Anda di halaman 1dari 7

KONSEP-KONSEP SOSIOLOGI

Menurut Herbert Blumer, seorang ahli sosiologi menyatakan bahwa konsep-


konsep yang menjadi kunci dalam sosiologi adalah samar-samar, ambigu dan tidak tentu,
usaha untuk membuat terminology yang lebih tepat telah menjadikan sebagian besarnya
tanpa hasil. (Quated dalam Gitter dan Manheim, 1947;2). Sebaliknya, menurut Horton
dan Hunt (1991;48-49) mengemukakan pendapat yang berbeda bahwa bahwa studi
sosiologi yang mengemukakan konsep-konsep tersebut paling tidak ada dua manfaat,
yaitu:

a. Kita memerlukan konsep yang diutarakan dengan teliti untuk melansungkan suatu
diskusi ilmiah.
b. Perumusan konsep menyebabkan ilmu pengetahuan bertambah
Konsep-konsep pokok dalam sosiologi menyatakan bahwa secara sosiologis
prespektif dapat memberikan suatu kontribusi substansial untuk membantu penugasan
dasar para siswa dalam memecahkan permasalahan social dan membuat keputusan
tentang isu social yang penting.
Adapun konsep-konsep yang terdapat dalam sosiologi tersebut, mencakup
masyarakat, peran, norma, sanksi, interaksi social, konflik social, perubahan social,
permasalahan social, penyimpangan, globalisasi, patronase, kelompok, patriarki, dan
hierarki.
1. Masyarakat
Menurut shadily, Soekanto (dalam Dadang; 2011: 136) menyatakan bahwa
masyarakat adalah golongan bersar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia
yang dengan sendirinya bertalian secara golongan dan merupakan sistem sosial yang
saling memengaruhi satu sama lain. Dengan demikian, hidup bermasyarakat
merupakan bagian integral karakteristik dalam kehidupan manusia.
Kesalingketergantungan individu atas yang lainnya maupun kelompok
menghasilkan bentuk-bentuk kerja sama tertentu yang bersifat ajeg, dan
menghasilkan bentuk masyarakat tertentu yang merupkan sebuah keniscayaan. Jadi,
sebuah masyarakat pada dasarnya adalah sebentuk tatanan yang mencakup pola-pola
interaksi antar manusia yang berulang secara ajeg pula. tatanan ini bukan berarti

1
tanpa konflik ataupun tanpa kekerasan semuanya serba mungkin serta kadarnya jelas
bervariasi dari suatu masyarakat kemasyarakat lainnya. akan tetapi, bagaimana pun
rendahnya suatu masyarakat tetap tidak hanya sekedar penjumlahan beberapa
manusia, melainkan sebuah pengelompokkan yang teratur dengan keajegan-keajegan
interaksi yang jelas.

2. Peran
Peran adalah satuan keteraturan yang diharapkan dari individu. Setiap hari,
hampir semua orang harus berfungsi dalam banyak peran yang berbeda. Peran dalam
diri seseorang ini sering menimbulkan konflik. Sebagai contoh para guru sekolah
dasar perempuan diharapkan untuk mempersiapkan pengajaran IPS disekolah setiap
hari sebagai kewajiban profesinya, namun disisi lain ia pun bertanggung jawab
sebagai istri dalam urusan keluargannya. Pada saat sore dan malam hari ia mengurus
anak-anaknya dirumah serta keperluan rumah tangga lainnya, seperti mempersiapkan
makanan untuk anak-anak dan suaminya, mengawasi anak-anaknya belajar,
membereskan dan merawat kebersihan ruangan, perabot rumah tangga dan
sebagainya. Inilah yang sering disebut sebagai peran ganda dan peran semacam itu
hamper terjadi pada setiap profesi.
Dilihat dari jenisnya menurut Linton (dalam Dadang; 2011:138) peran dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu peran yang ditentukan atau diberikan dan peran yang
diperjuangkan. Peran yang ditentukan artinya peran yang bukan merupakan hasil
prestasi dirinya atau berkat usahanya, melainkan semata-mata karena pemberian
orang lain. Contoh : gelar Raden, Raden Mas, Raden Ayu. Sedangkan peran yang
diperjuangkan merupakan peran yang benar-benar hasil jerih payah atas usaha
sendiri, contoh seseorang meraih gelar akademis tertentu.

3. Norma
Suatu norma adalah suat standar atau kode yang memandu perilaku masyarakat.
Norma-norma mengajarkan agar berperilaku benar, layak, dan pantas. Menurut
Cialdini (dalam Dadang; 2011:138) bentuk norma terdiri dari 2 bentuk dasar.
Pertama, merujuk pada perbuatan yang bersifat umum atau biasa dan dapat disebut

2
norma deskriptif karena menggambarkan apa yang dilakukan kebanyakan orang.
Kedua, norma mengacu kepada harapa-harapan bersama dalam suatu masyarakat,
organisasi, atau kelompok mengenai perbuatan tertentu yang diharapkan, serta aturan-
aturan moral yang disetujui untuk dilaksanakan.
Norma-norma dapat memotivasi perilaku seseorang dengan cara menjanjikan
ganjaran atau hukuman social informal atas perilaku tersebut.

4. Sanksi
Menurut Soekanto (dalam Dadang 2011:139) menyatakan sanksi adalah suatu
rangsangan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Pemberian
sanksi kepada siapapun termasuk anak didik disekolah adalah penting, namun
semuanya itu hanya diberikan dalam kerangka mendidik dan bukan oleh faktor-faktor
emosional. Pandangan-pandangan penringnya sanksi dalam suatu tertib organisasi
diawali oleh pandangan-pandangan terapi psikologi belajar behavioristik. Ciri-ciri
terapi behavioristik yang dominan adalah tervokus pada tingkah laku yang spesifik
apa yang ingin diubah dan tingkah laku baru yang bagaimana ingin dikembangkan.

5. Interaksi Sosial
Menurut Popenoe dan Soekanto (dalam dadang; 2011:140) menyatakan bahwa
interaksi sosial adalah proses sosial yang menyangkut hubungan timbal balik
antarpribadi, kelompok, maupun pribadi dengan kelompok. Interaksi sosial tersebut
merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Menurut Soekanto
(dalam dadang; 2011:140) berlansungnya suatu proses interaksi didasarkan oleh 4
faktor, antara lain: Imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
1. Faktor imitasi dapat berupa sisi positif dan sisi negative. Sisi positif dapat
mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah atau norma, sedangkan sisi
negativnya adalah jika meniru model tindakan-tindakan menyimpang maka
tindakan peniru tersebut dapat menimbulkan tindakan yang menyimpang pula.
2. Faktor sugesti, apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap
tertentu yang diterima tanpa sikap kritis karena adanya hambatan emosional yang
kurang rasional.

3
3. faktor identifikasi, kecenderungan keinginan-keinginan dalam dirinya untuk
menjadi sama dengan orang lain.
4. faktor simpati, proses seseorang merasa tertarik kepada orang lain, terutama untuk
memahami, merasakan, maupun bekerja sama.

6. Konflik Sosial
Menurut Soekanto (dalam dadang; 2011:141) menyatakan konflik sosial adalah
pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan pihak lain.
Konflik sosial pun dapat berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi atau
menghancurkan kelompok lain, walaupun hal itu tidak menjadi tujuan utama aktivitas
kelompok tersebut.
Konflik sosial merupakan salah satu bentuk interaksi sosial dimana ekstrem yang
satu mengarah ke integrasi sosial yang sudah menjadi suatu general agreements dan
memiliki daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan dan
yang lain ke konflik sosial.

7. Perubahan Sosial
Menurut Ritzer (dalam dadang; 2011: 142) menyatakan bahwa perubahan sosial
mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur, dan
masyarakat pada waktu tertentu. Kemudian sosiolog lain mengemukakan bahwa
perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian
masyarakat (Persel, 1987: 586). Dari dua pernyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi pada individu,
kelompok, masyarakat, dan lembaga-lembaga sosial yang memengaruhi sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok
dalam masyarakat.

8. Permasalahan sosial
Istilah permasalahan sosial merujuk kepada suatu kondisi yang tidak diinginkan,
tidak adil, berbahaya, ofensif, dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan
masyarakat. Menurut Pawluch (dalam dadang; 2011:143) menyatakan bahwa dalam

4
pendekatannya, studi tentang permasalahan sosial dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni pendekatan realis dan objektif dan konstruksionisme sosial.
Perhatian utama kelompok yang memakai pendekatan realis dan objektif
mengidentifikasi berbagai kondisi dan kekuatan dasar yang menjadi sebab dari
permasalahan tersebut, sering kali dengan sebuah pandangan yang mengutamakan
tindakan ameliorative, sedangkan pendekatan kontruksionisme sosial, tidak
memusatkan pada perhatian kondisi-kondisi objektif, tetapi mengarah pada suatu
defenisi proses sosial dimana kondisi tersebut muncul sebagai permasalahan.

9. Penyimpangan
Para sosiolog dan kriminolog mengartikan penyimpangan sebagai perilaku yang
terlarang, perlu dibatasi, disensor, diancam hukuman, atau label lain yang dianggap
buruk sehingga istilah tersebut seing dipadankan dengan pelanggaran aturan. Dengan
demikian, istilah penyimpangan tersebut tetap lebih luas dari pada kriminalitas karena
yang menyimpang itu tidak sepenuhnya melanggar secara kriminal.

10. Globalisasi
Menurut ohmae (Dadang; 2011: 145) istilah globalisasi merujuk pada implikasi
tidak berartinya lagi jarak nasional, regional, maupun teritorial sehingga apapun yang
terjadi dan berlangsung di satu tempat, bukan jaminan bahwa kejadian atau peristiwa
tersebut tidak membawa pengaruh di tempat lain.
Globalisasi dapat terjadi karena berdirinya jaringan-jaringan informasi dari
komunikasi global. globalisasi dapat dianalisis secara cultural, ekonomi, dan
politik/institusional.

11. Patronase
Menurut Kuntjoro-Jakti (dalam dadang; 2011: 146) menyatakan bahwa Istilah
patronase dalam istilah ilmu-ilmu sosial lebih banyak dikaitkan dengan birokrasi
sehingga dikenal birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial dimana jabatan dan
perilaku dalam keseluuhan hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan familiar,
hubungan pribadi dan hubungan bapak-anak buah. Dalam birokrasi patrimonial ini

5
serupa dengan lembaga perkawulan, di mana patron adalah gusti atau juragan, dan
klien adalah kawula. Hubungan antara gusti dan kawula tersebut bersifat ikatan
pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas
primordial sebagai dasar tali perhubungan.

12. Kelompok
Menurut Holy (dalam dadang; 2011:147) menyatakan bahwa konsep kelompok
secara umum dapat didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang disatukan oleh
suatu prinsip dengan pola rekrutmen hak dan kewajiban tertentu. Terdapat beberapa
jenis kelompok. Pertama, kategori sosial, adalah sekumpulan individe yang secara
konseptual mengelompok atas dasar karakteristik tertentu, misalnya usia, jenis
kelamin, pekerjaan, agama dan sebagainnya. Kedua, kelompok sosial, terdiri dari
individu-individu yang sengaja mengelompok dan terikat dalam suatu interaksi baku
yang membagi mereka pada sejumlah peran (ekonomi, politik, ritual dan bidang
pekerjaan).
Kelompok ini terbagi lagi menjadi kelompok primer, yang anggotanya
berinteraksi secara tatap muka dan kelompok sekunder, yang para anggotanya tidak
hanya untuk berinteraksi secara tatap muka.

13. Patriarki
Menurut Chanel (dalam dadang; 2011:148) menyatakan bahwa secara harfiah
patriarki berarti aturan dari pihak ayah. Istilah ini memiliki penggunaan yang cukup
luas, namun umumnya memiliki kecendrungan untuk mendeskripsikan kondisi
superioritas laki-laki atas perempuan.
Dalam pendekatan Marxis berpendapat bahwa struktur material menentukan
hubungan laki-laki dan perempuan, sedangkan kaum feminis radikal membalikkan
persamaan tersebut.

14. Hierarki
Konsep hierarki merujuk kepada suatu jenjang, tatanan, peringkat kekuatan,
prestise, atau otoritas. Ditinjau dari historisnya, secara umum konsep hierarki diserap

6
oleh ilmu-ilmu sosial pada mulanya hanya mengacu kepada gereja, pemerintahan
pendeta, dan biasanya gereja katolik Roma. Dalam pengertian luas merujuk pada
organisasi bertingkat dari para pendeta atau paderi.
Menurut Dommant hierarki yaitu sebagai jenjang komando yang diterima anak
tangga yang lebih bawah jenjang diatasnya secara berurutan. Dengan demikian
hierarki memperoleh tempat sebagai suatu bentuk Khusus dari apa yang digolongkan
oleh sosiologi dan antropologi dengan label stratifikasi sosial.

Anda mungkin juga menyukai