Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN FAKTOR RISIKO IBU DENGAN KEJADIAN BBLR di …………

A. Latar Belakang Masalah

Berat badan lahir merupakan indikator penting terkait kerentanan terhadap risiko

penyakit dan kelangsungan hidup anak. Anak-anak yang lahir dengan berat badan

kurang dari 2,5 kilogram, yaitu berat badan lahir rendah (BBLR), memiliki risiko lebih

tinggi terjadi kematian pada umur dini. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, diharapkan prevalensi BBLR turun menjadi

8 persen pada tahun 2019 (SDKI, 2017).

WHO melaporkan, bayi dengan berat lahir rendah berkonstribusi sebanyak 60

hingga 80% dari seluruh kematian neonatus dan memiliki risiko kematian 20 kali lebih

besar dari bayi dengan berat normal. Berdasarkan data WHO dan UNICEF, pada tahun

2016 sekitar 22 juta bayi dilahirkan di dunia, dimana 16% diantaranya lahir dengan

berat badan lahir rendah. Adapun persentase BBLR di negara berkembang adalah 16,5

% dua kali lebih besar dari pada negara maju (7%) (WHO, 2017).

Data yang ada saat ini memperlihatkan bahwa status kesehatan anak di

Indonesia masih merupakan masalah. Angka kematian bayi masih tinggi yaitu sebesar

66,4 per 1000 kelahiran hidup dan 35,9% anak yang lahir mempunyai kategori risiko

tinggi. Bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor

risiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa

neonatal (Monica, 2016).

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang menempati urutan

ketiga sebagai negara dengan prevalensi BBLR tertinggi (11,1%), setelah India

(27,6%) dan Afrika Selatan (13,2%). Selain itu, Indonesia turut menjadi negara ke dua

dengan prevalensi BBLR tertinggi diantara negara ASEAN lainnya, setelah Filipina
(21,2%) (WHO, 2017). Adapun angka kelahiran hidup dalam kurun waktu 5 tahun

terakhir, 94% diantaranya melaporkan berat lahir, 7% di antaranya memiliki berat lahir

rendah. Prevalensi BBLR lebih tinggi pada anak dari ibu yang berumur kurang dari 20

tahun saat melahirkan (9%), anak pertama (8%), anak yang ibunya tidak sekolah

(12%), dan anak yang ibunya berada di kuintil kekayaan terbawah (9%) (SDKI, 2017).

Bayi yang lahir dengan BBLR tidak hanya diakibatkan oleh ibu yang

menderita kurang energi kronis saja, tapi banyak faktor-faktor yang dapat

menyebabkan bayi BBLR dilihat dari segi ibunya atau maternal diantaranya adalah

faktor umur ibu saat hamil, paritas, pertambahan berat badan ibu, anemia, interval

kehamilan dan banyak faktor lain yang berhubungan dengan kejadian BBLR pada

bayi. Interval kehamilan adalah jarak antara kehamilan terakhir dengan kehamilan

sebelumnya. Berdasarkan rekomendasi WHO, bahwa kehamilan yang terlalu dekat

adalah jarak antara kehamilan satu dengan berikutnya kurang dari 3 tahun, sehingga

interval kehamilan yang terlalu dekat dapat melahirkan bayi yang BBLR (Mochtar,

2012).

B. Rumusan Masalah

Bagaimankah hubungan faktor risiko ibu dengan kejadian BBLR di RSUD dr.

Zainoel Abidin?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan faktor risiko ibu dengan kejadian BBLR di RSUD dr.

Zainoel Abidin.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan usia ibu dengan kejadian BBLR di RSUD dr.

Zainoel Abidin.
b. Untuk mengetahui hubungan paritas dengan kejadian BBLR di RSUD dr.

Zainoel Abidin.

c. Untuk mengetahui jarak kehamilan dengan kejadian BBLR di RSUD dr. Zainoel

Abidin

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar. (2012). Sinopsis Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Monica. (2013). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.

SDKI. (2017). Survei Dasar Kesehatan Indonesia.


https://mikrodata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/SDKI.
World Health Organization (WHO). (2017). Development of a strategy towards
promoting optimal fetal growth. Avaliable from:
http://www.who.int/nutrition/topics/feto_maternal/en.html.
HUBUNGAN JENIS KELAMIN DAN KEBIASAAN MAKAN PAGI DENGAN
ANEMIA PADA REMAJA YANG DI RAWAT DI ..………….

A. Latar Belakang Masalah

Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang

tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita

anemia diperkirakan dua milyar dengan prevalensi terbanyak di wilayah Asia dan

Afrika. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa anemia merupakan

10 masalah kesehatan terbesar di abad modern ini, dimana kelompok yang berisiko

tinggi anemia adalah wanita usia subur, ibu hamil, anak usia sekolah, dan remaja

(WHO, 2017).

Anemia yang sering terjadi adalah anemia disebabkan oleh kekurangan

asupan zat besi. Kekurangan zat besi tidak terbatas pada remaja status sosial ekonomi

pedesaan yang rendah, tetapi juga menunjukkan peningkatan prevalensi di masyarakat

yang makmur dan berkembang. Secara umum tingginya prevalensi anemia gizi besi

antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: kehilangan darah secara kronis,

asupan zat besi tidak cukup, penyerapan yang tidak adekuat dan peningkatan

kebutuhan akan zat besi (Arisman, 2013).

Faktor utama penyebab anemia adalah asupan zat besi yang kurang. Sekitar

dua per tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin. Faktor

lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti

merokok, minum minuman keras, kebiasaan sarapan pagi, sosial ekonomi dan

demografi, pendidikan, jenis kelamin, umur dan wilayah. Wilayah perkotaan atau

pedesaan berpengaruh melalui mekanisme yang berhubungan dengan ketersediaan

sarana fasilitas kesehatan maupun ketersediaan makanan yang pada gilirannya

berpengaruh pada pelayanan kesehatan dan asupan zat besi (Herman dan Permaesih,
2015).

Anemia menyebabkan darah tidak cukup mengikat dan mengangkut oksigen

dari paru-paru ke seluruh tubuh. Bila oksigen yang diperlukan tidak cukup, maka

akan berakibat pada sulitnya berkonsentrasi sehingga prestasi belajar menurun.

Kemudian daya tahan fisik rendah sehingga mudah lelah, aktivitas fisik menurun dan

mudah sakit karena daya tahan tubuh rendah, akibatnya jarang masuk sekolah atau

bekerja (Supariasa, 2012).

Remaja putri (rematri) rentan menderita anemia karena banyak kehilangan

darah pada saat menstruasi. Rematri yang menderita anemia berisiko mengalami

anemia pada saat hamil. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kecerdasan remaja

sementara itu dalam kehamilan remaja anemia dapat menyebabkan pertumbuhan dan

perkembangan janin dalam kandungan terganggu serta berpotensi menimbulkan

komplikasi kehamilan dan persalinan, bahkan menyebabkan kematian ibu dan anak

(Kemenkes RI, 2016).

Anemia defisiensi zat besi lebih banyak terjadi pada remaja putri dibanding

remaja putra. Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami menstruasi setiap bulannya

dan sedang dalam masa pertumbuhan, sehingga membutuhkan asupan zat besi yang

lebih banyak. Remaja putri pada umumnya memiliki karakteristik kebiasaan makan

tidak sehat, seperti tidak makan pagi, malas minum air putih, dan makan makanan

siap saji. Hal ini mengakibatkan remaja tidak mampu memenuhi keanekaragaman zat

makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses sintesis pembentukan hemoglobin

(Hb). Bila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kadar Hb

terus berkurang dan menimbulkan anemia. Pantang makanan tertentu dan

kebiasaan makan yang salah juga merupakan penyebab terjadinya anemia pada
remaja putri (Nugraheni dkk, 2012).

Menurut data WHO (2017), dalam Worldwide Prevalence of Anemia

menunjukkan bahwa total keseluruhan penduduk dunia yang menderita anemia

sebanyak 1,62 miliar orang. Prevalensi anemia remaja di negara-negara berkembang

sebesar 27%, sedangkan di negara maju sebesar 6%. Menurut WHO, apabila

prevalensi anemia ≥40% termasuk kategori berat, sedang 20-39%, ringan 5-19,9%,

dan normal <5% (WHO, 2017).

Asia Tenggara dan Afrika terus tercatat memiliki prevalensi anemia tertinggi

– terhitung 85% dari para penderita anemia adalah para wanita dan anak-anak. Di

Asia Tenggara, ada 202 juta wanita yang terkena anemia sedangkan di Pasifik Barat,

ada sekitar 100 juta jiwa. 41,8% ibu hamil dan kurang lebih 600 juta anak sekolah

dasar dan anak usia sekolah di seluruh dunia adalah penderita anemia, dimana hampir

60% kasus ibu hamil dan sekitar 50% dari kasus anak-anak disebabkan oleh

kurangnya zat besi (Dini, 2017).

Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah penderita anemianya masih

banyak. Satu dari lima penduduk di Indonesia mengalami anemia. Hal tersebut lantaran

banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami anemia.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2018), prevalensi anemia di Indonesia

sebesar 48,9%. Berdasarkan kelompok umur, penderita anemia berumur 5-14 tahun

sebesar 18,5% dan sebesar 29,4% pada kelompok umur 15-24 tahun.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan jenis kelamin dan kebiasaan makan pagi dengan

anemia pada remaja?


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menjelaskan hubungan jenis kelamin dan kebiasaan makan pagi dengan anemia

pada remaja di SMU.............

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi hubungan jenis kelamin dengan anemia pada remaja di

SMU..............

b. Mengidentifikasi hubungan kebiasaan makan pagi dengan anemia pada remaja

di SMU..............

DAFTAR PUSTAKA

Arisman. (2013). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.

Dini, S. (2017). Prevalensi Anemia di Indonesia Masih Tinggi.


http://lifestyle.bisnis.com/read/20170802/106/677340/prevalensi-anemia-di-asia-
masih-tinggi

Herman dan Permaesih, 2015. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Pada
Remaja. http://www.
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/BPK/article/view/219

Kemenkes RI. (2016). Pedoman Pencegahan dan Penanganan Anemia Pada Remaja dan
Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta: Kemenkes RI

Nugraheni, dkk. (2012). Info Anemia Gizi. Semarang: FKM Undip.

WHO. (2017). Global Anaemia Prevalence And Number Of Individuals Affected.


http://www.who.int/vmnis/anaemia/prevalence/summary/anaemia_data_status_t2/
en/.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS…………

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobaterium tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru-paru,

sumber penularan adalah dahak dari penderita yang mengandung kuman tuberkulosis

dengan BTA positif. Tuberkulosis berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi

bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia (WHO, 2014).

Faktor-faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis diantaranya yaitu faktor

individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat

pengetahuan, sosial ekonomi), faktor lingkungan rumah, kebiasaan merokok, riwayat

kontak, dan sebagainya (Nurhidayah dkk, 2014). Faktor yang mempunyai hubungan

bermakna dengan penularan tuberkulosis Paru adalah kebiasaan merokok, penghasilan,

jenis kelamin, pekerjaan, kepadatan hunian dan tingkat pengetahuan (Muaz, 2016).

Salah satu penyebab rendahnya cakupan penemuan penderita tuberkulosis Paru

tersebut adalah masih rendahnya kesadaran penderita dalam menjalani proses pengobatan

dan penyembuhan. Penularan penyakit tuberkulosis Paru juga tidak terlepas dari faktor

sosial budaya, terutama berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku dari masyarakat

setempat (Depkes, 2011).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018, prevalensi penyakit

tuberkulosis paru berdasarkan diagnosis di Indonesia adalah sebesar 0,4%. Adapun

prevalensi penyakit tuberkulosis paru di provinsi Aceh sebesar 0,3%. Dari seluruh

penduduk Indonesia yang didiagnosis penyakit tuberkulosis paru oleh tenaga kesehatan

hanya 44,4% diobati dengan obat program (RISKESDAS, 2018).


Sakati (2019), menunjukkan bahwa kepadatan hunian merupakan faktor yang

berhubungan dengan kejadian penyakit tuberkulosis. Berdasarkan observasi awal di

wilayah kerja Puskesmas Sukajaya, bahwa sebagian warga adalah nelayan, pekerjaan ini

dapat dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi. Kondisi sosial ekonomi tidak hanya

berhubungan langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti kondisi

status gizi yang buruk, perumahan yang tidak sehat dan rendahnya akses terhadap

pelayanan kesehatan serta berakibat pada rendahnya pengetahuan dan dipengaruhi oleh

faktor sosial budaya masyarakat setempat.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik meneliti tentang “Pengaruh Faktor

Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas............... ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “faktor apasajakah yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas............... ?”.

C. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas............... .

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk melihat pengaruh pengetahuan terhadap kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah

Kerja Puskesmas……………...

2. Untuk melihat pengaruh kebiasaan merokok terhadap kejadian Tuberkulosis Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas……………...


3. Untuk melihat pengaruh kepadatan hunian terhadap kejadian Tuberkulosis Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas……………...

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. (2011). Studi Prevalensi dan Faktor Resiko Penyakit Tuberkulosis

(TB) Paru di Sumatera Barat. Poli Teknik Kesehatan Padang.

Muaz. (2016). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru Dan Upaya

Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol.9 no 4.

Nurhidayah I, Lukman, Mamat, Rakhmawati, Windy. (2015). Kajian Glutation Dan F2

Isoprostan Pada Pasien Tuberkulosis Paru Yang Mendapat Terapi Obat Anti

Tuberkulosis. Bandung: Universitas Padjajaran.

Riskesdas. (2018). Laporan Riset Kesehatan Dasar 2018. http://www.dekes.go.id

Sakati. (2019). Hubungan Kondisi Rumah Terhadap Kejadian Penyakit Tuberculosis

Diwilayah Kerja Puskemas Kampung Baru Tahun 2019. Public Health Journal. Vol

10. No. 1.

WHO. (2014). Global Tuberculosis Report 2014. WHO Press: Prancis.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen4 halaman
    Bab Iii
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Cover Dan Kata Pengantar
    Cover Dan Kata Pengantar
    Dokumen10 halaman
    Cover Dan Kata Pengantar
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen3 halaman
    Bab Ii
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen18 halaman
    Bab Iv
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen8 halaman
    Bab Iii
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen20 halaman
    Bab Ii
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen19 halaman
    Bab I
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen13 halaman
    Kata Pengantar
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Tugas Psik 1
    Tugas Psik 1
    Dokumen8 halaman
    Tugas Psik 1
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen3 halaman
    Daftar Pustaka
    yunita tria
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen13 halaman
    Kata Pengantar
    yunita tria
    Belum ada peringkat