Anda di halaman 1dari 19

RESUME 6

BIMBINGAN DAN KONSELING

“ 12 Asas Bimbingan Konseling ”

Oleh : Kelompok 5

Elisa Ramadhani (18129247)

Olivia Wandana Putri (18129029)

Yulira Putri (18129217)

Seksi 18 BB 03

Dosen Pengampu/Penanggung Jawab:

Drs. Muhammadi, M.Si

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
Asas-Asas BK Dan Kode Etik BK

A. Asas-Asas Bimbingan Konseling (BK)


Dalam menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling disekolah
hendaknya selalu mengacu pada asas-asas bimbingan dan konseling dan diterapkan
sesuai dengan asas-asas bimbingan dan konseling.
Menurut Sukardi (2010:46) untuk mendapatkan wawasan yang memadai
mengenai asas-asas pokok bimbingan dan konseling diatas sebagai berikut:
1. Asas Kerahasiaan
Secara khusus layanan bimbingan adalah melayani individu-individu yang
bermasalah. Masih banyak yang beranggapan bahawa mengalami masalah
merupakan aib yang harus ditutup-tutupi sehinggan tidak boleh seorang pun
boleh tahu akan adanya masalah itu. Keadaan sepereti ini sangat menghambat
pemanfaatan layanan bimbingan oleh masyarakat (khususnya siswa di sekolah).
Jika perlu mengetahui bahwa layanan bimbingan harus menerapkan asas-asas
kerahasiaan secara penuh. Dalam hal ini masalah yang dihadapi oleh seorang
siswa tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang tidak berkepentingan.
Segala sesuatu yang disampaikan siswa kepada konselor misalnya akan dijaga
kerahasiaannya. Demikian juga hal-hal tertentu yang dialami oleh siswa
(khususnya hal-hal yang bersifat negatif) tidak akan menjadi bahan gunjingan.
Segala sesuatu yang dibicarakan klien kepada konselor tidak boleh disampaikan
kepada orang lain, atau lebih-lebih hal atau keterangan yang tidak boleh atau
tidak layak diketahui orang lain.
Asas kerahasiaan merupakan asas kunci dalam upaya bimbingan dan
konseling. Jika asas ini benar-benar dijalankan maka penyelenggaraa bimbingan
dan konseling akan mendapat kepercayaan dari para siswa dan layanan
bimbingan dan konseling akan dimanfaatkan secara baik oleh siswa, dan jika
sebaliknya para penyelenggara bimbingan dan konseling tidak memperhatikan
asas tersebut, layanan bimbingan dan konseling (khususnya yang benar-benar
menyangkut kehidupan siswa) tidak mempunyai arti lagi bahkan mungkin
dijauhli para siswa.
2. Asas Kesukarelaan
Jika asas kerahasiaan memang benar-benar telah tertanam pada diri
(calon) terbimbing/siswa atau klien, sangat dapat diharapkan bahwa mereka yang
mengalami masalah akan dengan sukarela membawa masalahnya itu kepada
pembimbing untuk meminta bimbingan. Bagaimana halnya dengan klien kiriman,
apakah dalam hal ini asas kesukarelaan dilanggar? Dalam hal ini pembimbing
berkewajiban mengembangkan sikap sukarela pada diri klien itu sehingga klien
itu mampi menghilangkan rasa keterpaksaannya saat memberikan data dirinya
kepada pembimbing. Kesukarelaan tidak hanya dituntut pada diri (calon)
terbimbing/siswa atau klien saja, tetapi hendaknya berkembang pada diri
penyelenggara. Para penyelenggara bimbingan hendaknya mampu
menghilangkan rasa bahwa tugas ke-BK-annya itu merupakan suatu yang
memaksa diri mereka. Lebih disukai lagi apabila para petugas itu merasa
terpanggil utnuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling.

3. Asas Keterbukaan
Bimbingan dan Konseling yang efisien hanya berlangsung dalam suasana
keterbukaan. Baik yang dibimbing/ dikonsel maupun pembimbing/ konselor
bersifat terbuka. Keterbukaan ini bukan hanya sekadar berarti “bersedia
menerima saran-saran dari luar” tetapi dan hal ini lebih penting masing-masing
yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan
masalah yang dimaksud. Dalam konseling misalnya, diharapkan dapat berbicara
sejujur mungkin dan terbuka tentang dirinya sendiri. Dengan keterbukaan ini
penelaahan masalah serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan klien
menjadi mungkin. Perlu diperhatikan bahwa keterbukaan hanya akan terjadi bila
klien tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan yang semestinya diterapkan oleh
konselor. Untuk keterbukaan klien harus terus menerus membina suasana
hubungan konseling sedemikian rupa, sehingga klien yakin bahwa konselor juga
bersikap terbuka dan yakin bahwa asas kerahasiaan memang terselenggarakan.
kesukarelaan klien tentu saja menjadi dasar bagi keterbukaannya.
4. Asas Kekinian
Masalah klien yang langsung ditanggulangi melalui upaya bimbingan dan
konseling ialah masalah-masalah yang sedang dirasakan kini (sekarang), bukan
masalah yang sudah lampau, dan juga masalah yang mungkin yang akan dialami
di masa mendatang. Bila ada hal-hal tertentu yang menyangkut masa lampau,
dan/atau , masa yang akan datang perlu dibahas dalam upaya bimbingan dan
konseling yang sedang diselenggarakan, pembahasan hal itu hanyalah merupakan
latar belakang/latar depan dari masalah yang akan dihadapi sekarang sehingga
masalah yang dihadapi itu teratasi. Dalam usaha yang bersifat pencegahan
punpada dasarnya pertanyaan yang perlu dijawab adalah apa yang perlu
dilakukan sekarang, sehingga kemungkinan yang kurang baik dimasa yang akan
mendatang dapat terhindari.
Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh
menunda-nunda pemberian bantuan. Jika diminta bantuan oleh klein atau jelas
terlihat misalnya adanya siswa yang mengalami masalah, maka konselor
hendaklah segera memberikan bantuan. konselor tidak selayaknya menunda-
nunda memberi bantuan dengan berbagai dalih. Dia harus mendahulukan
kepentingan klien daripada yang lain-lain. Jika dia benar-benar memiliki alasan
yang kuat untuk tidak memberikan bantuannya kini, maka dia harus dapat
mempertanggungjawabkan bahwa penundaan yang dilakukan itu justru untuk
kepentingan klien.

5. Asas Kemandirian
Seperti dikemukan terdahulu kemandirian merupakan tujuan dari usaha
layanan bimbingan dan konseling. Dalam memberika layanan para petugas
hendaklah selalu berusaha menghidupkan kemandirian pada diri orang yang
dibimbing, jangan hendaknya orang yang dibimbing itu menjadi tergantung pada
orang lain, khususnya para pembimbing/konselor.
Individu yang dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan
ciri-ciri pokok mampu:
a. Mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya.
b. Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis.
c. Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri.
d. Mengarahkan diris esuai dengan keputusan.
e. Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat, dan
kemampuan yang dimilikinya.
Kemandirian dengan ciri-ciri umum diatas haruslah disesuaikan dengan
tingkat perkembangan dan peranan klien dalam kehidupannya sehari-hari.
Kemandirian sebagai hasil konseling menjadi arah dari keseluruhan proses
konseling, dan hal itu baik oleh konselor maupaun klien.

6. Asas Kegiatan
Usaha layanan bimbingan dan konseling akan memberikan buah yang
tidak berarti, bila individu yang dibimbing tidak melakukan kegiatan dalam
mencapai tujuan-tujuan bimbingan. Hasil-hasil usaha bimbingan tidak tercipta
dengan sendirinya tetapi harus diraih oleh individu yang bersangkutan. Para
pemberi layanan bimbingan dan konseling hendaknya menimbulkan suasana
individu yang dibimbing itu mampu menyelenggarakan kegiatan yang dimaksud.

7. Asas Kedinamisan
Upaya layanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya
perubahan pada diri individu yang dibimbing yaitu perubahan tingkah laku
kearah yang lebih baik. Perubahan tidaklah sekadar mengulang-ulang hal-hal
lama yang bersifat monoton, melainkan perubahan yang selalu menuju ke suatu
pembaruan, sesuatu yang lebih maju.

8. Asas Keterpaduan
Layanan bimbingan dan konseling memadukan berbagai asoek individu
yang dibimbing, sebagaimana diketahui individu yang dibimbing itu memiliki
berbagai segi kalau keadaanya tidak saling serasi dan terpadu justru akan
menimbulkan masalah. Di samping keterpaduan pada diri individu yang
dibimbing, juga diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan.
Hendaknya, jangan aspek layanan yang satu tidak serasi atau bahkan
bertentangan dengan aspek layanan yang lain.

9. Asas Kenormatifan
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, usaha “layanan bimbingan dan
konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik
ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/negara, norma ilmu,
maupun kebiasaan sehari-hari. Asas kenormatifan ini diterapkan tehadap isis
maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Seluruh isi layanan
harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Demikian pula proses, teknik, dan
peralatan yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang dimaksudkan.
Ditilik dari permasalahan klien, barangkali pada awalnya ada materi
bimbingan dan konseling yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya klien
mengalami masalah melanggar norma-norma tertentu), namun justru dengan
pelayanan bimbingan dan konselinglah tingkahlaku yang melanggar norma itu
diarahkan kepada yang lebih bersesuaian dengan norma.

10. Asas Keahlian


Usaha layanan bimbingan dan konseling secara teratur, sistematis, dan
dengan mempergunakan teknik serta alat yang memadai. Untuk itu para para
konselor perlu mendapat latihan secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat
dicapai keberhasilan usaha pemberian layanan. Pelayanan bimbingan dan
konseling adalah pelayanan profesional yang diselenggarakan oleh tenaga ahli
yang khusus dididik untuk pekerjaan itu. Asas keahlian selain mengacu kepada
kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana bidnag bimbingan dan
konseling) , juga kepada pengalaman. Teori dan praktik bimbingan dan konsleing
perlu dipadukan. Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar
menguasai teori dan praktik konselig secara baik.

11. Asas Alih Tangan


Asas ini mengisyaratkan bahwa bila seorang petugas bimbingan dan
konseling sudah mengerahkan segenap kemampuaanya untuk membantu klien
belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka petugas itu
mengalihtangankan klien tersebut, kepada petugas atau badan lain yang lebih
ahli. Disamping itu, asas ini juga menasihatkan petugas bimbingan dan konseling
hanya menangani masalah-masalah klien sesuai dengan kewenangan petugas
yang bersangkutan, setiap masalah hendaknya ditangani oleh ahli yang
berwenang untuk itu.

12. Asas Tut Wuri Handayani


Asas ini menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam
rangka hubungan keseluruhan antara pembimbing dan yang dibimbing. Lebih-
lebih dilingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan manfaatnya, dan bahkan
perlu dilengkapi dengan “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa”.
Asas ini menuntut agar layanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan
adanya pada waktu siswa mengalami masalah dan menghadap pembimbing saja,
namun dilaur hubungan kerja kepembimbingan dan konseling pun hendaknya
dirasakan adanya dan manfaatnya.

B. PERANAN GURU DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING


Perkembangan ilmu dan teknologi disertai perkembangan sosial budaya yang
berlangsung dengan deras dewasa ini, menyebabkan peranan guru menjadi meningkat
dari sebagai pengajar menjadi sebagai pembimbing (konselor).
Menurut Dewa (2008 : 24-30) menjelaskan peranan guru dalam bimbingan dan
konseling antara lain sebagai berikut :
1. Guru sebagai Perancang Pembelajaran (Designer of Instruction)
Guru sebagai perancang pengajaran (Designer of Instruction) dituntut
memiliki kemampuan untuk merencanakan atau merancang kegiatan belajar
mengajar secara efektif dan efisien. Untuk itu, seorang guru harus memilki
pengetahuan yang cukup memadai tentang prinsip-prinsip belajar sebagai suatu
landasan dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar.
Di sini guru dituntut untuk untuk berperan aktif dalam merencanakan PBM
tersebut dengan memperhatikan berbagai komponen dalam sistem pembelajaran
yang meliputi :
a. Membuat dan merumuskan TIK
b. Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasilitas,
perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa, komprehensif,
sistematis, dan fungsional efektif.
c. Merencanakan metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa .
d. Menyediakan sumber belajar, dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator.
e. Media, dalam hal ini guru berperan sebagai mediator dengan memperhatikan
referensi (seperti juga materi), efektif dan efisien, kesesuaian dengan metode.

2. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran (Manager of Instruction)


Guru sebagai pengelola pengajaran (Manager of Instrution) dituntut memiliki
kemampuan untuk mengelola seluruh proses kegiatan belajar mengajar dengan
menciptakan kondisi-kondisi belajar sedemikian rupa sehingga setiap siswa dapat
belajar dengan efektif dan efisien.
Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan
fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan
khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-
alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa belajar,
serta membantu siswa untuk dalam membimbing pengalaman sehari-hari ke arah
pengenalan tingkah laku dan kepribadian sendiri.

3. Guru sebagai Pengarah Pembelajaran


Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan
meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dalam hubungan ini, guru
mempunyai fungsi sebagainmotivator dalam keseluruan kegiatan belajar
mengajar. Empat hal yang dapat dikerjakan guru dalam memberikan motivasi
adalah sebagai berikut :
a. Membangkitkan dorongan siswa untuk belajar.
b. Menjelaskan secara konkret, apa yang dilakukan pada akhir pengajaran.
c. Memberikan penghargaan terhadap prestasi yang dicapai hingga dapat
merangsang pencapaian prestasi yang lebih baik lagi dikemudian hari.
d. Membentuk kebiasaan belajar yang baik.

Sebagai pembimbing, guru diharapkan mampu untuk:


a. Mengenal dan memahami setiap peserta didik, baik secara individual atau
kelompok.
b. Membantu tiap peserta didik dalam mengatasi masalah pribadi yang
dihadapinya.
c. Memberikan kesempatan yang memadai agar tiap peserta didik dapat belajar
sesuai dengan kemampuan pribadinya.

4. Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning)


Guru dengan fungsinya sebagai evaluator (Evaluator of Student Learning)
dituntuk untuk secara terus menerus mengikuti hasil-hasil (prestasi) belajar yang
telah dicapai peserta didiknya dari waktu ke wakt. Informasi yang diperoleh
melalui cara ini merupakan umpan balik terhadap proses kegiatan belajar
mengajar, yang selanjutnya akan dijadikan titik tolak untuk menyempurnakan
serta meningkatkan proses belajar mengajar sehingga memperoleh hasil belajar
yang optimal.
Tujuan utama penilaian adalah untuk melihat tingkat keberhasilan dalam
proses belajar mengajar, selain itu untuk mengetahui kedudukan peserta didik
dalam kelas tersebut.

5. Guru sebagai Pelaksana Kurikulum


Kurikulum adalah seperangkat pengalaman belajar yang akan didapat oleh
peserta didik selama ia mengikuti suatu proses pendidikan. Guru adalah orang
yang bertanggung jawab dalam upaya mewujudkan segala sesuatu yang tertuang
dalam suatu kurikulum. Bahkan pandangan Mutakhir menyatakan bahwa
meskipun suatu kurikum itu bagus, namun berhasi atau gagalnya kurikulum
tersebut terletak ditangan pribadi guru.
Sedangkan peranan guru dalam pempinaan dan pengembangan kurikulum
adalah sebagai berikut:
a) Dalam perencanaan kurikulum
Kurikulum di tingkat Nasional dirancang dan dirumuskan oleh para pakar dari
berbagai bidang disiplin ilmuyang terkait, sedangkan guru biasanya terlibat
untuk memberikan masukan berupa saran, ide atau tanggapan terhadap
kemungkinan pelaksanaanya di sekolah.
b) Dalam pelaksanaan di lapangan
Para guru sepenuhnya bertanggung jawab dalam pelaksanaan kurikulum, baik
secara keseluruan atau tugas sebagai penyanpai mata pelajaran.
c) Dalam proses penilaian.
Selama pelaksanaan kurikulum akan dinilai seberapa jauh tingkat
ketercapaiannya, biasanya guru diminta saran maupun menilai kurikulum yang
sedang berjalan guna melihat kebaikan dan kelemahan yang ada.
d) Pengadministrasian
Guru harus menguasi tujuan kurikulum, isi program (pokok bahasan) yang
harus diberikan kepada peserta didik. Misalnya pada kelas dan semester
berapa suatu pokok bahasan diberikan dan bagaimana memberikannya,
biasanya dengan menyusun rencana pembelajaran.
e) Perubahan kurikulum Guru mau tidak mau harus terlibat dalam pembaharuan
yang sedang dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencari format kurikulum
yang sesuai dengan perkembangan zaman.

6. Guru sebagai Pembimbing (Konselor)


Guru sebagai pembimbing (konselor), dituntut untuk mengadakan pendekatan
dalam hal ini bukan saja melalui pendekatan instruksional akan tetapi dibarengi
dengan pendekatan yang bersifat pribadi (personal aproach). Dengan pendekatan
semacam ini maka guru akan secara langsung mengenal dan memahami peserta
didiknya secara lebih mendalam, sehingga dapat membantu dalam keseluruan
proses belajarnya. Sesuai dengan peran guru sebagai konselor adalah ia
diharapkan akan dapat merespon segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam
proses pembelajaran.
Guru adalah penentu program bimbingan, dimana ia harus mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan siswa akan bimbingan serta menciptakan iklim sekolah yang
kondusif sehingga mampu memfasilitasi sikap dan perilaku siswa ke arah yang
lebih baik.
Senada dengan hal di atas, Djam”an Satori dkk ( 2011:4.21- 4.25)
mengemukakan bahwa peran guru dalam bimbingan konseling adalah sebagai
pembimbing dalam proses pembelajaran. Bimbingan di sini dapat digolongkan
dalam bimbingan belajar, pribadi, sosial dan juga karir.
a. Bimbingan belajar
Bimbingan belajar diarahkan dalam upaya membantu peserta didik dalam
mempelajari konsep dan keterampilan yang terkait dengan program kulikuler di
sekolah. Dalam proses bimbingan belajar, guru diharapkan dapat memberikan
layanan kepeda peserta didik baik secara individual maupun perseorangan.
b. Bimbingan pribadi
Bimbingan pribadi lebih terfokus pada upaya membantu peserta didik
mengembangkan aspek-aspek kepribadian yang menyangkut pemahaman diri dan
lingkungan, kemampuan memecahkan masalah, konsep diri, kehidupan emosi dan
identitas diri. Layanan bimbingan pribadi erat kaitannya dengan membantu
peserta didik menguasai tugas-tugas perkembangan sesuai dengan tahap
perkembangannya.
c. Bimbingan sosial
Bimbingan sosial diarahkan kepada upaya membantu peserta didik
mengembangkan keterampilan sosial atau keterampilan berinteraksi di dalam
kelompok. Peran penting yang perlu dimainkan guru dalam kaitannya layanan
bimbingan sosial ialah :
(1) Rasa turut memiliki kelompok, ditandai dengan identifikasi, loyalitas, dan
berorientasi pada pemenuhan kewajiban kelompok.
(2) Partisipasi kelompok, ditandai dengan kerjasama, bersikap membantu, dan
mengikuti aturan main.
(3) Penerimaan terhadap keragaman individual dan kelompok.
d. Bimbingan karier
Bimbingan karier di sekolah diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran dan
pemahaman peseta didik akan ragam kegiatan dan pekerjaan di dunia sekitarnya.
Bimbingan karier di sekolah juga terkit erat dengan upaya membantu peserta didik
memahami apa yang di sukai dan tidak disukai, kecakapan diri, disiplin
mengontrol kegiatan sendiri.

Menurut Rochman Natawidjaja (dalam Agus 2011: 11.22-11.27) mengemukakan


peran yang harus dilaksanakan oleh guru dalam keseluruan program bimbingan dan
konseling di SD adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi kebutuhan, potensi, minat, bakat, dan masalah tiap anak
terutama dalam kegiatan di kelas
Guru harus berupaya mengenal anak secara individual yang meliputi
kecerdasan, bakat-bakat yang dimilki, sifat-sifat pribadi, dan sebagainya.
Implikasinya adalah para guru kelas harus mengumpulkan data anak mengenai
hal tersebut. Cara yang dapat dilakukan adalah bekerja sama dengan pihak yang
kompeten untuk mengadakan hal-hal yang berhubungan tersebut.
2. Mengidentifikasi gejala-gejala salah suai pada diri anak dalam kegiatan di
sekolah
Guru harus berupaya untuk memperhatikan kegiatan sehari-hari anak di
sekolah, baik dalam proses belajar maupun dalam hubungan sosialnya. Anak SD
sering kali menunjukkan gejala salah suai , seperti mengantuk membolos,
mengganggu orang lain, dan sebagainya. Gejala seperti ini sangat berkaitan
dengan latar belakang kehidupan keluarga maupun perlakuan guru di sekolah.

3. Memberi kemudahan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak di


lingkungan sekolah.
Membimbing berarti memberikan kemudahan kepada anak untuk tumbuh
dan berkembang secara wajar, sesuai dengan potensi yang dimilki serta
kesempatan dan peluang lingkungannya. Selain itu juga mengembangkan sikap-
sikap sosial dan kebiasaan belajar yang baik melalui berbagai kegiatan latihan
maupun permainan tertentu, serta mengadakan kontak dan berbicara secara
individual dengan siswa.
4. Melaksanakan bimbingan kelompok baik di dalam maupun di luar kelas
Dalam hal ini hal-hal yang perlu diingat, sekalipun guru berhadapan
dengan sejumlah siswa, namun fokus perhatiannya tetap kepada siwa secara
individual, sebab kelompok hanya merupakan wahana atau situasi sosial.
5. Melengkapi rencana-rencana yang telah dirumuskan oleh anak bersama
guru
Guru kelas sebaiknya bekerja sama dengan anak membuat rencana tertentu
bagi perkembangan potensi anak, misalnya bagaimana menciptakan kondisi kelas
yang bersih dan sehat, mengadakan perlombaan-perlombaan.
6. Melaksanakan pengajaran sesuai dengan kebutuhan anak
Dalam menyelenggarakan pembelajaran, guru harus berupaya
mengoprasionalkan kurikulum dalam konteks lingkungan rill siswa.
7. Mengumpulkan data dan informasi tentang anak terutama dalam kegiatan
belajarnya
Guru harus berupaya agar setiap siswa memilki catatan yang berisi
berbagai informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan kegiatan dan hasil
belajar siswa dari waktu ke waktu.
8. Melaksanakan kontak dengan masyarakat, terutama dengan orang tua/wali
murid
Sangat ironis jika antara guru dan wali muris sering bertentangan dalam
mendidik, hal ini dapat dicegah bilamana antara kedua belah pihak tersebut
berupaya saling berkomunikasi untuk saling memberikan informasi tentang
karakteristik siswa.
9. Melaksanakan konseling terbatas
Meskipun sebagai calon guru Sd tidak dibekali secara profesional tentang
melaksanakan BK, namun sebagai guru kelas bisa memberikan nasihat, petunuk,
contoh dan memberi motivasi supaya siswa melakukan tindakan yang penting
bagi dirinya sekarang dan masa yang akan datang.
10. Memberikan pelayanan rujukan, yaitu melimpahkan anak tertentu kepada
orang lain yang lebih kompeten untuk mendapatkan bantuan yang teppat.
Billamana guru telah berupaya membantu siswa tertentu sedemikian rupa,
namun belum ada perubahan yang diharapkan oleh pihak yang dibantu, maka
sebaiknya dilimpahkan kepada pihak yang lebih kompeten.
Sedangkan Djumhur (1975:127- ) mengemukakan beberapa peran guru dalam
bimbingan yaitu :
1. Guru sebagai tokoh kunci dalam bimbingan
Guru (termasuk wali kelas) adalah tokoh kunci dalam kegiatan bimbingan. Guru
selalu berada dalam hubungan yang erat dengan murid. Ia banyak mempunyai
kesempatan untuk mempelajari murid, mengawasi tingkah laku dan kegiatannya, ia
dapat mengetahui sifat-sifat murid, kebutuhannya, minatnya, masalah-masalahnya,
dan titik-titik kelemahan serta kekuatannya. Sehingga mudahlah baginya untuk
memberikan bantuan kepada murid yang memerlukannya.
2. Mengetahui murid sebagai individu
Tugas pertama guru dalam bimbingan ialah mengetahui atau mengenal murid.
Apabila guru mau berhasil dalam tugasnya sebagai pembimbing, maka ia perlu
mengetahui kebiasaan-kebiasaan murid dalam belajar dan bekerjanya, dalam bermain
dan keadaan kesehatannya, asal-usulnya, teman-teman karibnya, bahkan latar
belakang sosial ekonominya.
C. KODE ETIK BK
a. Pengertian Kode Etik
Secara etimologis, “kode etik” berarti pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis
dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Dengan kata lain, kode etik
merupakan pola aturan atau tata cara etis sebagai pedoman berperilaku. Etis berarti
sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh sekelompok orang atau
masyarakat tertentu.
Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang merupakan kesatuan moral yang
melekat pada suatu profesi sesuai kesepakatan organisasi profesi yang disusun sesara
sistematis. Kode etik juga dapat dikatakan sebagai sekumpulan etika yang telah
tersusun dalam bentuk peraturan berdasarkan prinsip moral pada umumnya yang
disesuaikan dan diterima sesuai jiwa profesi guna mendukung ketentuan hukum yang
berlaku demi kepentingan profesi, pengguna jasa profesi, masyarakat/publik, bangsa
dan negara.
Kode etik bimbingan dan konseling adalah ketentuan-ketentuan atau
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh siapa saja yang ingin berkicimpung dalam
bidang bimbingan dan konseling demi untuk kebaikan. Kode etik dalam satu jabatan
bukan merupakan hal yang baru. Tiap-tiap jabatan pada umumnya mempunyai kode
etik sendiri-sendiri, sekalipun tetap ada kemungkinan bahwa kode etik itu tidak secara
formal diadakan.
Kode etik dalam bimbingan dan konseling dimaksudkan agar bimbingan dan
konseling tetap dalam keadaan baik, serta diharapkan akan menjadi semakin baik,
lebih-lebih di Indonesia dimana bimbingan dan konseling masih relatif baru. Kode
etik ini mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar atau diabaikan
tanpa membawa kaibat yang menyenangkan.

b. Kode Etik BK
Menurut Walgito (2010:37) ada beberapa kode etik bimbingan dan konseling
tersebut, antara lain:
1. Pembimbing atau pejabat lain yang memegang jabatan dalam bidang
bimbingan dan konseling harus memegah teguh prinsip bimbingan dan
konseling.
2. Pembimbing harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mencapai hasil
yang baik-baiknya, dengan membatasi diri pada keahliannya atau
wewenangnya. Oleh karena itu, pembimbing jangan sampai mencampuri
wewenang dan tanggungjawab yang bukan wewenang atau tanggung
jawabnya.
3. Karena pekerjaan pembimbing berhubungan langsung dengan kehidupan
pribadi orang maka seorang pembing harus:
a. Dapat memegang atau menyimpan rahasia klien dengan sebaik-
baiknya.
b. Menunjukkan sikap hormat pada klien.
c. Menghargai bermacam-macam klien. Jadi, dalam menghadapi klien,
pembimbing harus menghadapi klien dalam derajat yang sama.
4. Pembimbing tidak diperkenankan:
a. Menggunakan tenaga pembantu yang tidak ahli atau tidak terlatih.
b. Menggunakan alat-alat yang kurang dapat dipertanggung jawabkan.
c. Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin dapat menimbulkan hal-
hal yang tidak baik bagi klien.
d. Mengalihkan klien kepada konselor lain tanpa persetujuan klien.
5. Meminta bantuan kepada ahli dalam bidang lain diluar kemampuan dan
keahliannya atau di luar keahlian staffnya yang diperlukan dalam bimbingan
dan konseling.
6. Pembimbing harus selalu menyadari tanggungjawabnya yang berat, yang
memerlukan pengabdian sepenuhnya.
Rumusan kode etik bimbingan dan konseling yang dikemukakan oleh Ikatan
Petugas Bimbingan Indonesia yang dikutip oleh Syahril dan Riska Ahmad (1982),
yaitu :
1) Pembimbing/konselor menghormati harkat pribadi, integritas,dan keyakinan
klien.
2) Pembimbing/konselor menempatkan kepentingan klien diatas kepentingan
pribadi pembimbing/konselor sendiri.
3) Pembimbing/konselor tidak membedakan klien atas dasar suku bangsa, warna
kulit, kepercayaan atau status social ekonomi.
4) Pembimbing/konselor dapat menguasai dirinya dalam arti kata berusaha untuk
mengerti kekurangan-kekurangannya dan prasangka-prasangka yang ada pada
dirinya yang dapat mengakibatkan rendahnya mutu layanan yang akan
diberikan serta merugikan klien.
5) Pembimbing/konselor mempunyai serta memperlihatkan sifat-sifat rendah
hati, sederhana, sabar, tertib, percaya pada paham hidup sehat.
6) Pembimbing/konselor terbuka terhadap saran atau pendapat yang diberikan
kepadanya, dalam hubungannya dengan ketentuan-ketentuan tingkah laku
professional sebagaimana dikemukakan dalam kode etik bimbingan dan
konselor.
7) Pembimbing/konselor memiliki sifat tanggung jawab, baik terhadap lembaga
dan orang-orang yang dilayani maupun terhadap profesinya.
8) Pembimbing/konselor mengusahakan mutu kerjanya setinggi mungkin. Dalam
hal ini dia perlu menguasai keterampilan dan menggunakan teknik-teknik dan
prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar ilmiah.
9) Pembimbing/konselor menguasai pengetahuan dasar yang memadrai tentang
hakikat dan tingkah laku orang, serta tentang teknik dan prosedur layanan
bimbingan guna memberikan layanan dengan sebaik-baiknya.
10) Seluruh catatan tentang diri klien informasi yang bersifat rahasia, dan
pembimbing menjaga kerahasianan ini. Data ini hanya dapat disampaikan
kepada yang berwenang menafsirkan dan mengunakannya, dan hanya dapat
diberikan atas dasar persetujuan klian
11) Sesuatu tes hanaya boleh diberikan oleh petugas yang berwenang mengunakan
menafsirkan hasilnya
12) Testing psikologi baru boleh diberikan dalam penanganan kasus dan keperluan
lainyang membutuhkan data tentang sifat atauu diri kepribadian serta taraf
inteligensi, minat, bakat dan kecenderungan dalam diri pribadi diri seseorang
13) Data hasil tes psikologi harus di intergransikan dalam informasi lainnya dari
diperolehsumber lain, serta harus diperlakukan setaraf dengan informasi
lainnya itu
14) Konselor memberikan orientasi yang dapat tepat kepada kien mengenai alasan
digunakannya tes psiologi dan hubungannya dengan masalah yang dihadapi
klien.
15) Hasil tes psikologi diberitahukan kepada klien dengan disertai dengan alasan-
alasan tentang kegiatannya dan hasil tersebut dapat diberitahukan pada pihak
lain, sejauh pihak yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan
pada klien dan tidak merugikan klien sendiri.

c. Tujuan Kode etik


1) Panduan perilaku berkarakter dan profesional bagi anggota organisasi dalam
memberikan pelayanan BK
2) Membantu anggota organisasi dalam membangun kegiatan pelayanan yang
professional
3) Landasan dan arah menghadapi permasalahan dari dan mengenai diri anggota
asosiasi
4) Melindungi anggota asosiasi dan sasaran layanan (konseli)
5) Etika organisasi profesi BK adalah kaidah nilai dan moral sebagai rujukan
bagi anggota organisasi melaksanakan tugas atau tanggungjawabnya dalam
layanan BK kepada konseli.
6) Wajib dipatuhi dan diamalkan oleh seluruh jajaran pengurus dan anggota
organisasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.
7) Etika organisasi profesi BK adalah kaidah nilai dan moral sebagai rujukan
bagi anggota organisasi melaksanakan tugas atau tanggungjawabnya dalam
layanan BK kepada konseli.
8) Wajib dipatuhi dan diamalkan oleh seluruh jajaran pengurus dan anggota
organisasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.

d. Manfaat Kode Etik


Munro dalam Peter W.F.Davies (1997:97-106), menegaskan, sekurang-
kurangnya terdapat empat manfaat kode etik profesi.
1) Kode etik profesi dapat meningkatkan kredibilitas korporasi atau perusahaan.
Adanya kode etik profesi, secara internal mengikat semua pihak dengan
norma-norma moral yang sama sehingga akan mempermudah pimpinan untuk
mengambil keputusan dan kebijakan yang sama untuk kasus-kasus sejenis.
2) Kode etik profesi menyediakan kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri,
bagi sebuah korporasi dan bisnis-bisnis pada umumnya. Pada aras ini, kode
etik profesi dapat mendewasakan sebuah korporasi dalam arti kode etik profesi
dapat membantu semua yang terlibat secara internal dalm korporasi itu untuk
meminimalisir ketimpangan-ketimpangan yang biasanya terjadi pada masa
sebelum ada kode etik profesi. Pada tataran kongret, hadirnya kode etik
profesi dapat meminimalisir campur tangan pemerintah khususnya dalam
ikatannnya dengan kasus-kasus ketenagakerjaan dan prosedur perdagangan.
3) Kode etik profesi dapat menjadi alat atau sarana untuk menilai dan
mengapresiasi tanggung jawab sosial perusahaan. Dari segi efisiensi, rumusan
dalam kode etik profesi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan
hendaknya tidak terlalu umum. Sebaliknya, harus disertai dengan keterangan
yang cukup agar menghindarkan korporasi atau perusahaan dari
kecenderungan untuk melaksankan tanggung jawab sosial hanya pada tataran
minmal.
4) Kode etik profesi merupakan alat yang ampuh untuk menghilangkan hal-hal
yang belum jelas menyangkut norma-norma moral, khususnya ketika terjadi
konflik nilai.
DAFTAR PUSTAKA

Hikmawati, Fenti.2011.Bimbingan Konseling edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Sukardi, Dewa Ketut. 2010. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan


Konseling di Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Walgito,Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling (Studi & Karier) Yogyakarta: ANDI
Yogyakarta.
https://tukimendotcom.wordpress.com/2013/01/06/asas-asas-bimbingan-konseling

Anda mungkin juga menyukai