Berat badan lahir merupakan indikator penting terkait kerentanan terhadap risiko
penyakit dan kelangsungan hidup anak. Anak-anak yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2,5 kilogram, yaitu berat badan lahir rendah (BBLR), memiliki risiko lebih
tinggi terjadi kematian pada umur dini. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka
hingga 80% dari seluruh kematian neonatus dan memiliki risiko kematian 20 kali lebih
besar dari bayi dengan berat normal. Berdasarkan data WHO dan UNICEF, pada tahun
2016 sekitar 22 juta bayi dilahirkan di dunia, dimana 16% diantaranya lahir dengan
berat badan lahir rendah. Adapun persentase BBLR di negara berkembang adalah 16,5
% dua kali lebih besar dari pada negara maju (7%) (WHO, 2017).
Data yang ada saat ini memperlihatkan bahwa status kesehatan anak di
Indonesia masih merupakan masalah. Angka kematian bayi masih tinggi yaitu sebesar
66,4 per 1000 kelahiran hidup dan 35,9% anak yang lahir mempunyai kategori risiko
tinggi. Bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor
risiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa
ketiga sebagai negara dengan prevalensi BBLR tertinggi (11,1%), setelah India
(27,6%) dan Afrika Selatan (13,2%). Selain itu, Indonesia turut menjadi negara ke dua
dengan prevalensi BBLR tertinggi diantara negara ASEAN lainnya, setelah Filipina
(21,2%) (WHO, 2017). Adapun angka kelahiran hidup dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir, 94% diantaranya melaporkan berat lahir, 7% di antaranya memiliki berat lahir
rendah. Prevalensi BBLR lebih tinggi pada anak dari ibu yang berumur kurang dari 20
tahun saat melahirkan (9%), anak pertama (8%), anak yang ibunya tidak sekolah
(12%), dan anak yang ibunya berada di kuintil kekayaan terbawah (9%) (SDKI, 2017).
Bayi yang lahir dengan BBLR tidak hanya diakibatkan oleh ibu yang
menderita kurang energi kronis saja, tapi banyak faktor-faktor yang dapat
menyebabkan bayi BBLR dilihat dari segi ibunya atau maternal diantaranya adalah
faktor umur ibu saat hamil, paritas, pertambahan berat badan ibu, anemia, interval
kehamilan dan banyak faktor lain yang berhubungan dengan kejadian BBLR pada
bayi. Interval kehamilan adalah jarak antara kehamilan terakhir dengan kehamilan
adalah jarak antara kehamilan satu dengan berikutnya kurang dari 3 tahun, sehingga
interval kehamilan yang terlalu dekat dapat melahirkan bayi yang BBLR (Mochtar,
2012).
B. Rumusan Masalah
Bagaimankah hubungan faktor risiko ibu dengan kejadian BBLR di RSUD dr.
Zainoel Abidin?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan faktor risiko ibu dengan kejadian BBLR di RSUD dr.
Zainoel Abidin.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan usia ibu dengan kejadian BBLR di RSUD dr.
Zainoel Abidin.
b. Untuk mengetahui hubungan paritas dengan kejadian BBLR di RSUD dr.
Zainoel Abidin.
c. Untuk mengetahui jarak kehamilan dengan kejadian BBLR di RSUD dr. Zainoel
Abidin
DAFTAR PUSTAKA
Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang
tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita
anemia diperkirakan dua milyar dengan prevalensi terbanyak di wilayah Asia dan
10 masalah kesehatan terbesar di abad modern ini, dimana kelompok yang berisiko
tinggi anemia adalah wanita usia subur, ibu hamil, anak usia sekolah, dan remaja
(WHO, 2017).
asupan zat besi. Kekurangan zat besi tidak terbatas pada remaja status sosial ekonomi
yang makmur dan berkembang. Secara umum tingginya prevalensi anemia gizi besi
antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: kehilangan darah secara kronis,
asupan zat besi tidak cukup, penyerapan yang tidak adekuat dan peningkatan
Faktor utama penyebab anemia adalah asupan zat besi yang kurang. Sekitar
dua per tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin. Faktor
lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti
merokok, minum minuman keras, kebiasaan sarapan pagi, sosial ekonomi dan
demografi, pendidikan, jenis kelamin, umur dan wilayah. Wilayah perkotaan atau
berpengaruh pada pelayanan kesehatan dan asupan zat besi (Herman dan Permaesih,
2015).
dari paru-paru ke seluruh tubuh. Bila oksigen yang diperlukan tidak cukup, maka
Kemudian daya tahan fisik rendah sehingga mudah lelah, aktivitas fisik menurun dan
mudah sakit karena daya tahan tubuh rendah, akibatnya jarang masuk sekolah atau
darah pada saat menstruasi. Rematri yang menderita anemia berisiko mengalami
anemia pada saat hamil. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kecerdasan remaja
sementara itu dalam kehamilan remaja anemia dapat menyebabkan pertumbuhan dan
komplikasi kehamilan dan persalinan, bahkan menyebabkan kematian ibu dan anak
Anemia defisiensi zat besi lebih banyak terjadi pada remaja putri dibanding
remaja putra. Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami menstruasi setiap bulannya
dan sedang dalam masa pertumbuhan, sehingga membutuhkan asupan zat besi yang
lebih banyak. Remaja putri pada umumnya memiliki karakteristik kebiasaan makan
tidak sehat, seperti tidak makan pagi, malas minum air putih, dan makan makanan
siap saji. Hal ini mengakibatkan remaja tidak mampu memenuhi keanekaragaman zat
makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses sintesis pembentukan hemoglobin
(Hb). Bila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kadar Hb
kebiasaan makan yang salah juga merupakan penyebab terjadinya anemia pada
remaja putri (Nugraheni dkk, 2012).
sebesar 27%, sedangkan di negara maju sebesar 6%. Menurut WHO, apabila
prevalensi anemia ≥40% termasuk kategori berat, sedang 20-39%, ringan 5-19,9%,
Asia Tenggara dan Afrika terus tercatat memiliki prevalensi anemia tertinggi
– terhitung 85% dari para penderita anemia adalah para wanita dan anak-anak. Di
Asia Tenggara, ada 202 juta wanita yang terkena anemia sedangkan di Pasifik Barat,
ada sekitar 100 juta jiwa. 41,8% ibu hamil dan kurang lebih 600 juta anak sekolah
dasar dan anak usia sekolah di seluruh dunia adalah penderita anemia, dimana hampir
60% kasus ibu hamil dan sekitar 50% dari kasus anak-anak disebabkan oleh
Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah penderita anemianya masih
banyak. Satu dari lima penduduk di Indonesia mengalami anemia. Hal tersebut lantaran
sebesar 48,9%. Berdasarkan kelompok umur, penderita anemia berumur 5-14 tahun
sebesar 18,5% dan sebesar 29,4% pada kelompok umur 15-24 tahun.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan jenis kelamin dan kebiasaan makan pagi dengan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan hubungan jenis kelamin dan kebiasaan makan pagi dengan anemia
2. Tujuan Khusus
SMU..............
di SMU..............
DAFTAR PUSTAKA
Herman dan Permaesih, 2015. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Pada
Remaja. http://www.
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/BPK/article/view/219
Kemenkes RI. (2016). Pedoman Pencegahan dan Penanganan Anemia Pada Remaja dan
Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta: Kemenkes RI
A. Latar Belakang
sumber penularan adalah dahak dari penderita yang mengandung kuman tuberkulosis
dengan BTA positif. Tuberkulosis berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi
kontak, dan sebagainya (Nurhidayah dkk, 2014). Faktor yang mempunyai hubungan
jenis kelamin, pekerjaan, kepadatan hunian dan tingkat pengetahuan (Muaz, 2016).
tersebut adalah masih rendahnya kesadaran penderita dalam menjalani proses pengobatan
dan penyembuhan. Penularan penyakit tuberkulosis Paru juga tidak terlepas dari faktor
sosial budaya, terutama berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku dari masyarakat
prevalensi penyakit tuberkulosis paru di provinsi Aceh sebesar 0,3%. Dari seluruh
penduduk Indonesia yang didiagnosis penyakit tuberkulosis paru oleh tenaga kesehatan
wilayah kerja Puskesmas Sukajaya, bahwa sebagian warga adalah nelayan, pekerjaan ini
dapat dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi. Kondisi sosial ekonomi tidak hanya
berhubungan langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti kondisi
status gizi yang buruk, perumahan yang tidak sehat dan rendahnya akses terhadap
pelayanan kesehatan serta berakibat pada rendahnya pengetahuan dan dipengaruhi oleh
Puskesmas............... ”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “faktor apasajakah yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis Paru di
C. Tujuan Penelitian
Kerja Puskesmas……………...
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan. (2011). Studi Prevalensi dan Faktor Resiko Penyakit Tuberkulosis
Muaz. (2016). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru Dan Upaya
Isoprostan Pada Pasien Tuberkulosis Paru Yang Mendapat Terapi Obat Anti
Diwilayah Kerja Puskemas Kampung Baru Tahun 2019. Public Health Journal. Vol
10. No. 1.