpul mengenai sejarah gerakan DI/TII

baik di wilayah Brebes dan Desa Rajawetan tidak diketahui secara pasti

struktur keanggotaannya. Karena dalam proses gerakannya mereka

menggunakan sistem gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh

syi’āh. Sehingga tidak diketahui secara detail struktur keanggotaan dari

pasukan DI/TII.
BAB III
DAMPAK GERAKAN DI/TII TERHADAP MASYARAKAT DESA
RAJAWETAN

A. Dampak Gerakan DI/TII Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat

Desa Rajawetan

Gerakan DI/TII dengan nama agama dengan cepat menyebar dan

diterima oleh masyarakat Indonesia, hal tersebut disebabkan karena

masyarakat Indonesia sebagian besar menganut agama Islam. Di Jawa

Tengah terutama wilayah Brebes gerakan DI/TII mendapatkan respon yang

positif di beberapa wilayah salah satunya di Desa Pangerasan Kecamatan

Bantarkawung. Pasukan DI/TII Amir Fatah yang mulai melakukan

perlawanannya pada pertengahan tahun 1949-1960-an tentu mempunyai

dampak dalam kehidupan masyarakat terutama pada wilayah yang

digunakan sebagai basis gerakannya. Terlebih setelah pasukan Amir Fatah

mulai aktif melawan TNI, mereka mulai melakukan penculikan bahkan

pembunuhan terhadap rakyat yang tidak setuju dengan pemikiran DI/TII

(Frans, Hitipeuw, 1985: 55). Gerakan DI/TII yang menginginkan perubahan

dengan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, sudah pasti dalam

aktivitasnya mempunyai pengaruh terhadap tatanan kehidupan masyarakat.

Adapun pengaruh yang dialami oleh masyarakat diantaranya dalam bidang

sosial, keagamaan, politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Hal ini

sependapat dengan Scott dan Mitchell yang menyatakan dampak

merupakan transaksi sosial yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok

untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Bambang Tri Kurnianto, 2017:61).

46
47

Dampak sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai pengaruh

atau akibat yang disebabkan oleh sesuatu peristiwa yang berkenaan dengan

masyarakat. Dampak sosial dapat bernilai positif dan negatif, sesuai dengan

pengaruh atau akibat yang dialami oleh masyarakat. Seperti halnya yang

terjadi pada masyarakat Desa Rajawetan akibat keberadaan pasukan DI/TII

pada tahun 1950-1960. Gerakan DI/TII di Desa Rajawetan sudah ada sejak

tahun 1949. Hanya saja aktivitasnya mulai terlihat pada tahun 1950 dan

berakhir tahun 1960.

Pada awalnya masyarakat Rajawetan dibingungkan adanya DI/TII.

Masyarakat tidak dapat membedakan antara TNI dan DI/TII, karena

masyarakat Desa Rajawetan menganggap semua yang membawa senjata

adalah tentara. Selain itu, masyarakat Desa Rajawetan menganggap DI/TII

sebagai saudara karena masih satu negara dan memiliki tujuan yang sama

yaitu berjuang untuk melawan Belanda. Hanya saja tindakannya yang

kurang tepat dan meresahkan masyakarat. Pasalnya pasukan DI/TII

melakukan tindakan meminta makanan secara paksa bahkan dengan

kekerasan, penculikan pemuda desa atau pejabat pemerintahan,

pembunuhan, dan pembakaran rumah. Hal tersebut menimbulkan ketakutan

dan keresahan dikalangan masyarakat Rajawetan terutama ketika menjelang

sore hari mereka mulai waspada akan datangnya pasukan DI/TII.

Ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat Desa Rajawetan menjadi

terancam dengan adanya gerakan DI/TII. Rupanya keberadaan pasukan


48

DI/TII memberikan dampak khusus bagi kehidupan masyarakat setempat

terutama dalam bidang sosial.

Adapun dampak sosial yang dialami oleh masyarakat Desa

Rajawetan diantaranya sebagai berikut:

1. Kekurangan Makan

Perekonomian masyarakat Rajawetan pada masa penjajahan

Belanda terbilang lebih baik terbukti masyarakat masih bisa makan

bahkan tidak pernah mengalami kekurangan. Meskipun Belanda ada di

Rajawetan namun tidak pernah meminta makanan, mereka hanya

menembak orang-orang yang mencurigakan atau melawan Belanda

(Catem, wawancara 2021). Namun sejak adanya tindakan DI/TII yang

meminta makanan dan hewan secara paksa, menyebabkan masyarakat

mengalami kesulitan dalam hal makanan sehingga menyebabkan

kelaparan. Kondisi tersebut memperburuk keadaan ekonomi

masyarakat Rajawetan. Akibatnya masyarakat menderita kelaparan

karena kekurangan dan kesulitan mendapatkan makanan. Terlebih

banyaknya pemuda desa yang tergabung dengan OPR secara sukarela.

Dengan tujuan untuk menghentikan tindakan gerakan DI/TII. Justru

membuat perekonomian masyakarat semakin sulit, karena pemuda desa

lebih fokus pada tugasnya untuk mengamankan desa dibandingkan

dengan bekerja di ladang atau di sawah. Selain itu hutan-hutan yang

biasanya dijadikan sebagai sumber penghasilan dikuasai oleh pasukan

DI/TII. Sehingga masyarakat hanya bergantung pada hasil perkebunan


49

dan sawah. Bahkan, untuk menyambung hidupnya masyarakat harus

mencari bahan makanan hingga keluar wilayah Desa Rajawetan.

Umumnya masyakarat Desa Rajawetan mengonsumsi singkong yang

sudah terlalu matang dan teksturnya lebih keras sebagai pengganti padi

dan jagung.

Melihat tindakan DI/TII yang meminta makanan secara paksa

menyebabkan masyarakat mengalami kekurangan makanan. Sehingga

masyarakat harus berusaha untuk melindungi makanannya dengan

berbagai cara. Masyarakat membuat lubang di dalam rumahnya untuk

menyimpanan cadangan makanan yang dimilikinya (Danyep,

wawancara 2021). Biasanya makanan yang disimpan di dalam lubang

sejenis biji-bijian. Lubang yang dibuat tidak terlalu luas dan dalam

sesuai dengan bahan makanan yang dimilikinya. Menjelang sore hari,

masyarakat mulai menyimpanan cadangan makanannya di dalam

lubang supaya tidak diambil oleh pasukan DI/TII.

Selain lubang di dalam rumah, masyarakat menyimpanan

makanan di dalam bambu. Jenis bambu yang digunakan yaitu bambu

yang besar, tebal dan kuat. Tujuannya agar dapat menyimpan makanan

lebih aman. Bambu yang berisi cadangan makanan diletakkan di

belakang pintu. Penempatan bambu di belakang pintu berfungsi sebagai

kunci supaya pintu tidak mudah dibuka. Ketika pasukan DI/TII masuk

kedalam rumah dan mendorong pintu, maka bambu akan tertutupi oleh
50

pintu, sehingga tidak diketahui bahwa masyarakat masih mempunyai

cadangan makanan.

Sedangkan hewan ternak seperti ayam dan bebek,

disembunyikan di dalam tikar yang terbuat dari bambu. Tikar tersebut

digulung hingga membentuk seperti tabung, kemudian hewan ternak

dimasukkan kedalam gulungan tikar tersebut. Sehingga ketika pasukan

DI/TII datang mencari hewan ternak tidak mudah diketahui. Namun

terkadang cara ini sering mengalami kegagalan karena disaat ayam atau

bebek mengeluarkan suara maka pasukan DI/TII dapat dengan mudah

menemukan dan mengambilnya.

2. Perubahan Sikap Masyarakat Desa Rajawetan

Kehidupan sosial masyarakat Desa Rajawetan mengalami perubahan

sikap sejak datangnya pasukan DI/TII. Mereka lebih pasrah ketika

pasukan DI/TII menggeladah rumah masyarakat untuk mengambil

makanan dan hewan ternak. Mereka lebih memilih diam bahkan tidak

mempunyai keberanian untuk melawan pasukan DI/TII karena takut

dibunuh. Terlebih masyarakat mengutamakan keselamatan keluarga

dibandingkan harta benda yang mereka miliki. Seperti yang dialami

oleh Bapak dari Ibu Catem, yang mempunyai seekor sapi. Ketika

malam hari pasukan DI/TII datang kerumahnya dan mengambil sapi

yang berada di kandangnya. Bapak dari Ibu Catem hanya terdiam dan

tidak berani melawan bahkan pasrah ketika sapi satu-satunya diambil

oleh pasukan DI/TII (Catem, wawancara 2021). Menurut masyarakat


51

nyawa lebih penting dibandingkan dengan makanan. Karena makanan

diambil oleh pasukan DI/TII masih dapat dicari kembali, meskipun

harus keluar dari wilayah Desa Rajawetan.

3. Pembakaran Rumah

Pembakaran rumah merupakan tindakan yang umum dilakukan oleh

pasukan DI/TII. Hampir semua wilayah yang dikuasai oleh pasukan

DI/TII selalu ada rumah penduduk yang dibakar. Hanya saja

pembakaran rumah di Desa Rajawetan lebih sedikit dibandingkan

dengan wilayah lainnya. Rumah-rumah yang dibakar oleh pasukan

DI/TII hanya rumah para OPR dan pemuda yang berusaha melawannya.

4. Lahan Pertanian

Di sisi lain, adanya gerakan DI/TII membawa keuntungan bagi

masyarakat terutama dalam bidang pertanian. Bekas markas-markas

DI/TII di hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai

lahan pertanian untuk ditanami jagung hingga sekarang. Masyarakat

tidak perlu mengeluarkan modal yang terlalu banyak untuk penanaman

jagung. Karena tidak perlu bersusah payah untuk membuka lahan

pertanian. Selain itu, penanaman jagung tidak perlu membutuhkan air

yang banyak sehingga tanaman jagung sesuai untuk ditanam di hutan-

hutan. Kemudian jagung digunakan sebagai makanan pokok

masyarakat selain singkong dan padi. Penanaman jagung dilakukan

sebagai upaya menstabilkan perekonomian desa terutama dalam hal

mengurangi kelaparan.
52

5. Penculikan dan Pembunuhan

Tindakan pasukan DI/TII yang selanjutnya yaitu melakukan

penculikan dan kekerasan terhadap masyarakat. Kekerasan dilakukan

kepada masyarakat yang melawan pasukan DI/TII terutama ketika

mengambil bahan makanan atau hewan ternak secara paksa. Selain itu,

pasukan DI/TII melakukan penculikan terhadap pemuda Desa

Rajawetan untuk dijadikan sebagai anggota dan pelayan (Sahrun Sadar,

wawancara 2021). Terkadang pasukan DI/TII tidak segan-segan

melakukan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap pemuda yang

menolak atau melawanya, seperti yang terjadi pada Sahid. Pada saat itu,

pasukan DI/TII menculik Sahid dan Sukiman untuk ke Kalimringinan.

Namun setelah sampai di Sungai Pete Dukuh Rajawetan, Sukiman

berhasil kabur dari pasukan DI/TII. Tetapi berbeda dengan Sahid yang

berhasil dibawa oleh pasukan DI/TII hingga ke Kalimringinan. Setelah

kejadian itu keberadaan Sahid tidak lagi diketahui dan jasadnyapun

tidak ditemukan hingga sekarang.

Upaya penculikan oleh pasukan DI/TII terhadap pejabat

pemerintah desa kerap kali dilakukan. Terpaksa pejabat pemerintah

desa harus bersembunyi untuk mengamankan diri. Biasanya mereka

tidak hanya bersembunyi di rumahnya saja, namun juga berpindah-

pindah (Darto, wawancara 2021). Akibatnya sistem pemerintahan desa

tidak dapat berjalan dengan lancar dan sebagaimana mestinya.


53

Jika dilihat dari bidang sosial, dampak adanya gerakan DI/TII di

mata masyarakat Desa Rajawetan lebih cenderung negatif. Karena

tindakannya menghantarkan masyarakat kepada kehidupan yang menderita

akibat kekurangan makanan bahkan harus kehilangan sanak saudara yang

tidak dapat ditemukan.

B. Dampak Gerakan DI/TII Terhadap Kehidupan Keagamaan

Masyarakat Desa Rajawetan

Gerakan DI/TII tidak dapat dilepaskan dari keagamaan, sudah jelas

dari nama dan tujuannya untuk mendirikan negara Islam. Hal tersebut

menjadikan gerakan DI/TII mempunyai dampak terhadap keagamaan dalam

kehidupan masyarakat desa. Keberadaan gerakan DI/TII di Desa Rajawetan

mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat dalam bidang

keagamaan, baik yang bernilai postif maupun negatif. Terlebih pasukan

DI/TII dalam aktivitasnya begitu kental dengan agama Islam karena

anggotanya berasal dari orang-orang yang fanatik. Meskipun dalam

kenyataannya, pasukan DI/TII melakukan penyimpangan terhadap ajaran

agama Islam sendiri. Justru memberikan kesan yang kurang baik terhadap

masyarakat, pasalnya dalam tindakannya melakukan tindakan kriminal

seperti kekerasan bahkan hingga pembunuhan terhadap masyarakat desa

terutama bagi orang-orang dianggap menghalangi atau melawannya. Hal

tersebut disebabkan karena sebagai besar dari pasukan DI/TII mempunyai

pengetahuan umum yang rendah dan kurangnya memahami konsep ajaran

agama Islam (Haidar, Ali dan Jamiludin, 2016: 93). Sehingga sangat
54

memungkin pasukan DI/TII untuk melakukan penyimpangan. Selain itu,

gerakan DI/TII mempunyai sebuah program yang digunakan sebagai

kaderisasi anggota atau cara untuk merekrut anggota baru yang dikenal

dengan “Minimum Program”. Salah satu isi dari minum program yaitu

melakukan kaderisasi melalui pengajian atau kegiatan masyarakat, di mana

di dalam kegiatan tersebut diisi dengan pemahaman menganai agama dan

doktrin-doktrin mengenai tujuan dari gerakan DI/TII. Dalam merekrut masa

DI/TII juga menanamkan pentingnya konsep jihad dalam mendirikan NII.

Pasukan DI/TII juga menyebarkan isu akan mungkinnya hadir rosul setelah

Nabi Muhammad SAW dan menganggap Amir Fatah sebagai utusan Allah

SWT sebagai rosul setelah Nabi Muhammad SAW. Pasukan DI/TII

mengantikan kalimat syahadat yang berbunyi Laillahaillah Muhammada

Rasulullah menjadi Laillahaillah Amir Fatah Rosulullah (Nurul fatimah

dan Indriyanto, 2020: 139). Adanya tindakan yang dilakukan oleh pasukan

DI/TII mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang

berhubungan dengan keagamaan. Hal ini sependapat dengan Fikria Najmata

yang menyatakan bahwa, dampak keagamaan sendiri merupakan pengaruh

atau akibat yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang

berhubungan dengan nilai-nilai atau ajaran keagamaan (Fikria Najtama,

2017: 422).

Adapun dampak dalam bidang keagamaan yang dialami oleh

masyarakat Desa Rajawetan sebagai berikut:


55

a. Dampak Positif dalam bidang keagamaan

Sebelum pasukan DI/TII berada di sekitar hutan-hutan Desa

Rajawetan, masyarakat sudah menganut agama Islam, hanya saja pada

tahun 1950 agama Islam belum masuk secara utuh dan mendalam.

Masyarakat Desa Rajawetan sebagian besar menganut ajaran agama

Islam Kejawen (Taro, wawancara 2021), terutama wilayah Dukuh

Gembor.

Tempat ibadah di Desa Rajawetan terbilang masih sedikit hanya

berjumlah 2 musollah yang berada di Dukuh Rajawetan dan Dukuh

Gembor (Taro, wawancara 2021). Namun untuk Salat Jum’at dilakukan

di wilayah Dukuh Gembor karena Musollanya lebih luas, sehingga dapat

menampung jama’āh yang lebih banyak (Raid, wawancara 2021).

Ajaran agama Islam di Desa Rajawetan dapat berkembang atas

jasa Haji Syam dan Haji Hambali yang berasal dari Pangkah Tegal

(Sarun Sadar wawancara 2021). Mereka yang mengajarkan agama Islam

kepada masyarakat setempat. Dalam proses pengajaran agama Islam,

Desa Rajawetan dibagi menjadi dua bagian yaitu wilayah Dukuh

Sarangpanjang dan Rajawetan di bimbing oleh Haji Syam sedangkan

untuk wilayah Dukuh Babakan, Wanayasa, dan Gembor dibimbing oleh

Haji Hambali. Adapun para muridnya yaitu Sueb, Marta, Ralim, Subari,

Wangsa Ali, dan Dulwahab. Di mana salah satu dari muridnya yaitu

Sueb mengabungkan dirinya menjadi anggota DI/TII.


56

Selain itu orang-orang yang mengajarkan mengaji masih sangat

sedikit. Sistem mengaji yang dilakukan yaitu sekedar mendengarkan

surat-surat yang dibacakan oleh guru mengaji, kemudian dihafalkan

oleh para murid-muridnya karena belum banyak yang mempunyai al-

Qur’ān dan belum banyak yang bisa membaca al-Qur’ān bahkan

mengenal huruf-huruf hijaiyah. Keterbelakangan dalam bidang agama

menjadi terganggu ketika pasukan DI/TII berada di sekitar hutan-hutan

Rajawetan. Kegiatan mengaji yang dilakukan menjadi terbatas hanya

pada waktu Salat Asar dan terkadang ada yang mengajari mengaji

setelah Salat Magrib. Tidak banyak murid-murid yang datang terutama

anak laki-laki karena ketika malam mereka mengikuti bapaknya untuk

mengungsi ke ladang guna menghindari pasukan DI/TII (Raid,

wawancara 2021). Meskipun pasukan DI/TII melakukan tindakan

kriminal terhadap masyarakat, namun pasukan DI/TII justru senang

melihat anak-anak yang belajar agama Islam. Bahkan pasukan DI/TII

mengajak kepada hal yang baik seperti menasehati anak kecil untuk rajin

mengaji dan salat. Hal tersebut dirasakan sendiri oleh Raid. Pada saat

itu, Raid sedang berada di hutan karena takut adanya pasukan DI/TII

sehingga Raid berpura-pura tidur. Di saat Raid sedang berpura-pura

tidur pasukan DI/TII datang mendekatinya dan mengelus kepalanya

sambil memberikan nasehat untuk rajin mengaji dan salat (Raid,

wawancara 2021). Meskipun beberapa tindakannya tidak sesuai dengan

ajaran agama Islam tetapi pasukan DI/TII tetap mengajak untuk


57

melakukan kebaikan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT

Surat Al-Asr ayat 3 yang berbunyi:

‫اﻻالذينﺀامنواوعملواالﺻلحﺖوتواﺻوابالحﻖوتواﺻوابالﺻبر‬

“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta

saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk

kesabaran.”

Berdasarkan ayat di atas dijelaskan bahwa sesama orang-orang

yang beriman untuk saling memberikan nasehat, hal tersebut seperti

yang dilakukan oleh pasukan DI/TII dengan memberikan nasehat yang

baik untuk mengingatkan rajin beribadah. Selain menasehati untuk rajin

ibadah, pasukan DI/TII memberikan contoh yang baik terhadap

masyarakat setempat. Ketika pasukan DI/TII turun ke permukiman

masyarakat dan tiba waktu untuk salat mereka akan segera mengikuti

salat berjama’āh di Musolla bersama dengan masyarakat.

Tetapi hal tersebut tidak mengurangi rasa takut masyarakat

karena mereka menyaksikan pasukan DI/TII ketika menjarah makanan

secara paksa di rumahnya. Sehingga kegiatan mengaji menjadi

berkurang dan menjadikan anak-anak laki-laki semakin terbelakang

dalam bidang agama. Tetapi berbeda dengan bidang pengetahuan

umum, anak-anak justru mendapatkannya pembelajaran ketika pagi

hari di posko TNI (Raid dan Danyep, wawancara 2021). Di waktu

senggangnya TNI memberikan pengetahuan umum kepada anak-anak

desa mulai dari berhitung, menulis, dan membaca.


58

Adanya gerakan DI/TII membantu para OPR untuk mempelajari

agama Islam lebih mendalam. Hal tersebut berdampak pada ranah yang

positif. Salah satunya terdapat beberapa OPR yang belajar mengaji,

menulis huruf-huruf hijaiyah, dan membaca arab pegon. Tentu hal

tersebut membantu masyarakat untuk mempelajari bacaan dan huruf-

huruf hijaiyah. Setelah bubarnya pasukan DI/TII dari Desa Rajawetan

dan dinyatakan aman. Maka para OPR yang sudah bisa mengaji dan

menulis mengajarkan kepada anak-anak di Desa Rajawetan.

Pembelajaran mengaji biasanya di lakukan di Musolla. Dengan adanya

pembelajaran mengaji di Musolla dapat melahirkan murid-murid yang

nantinya akan menjadi generasi penerusnya. Sehingga dapat

melahirkan generasi muda yang dapat membaca al-Qur’ān dan menulis

huruf-huruf hijaiyah.

Dampak keagamaan yang dirasakan oleh masyarakat cenderung

lebih positif karena semangat keagamaannya dan mengajak masyarakat

untuk berjuang mendirikan negara Islam. Tentu dapat membuat agama

Islam dapat berkembang hingga kepelosok desa. Seperti agama Islam

di Desa Rajawetan mampu berkembang ditengah-tengah sulitnya

perekonomian.

Dengan sikap pasukan DI/TII yang membiarkan masyarakat

melakukan ibadah, justru menjadikan agama Islam dapat berkembang

di Desa Rajawetan. Sehingga dengan adanya gerakan DI/TII

mempunyai dampak terhadap kehidupan keagamaan di tengah-tengah


59

kehidupan masyarakat. Dengan demikian, adanya gerakan DI/TII

membawa dampak positif terhadap keagamaan masyarakat.

b. Dampak Negatif dalam Bidang Keagamaan

S.M. Kartosuwiryo menjadikan agama Islam sebagai ideologi

perjuangannya, di mana dalam perjuangannya harus berpegang teguh

pada Akidah Islam. Menurut S.M. Kartosuwiryo negara Islam haruslah

negara yang merdeka secara de facto maupun de jure, artinya bahwa

kekuasaan negara tidak bergantung dan terpengaruh oleh pihak

manapun (Miftakhur Ridlo, 2019: 22). Oleh sebab itu, S.M.

Kartosuwiryo berpendapat bahwa dasar negara haruslah yang tertanam

di dalam hati rakyatnya, di mana rakyat Indonesia mayoritas beragama

Islam susah tentu agama Islam yang sesuai sebagai dasar negara

Indonesia. Sedangkan pancasila dianggap kurang sesuai jika dijadikan

sebagai dasar negara karena sejak kemerdekaan Indoensia, pancasila

tidak dapat berdiri atas kekuatan dan kemampuan rakyatnya sendiri.

Terbukti dengan adanya perjanjian Renville dan Roem Royen yang

mempersempit wilayah Indonesia serta tertangkapnya Presiden

Soekarno oleh Belanda. Selain itu, pancasila tidak dapat menjalankan

hukum-hukum Islam dengan baik. S.M. Kartosuwiryo menegaskan

bahwa hukum Islam mampu berjalan dengan baik jika negara

menjadikan agama Islam sebagai dasar negaranya (Mftakhur Ridlo,

2019: 23). Islam adalah agama, sedangkan negara merupakan

kekuasaan yang wajib untuk menegakkan hukum Islam di muka bumi.


60

Bentuk pemerintahannya Republik dan kepala negaranya Imam yang

berasal dari rakyat Indonesia yang beragama Islam, bertakwa kepada

Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan demikian, S.M. Kartosuwiryo dan

160 organisasi Islam menyatakan untuk melawan pemerintahan

Indonesia yang dianggap tidak mampu mempertahankan

kemerdekaannya. Perjuangan DI/TII untuk mendirikan NII merupakan

harga mati yang harus diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia untuk

mencapai kesejahteraan negara (Ali Asghar, 2015: 207).

S.M. Kartosuwiryo memiliki konsep dalam mendirikan NII yaitu:

pertama, Jihad melawan kemungkaran dan membela agama Islam.

Sehingga wajar jika pasukan DI/TII melakukan tindakan kekerasan

hingga pembunuhan kepada orang-orang yang menghalangi atau tidak

sependapat dengannya karena dianggap menghalang-halangi

perjuangan di jalan Allah SWT. Kedua, Hijrah sebagai lanjutan dari

konsep jihad. S.M. Kartosuwiryo mengajak umat Islam Indonesia

untuk melakukan hijrah dari Republik Indonesia menuju NII.

Konsep yang dilakukan oleh S.M. Kartosuwiryo mengancam

pancasila yang sudah disepakati sebagai dasar negara Indonesia.

Meskipun, masyoritas penduduk Indonesia menganut ajaran agama

Islam tetapi banyak rakyatnya yang menganut agama selain Islam.

Pancasila memiliki memampuan untuk mempersatukan masyarakat

Indonesia yang plural, di mana mempunyai potensi terjadinya konflik

bahkan perpecahan (Aqil Teguh Fathani dan Eko Priyo Purnomo,


61

2020:241). Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila tidak

bertentangan dengan agama. Pancasila mengajarkan kepada

masyarakat Indonesia untuk saling menghargai dan menghormati

agama, suku, ras, dan budaya karena negara Indonesia berdiri diatas

keberagaman demi terciptanya persatuan. Sejatinya antara agama dan

pancasila memiliki hubungan mutualisme, di mana pancasila

membutuhkan agama dalam kehidupan bernegara agar terciptanya

keadilan dan persatuan. Sedangkan agama membutuhkan negara untuk

mewujudkan nilai-nilai agama dalam menjalani kehidupan bernegara,

sehingga masyarakat berkewajiban untuk mendekatakan diri kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, pancasila sebagai dasar negara

sudah sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia sebagai pemersatu

bangsa.

Adanya gerakan DI/TII yang dipelopori oleh S.M. Kartosuwiryo

menyebabkan munculnya gerakan politik dengan mengatas namakan

agama Islam di masa selanjutnya. Seperti halnya yang terjadi pada

tahun 1970-1980-an yang dilakukan oleh Abu Bakar Ba’asyir dan

Abdullah Sungkar dengan gerakan yang dinamakan “Komando Jihad”,

dimana kedua tokoh tersebut merupakan mantan pasukan DI/TII (M.

Zaki Mubarok, 2015:88). Gerakan dengan mengatas namakan agama

Islam dengan citia-cita mendirikan negara Islam terjadi hingga pasca

reformasi yang kemudian dikenal dengan radikalisme. Radikalisme

merupakan aliran yang menginginkan perubahan secara menyeluruh,


62

biasanya terjadi dalam bidang sosial politik. Esensi dari radikalisme

sendiri yaitu sebuah konsep yang mengusung perubahan. Jika dilihat

dari segi keagamaan, radikalisme yaitu sebuah aliran dengan fanatisme

keagamaan yang tinggi, sehingga wajar ketika penganut aliran tersebut

menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda pendapat (A. Faiz

Yunus, 2017:80). Hasil dari radikalisme yaitu terorisme yang

merupakan perbuatan kekejaman atau menakutkan yang dilakukan oleh

seseorang atau kelompok. Gerakan keagamaan yang menggunakan

kekerasan akan merusak citra agama Islam. Agama Islam akan dikenal

oleh orang-orang yang awam dengan agama yang kejam, tidak

berperilaku kemanusia, sehingga adanya golongan Islamopobia.

Sehingga di bidang keagamaan, terutama dalam politik Indonesia

mempunyai pengaruh yang negatif dan tidak dapat diremehkan. Oleh

sebab itu, pemerintahan berusaha dengan keras membubarkan gerakan

yang mengancam persatuan bangsa Indonesia.


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang sudah pemaparan di atas maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Sejarah DI TII di Desa Rajawetan Kecamatan Tonjong Kabupaten

Brebes, tidak terlepas dengan keberadaanya DI/TII di wilayah Brebes

terutama bagian Selatan. Gerakan DI/TII di Brebes dipimpin oleh Amir

Fatah. Gerakan DI/TII lahir sebagai bentuk kekecewaan atas Perjanjian

Renville yang mempersempit wilayah Indonesia. Pasukan DI/TII

menyebar hingga ke berbagai daerah salah satunya di Desa Rajawetan

yang terjadi tahun 1950-1960. Tercatat beberapa masyarakat Desa

Rajawetan yang tergabung dengan DI/TII yaitu: Sueb, Sahroni, Sahir,

Kartomo, Sajid.

2. Dampak gerakan DI/TII yang dialami oleh masyarakat Desa Rajawetan

Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes tahun 1950-1960 dalam bidang

sosial kegamaan sebagai berikut:

a. Dampak sosial

Dampak sosial yang dialami oleh masyarakat Desa Rajawetan

diantaranya yaitu: kekurangan makan akibat penjarahan makanan

yang dilakukan oleh pasukan DI/TII yang dilakukan setiap malam,

pembunuhan dan penculikan, pembakaran rumah, perubahan sikap

masyarakat desa, dan lahan pertanian.

63
64

b. Dampak keagamaan

Dampak keagamaan yang dialami oleh masyarakat Desa Rajawetan

diantaranya yaitu: perkembangan agama Islam meskipun kondisi

wilayah Desa Rajawetan yang sedang tidak aman, tetapi hal tersebut

tidak berpengaruh dalam bidang keagamaan. Rusaknya citra agama

Islam, dengan konsep jihad yang dilakukan oleh pasukan DI/TII,

sehingga pasukan DI/TII dapat melakukan tindakan kriminal

terhadap masyarakat dengan dalih jihad. Hal tersebut menjadikan

agama Islam dianggap sebagai agama yang keras. Selain itu gerakan

DI/TII mengancam pancasila yang sudah menajdi kesepakatan

bersama sebagai dasar negara.

B. Saran

Berdasarkan hasil pemaparan yang telah dilakukan dengan judul

“Dampak Gerakan DI/TII Terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan

Masyarakat Desa Rajawetan Tahun 1950-1960” peneliti mengajukan

beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Adanya gerakan DI/TII mempunyai dampak positif dan negatif terhadap

pasukan DI/TII maupun masyarakat. Gerakan DI/TII dapat dijadikan

sebagai pembelajaran untuk menanamkan rasa persatuan dan

menunjung tinggi pancasila sebagai dasar negara Indonesia, supaya

tidak terjadi kemabli gerakan-gerakan separatisme.

2. Bagi para pembaca yang akan melakukan penelitian yang sejenis,

diharapkan untuk memahami metode penelitian sejarah lisan serta


65

kendali wawancara, guna mempermudah dalam penggumpulan sumber

saat di lapangan. Selain itu perlu memahami terkait etika saat melakukan

wawancara.

3. Dengan adanya penelitian ini, besar harapan untuk dapat

mengembangkan penelitian ini dari berbagai presfektif supaya

penulisan sejarah lokal semakin meningkatkan dan mempunyai

pembahasan yang lebih luas, terutama mengenai sejarah DI/TII di

wilayah Brebes.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdurrahman, Dudung. 2011. Metodelogi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta:
Ombak.

Aman. 2019. Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan 1945-1998. Yogyakarta:


Ombak.

Aman, 2015. Revolusi Sosial di Brebes. Yogyakarta: Ombak

Dienaputra, Reiza D. 2007. Sejarah Lisan: Metode dan Praktek. Bandung: Balatin.

Dijk, Cornelis. Van. 1993 Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti
Pres.

Dinas Sejarah TNI. 2012. Sejarah Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dan
Penumpasannya. Jakarta: Pusat Sejarah TNI.

Hitipeuw, Frans. 1985. Karel Sadsuitubun. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Miftahudin. 2020. Metodologi Penelitian Sejarah Lokal. Yogyakarta: UNY Press.

Muhaimin, Yahya. 2005. Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-


1971. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ricklefs, MS. 2001. Searah Indonesia Modern 1200-2004. Terj. Satrio Wahono
Dkk. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, D&R. Bandung:


Penerbit Alfabeta.
Arsip
Arsip. Peta Desa Rajawetan.

Profil Desa Rajawetan tahun 2019.

Jurnal
Agustin Isna Fitria dan Oktavia Ricka. 2016. Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi
Kebijakan Pengembangan Kawasan Mix Use di Kecamatan Jabon. Dalam
jurnal JKMP. Vol. 4. No.2.

Ali Haidar dan Jamiludin. 2016. Sejarah Masuknya Gerombolan DI/TII di Bontu-
bontu Kabupaten Muna (1953-1963). Dalam jurnal Penelitian dan Pendidikan
Sejarah. Vol.1. No. 4.

Asghar, Ali. 2015. Islam Politik dan Radikalisme: Tafsir Baru Kekerasan Aktivisme
Islam Indonesia. Dalam jurnal Keamanan Nasional. Vo.1. No. 2.

Asnanto, Ghopar. 2019. Gerakan Darul Islam: Catatan Kecil dari Pengalaman
Sejarah. Dalam jurnal SIASAT. Vol. 4. No. 3.

Fathani, Teguh Aqil dan Eko, Priyono Purnomo. 2020. Implementasi Nilai
Pancasila dalam Menerka Radikalisme Agama. Dalam jurnal Mimbar
Keadilan. Vol. 13. No. 2.

Fatimah Nurul dan Indriyanto, 2020. Penumpasan Gerakan Darul Islam/Tentara


Islam Indonesia Kabupaten Tegal 1949-1952. Dalam jurnal Historiografi.
Vol.1. No. 2.

Hidayat, Dady. 2012. Gerajan Dakwah Salafi di Indonesia pada Era Reformasi.
Dalam jurnal Sosiologi Masyarakat. Vol. 7. No. 2.

Jamil Abdul. 2013. Islam dan Kebangsaan: Teori dan Praktik Gerakan Sosial Islam
di Indonesia (Studi atas Front Umat Islam Kota Bandung). Dalam jurnal
Multikulter dan Multireligius Vol. 12. No.1.

Kurniato, Tri Bambang. 2017. Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat Akibat


Pengembalian Lingkar Wilis di Kabupaten Tulungagung. Dalam jurnal
Agribisnis Fakultas Pertanian Unita.
Mubarok, M. Zaki. 2015. Dari NII ke ISIS: Transformasi Ideolgi dan Gerakan
dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer. Dalam jurnal Episteme. Vol.
10. No.1.

Najtama, Fikria. 2017. Religiusitas dan Kehidupan Sosial Keagamaan. Dalam


jurnal Studi Islam. Vol. 9. N0. 2.

Ridlo, Miftakhur. 2019. Negara Islam Indonesia dan Kartosuwiryo (Konsepsesi


Politik, Militer, dan Agama. Dalam jurnal Pena Islam. Vol. 3. No.1.

Rijali, Ahmad. 2018. Analisis Data Kualitatif. Dalam jurnal Alhadharoh. Vo. 17.
No. 33.

Sodiqin, Ali. 2015. Geneologi Gerakan Penegakan Syari’at Islam di Indonesia.


Dalam Jurnal Al-Mazahib. Vol. 3. No. 1.

Soraya dan Abdurakhman. 2019. Jalan Panjang Penumpasan Pemberontakan


DI/TII Jawa Barat 1949-1962. Dalam jurnal Middle East and Islamic Studies.
Vol. 6. No.1.

Suharko. 2006. Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani.


Dalam jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 10. No.1.

Yunus, A. Faiz. 2017. Radikalisme, Liberalisme, dan Terorisme: Pengaruhnya


Terhadap agama Islam. Dalam Jurnal Studi Islam. Vol. 13. No.1.

Zainudin, Dkk. 2020. Peranan Kapten H. Soeradi dalam Penumpasan


Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah tahun 1955-1958. Dalam jurnal JOM-
FKIP-UR. Vol.7. Edisi.2.

Skripsi

Karlina Euis. 2015. “Gerakan darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Kecamatan


Salem Brebes: Persebaran dan Pemberontakannya 91958-1951). Skripsi.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Wawancara
Catem (Masyarakat yang hidup pada peristiwa DI/TII) pada 12 Februari 2021.
Darto (mendapatkan kisah dari saksi sejarah) pada 12 Februari 2021.
Rojikin (OPR Desa Rajawetan) pada 27 Desember 2020.
Sahrun Sadar (Masyarakat yang hidup pada peristiwa DI/TII) 14 Februari 2021.
Taro (OPR Desa Rajawetan) 17 Oktober 2020.
Raid (Masyarakat yang hidup dimasa DI/TII) 13 Juni 2021.
Danyep (Masyarakat yang hidup dimasa DI/TII) 13 Juni 2021 .
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama Lengkap : Windy Lidyaningsih

NIM : 1717503040

Tempat/Tgl. Lahir : Brebes, 12 Oktober 1999

Alamat Rumah : Rajawetan RT 03/01 Kec. Tonjong Kab. Brebes

Nama Ayah : Sugiyanto

Nama Ibu : Marsitah

B. Riwayat Pendidikan

SD N Rajawetan 01

SMP N 01 Tonjong

SMA BU NU Bumiayu

C. Pengalaman Organisasi

Co. Kewirausahaan PMII Rayon FUAH tahun 2020

Ketua SEMA FUAH 2020

Ketua HMJ SPI 2019

Kaderisasi PMII Rayon FUAH tahun 2019

Bendahara Sanggar Selira 2018


TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : Taro
Usia : 88 tahun
Status : Sesepuh Desa
Alamat : Dukuh Rajawetan RT 01/01
Waktu : 09.20-10.20 WIB, 17 Oktober 2020
Tempat : Rumah Bapak Taro

Peneliti : Menene nang endi mbah? “Kesininya di mana kek?”


Taro : Menene iya ning desa-desa. “Kesininya ya ke desa-desa.”
Peneliti : Nganu apa? “Melakukan apa?”
Taro : Iya garongi beras, ayam, wedus. Masyarakate akeh sing keliren
digawa ding DI. Masyarakat Desa Rajawetan pada nungsi ning
Kutayu ning kenen sepi soale ana DI sih. “Iya mencuri beras, ayam,
kambing. Masyarakatnyakan banyak yang kelaparan dibawa sama
DI. Masyarakat yang di Desa mengungsi di Kutayu disini sepi
soalnya kan ada DI.”
Peneliti : Akeh mbah DI sing mene? “Akeh kek DI yang kesini?”
Taro : Pokoke sekecamatan kelebon DI ora bisa dietung. Terus ana
pasukane Kartosuwiryo meletus maning sebataliyon ya gabung karo
DI. Mulai amane tahun 60-an. “okonya sekecamatan kemasukan DI
tidak bisa dihitung. Terus ada lagi pasukan Karsowiryo meletus lagi
satu bataliyon dan bergabung sama DI. Mulai aman tahun 60-an.”
Peneliti : Berarti ning kene 7 taun? “Berarti di sini 7 tahun?”
Taro : Iya ning kene 7 taun. “Iya 7 tahun.”
Peneliti :Ning kene tempate ning endi? “Disini tempatnya di mana?”
Taro : Iya ning alas, alas Ujung Timur, Wongwelang, kulone kalipondoh.
Gal desa dileboni DI. Masyarakate ora mampu ndue beras digawa.
“ Di hutan, hutan Ujung Timur, Wongwelang, barat Kalipondoh.
Setiap Desa dimasuki DI. Masyarakatnya tidak mampu karena
punya beras dibawa.”
Peneliti :Ana sing ngelawan mbah? “Ada yang melawan tidak kek?”
Taro :Iya ana tentara. Tentara desa, tentara Indonesia. OPR. “Iya ada
tentara. Tentara Desa Tentara Indonesia. OPR”
Peneliti : OPRe ning kene sapa bae mbah? “OPRnya di sini siapa aja kek?”
Taro :Sing ning kene OPRe ning Rajawetan. Komandan carik Sukim,
Suhari, Enyong, Wartono Gembor, Babakan Kusen, Sarangpanjang
Tomo, Wasroni, Bapa Rojikin, Sadi OPRe. “Di sini OPRnya di
Rajawetan. Komandannya carik Sukim, Suhari, saya, Wartono
Gembor, Babakan Kusen, Sarangpanjang Tomo, Wasroni, Bapak
Rojikin, Sadi. OPRnya”
Peneliti : Kue sing jere diculik ana mbah? “Itu yang katanya diculik ada
kek?”
Taro : Sing diculik kae sih kakange enyong Tabas, kakang anake magede.
“Yang diculik itu kakak saya Tabas, kakak anaknya budhe.”
Peneliti : Bisaneng diculik? “Kenapa diculik?”
Taro : Iya kue OPR, diculike nang umahe Sukib sing saiki dienggoni ding
Yitno. Diculike pas sadi dadi penganten. “Iya itu OPR diculiknya di
Rumahnya Sukib yang sekarang dipakai oleh Yitno sekarang.
Diculik saat sadi menjadi pengantin.”
Peneliti :Akeh sing diculik, digawe ding DI? “Banyak yang diculik, dibawa
D?I.”
Taro : Sahid, Tabas, terus Tabas loro-loro. “Sahid, Tabas, terus Tabas
dua-dua.”
Peneliti : Digawene ning endi? “Dibawa kemana?.”
Taro :Iya ora ngerti, digawa nang alas. “Iya tidak tahu, dibawa di hutan.”
Peneliti : Jasade ketemu mbah? “Jasadnya ketemu kek?”
Taro : sampai saiki iya jasade ora ketemu. “Sampai sekarang jasadnya
tidak ketemu.”
Peneliti : Ning kene sing mimpin DI arane sapa mbah? “Di sini yang
memimpin DI namanya siapa kek?”
Taro : Sing ning kene? “Yang di sini?”
Peneliti : Iya mbah. “Iya kek.”
Taro : Mukrodi Kutayu kae pemimpine. Ning Rajawetan asline ta langka
sing melu DI. Waktu Jum’at Kliwon malah Rajawetan diserang.
“Mukrodi Kutayu, itu pemimpinya. Di Rajawetan tidak ada yang
ikut DI. Waktu Jum’at Kliwon malah Rajawetan diserang.”
Peneliti :Kue diserange pas taun pira? “Itu diserang pada tahun berapa
kek?”
Taro : Pas tahun dinatarane ya tahun pira? Tahun 54-an. Pada tahun
diantarannya tahun berapa? Tahun 54-an
Peneliti : Akeh sing ninggal? “Banyak yang mengginggal?”
Taro : Iya akeh sing ninggal. “Iya banyak yang meninggal.”
Peneliti :Kue jalokine pas wengi-wengi apa awan-awan. “Itu mintanya,
malam-malam apa pagi-pagi?”
Taro :Wengi-wengi. Iya makaneng masyarakat Desa Rajawetane ngungsi
ning Kutayu kabeh. Ngungsine ning Gunung dalan sekolahan.
Digawe umah ding wong Rajawetan. “Malam-malam. Iya. Makanya
masyarakat Desa Rajawetan mengungsi di Kutayu semua.
Mengungsinya di Gunung jalan sekolahan. Dibuat rumah oleh orang
Rajawetan.”
Peneliti : Kue selama ana DI mbah? “Itu selama ada DI kek?”
Taro : Iya selamane ana DI, DI gari secuil, madan aman. Terus
masyarakate dibelekna. “Iya selam ada DI, DI tinggal sedikit dan
lebih aman. Terus masyarakat dikembalikan.”
Peneliti : Kue amane keprimen mbah? “Itu amannya gimana kek?”
Taro : Amane pada nyerah sih. “Amannya mereka menyerah.”
Peneliti : Bisaneng mbah? “Kenapa kek?”
Taro : Iya nyerah soale wis ora kuat ngelawan tentara. Taun 60-an wis
aman. “ Iya menyerah soalnya sudah tidak kuat melawan tentara.
Tahun 60-an sudah aman.”
Peneliti : Wong Rajawetan agamane wis Islam kabeh pas ana DI? “Orang
Rajawetan agamanya Islam semua pas ada DI?”
Taro : Islam kabeh. “Islam Semua.”
Peneliti : Ana masjid? “Ada Masjid?”
Taro : Ana kae ning kulon, kari ning kene ta langgar. “Ada itu di Barat.
Kalau di sini itu Musolla.”
Peneliti : Gembor ana? “Gembor ada?”
Taro : Ana tapi nembe siji. “Ada tapi baru satu.”
Peneliti : Wis ana ustadz? “Sudah ada ustadz?”
Taro : Durung, anane soten jaman saiki. “Belum, ada itu jaman
sekarang.”
Peneliti : Nah sing marai ngaji sapa? “Nah yang mengajari mengaji siapa?”
Taro : Nah kae sih embahe ko, kue be ngajine kari aman. Ngajine iya
apalan durung maca siji-siji. Ora didelengna huruf kiye macane
apa. “Iya itu neneknya kamu, itupun kalau aman iya mengaji.
Mengajinya iya hapalan belum membaca satu-satu. Tidak
diperlihatkan tulisan ini bacanya apa.”
Peneliti : Pas ana DI iya tetep ngaji? “Pas ada DI tetep mengaji?”
Taro : Iya tetep ngaji. “Iya tetep mengaji.”
Peneliti : Ngajine jam pira? “Mengajinya jam berapa?”
Taro : Ashar, ngko kari Maghrib wis sepi. “Ashar, nanti magrib ya sudah
sepi.”
Peneliti : Gemiyen masyarakate agamane apa? “Dulu masyarakatnya
agamanya apa?”
Taro : Iya Islam tapi iya Islam gemiyen. “Iya Islam tapi Islam dahulu.”
Nama : Raid
Usia : 81 tahun
Status : Masyarakat Desa
Alamat : Dukuh Rajawetan RT 03/01

Nama : Danyep
Usia : 80 tahun
Status : Masyarakat Desa
Alamat : Dukuh Rajawetan RT 03/01
Waktu : 18.50-20.10 WIB, 13 Juni 2021
Tempat : Rumah Bapak Raid dan Ibu Danyep

Peneliti : Embah ngerti tentang DI ora? “Kakek tau tentang DI


tidak?”
Raid : Iya ngerti lah. “Tahu lah.”
Peneliti : Nah engko embah cerita tentang DI, asal mulane kaya apa?
“Nah nanti Kakek menjelaskan tentang DI, asal mulanya itu
seperti apa?”
Raid : Meletuse? Asal mulane? “Meletusnya? Asal mulanya?”
Peneliti : Iya pertamane keprimen mbah bisaneng ana ning kene.
“Iya.Pertamanya bagaimana kek ada DI di sini?”
Raid : Cerita jaman DI yah. Tentara Indonesia kue arane PRTD
nah kari DI kue asale sing tentara Islam. Cerita jaman DI
yah. Tentara Indonesia itu namanya PRTD. DI ne kue uwong
Bantar.
nah kalau DI itu asalnya tentara Islam. DInya itu orang
Bantar.
Peneliti : Uwong Kutayu? “Orang Kutayu?”
Raid : Iya Kuatyu. “Iya Kutayu.”
Peneliti : Arane sapa? “Namanya siapa?”
Raid : Saput, Kaer, Mukrodi uwong Kutayu, Nyai Piah, Kyai
Wahid. Sing kene nyerang meng Bantar sing Bantar nyerang
mene, bedil kurang luwih 5 tapi uwonge atusan. “Saput,
Kaer, Mukrodi orang Kutayu, Nyai Piah Kyai Waid. Dari
sini menyerang ke Bantar nah dari sana menyerang ke sini,
bedil kurang lebih 5 tapi orangnya ratusan.”
Peneliti : Kue tempate ning endi? “Itu tempatnya di mana?”
Raid : Ning kene Rajawetan. Sing dadi korban eketan uwong. “Di
sini Rajawetan. Yang korban 50-an orang.”
Peneliti : Sing ning lapangan? “Yang di lapangan?”
Raid : Iya daerah Menggersilayur mana. Sing nembaki tentara
Indonesia. Nah dadi rajawetan kue pan diserang ding DI.
Tentara sing Cempaka ya teka mene sing walangsanga yang
mene. Pertama nembak kae ning kebone Sobirin. Uwong
atusan. Tembakan siji sing maju atusan uwong. Nah pas kue
pan ngirim panganan nganggo wong kerja, Mail iya
panganane dijalok ding DI. Nah sing kene pemuda karo
tentara nyerang meng Bantar. Nah enyong ngungsi meng
Kutayu. Nah ketemu bocah cilik “Bapane enyong lunga pan
kondangan mbah” poyane pan kondangan padahal ta
mlebune meng alas. “Iya daerah Menggersilayur kesana.
Yang menembak tentara Indonesia. Nah jadi Rajawetan itu
mau diserang sama DI. Tentara dari Cempaka ya datang
kesini embe yang dari Walangsanga juga. Pertama nembak
di kebonnya Sobirin. Orangnya ratusan. Tembakan siji yang
maju ratusan orang. Nah mau mengirim makanan buat orang
kerja, Mail makannya di jarah sama DI. Nah dari sini
menyerang ke Bantar pemuda sama tentaranya. Nah saya
mengungsi ke Kutayu. Nah ketemu anak kecil “Bapak saya
pergi mau kondangan kek”, izinnya mau kondangan ternyata
masuk ke hutan.”
Peneliti : Nah kue sing dadi DI? “Nah itu yang jadi DI?”
Raid : Iya sing dadi DI. Tak delengna sing sawah mana. “Iya yang
jadi DI. Saya lihatin dari sawah kesana.”
Danyep : Bapane lagi ngungsi sih. “Bapaknya lagi mengungsi sih.”
Peneliti : Berarti uwong Rajawetan ngungsi kabeh? “Berarti orang
Rajawetan mengungsi semua?”
Raid : Iya ngungsi, rumahe sepi. Bisaneng sepi? Kiyangan
tentarane kari jaga ora keambanen dadi didadikena siji ning
Kutayu. Nah tentarane wis ndue bedil gawe kompos. “Iya
mengungsi, rumahnya sepi. Kenapa sepi? Biar tentaranya
kalau menjaga tidak terlalu luas makanya di jadikan di
Kutayu. Nah tentara sudah punya bedil, terus bikin kompos.”
Peneliti : Kompose ning endi? “Komposnya di mana?”
Raid dan Danyep : Sing saiki dienggoni Sodah, Puroh, Roni nah kue kompos
sing gede. “Yang dipakai Sodah, Puroh, Roni. Di situ
kompos yang besar.”
Peneliti : Ning kene sue? “Di sini lama tidak?”
Raid : Iya sue ning kene. ”Ya lama di sini.”
Danyep : Kari wayahe sembayang Isya kue nyerange mene. “Kalau
jam-jam Solat Isya itu menyerang ke sini.”
Raid : Tok tok tok. Bantuan bantuan. “Tok tok tok. Bantuan
bantuan”
Danyep : Jaloki beras sing didelah ning gledeg. “Minta beras, beras
yang ditaroh di geledeg (tempat penyimanan cadangan
makanan yang dibuat dari kayu).”
Raid : Anjog lorong taun telung taunan luwih ora aman-aman,
jaloki panganan ning desa. “Sampai 2 tahun 3 tahunan lebih
tidak ama-aman, meminta makanan di desa.”
Peneliti : Nah kue mangane sing endi? “Nah itu makannya dari
mana?”
Danyep : Lah mangane iya rekasa. “Lahh makannya ya susah.”
Raid : DI kue tentara Islam sing bela agama Islam tujuane,
tentarane kyai nah kari pemuda kue tentara Indonesia. Nahk
sing dadi DI kue iya ahli ibadaha kabeh uwonge kyai sih.
“DI itu tentara Islam yang membela agama Islam tujuannya,
tentaranya Kyai nah kalau pemuda itu tentara tentara
Indonesia. Nah itu yang jadi DI itu kan ahli ibadah semua
kan orang-orangnya Kyai juga.”
Danyep : Nah kue sing dadi Piah, Kyai Waid. “Nah kan yang jadi itu
Piah, Kyai Waid.”
Raid : Terus Kaer, Mukrodi, Saput. Nah kue sing mateni kakang
enyong. “Terus Kaer, Mukrodi, Saput. Nah itu yang
membunuh kakak saya.”
Peneliti : Sapa? “Siapa?”
Raid : Tabas. Dicacak-cacak sikile nembe disembeleh. “Tabas.
Disayat-sayat kakinya terus disembelih.”
Peneliti : Kue bisaneng Tabase digawa? “Itu kenapa Tabasnya
dibawa?”
Raid : Kan PRTD kari saiki ta ya hansip lah. Bisaneng digawa
soale musuhe DI sih. Korbane DI iya akeh Tabas, Wahab,
Kaer. Kabeh uwong 7. Kartomone kan Hzibullah. Kartomo
sing ngaja dolanan remi karo Kaer. Kamben mangan jagung
goreng sing dinai gula. Nah kan enyong lagi ngaji ning
umahe kaji Ripah sih. Nah Tohir kue ning kono. Tohire kan
pemimpin PRTD ne kari WBU ya komandan pletonne. “Kiye
Tohir yah?”. Nah langsung bringgal munggah meng meja
terus digodog-godog ding DI ne. Sing 6 ta ora dikeceli. “Kan
PRTD kalau sekarang ya Hansip lah. Kenapa dibawa karena
musuhnya DI sih. Korbannya DI itu banyak Tabas Wahab
Kaer. Semuanya orang 7. Kartomonya kan Hizbullah.
Kartomonya mengajak main remi sama Kaer. Sambil makan
jagung goreng yang dikasih gula. Nah sayanya kan lagi
mengaji sama Hj. Ripah sih. Nah Tohirnya di situ. Tohirnya
itu pemimpinya PRTD nya kalau WBU ya komandan
pletonnya. “ini Tohir yah?” iya. Nah langsung naik ke atas
meja dipegangi sama DI. Yang 6 tidak dipegang.”
Peneliti : Nah kue urip apa mati? “Nah itu hidup apa mati?”
Raid : Nah kaya kiye ceritane. Uwong 7 kue digawa kabeh ding
DI pan dipateni ning Bantar. Nah pertama sing bisa kabur
kue ning umahe Jerah. Nah kue uwong loro mlayu anjog Kali
Wungu. Terus sing kelorone sing saiki dibangun balai desa
ning kana. Nah ping telune ning kulon Sarangpanjang. Nah
kue gari Tohir siji-sijine. Pas esuk-esuke Tohire ngomong
kari ngumpetna pluru setong. “Ning endi?” Ning
wangsanga olih sing Darap. Nah pas ning dalan mlayu.
Uwong-uwonge ta ning umah wis pada tingblauk nangisi
solae gari Tohir sih sing durung muncul. “Nah begini
ceritanya. Orang 7 itu dibawa semau sama DI mau dibunuh
di Bantar. Lah DI nya orang Bantar. Nah pertama yang
meloloskan diri itu di rumahnya Jerah nah itu dua orang
sampai ke sungai wungu lari. Terus yang kedua yang
sekarang dibangun balai desa di sana. Nah tiga kalinya di
Barat Sarangpanjang. Nah itu tinggal Tohir satu-satunya. Pas
pagi-pagi Tohirnya berbicara ke DI kalau menyembunyikan
Pluru 1 tong. Dimana? Di Walangsana dapat dari Darap. Nah
pas dijalan lari. Orang-orang di rumah sudah menangis
soalnya tinggal Tohir yang belum muncul.”
Peneliti : Berarti mene kari wengi-wengi? “Berarti kalau malam DI
nya ke sini?”
Raid : Gal wengilah. Kari wayah semene wis langka uwong
lanang gari uwong wadon tok. “Setiap malam lah. Kalau jam
segini (jam 7 setelah salat Isya) sudah tidak orang laki-laki
tinggal perempuan saja.”
Danyep : Ayam, kari pengin dueni ayama ya gawe bolongan ning
jero nganggo delah ayam. “Ayam, kalau pengin punya ayam
ya bikin lubang yang dalam buat menyimpan ayam.”
Raid : Tapi tetep bae ketemu. “Tapi tetap saja ketemu.”
Peneliti : Nah uwong lanange pada meng endi? “Nah orang laki-lakinya ke
mana?”
Raid : Metu, turune ning kebonan. Umpetan sih. “Keluar, tidurnya di
ladang atau kebun. Sembunyi sih”
Danyep : Lah mbokan dipateni sih ding DI. “Lah barang kali mau dibunuh
sih sama DI.”
Raid : Luwih mending Belandane daripada DI ne. Belanda ta uwong
jaba. Kari DI kan sedulure dewek. DI ne luwih sing 50 uwong.
Nyerang mene, diserbu ding tentara ning gon Menggersilayur. Nah
kue dikubur masal. “ Lebih baik Belanda daripada DI nya. Belanda
orang luar. Kalau DI kan saudaranya sendiri. DI nya lebih dari 50-
an orang. Menyerang kesini diserbu sama tentara didaerah
Menggersilayur. Nah itu dikubur masal saja.”
Peneliti : Kue ding tentara? “Itu sama tentara?”
Raid : Iya sing tentara, pasukane Darap sing ning Walangsanga. “Iya
sama tentara, pasukkannya Darap yang di Walangsanga.”
Peneliti : Gemiyen ning kene agamane wis Islam kabeh? “Dulu di sini
orangnya sudah agamanya Islam?”
Raid : Iya agamane Islam. Uwong kene kari sembayang Jum’atan ning
masjid Gembor. “Iya agamanya Islam. Orang sini kalau Salat Jum’at
di masjid Gembor.”
Peneliti : Nah kue ana DI ettep sembayang Jum’atan? “Nah itu ada DI tetap
Solat Jum’at?”
Raid : Iya tetep kan Jum’atan ta kari awan. DI ta wengi-wengi. “Iya tetep,
kan Jum’atan mah kalau siang. DI kan malam-malam.”
Danyep : Kari wayah semene tekane. “Kalau jam segini lah datang.”
Peneliti : Nah pas ana DI uwonge tetep pada ngaji? “Nah pas ada DI tetap
mengaji?”
Raid : Iya tetep ngaji ning umah. Ning Sayem, Ripah. Ning kene Islam
kabeh. “Iya tetep Mengajinya di rumah. Di Sayem, Ripah. Di sini
Islam semua.”
Peneliti : Nah ana DI iya tetep ngaji? “Nah ada DI tetep mengaji?”
Raid : Iya tetep ngaji, DI ta malah seneng kari ana uwong ngaji. Nah kaya
kiye, enyong kan pen meng Pakulaut turu ning alas nah yong bocah
lanang ya turune ora ning gubug ning tengah sih soale wedi. Gagat
esuk jam 3 DI ne teka. Nah kue tes garongi panganan. Dadi ning
alas kue tiga walas. “Yu Rastine “Yu masakena kluwek”. Lah anu
kluwek semene dipangan uwong akeh. Nah ning enyong ngulas-
ngulas ding DI “Ngajine sing rajin ya gah” sembayang ngaji kaya
kue. DI ne nembe baik tes garong panganan. “ Iya tetep mengaji, DI
malah senang kalau ada orang mengaji. Nah seperti ini kan saya mau
ke Pakulaut tidur di hutan nah anak laki-laki kan tidurnya tidak di
gubug di tengah sih karna takut. Jam 3 pagi DI nya datang. Nah itu
abis menjarah makanan. Jadi di hutan kamarau lama, Kak Rastinya
“Mbak masakin kluwek. Lah kluwek segini dimakan orang banyak.
Nah sama saya mengulas-ulas sama DI mengajinya yang rajin yah
nak, solat mengaji kaya gitu. DI nya baru pulang dari menjarah
makanan.”
Peneliti : Maling tapi ngemutna kaya kue? “Mencuri, tapi mengingatkan
seperti itu?”
Raid : Iya, Sembayang ngaji sing tekun. Nah enyonge masih cilik. Nah
enyonge ngejak balik Yu Rasti “Iya, Sembayang ngaji sing tekun.
Nah enyonge masih cilik. Nah enyonge ngejak balik Yu Rasti “Yuh
balik bae, engko tentarane mene keprimen?” nah pas ning dalan
tentarane wis akeh sing pan mene. Iya, solat, mengajinya yang
tekun. Nah sayanya masih kecil. Nah saya mengajak pulang Kak
Rasti “Ayo pulang saja, nanti kalau tentara kesini bagaimana?” nah
pas di jalan tentara sudah banyak mau ke sini (hutan).
DI merata ningg endi bae, iya meng endi bae. Iya Dukuh Tengah,
Paku Laut, Rajawetan. Cuman Cuman Kutayu sing ora. Tentara
islam tapi gawe masyarakat menderita. “DI merata di mana saja. Ke
mana saja, ya ke Dukuh Tengah, Paku Laut, Rajawetan. Cuman
Kutayu yang tidak. Tentara Islam tapi membuat masyarakat
menderita.”
Bisaneng DI aman kue. Nah dueni ide nganggo ngumpulna
masyarakat nganggo goleti pring ning Ujung Timur dikawal ding
tentara. Pring puluhan kibik ning pos sing dienggone Soleh. Nah
rakyat dikumpulna. Masyarakat siji sepuluh meter nganggo gawe
pager lapis telu. Nah lapis telu kue sing ning tengah lurus ning
jerone mengedeng kaya kiye, ning kenen iya pada bae kaya kue terus
dijiret dadi siji ning duwure. Ning ingsore telung garis ning kene
sebaris ning kene sebaris. Nah lawanagne sing saiki dienggoni
Kasro nah ning kono digembok terus ning duweke Makmur yang ana
lawange. Sing ajaga enyong. Sing keliling sedinane uwong 12
uwong 12 sih. “Kenapa DI aman itu. Nah punya Ide untuk
mengumpulkan masyarakat untuk mencari bambu di Ujung Timur
dikawal sama tentara. Bambu puluhan kibik di kompos yang dipakai
sama Soleh. Nah terus rakyat dikumpulkan. Masyarakat 1 10 meter
untuk membut pagar lapis 3. Nah lapis tiga itu yang ditengah lurus
di dalamnya pagar horizontal seperti ini dan di sininya ya sama
seperti ini nah terus diikat menjadi satu diatasnya. Dibawahnya 3
garis di sini sebaris di sini sebaris. Nah pintunya yang sekarangnya
rumahnya Kasro nah di situ digembok terus itu yang punyanya
Makmur yang ada pintunya. Yang menjaga saya. Nah saya keliling
setiap hari. Nah yang menjaga 12 orang 12 orang sih.”
Danyep : Nah kue taun 60-an wis aman. Dilatih ding tentara tegak senjata.
“Nah itu tahun 60-an sudah aman. Dilatih sama tentara tegak
senjata.”
Raid : Nah kae ta masih sekolah, kari enyong ya wis ora sekola. “Nah dia
masih sekolah, kalau saya sudah tidak sekolah.”
Peneliti : Nah kue sekolahane ning endi? “Nah itu sekolahnya di mana?”
Danyep : Ning kene, sing saiki dienggoni ding si Nur. Nah kue sekolah
tentara. “Di sini, yang dipakai sama Nur sekarang. Nah itu sekolah
tentara yang mengajarkan tentara.”
Raid : DI kari deleng uwong sing sembayang ta malah kesenengen. Malah
didukung cuman ora bisa jaga masyarakat malah gawe sengsara.
Nah kari wayah jam semene wis tok tok jaloki beras. Nah kue DI,
mulai mene kue manggone ning kalisuru nah kue pemimpine
Banawi. Ning Ujung Timur pemimpine Kaer Saput Mukrodi. Nah
kue enyong dijak ngemet sepe ding Saman. Nah petene dijikoti ding
DI. Terus enyong diajak meng kompose. “Awas iya pak kari anjog
umah” nah wa saman kue ora nyebutna aran asline. Nah kue gara-
garane tentara meng kompose Banawi. Nah sing Kalisuru kue ana
kompose 7. “DI melihat orang yang solat itu malah senang. Malah
didukung cuman tidak bisa menjaga masyarakat malah membuat
menderita. Nah itu kalau jam segini ya sudah tok tok minta
baras.Nah itu, DI mulai kesini itu tinggalnya di hutan di Kalisuru
nah itu pemimpinya Banawi. Di Ujung Timur pimpinannya Kaer
Saput Muhrodi. Nah itu saya di ajak untuk memetik petai sama
Saman. Nah petainya diambili sama DI. Terus saya diajak ke
komposnya. “Awas ya pak kalau sampai rumah” Nah pak Saman itu
tidak menyebutkan nama aslinya. Nah itu dicari gara-gara tentaranya
ke komposnya Banawi. Nah di Kalisuru itu ada komposnya 7.”
Nama : Catem
Usia : 105 tahun
Status : Sesepuh Desa
Alamat : Dukuh Gembor

Nama : Darto
Usia : 55 tahun
Status : Masyarakat Desa
Alamat : Dukuh Gembor
Waktu : 09.50-11.10 WIB, 12 Februari 2021
Tempat : Rumah Bapak Darto

Peneliti : DI kue keprimen? “DI itu gimana?”


Catem : Uwong sing uripe ning alas. DI kue iya kaya sedulure dewek. Kue
jaman gemiyen. “Orang yang hidupnya di Hutan. DI itu seperti
saudaranya sendiri. Itu jaman dahulu.”
Peneliti : Kue taun pira? “Itu tahun berapa?”
Catem : Kelalen. “Lupa.”
Peneliti : Uwong desa keprimen? “Orang desa gimana?”
Catem : Uwong-uwong desane pada kewedinen. Ngamuk. “Orang-orang
desanya ketakutan. Mengamuk.”
Darto : Ngungsi. “Mengungsi.”
Peneliti : Ngamuke keprimen? “Mengamuknya gimana?”
Catem : Nah kue kari ana beras pan dimasak digawa ding DI. “Nah itu
kalau ada beras yang mau dimasak ada dibawa sama DI.”
Darto : Digawa ding DI. “Dibawa sama DI.”
Catem : Pada bae teka sing sawah ya sekaline teka digawa ding DI,
sekaline teka 50 uwong. Kue zamane DI. Mlebu meng umahe emane
enyong lagi nyatini gude sewakul ya digawa. Ayam iya digawa karo
pitik-pitike. Beras ning kandi iya digawa ding DI. Ora kebagian
apa-apane. Pari nembe teka sing sawah, wengine tekaa 50 uwong
enteng kabeh digawa. “ Pada saja yang dari sawah sekalinya datang
dibawa sama DI sekalinya yang datang 50 orang, habis diambil
semuanya. Hanya dapat susahnya saja. Itu waktu zamannya DI.
Masuk ke rumahnya ibu saya yang sedang mengupas gude satu
wakul ya dibawa. Ayam ya dibawa sama pitik-pitiknya. Beras di
karung ya dipindahkan dibawa sama DI. Tidak kebagian apa-apa.
Padi baru datang dari sawah, malamnya datang 50 orang habis
semua dibawa.”
Peneliti : Nah kue mangane keprimen? “Nah itu makannya gimana?”
Catem :Mangane iya rekasa. “Makannya ya susah.”
Peneliti : Mangane apa? “Makannya apa?”
Catem : Mangane iya sega kue be dadak kuli ning kebonane uwong lia.
Ngingu apa bae ora bisa. Nyimoen apa bae iya ora bisa. Ora pinter
sih. Nyimpen beras iya digawa nyimpen pari iya digawa wedus iya
digawa. Daripada dipateni sih?. “ Makannya nasi itu juga hasil dari
kerja di ladang orang lain. Memelihara apa saja tidak bisa.
Menyimpan apapun juga tidak bisa. Tidak pintar sih. Menyimpan
beras dibawa menyimpan padi ya dibawa kambing ya dibawa.
Daripada dibunuh sih?”
Peneliti : Kari ora dinai keprimen? “Kalau tidak dikasih gimana?”
Cetem : Iya dipateni. “Ya dibunuh.”
Peneliti : Berarti ana sing dipateni? “Berarti ada yang dibunuh?”
Catem : Uwong kaya kue ta iya ana bae. Pada kejem-kejeman. “Iya ada saja
yah orang kaya seperti itu. Pada kejam-kejaman.”
Peneliti : DI manggone ning endi? “DI tinggal di mana?”
Catem : Iya ning endi bae. Tekane kari wengi sih. “Iya di mana saja.
Datangnya kalau malam sih.”
Darto : Iya kue pastine ning Kalimringinan. “Iya pasti itu tinggal di
Kalimringinan.”
Catem : Ingsore Brete apa? “Bawahnya Brete apa?”
Darto : Kalimringinan, Kalisuru ning kono. “Kalimringinan, Kalisuru
disitu.”
Catem : Ning kene ana umahe nyampe 17. “Di sini ada rumahnya yang
sampai 17.”
Darto : Kue ning kono Kalimringinan, ana bekas-bekas pondasine sing
nganggo gawe umahe DI. Bekas-bekase esih ana ning Curug Pitu.
“Di situ Kalimringinan, ada bekas-bekas pondasi yang buat
rumahnya DI. Bekas-bekasnya masih ada yang di Curug Pitu.”
Catem : Gaweni umah ning alas kene. “Bikin rumah di hutan sini.”
Darto : Daerah Kalimringinan. “Daerah Kalimringinan.”
Catem : Nganggo masak, turu, delangi pari, sapi kebo, wedus sing endi bae.
“Buat masak, tidur, menyimpan padi, sapi, kerbau, kambing yang
diperoleh dari mana saja.”
Peneliti : Nah jeren uwong desa pada ngungsi, ngsungsine ning endi? “Nah
itu orang desa katanya mengungsi, mengungsinya di mana?”
Catem : Ngungsi ning Kutayu, ning Jejeg, Batuagung. nyebar ning endi
bae. “Mengungsi di Kutayu, Jejeg, Batuagung. Menyebar ke mana
saja.”
Peneliti : Bubar ceritane uwong-uwong ning kene. “Bubar ceritanya orang-
orang di sini.”
Peneliti : Kue ngungsine kari wengi apa keprimen? “Itu mengungsinya kalau
malam atau gimana?”
Catem : Iya wulana lah. “Iya bulanan lah.”
Darto : Mangan be sing jagung ora ana sekioa nganggo 40 dina. Sangking
menderitane. “Makan aja dari jagung tidak ada 1 kilo buat makan 40
hari terlalu menderita.
Catem : Kari jam setengah 7 setese Magrib wis pada teka. Kari teka “Bu,
bu lawang-lawang”ngko di buka “blakk” langsung munggahe meng
panggonan turu apa abe digoleti kabeh. Kue DI. Nah kan enyong
due anak cilik lagi lodong, nah kue tak bersihi terus tak brukena
“hayoh mulai yah, kari dijaloki panganan pada diumpet-umpetna”
padahal sing tak umpetna taine anake enyong. “ Kalau jam setengah
7 sehabis Magrib sudah datang. Kalau datang “bu bu, pintu pintu”
nanti di buka “blakkk” langsung naik ke tempat tidur apa saja dicari
semua. Itu DI. Nah sayakan punya anak kecil lagi diare, nah itu
dibersihin terus ditaroh terus “hayoh mulai yah, kalau dimintai
makanan disembunyikan” padahal yang disembunyikan kotoran
anak saya.”
Peneliti : Ning kene sue? “Disini lama?”
Catem : Iya sue. DI manggone ora ning desa nang alas-alas kari goleti
pangana mene. “Iya lama.DI tidak di desa tapikan tinggalnya di
hutan-hutan nanti kalau mencari makanan ya kesini.”
Darto : Sing endi bae kue DI ne. “Dari mana saja DI itu.”
Peneliti : Uwong Rajawetan ana sing melu DI ora? “Orang Rajawetan ada
yang ikut DI tidak?”
Catem : Iya ana dean, enyong ta uwong tani ora ngerti nemen. Kari sing
alas arah kidul ya anjong 40 50 uwong sing ngidul. “Iya ada
mungkin, saya orang tani tidak mengetahui betul. Kalau datang dari
hutan arah selatan ya sampai 40 50 orang sampai
ke Utara.”
Darto : Gawa jaran, wedus.”Membawa kuda, kambing.”
Catem : Boro-boro bisa mangan. Ana beras digawa. Ana wedus ya
disembeleh. DI apa bae digawa. Ning alas kae dioperasi ding
tentara ana umah 17 bedile ketemu ana 17. “Boro-boro bisa makan.
Ada beras dibawa. Ada kambing yang disembelih. DI apa saja
dibawa semua. Di hutan itu (Kalimringinan) yang dioprasi tentara
rumahnya ada 17 terus bedilnya ditemukan ada 17.”
Darto : Nah kae kan bisaneng ora mene maning merga kumpulan kae.
“Nah itu kenapa tidak kesini lagi kan karena kumpulan.”
Catem : Nah kae kumpule ning umahe Tiwen. Ceritane sing pan digawa kue
Tiwen, Suriem, Dames, Taswen. Wong 4. Nah kue ana DI sing
ditembak, makaneng tobat ora mene maning. “Nah kumpulannya itu
dirumahnya Tiwen. Yang mau dibawa itu Tiwen, Suriem, Dames,
Taswen. Orang 4. Nah itu ada DI yang tertembak, dari situ tidak
pernah ke sini lagi.”
Peneliti : Kae kumpulan pan gawa uwonge pan dijak meng endi? “Itu
kumpulan membawa orang mau diajak kemana?”
Cetem : Iya ora ngerti, nagnggo nambah pasukan maning. Gawe umah
ning alas. “Iya tidak tau, buat nambah pasukan lagi. Bikin rumah di
hutan.”
Peneliti : Nah kan sing digawa uwong wadon? “Kan itu perempuan yang
dibawa?”
Catem : Iya sing lanang ora ana. “Iyakan karena yang laki-laki tidak ada”
Darto : Sing lanang pada umpetan ning alas. Nah kue sih sing lanang
langka dadine sing wadon sing digawa. “Yang laki-laki
bersembunyi di hutan. Nah itu kan karena laki-lakinya tidak ada sih
perempuannya mau dibawa.”
Peneliti : Nganggo gantine? “Buat gantinya?”
Darto : Iya nganggo gantine. “Iya buat gantinya.”
Catem : Nah kae Dames bojone lurah. Kue sing bojone pegawai kabeh.
“Nah itu Dames kan suaminya lurah. Nah itu kan suaminya pegawai
semua.”
Peneliti : Bubare DI keprimen? “Bubarnya DI gimana?”
Catem : Perang sih. Perang ning Kalimringinan. Dibrondong sing telung
jurusan. Sing endi ora. Makaneng aman. “Perang sih. Perang di
Kalimringinan. Di serang dari 3 jurusan sih. Darimana saja. Nah
jadinya aman.”
Darto : Kalimringinan kae dibrondong sing endi ora. “Kalimringinan itu
diserang dari mana saja.”
Catem dan Darto : Nah ning kono ana 17 umah. “Nah disitu ada 17 rumah.”
Peneliti : Ning kene ana TNI sing jaga? “Di sini ada TNI nya yang
menjaga?”
Catem : Iya ana tentara sing ngamana DI. Nah kae pose ning Rajawetan.
Kompine kompi Sarjono sing bisa ngamana DI.
Nah enyong tes kulak bodin kiye bae ning Buniwah, lah wong iya
tentara ngonjeg bedil ana apalah. Takon, bu anu tes ning endi? Lah
anu tes kulak bodin. Rupane ana tentara ora? yong anu enyonge
adoh, keteplak anu sing Linggapura manjate mrene ngetan mbuh ta
mbuh pan meng ndi. Enyong tah anu ora ngertilah, enyong ta pan
tuku bodin nang Bumiwah. Nah uwis oh lah tentara ucul-ucul bedil,
topi, pakaian di lelep dibeletna. Cluput katok bodol klambi bodol
cluput topi bodol cluput pacul kecok-kecok. Idihhh dibeletna ning
endut. Bedile topine kabeh dibeletna ning ednut. Berarti kue DI ne.
Nah giliran wis anjog Nagarayu ya lagi rame-rame. Iya ana sing
lagi nembang-nembang pencak. “Bu tes ning endi?” tes kulak bodin
gabar pak. “Pan nganggo apa?” iya nganggo mangan. “Rupane
ana tentara mene ora?” lah enyong adoh enyong ora ngerti tentara
anu glati bodin. Rupane ta sing Linggapura manjat mene tapi embuh
pan meng endi. Uwong sing lagi rame-rame langsung pet ampleng.
Eehh DI wedi karo tentara.
“Iya ada tentara yang mengamankan DI. Nah itu posnya di
Rajawetan. Kompinya Kompi Sarjono yang mengamankan DI bisa
aman.
“Nah saya habis dari Bumiwah membeli singkong, nah iya tentara
bawa bendil juga. Tanya “bu darimana” habis beli singkong.
“Rupanya ada tentara tidak?” iya itu kan jauh, sayanya juga jauh yah
lagi jalan dari Linggapura rupanya sih kesini tapi iya tidak tau mau
mana. Orang habis membeli singkong. Terus melepas bedil, topi,
pakaian. Dih tentara. Terus mengambil celana yang rusak, baju yang
rusak, topi yang rusak, terus mengambil cangkul dan mencakul. Idih
disembunyiin di dalam lumpur. Bedilnya topi kabeh disembunyiin
di lumpur. Berarti kue DI nya. Nah giliran sudah sampai Nagarayu
ramai. Ya lagi nyanyi ya pencak. “bu dari mana?” habis membeli
singkong pak. “buat apa?” iya buat makanlah. “Rupanya ada tentara
tidak?” lah saya dari jauh iya saya tidak cari tentara carinya
singkong. Rupanya dari Linggapura naik tapi iya tidak tahu mau
kemananya. Orang yang lagi ramai-ramai langsung bubar dan diam.
Eehhh DI takut sama tentara.”
Peneliti : Berarti kari awan ta ngalkukena apa-apa? “Berarti kalau siang
tidak melakukan apa-apa?”
Catem : Nah kue sih, takon ana tentara apa ora. Klambine diumpetna
bedile ana apa. Topi. Diedek-edek langsung cleput jokot celana
bodol kalmbi bodol cleput pacul. Nah tentara goleti DI ora bisa
ketemu. Ngerti masyarakat sing lagi macul sih. Tentara kan goleti
DI kangelan. Padahal DI uwong Jawa tentara ya uwong Jawa. “Nah
itu sih, tanya ada tentara apa tidak. bajunya disembunyiin bedilnya
juga. Topinya juga iya. Terus diinjak-injak terus mengambil celana
yang rusak baju yang rusak cangkul. Nah tentara mencari DI kan
tidak bisa tidak ketemu. Taunya masyarakat yang sedang
mencangkul sih. Tentara kan mencari DI kesulitan. Padahal DI
orang Jawa tentara ya orang Jawa.”
Peneliti : Kari awan dadi masyarakat biasa? “Kalau siang menjadi
masyarakat biasa?”
Catem : Iya kaya kue. “Iya iya seperti itu.”
Peneliti : Uripe luwih kepenak pas Belanda apa DI? “Kehidupan lebih baik
saat ada Belanda atau DI?”
Catem : Pada bae, uripe wedi. “Sama saja, Hidupnya takut.”
Peneliti :Kari ning panganan? “Kalau dalam makanan?”
Catem : Iya mending Belanda kari Belanda ta kur goleti tentara dudu
panganan kaya DI sing garongi panganan. “Iya mending Belanda
kalau Belanda cuman mencari tentara tidak makanan seperti DI yang
meminta makanan.”
Catem dan Darto : Kan DI kejem apa bae digawa. “Kan DI kejam apa saja
dibawa.”
Peneliti : Kari uwong sing diculik ding DI ana apa ora? “Kalau DI menculik
orang tidak?”
Cetem : Iya nyulik uwong sing kenal ya dipateni. DI kan glatini uwong
nganggo nambah pasukan maning. “Iya menculik yah orang yang
kenal ya dibunuh. DI kan mencari orang untuk menambah
pasukannya lagi.”
Darto : Lurah Sukidah kabur terus, ceritane kari ketumbuk ding DI mlayu
meng kali Gintung. Lurah Sukidah tau cerita sih karo enyong.
“Lurah Sukidah kan kabur terus, ceritanya pas ketehuan DI ya lari
ke Sungai Gintung. Lurah Sukidah pernah cerita sama saya.”
Peneliti : Ning kene pemuda sing melu ngelawan DI ana ora? “Di sini
pemuda yang ikut melawan DI ada tidak?”
Darto : Akeh sing melu OPR. “Banyak yang ikut OPR.”
Peneliti : Sapa bae? “Siapa saja?”
Catem : Kelalen. Akeh pemuda sing melu tentara. “Lupa. Banyak pemuda
yang ikut sama tentara.”
Peneliti : Kari sing dipateni ana? “Kalau yang dibunuh ada?”
Catem :Tabas, Tabas Babakan, Sahid. “Tabas, Tabas Babakan. Sahid.”
Darto : Kae sing jere dukun sunat sih? “Itu yang dukun sunat?”
Catem : Oh iya Wangsadayat kae ya dipateni ding DI. Gara-garane
ngledeki DI. “Oh iya Wangsadayat itu dibunuh DI. Karena
menghina DI.”
Darto : Kae bapane ema ya sapine digawa ding SDI tapi dibelekna
maning. Bapane ta uwong wdi dadi pasrah bae digawa. Itu
bapaknya Ibu kan sapinya dibawa sama DI tapi dikembalikan lagi.
Bapaknya karna takut ya pasrah dibawa saja.
Catem : Lah bapane enyong, “Bapa Wangsareja ning umah? Iya ning
umah. “Metu pak” iya metu. “Bapa jalok urip apa mati?””Kari
kepengin urip ya sapine tak gawa olih ora? Olih “Ridho?” ridho.
Digawa sapi bibit ding Kaer. “ Lah kan bapaknya saya, “Bapak
Wangsareja di rumah?” iya di rumah. “keluar pak” iya keluar.
“Bapak mau minta mati apa hidup?” “kalau pengin hidup sapinya
dibawa boleh tidak? boleh”ridho?” ridho. Dibawa sapi betina sama
Kaer.”
Peneliti : Kaer kue DI? “Kaer itu DI?”
Catem : Iya Kaer DI kutayu anake Abdurrahman. Digawa sapine bapane
enyong karo Kasna. Wis 6 wulan sapine dibelekan maning duit sing
pak Ridwan digawakena sing Sobari. Tapi pas ning dalan dijalok
ding Sahir. “Iya Kaer DI Kutayu anaknya Abdurrahman. Dibawa
sapinya bapak saya sama Kasna. Setelah 6 bulan sapinya
dikembalikan dalam bentuk uang sama Pak Ridwan yang dibawa
sama Sobari. Tapi pas dijalan diminta sama Sahir.”
Peneliti : Ridwan kue DI? “Ridwan itu DI?”
Catem : Dudu, tentara republik Indonesia. terus ora kosih sue ana tentara
sing glati Sahir terus ditembak ding tentara. Iya kue sih ora bener.
“Bukan, tentara republik Indonesia.Terus, tidak lama ada tentara
yang mencari Sahir terus ditembak sama tentara. Iya itu sih tidak
baik.”
Peneliti : Sahir kue sapa? “Sahir itu siapa?”
Catem : DI sih anake Sueb. “DI sih anake Sueb.”
Peneliti : Uwong Rajawetan? “Orang Rajawetan?”
Catem : Sarangpanjang. Kuekan pimpinane DI. “Sarangpanjang. Itukan
pemimpinya DI.”
Peneliti : Berarti ning Rajawetan sing mimpin DI kue Sahir? “Berarti di
Rajawetan yang memimpin DI Sahir?”
Catem : Iya kue kaya ketuane sing ngatur. Tapi ora patia. “Iya itu seperti
ketuanya yang mengatur. Tapi iya tidak terlalu.”
Peneliti : Cuman melu-melu tok? “Cuman ikut-ikutan?”
Catem : Iya ukur melu-melu tok. “Iya cuman ikut-ikutan saja.”
Peneliti : Berarti sing melu DI ukur Sahir? “Berarti yang ikut DI cuman
Sahir?”
Catem : Iya iya kue sing dadi pemimpine. Iya lurahe DI. “Iya iya itu yang
menjadi pmimpin. Iya Lurahnya DI.”
Darto : Uwong pepedan ya pernah cerita kari ning sarangpanjang ana
sing melu-melu pas enyong kerja ning jurusan Mulyatapa. Uwong
Rajawetan ana sing melu DI. Enyong ora melu, dulu masih kecil.
Tapi ning sarangpanjang ana sing melu arane Sahir Sahir kae. Akeh
Sarangpanjang sing melu DI. Batire ko akeh sing meu DI. “Orang
Pepedan saja pernah cerita kalau di Sarangpanjang ada yang ikut-
ikutan pas saya kerja kerja di jurusan Mulyatapa. Orang Rajawetan
ada yang ikut DI. Saya tidak ikut, dulu masih kecil. Tapi di
Sarangpanjang ada yang namanya Sahir Sahir itu. Banyak
Sarangpanjang yang ikut DI. Temen kamu banyak yang ikut DI.”
Catem : Dijaloki gal wengi sih iya, uwong atusan pada teka. Sing endi ora.
“Dimintai setiap malam sih iya, orang ratusan yang datang. Dari
mana saja.”
Darto : DI kue salah soale meres ning rakyat. Gawe masyarakat susah.
“DI itu salah karena memeras rakyat. Membuat masyarakat
menderita.”
Catem : Biasane beras didelah ning tapih sing diumpetna ning buri lawang.
Engko kari lawange buka kan ketutupan. Akale uwong gemiyen.
“Biasanya berasnya disimpan di jarit yang disimpan di belakang
pintu. Nanti kalau pintunya dibuka kan tidak kelihatan. Akalnya
orang dahulu.”
Darto : Kan lawang jaman gemiyen sing pring. Nah kae lodong didelahe
ning buri lawang nganggo delah beras. Kan kari lawange dibuka
pringe ketutupan dadi ora katon. “Kan pintunya jaman dulu dari
bambu. Nah itu lodong (batanng bambu) diletakkan di belakang
pintu buat menyimpan beras. Kan kalau pintu dibuka bambunya
tertutup jadi tidak kelihatan.”
Peneliti : DI Rajawetan pernah ana perang ora? “DI Rajawetan pernah ada
perang tidak?”
Catem : Kelalen. “Lupa.”
Darto : Tapi ning Rajawetan pernah diserang. Ceritane pas waktu kue
Rajawetan pan diserang ding DI. “Tapi di Rajawetan pernah
diserang. Ceritanya waktu itu Rajawetan mau diserang sama DI.”
Catem : Rajawetan pan dientengna. Tapikan tentarane sing Sawitali,
Menggersipetung. Akeh sing pada mati seluang dikubur 4 5 uwong.
“Rajawetan itu mau dihabiskan. Tapikan tentaranya dari Sawitali,
Menggersipetung. Banyak yang meninggal selubangnya dikubur 4 5
orang.”
Darto : Ning kulone lapangan Rajawetan? “Di Barat lapangan
Rajawetan?”
Catem : Iya ning kono. “Iya di situ.”
Darto : Ceritane, kari awan ana asu gawa epek-epek tangane uwong. Lah
kuburane be asal-asalan sih. “Ceritanya, kalau pagi anjing itu
membawa telapak tangan orang. Lah mengkuburnya itu asal-asalan
sih.”
Peneliti : Nah kue sing ninggal sapa? “Nah itu yang meninggal siapa?”
Darto : DI. Tapikan tentara teka sing Jejeg. “DI. Tapikan tentaranya
datang dari Jejeg.”
Catem : Kae gawane pring sing dilancipi sih. “Itu bawanya bambu runcing
sih.”
Darto : DI kaya kue sing gawa bedil ta paling siji loro tok paling
komandane tok. Uwong mati akeh nemen ngubure be asal-asalan
kaya ngubur kucing. Nah kan Kompi Sarjono menghubungi tentara
sing liane akhire pasukan sing Gunungagung sing ngadang. “DI
seperti itu yang membawa bedil cuman satu dua paling
komandannya saja. Orang meninggal banyak banyak banget
menguburnya juga asal-asalan seperti mengubur kucing. Nah itu
Kompi sarjono menghubungi tentara yang lainnya. Akhirnya
pasukan dari Gunungagung yang menghadangnya.”
Catem : Pasukan Embe sing ngadang. Nah kue dikumpulnane DI sing
Balapusuh, Jejeg, Kutayu, Cempaka, Nagarayu. “Pasukan Embe
yang menghadangnya. Nah itu kan mengumpulkan DI dari
Balapusuh Jejeg Kutayu Cempaka Negarayu.”
Darto : Nah pen ngentengna wong kene. “Nah itu mau menghabisi orang sini.”
Nama : Rojikin
Usia : 88 tahun
Status : Sesepuh Desa
Alamat : Dukuh Sarangpanjang
Waktu : 08.50-09.40, 27 Desember 2020
Tempat : Rumah Ibu Eka

Rojikin : Perange ning alas ya sing ngurusi enyong. “Perangnya di hutan ya


yang mengurusi saya.”
Peneliti : Nah kue taun pira? “Itu tahun berapa?”
Rojikin : Taun 49 mulaine. “Tahun 49 mulainya.”
Peneliti : Ning Desa Rajawetan ana? Di Desa Rajawetan ada?
Rojikin : Iya ana, biasane gal dina gal wengi gemiyen. “Iya ada, biasa setiap
hari iya setiap malam dahulu.”
Peneliti : Nah ning kene ngerti DI sing endi? “Nah itu tau DI dari mana?”
Rojikin : Nah DI ne wong Kutayu. Hizbullah. “Nah itu DI orang Kutayu.
Hizbullah.”
Peneliti : Ning kene nganu apa? “Di sini melakukan apa?”
Rojikin : Ning kene goleti beras apa bae pas jamane DI ta. “Di sini mencuri
beras apa saja pas jamannya DI.”
Peneliti : Nah kue masyarakate pimen? “Nah itu masyarakatnya gimana?”
Rojikin : Kadang teka mene iya langsung mlebu gegledah goleti panganan
dewek. Kari masih aman ya njalok kari ora ya dijikot bae. “Kadang
datang kesini iya langsung masuk mencari makanan sendiri. Kalau
masih aman yang minta kalau ngga aman yang ambil.”
Peneliti : Nah wong desane pada keprimen? “Nah orang desanya gimana?”
Rojikin : Kari ngelawan ya dipateni, misal enyong jamane WBU kari
nganggo klambi iya dipateni musuhe. Mulai meletuse tahun 49 DI
bubare tahun 1962. Kue kur seJawa Tengah. Kalau melawan yang
dibunuh, misal saya jaman WBU, kalau pakai baju WBU iya
dibunuh karena musuhnya. Mulai meletusnya tahun 49 DI bubarnya
tahun 1962. Cuman satu Jawa Tengah.
Peneliti : manggone ning endi? “Tempat tinggalnya di mana?”
Rojikin : Iya ning alas. “Iya di Hutan.”
Peneliti : Alas endi? “Hutan mana?”
Rojikin : Alas endi bae, alas Sigedong, Kidule Watujaya, Lore Margasari,
ning Kutayu. “Hutan mana saja, Hutan Sigedong. Selatan Watujaya,
Utara Margasari, di Kutayu.”
Peneliti : Ngungsine ning endi? “Mengungsi di mana?”
Rojikin : Ngungsine ning Kutayu. Tapi pas Kutayu wis ana tentarane.
“Mengungsi di Kutayu. Tapi pas Kutayu sudah ada tentara.”
Peneliti : Kue taun pira? “Itu tahun berapa?”
Rojikin : Iya tahun 50. “Iya tahun 50.”
Peneliti : Tugase apa bae? “Tugasnya apa saja?”
Rojikin : Njaga alas mbokan ana DI. Tapi kue pas wis ana senjata.
“Menjaga hutan barangkali ada DI. Tapi itu pas sudah ada senjata.”
Peneliti : Nah kue DI bubare ding apa? “Nah itu DI bubarnya karna apa?”
Rojikin : Iya ding enyong karo batir-batire. Ning desa langa, WBU ne sapa-
sapa dogawa. “Iya karena Tentara sama saya dan teman-teman. Di
Desa tidak ada WBU nya ya siapa-siapa dibawa.”
Peneliti : Cara ngusri DI ne kaya apa? “Cara mengusir DInya seperti apa?”
Rojikin : Iya ditembak keprimen maning? Markase ning endi engko diserang
iloken ning desa pan diserang. DI ne ning alas. Perang tembak-
tembakan sing kalah ya mlayu. “Iya ditembak gimana lagi?
Markasnya di mana nanti diserang masa di desa mau diserang. DI
nya di hutan. Perang tembak-tembakan yang kalah ya lari.”
Peneliti : Tentara sing mimpin arane sapa? “Tentara yang mimpin namanya
siapa?”
Rojikin : Iya ora ngerti. Kompine ta Sarjono. Tentarane akeh kader sih 20
30? “Iya tidak tahu. Kompinya kompi Sarjono. Tentara banya
ratusan emang sih 20 30?”
Nama : Sahrun Sadar
Usia : 88 tahun
Status : Sesepuh Desa
Alamat : Dukuh Gembor RT 05/04
Waktu : 09.25-10.35 WIB, 14 Februari 2021
Tempat : Rumah Bapak Sahrun Sadar

Sahrun Sadar : Asale sedurunge DI arane Hzibullah gemiyen. Hzibullah dadi


tentara Isam dadi Daru Islam. “Asalnya, sebelum DI namanya
Hizbullah dulu, Hizbullah menjadi Tentara Islam, kemudian
menjadi Darul Islam.”
Peneliti : embah melu DI? “Kekek ikut DI?”
Sahrun Sadar : Ora, enyong ta melune tentara. “Tidak, saya ikutnya tentara.”
Peneliti : Karo OPR? “Sama OPR?”
Sahrun Sadar : Iya karo OPR sebabe enyongdiancem ding DI. Ngungsi ning
Kutayu karo Lurah Sukidah. Kari operasi ning alas karo bapak
Suhari, Bapa Subar gemiyen pas ning OPR terus Bapa Kanan, Bapa
Kasan, Bapa Taro. Seuwise kae mrentah operasi enyong karo warto,
sing mrentah kae Bapa Sukim. “Iya sama OPR sebabnya saya
diancam DI, mengungsi di Kutayu bersama Lurah Sukidah. Kalau
oprasi di hutan sama Bapak Suhari, Bapak Subar dulu waktu di OPR
terus Bapak Kanan, Bapak kasan, Bapak Taro. Sesudah itu kalau
memrintahkan operasi itu saya sama Warto, yang memerintahkan itu
Bapak Sukim.”
Peneliti : Bapak Sukim kue pemimpine? “Bapak Sukim itu pemimpinya?”
Sahrun Sadar : Iya Bapa Sukim sing mimpin, gemiyen pas ning WBU. Awale kan
WBU Handra nembe OPR. Nantange DI. Gemiyen berjuang bareng
ngelawan Belanda tapi karena perebutan kursi dadi meletus ning
alas. perang. Tentarane akeh sing pada mati iya DI iya akeh. “Iya
Bapak Sukim yang memimpin, dulu pas waktu di WBU.
Awalnyakan WBU Handra baru OPR. nantange DI. Dulu berjuang
melawan Belanda bersama tapi karena perebutan kursi jadi meletus
di Hutan. Perang. Tentaranya banyak yang meninggal ya DI iya
banyak.”
Peneliti : Perange ning endi? “Perangnya di mana?”
Sahrun Sadar : Iya ning gal desa alas. ning menggercleketok kae dienggo ding
tentara. DI meng desa nyuliki pegawai. Pegawai kosih pan enteng
dicuiki. Iya carik iya bau polisi. Gal dina ketemu DI 10 uwong
ketemu dipateni.
Perang karo Belanda durung tutug DI ne wis meletus doame
berjuang bareng ngeawan Belanda. meletus ning alas, ning desa
ning endi ora, dikejar ning alas ya akeh sing pada mati. Ning
Kalikidang Petuguran, Plompong, Mandala, Watujaya,
Karangsawah, DI Jawa Barat ya akeh.
Asale bareng-bareng ngeawan Belanda tapi pembesare DI ne ora
terima makaneng meletus ning alas-alas, Embulukurung, Cleketok,
Mengger Cengis wetane Kutayu, Gunung Segara, Pangerasan isine
uwong kaya kue tok. Perang gal dina awan wengi. “Iya disetiap
desa hutan. Di Mergercleketok itu digunakan tentara. DI ke desa
menculiki pegawai. Pegawai hampir habis diculiki. Iya carik iya bau
polisi. Setiap hari ketemu DI 10 orang ya ketemu dibunuh.
Perang dengan Belanda belum selesai DI nya sudah meletus karena
berjuang bersama melawan Belanda. Meletus di hutan, di desa di
mana-mana, dikejar di hutan ya banyak yang meninggal. Di
Kalikidang petuguran, plompong, mendala, watujaya, karangsawah,
DI Jawa Barat banyak.
Asalnya bersama-sama melawan Belanda tapi pembesar Dinya tidak
terima makanya meletus di hutan-hutan, Embulukurung, Cleketok,
Mengger Cengis Timur Kutayu, Gunung Segara, Pangerasan isinya
cuman orang-orang itu (DI). Perang setiap hari siang-malam.”
Peneliti : Ning kene pada bae? “Di sini sama?”
Sahrun Sadar : Iya pada bae. “Iya sama saja.”
Peneliti : Rajawetan? “Rajawetan?”
Sahrun Sadar : Iya pada bae. Pak Mukrodine pak Nursalim kae dadi DI. “Iya sama
saja. Pak Mukrodinya Pak Nursalim itu jadi DI.”
Peneliti : Kue pemimpine? “Itu pemimpinya?”
Sahrun Sadar : Iya kae sing mimpin Nusalim. Iya si Saput, Kaer. “Iya itu
pemimpinya Nursalim. Iya Si Saput, Kaer.”
Peneliti : Ning Rajawetan sing mimpin sapa? “Di Rajawetan yang
memimpin DI siapa?”
Sahrun Sadar : Kiye yah nok, engko disit, gemiyen ana sing melu DI iyakan. Sing
arane. Sarangpanjang gemiyen Bapa Sahir, Kartomo, Sajid,
pemimpine Bapak Sungeb. “Ini yah nak, nanti dulu, dulu ada yang
ikut DI iya kan. Yang namanya. Sarangpanjang dulu Bapak Sahir,
Kartomo, Sajid, Pemimpinya Bapak Sungeb.”
Peneliti :Sungeb kue pemimpine DI? “Sungeb itu pemimpin DI?”
Sahrun Sadar : Iya kae pemimpin DI. Terus Bapak Sahroni. Terus Bapa Kartomo
nikah karo wong Rajawetan. Nah ning Rajawetan Bapak Sahroni
karo bapak Kartomo.
Sahir matine ditembak sing tentara, kartomo ditembak ding tentara,
Sajid ditembak sing tentara soale DI. Bapak Sahroni operasi ding
Sigedong diparani ning umahe, terus digawa dipateni. “Iya itu
pemimpin DI. Terus Bapak Sahroni. Terus Bapak Kartomo menikah
sama orang Rajawetan. Nah di Rajawetan Bapak Sahroni sama
Bapak Kartomo.
Sahir meninggalnya itu ditembak sama tentara, Kartomo ditembak
tentara, Sajidnya ditembak tentara karena DI. Bapak Sahroni operasi
di Sogedong dijemput di rumahnya, kemudian dibawa terus
dibunuh.”
Peneliti :Nah Mukrodi sapa? “Nah Mukrodi siapa?”
Sahrun Sadar :Engko disit, Mukrodi Kutayu bapane Dursin terus anake Nursalim
terus adine kue Mukrodi. “Nanti dulu, Mukrodi Kutayu Bapaknya
Dursin, terus anaknya Nursalim kemudian adiknya itu Muhrodi.”
Peneliti : Kue DI ning Kutayu? “Ini DI di Kutayu?”
Sahrun Sadar :Iya ning Kutayu. “Iya di Kutayu.”
Peneliti :Uwong Rajawetan sing melu DI uwis ninggal kabeh? “Orang
Rajawetan yang ikut DI sudah meninggal semua?”
Sahrun Sadar : uwis “Sudah.”
Peneliti : Ditembake ning endi? “Ditembaknya di mana?”
Sahrun Sadar : ana sing digawa ning tengah dalan, ana sing ditodong ning umahe.
Musuhe tentara kan DI.
Ning kene ana 1 kompi tentara. Sing diarani kompi 1 Sarjono.
Pletone Pleton I Bapak Subur, Pleton II Bapak Darab, Pleton III
Bapak Taram, Pleton IV Bapak Hadi. Sekompi isine 4 pleton
sepleton isine 35 uwong. Nah kue dibagi-bagi siing ngumbahi. Nah
kae tempate ning Menggersipteung. DI kae batire dewek sing gawe
Bapak Kartosuwiryo. “Ada yang dibawa di tengah jalan, ada yang
ditodong di rumah.
Musuhnya tentara kan DI.
Di sini ada 1 kompi tentara. Yang dinamakan kompi 1 Sarjono.
Pletonnya, Pleton I Bapak Subur, Pleton II Bapak Darab, Pleton III
Bapak Taram, Pleton IV Bapak Hadi. 1 kompi isinya 4 Pleton1
Pleton 35 orang. Nah itu dibagi-bagi yang mencuci. Nah itu
tempatnya di Mergersipetung. DI itu temen sendiri yang membuat
Bapak Kartosuwiryo.”
Peneliti : DI ning kene tempate ning endi bae? “DI di sini tempatnya di mana
saja?”
Sahrun Sadar : Asale ning Gunung Segara, Sigedong, Cleketok, Menger Cengis,
Bulakrayahan, Delaksana, Kalimringinan kae tempate pengacau.
Kae goleti panganane meng desa. dijikotna watu gede semene. Jalok
bantuan. Gawa bedil, embuh kae ana isine apa ora kan gawe wedi.
DI Jawa Barat mene iya meng alas. Kedobongkong, Kalilempayang
iya uwis enteng. “Asalnya dari Gunung Segara, Sigedong, Cleketok,
Embulukurung, Cirembes, Mengercengis, Bulakrayahan,
Delaksana, Kalimringinan itu tempatnya pengacau. Itu mencari
makanannya ke desa. diambilkan batu sebesar ini. Minta bantuan.
Bawa bedil, entah itu ada isinya atau tidak kan membuat takut. DI
Jawa Barat kesini ya ke hutan. Kedobangkong, Kalilempayang, ya
sudah habis.”
Peneliti : DI ning desa nganu apa bae? “DI di desa melakukan apa saja?”
Sahrun Sadar : DI kari ning desa ora wajar, beras digaea, ayam, wedus, kebo, sapi
digawa meng alas dimasak ning alas. kari ana sing nglaporna ning
Delaksana ning Kalimringinan engko tentara sing Balapulang,
Margasari, Karangsawa, Tonjong, Bumijawa dadi siji. Engko ning
kana 43, ning kenen 435, 449, 439. Gemiyen nganggone radio
angin. Ning Kalimringinan kae ana kukus iya kae kukuse uwong DI
lagi masak sing mimpin arane Kosim. Markase ana 24 sing godong
lengkap langgare gede nemen. “DI kalau di desa tidak wajar, beras
dibawa, ayam, kambing, kerbau, sapi dibawa ke hutan dimasak di
hutan. Kalau ada orang yang melaporkan di Delaksana di
Kalimringinan nanti tentara dari Balapulang, Margasari,
karangsawah, Tonjong, Bumijawa jadi satu. Nanti di sana 431 di sini
435, 449, 439. Dulu pakainya radio angin. Di Kalimiringan itu ada
asap iya itu asapnya orang DI lagi masak yang mimpin namanya
Kosim. Markasnya ada 24 dari daun langkap musollanya besar
banget.”
Peneliti : Ana Langgare? “Ada musollanya?”
Sahrun Sadar : Ana nganggo sembayang. Tentara munggah meng uwit ndeleng DI
lagi masak. Soale ana sekompine sing dipimpin Kosim. Ndeleng lagi
masak, langsung ngabari tentara sing liane nganggo radio angin.
Teka sing Magasari, Tonjong, karo Jejeg. Tapi ding kana ora ngerti.
Paling jarak 150 meter. Kan ning tengah-tengah diserang. Uwong
mati ning endi ora. Uwong-uwong mati ning kali. “Ada untuk salat.
Tentara naik pohon melihat DI sedang masak. Soalnya ada satu
kompi yang dipimpin Kosim. Melihat sedang masak, langsung
mengabari tentara yang lainnya dengan menggunakan radio angin.
Datang dari margasari, tonjong, dan jejeg. Tapi di sana tidak tahu.
Paling jaraknya 150 meter. Kan di tengah diserang. Orang
meninggal di mana-mana. Orang-orang cantik mati di sunga-
sungai.”
Peneliti : Kue ning Kalimringinan? “Itu di Kalimringinan?”
Sahrun Sadar :Iya, bedile ketemu 17 pestole olih 11. Plurune ora due. “Iya,
bedilnya saja dapat 17 pestolnya dappat 11. Plurunya tidak punya.”
Peneliti : Nah kae ning Kalimringinan ana umah, mushola terus apa
maning? “Nah itu di Kalimringinan ada rumah, musolla terus apa lagi?”
Sahrun Sadar : langgar, umah, papan badminton. Ngaku Islam tapi maling.
Makaneng dikalahna ding tentara soale ora apik. “Musolla, rumah,
papan bedminton. Mengaku tentara Islam tapi mencuri. Makanya
dikalahkan sama tentara karena tidak baik.”
Peneliti : Ning Desa Rajawetan dewek pernah ana ribut ora? “Di Desa
Rajawetannya sendiri pernah ada ribut tidak?”
Sahrun Sadar : DI? “DI?”
Peneliti :Iya. “Iya.”
Sahrun Sadar: Sing mati? “Yang meninggal?”
Peneliti :Sapa? “Siapa?”
Sahrun Sadar :Anake Bapa Wangsamerta gemiyen, Tabas, Wanayasa Tabas
tahari OPR sih. Awale pan selamaet, ketemu pasukane Ridwan
Cempaka. “Anaknya Bapak Wangsamerta dahulu, Tabas, Wanayasa
Tabas Tahari OPR sih. Awalnya mau selamat, ketemu pasukan dari
Ridwan Cempaka.”
Peneliti :Ridwan kue sapa? “Ridwan itu siapa?”
Sahrun Sadar :DI Gunungagung. Loro Tabas dipercaya nganggo goleti beras ning
Bulakrayahan. Nah DI ne uwis ngenteni ternyata duite malah
dienggo ding Tabas. Waktu kae sadi lagi nikah nah kue diincer.
Digawa meng Babakan. Nah kan ana takus nah ning kono dipateni
terus dibuang ning kono. Tabas Tahari dipateni ning Sawah. Terus
anake bapak Takhari sing arane tanyan, terus kelorone Sarab.
Sarangpanjang adine Bapak Sukim sing arane Sahid dipateni
digawa mana dibuang ning kali pemali.
Rajawetan diserang lagi Jum’at Kliwon, tanggale enyong ora
ngerti. Taune ta taun 56. “DI Gunungagung. Dua tabas di percaya
untuk mencari beras di Bulakrayahan. Nah DI nya sudah menunggu
ternyata uangnya dipakai oleh Tabas. Waktu itu Sadi menikah nah
itu diincer. Dibawa ke Babakan. Nah itu kan ada jaban nah di situ di
bunuh dan buang di jaban. Tabas Tahari itu dibunuh di sawah. Terus
anaknya Bapak Takhari yang namanya Tanyan, terus kedua sarab.
Sarangpanjang adiknya Bapak Sukim yang namanya sahid. Dibunuh
dibawa kesana dibuang di Sungai Pemali.
Rajawetan diserang lagi Jum’at Kliwon, tanggalnya saya tidak tahu.
Tahunnya tahun 56.”
Peneliti : Nah kue diserange ning endi? Sing Jum’at Kliwon. “Nah itu
diserang di mana? Yang Jum’at Kliwon.”
Sahrun Sadar : Sing Jum’at Kliwon sing diserang Rajawetan dukuh. DI asale sing
Lumbungsilayut terus Cibebek kue kompake DI. Kya kiye, tentara
ning kene kan lagi meng Plompong Kalikidang ning Patuguran. 4
pleton digawa kabeh. Nah gari seregu tok sing dipimpin ding sahiri
ning umahe Raksaban. Ning kene karna tentarane sepi, Kartomone
laporan meng Karangsawa, Watujayam Balapusuh DI dadi siji.
Uwonge ewon. Karena ngerti ning kene sepu tentara dibantu dinng
pasukan Embe Cempaka 60 uwong. Embe sing Cempaka kprane ling
arep ditembak ning DI. Kiye ning wetan lapangan. Bapak Sahiri
kiye maune pan mati karena pasukane DI ning Kalisuru uwis
kumpul akeh. Karena ngeri ning kene uwonge secuil makaneng ora
wani langsung nyerang. Itu siapa? Saya pimpinannya Duljana.
Kenapa pimpinannya Duljana kesini sudah siang? Tadi jam 5 jam 4
sudah datang kesini. Terus ditembak ding pasukane Sahiri karo
Embe. Mlayu meng Menggersilayur. Kalah karo Sahiri. Perang
sedina. Sing digawa iya ana sing dikubur iya ana seluang 25 10 iya
ana. Bedile akeh, olih 26 iji. Sing mati akeh. Ana sing uwis mambu
bacin ana sing dikubur juga. “Yang Jum’at Kliwon yang diserang
Rajawetan Dukuh. DI berasal dari Lumbungsilayur terus Cibebek
itu kompaknya DI. Ini seperti ini, tentara di sini kan ke Plompong
Kalikidang di Petuguran. 4 pleton dibawa semua. Hanya sisa 1 regu
yang dipimpin oleh Sahiri di rumahnya Bapak Raksaban. Di sini
karna tentaranya sepi, Kartomonya laporan ke Karangsawah,
Watujaya, Balapusuh, DI bersatu. Orangnya beribu-ribu. Karena
mengetahui di sini sepi tentara dibantu dari pasukan Embe Cempaka
60 orang. Embe dari Cempaka Kopralnya di depan ditembak oleh
DI. Ini terjadi di Timur Lapangan. Bapak Sahiri ini mau meninggal
karena pasukan DI di Kali Suru sudah berkumpul banyak. Karena
tahu di sini orangnya sedikit maka tidak langsung menyerang. Itu
siapa? Saya pimpinannya Duljana. Kenapa pimpinannya Duljana
kesini sudah siang? Tadi jam 5 jam 4 sudah datang kesini. Kemudian
ditembak oleh pasukan Sahiri dan Embe. Lari ke Menggersilayur.
Kalah sama Sahiri. Perang sehari. Yang dibawa ada yang dikubur
juga ada satu luang 25 10 ya ada. Bedilnya banyak, dapet 26 bauh.
Yang meninggal banyak. Ada yang sudah bau busuk ada yang
dikubur juga.”
Peneliti :Nah ning kene bubare keprimen? “Nah di sini bubarnya
bagaimana?”
Sahrun Sadar :Karo tentara, kan ning alas kelesunen akhire nyerah. “Sama
tentara, kan di hutan kelaparan akhirnya menyerah.”
Peneliti :Uwong desa mangane keprimen? “Orang desanya makannya
gimana?”
Sahrun Sadar : Eedehhh susah. “Eedehhhh, menderita.”
Peneliti : Pas DI masyarakate agamane uwis Islam kabeh durung? Pas DI
masyarakat agamanya sudah Islam belum?
Sahrun Sadar :Sudah semua. Dahulu agama Islamnya Sarang Panjang Sueb itu kan
Masyumi nah itu ustadznya. Nah yang namanya Sarang Panjang
Rajawetan Musollah sepertti tempat kambing. Pakainya pohon
rangdu paling dipakai 30 orang. Di Sarang Panjang itu Sueb sama
Marta. Nah di Rajawetan Suhari Wasrip. Gembor Wangsa Ali dan
Dulwahab.
Peneliti : Mushollane ning endi? “Mushollanya dimana?”
Sahrun Sadar : Ning kene kae Musholla sue, terus ning Rajawetan sing tempate
Sobari. “Di sini itu Musollah lama, terus di Rajawetan di tempatnya
Sobari.”
Peneliti : Nah pas ana DI uwong-uwong pada sembayang ning Mushola?
“Nah pas ada DI orang-orang Solat di Musolla?”
Sahrun Sadar : Sembayang. Nah kemutan gemiyen pas sembayang Jum’at jamaah
ning kene kan akeh. Iya ning langgar. DI mlayu sing lor. Kiye kan
pengacau karena kepengin Islam maju.
Guru ngaji ning kene kahi sing Pangkah arane Kaji Kambali marai
ning kene, naha Bapak Kyai Syam marai ning Rajawetan kae muride
Wasrip Bapak Subari ning pondasi umahe Sahuri. Loroneng sing
Pangkah. Bapak wasrip ning kene tetep marai ngaji. Ning Sarang
Panjang Marta ning kene Bapak Kambali marai Bapak Dul, Sudir,
Wangsa Ali.
”Solat. Nah ini keinget dulu pas Solat Jum’at jam’ah di sini kan
banyak. Iya di Musola. DI jalan dari Utara. ini kan pengacau karena
ingin Islam maju.
Guru mengaji di sini haji dari Pangkah namanya Haji Kambali
mengajarnya di sini, nah Bapak Kyai Syam mengajarnya di
Rajawetannya itu muridnya Wasrip Bapak Subari di pondasi
rumahnya Sahuri. Keduanya dari Pangkah. Bapak Wasrip di sini
tetep mengajar. di Sarang Panjang Marta. Di sini Bapak Kambali
mengajar Bapak Du, Sudir, Wangsa Ali.”
Peneliti : Ngajine jam pira? “Mengajinya jam berapa?”
Sahrun Sadar : Jam 2-4 nah engko langsung balik Maghrib. “Jam 2-4 nah nanti
langsung pulang, magrib.”
Peneliti : Pas ana DI tetep ngaji? “Pas ada DI tetep mengaji?”
Sahrun Sadar : Iya tetep oh. Uwong ngaji kae malah apik. Berartikan batire
dewek, nah tentara kan pan ngalahna tentara pan ngalahna
pemerintah. Islam tetep maju “Iya tetep oh. Orang mengaji itu malah
baik. Berarti kan temennya sendiri (DI). Nah tentara kan mau
dikalahkan mau mengalahkan pemerintah. Islam tetep maju.”
Peneliti : DI pernah marai ngaji ata sing liane meng masyarakat? “DI
pernah mengajarkan mengaji atau yang lainyya dengan
masyarakat?”
Sahrun Sadar : DI tah angger lagi mlaku ning dalan tetep istirahat sembayang.
Lah tentara sing sembayang ya sembayang sing ora ya ora. DI kae
mau gedekena agama Islam pan ngancurna pemerintah tapikan
pemerintahane kuat. ”DI tah walaupun sedang jalan di jalan tetep
istorahat Solat. Lah tentara yang solat iya solat yang tidak iya tidak.
DI itu mau membesarkan agama Islam mau menghancurkan
pemerintahan tapikan pemerintahannya kuat.”

Anda mungkin juga menyukai