Anda di halaman 1dari 6

PUTUSNYA PERNIKAHAN SEBAB FASKH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA

Silvia Rahmi1, Muhammad Habibi Rahmat2, Ripki Adly3,


Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

12020126099@student.Uin-Suska.Ac.Id

12020116781@student.Uin-Suska.Ac.Id

12020117244@student.Uin-Suska.Ac.Id

ABSTRAK

Li’an adalah ucapan tertentu yang digunakan suami untuk menuduh istrinya yang telah
melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (zina) atau dapat menjadi alasan suami untuk
menolak anak yang dilahirkan oleh istrinya. Tentang kapan terjadi li’an sebagai mana para
ahli Fiqih Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li’an antara suami dan istri, maka
sejak itu suami istri tersebut harus dipisahkan, dimana pengucapan sumpah yang dilakukan
suami istri tersebut dihadapan orang yang beriman dalam jumlah yang banyak. Sedangkan
didalam Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa li’an hanya sah apabila
dilakukan dihadapan sidang pengadilan agama. Sehingga perlu dikaji mengenai prosedur
perceraian karena li’an menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam, akibat hukum dari
perceraian yang disebabkan li’an dalam perspektif Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam,
serta perlindungan hukum yang diberikan kepada istri dan anak akibat perceraian yang
disebabkan oleh li’an.Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif
yang bersifat deskriptif, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder
berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai data utama. Data-data yang
diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secaralogis, sistematis dengan
menggunakan metode berfikir deduktif.Dari hasil penelitian diketahui bahwa prosedur
perceraian karena li’an menurut Fiqih Islam yaitu suami harus mengangkat sumpah sebanyak
empat kali bahwa dia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, dan sumpah kelima
laknat Allah menimpa dirinya apabila dia berdusta, kemudian istri mengangkat sumpah
penolakan sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta dalam tuduhannya dan sumpah
kelima murka Allah atasnya apabila suaminya berkata benar, kedua suami istri tersebut
melakukan li’an dihadapan orang-orang yang beriman. Berdasarkan Pasal 127 Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan bagaimana prosedur pelaksanaan li’an dan li’an hanya sah apabila
dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Akibat hukum dari li’an didalam Fiqih Islam
dan Kompilasi Hukum Islam hanya memiliki satu kesamaan yaitu putusnya penikahan untuk
selama-lamanya, sedangkan didalam Fiqih Islam li’an masih memiliki beberapa akibat
hukum lainnya. Perlindungan hukum terhadap istri yang dili’an oleh suaminya di dalam Fiqih
Islam yaitu istri memperoleh hak atas mahar yang diberikan oleh suaminya sepenuhnya, dan
didalam KHI istri berhak atas harta bersama harta bawaan serta istri dapat membersihkan
nama baik dengan mengangkat sumpah balasan. Anak mula’anah memiliki kedudukan yang
sama dengan anak diluarnikah, dalam Fiqih Islam anak mula’anah tidak memiliki hak apapun
atas suami yang meli’an ibunya, didalam KHI dijelaskan bahwa tidak terdapat larangan anak
mula’anah menerima hibah ataupun wasiat dari suami yang meli’an ibunya. Anak mula’anah
berhak memperoleh perlindungan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No.23 Tahun 2002
dan berhak menerima hak-haknya sebagai ana

KATA KUNCI : Li’an, produser perceraian li’an, anak mula’anah

Pendahuluan
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan
akibat hukum baik terhadap hubungan antara calon suami istri yang melangsungkan
perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak keluarga dan anak yang lahir dari perkawinan
tersebut.Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak anak, maka timbul hubungan
hukum antara anak dengan orang tuanya.Dengan demikian, lahirnya anak dalam perkawinan
menimbulkan kewajiban orang tua, antara tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik
anak anaknya sampai mereka dewasa dan mandiri.Beragamnya kepentingan antar manusia
dapat terpenuhi secara damai, tetapi juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan
kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak - hak
orang lain.
1.Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri tersebut sangat
tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan
perkawinan tersebut.Apabila perkawinan sudah berakhir dengan
suatu perceraian maka yang menanggung akibatnya adalah seluruh keluarga yang biasanya
sangat
memprihatinkan.
2.Perceraian adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan
itu.Perselingkuhan atau adanya orang ketiga merupakan salah satu penyebab terjadinya
perceraian antara suami istri, dimana perselingkuhan sering terjadi karena berbagai alasan
yang dapat dibenarkan oleh pasangan yang berselingkuh dan berakhir dengan perceraian,
namun tuduhan perselingkuhan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dan keragu raguan
suami terhadap anak yang berada didalam kandungan istrinya tersebut merupakan suatu
tindakan yang kejam dan sangat berbahaya bagi masa depan ibu dan anak yang berada
didalam kandungannya. Dengan keragu raguan bahwa istrinya tersebut berbuat tidak jujur
dan anak yang dilahirkan oleh istrinya bukan berasal dari benihnya melainkan berasal dari
hubungannya dengan lak laki lain, maka tidak ada sebuah tanggung jawab moral maupun
materiil yang dibebankan kepada suami
atas istrinya tersebut dan kepada anak yang berada didalam kandungannya. Sehingga
perceraian yang terjadi diantara suami dan istri tersebut membawa kepada li’andan anak
li’antidak memiliki hak atas harta ayahnya.
3.Dalam sejarah dicatat sahabat Rasulullah SAW, Hilal bin Umayyah melakukan li’an
dengan istrinya dan Uwaimarah al-Ujlani dengan istrinya, melakukan perceraian dengan cara
li’an berdasarkan petunjuk dari Rasulullah yang bersumber dari ayat ayat Al-Qur’an
dilakukan dihadapan beberapa orang- orang yang beriman.Tentang kapan terjadi li’an,
sebagai mana para ahli
Fiqih Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li’an antara suami dan istri, maka sejak
itu pula suami dan istri tersebut harus dipisahkan.

Pengertian li’an
A.Pengertian dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian Li’an menurut bahasa artinya la’nat, termasuk dosa sebab salah satu dari suami
istri berbuat dusta, sedangkan menurut istilah li’an adalah suami menuduh istrinya berzina, ia
bersumpah menerima la’nat apabila ia berbohong. Istilah li’an diambil dari kata la’n (berarti:
laknat atau kutukan), karena suami pada sumpah yang kelima mengucapkan, ”Laknat Allah
ditimpakan kepadanya jika dia termasuk pendusta.” Kata ini juga disebut li’an, ilti’an dan
mula’anah. Menurut istilah syara’, li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa
ia benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami
menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian keduanya
bersumpah atas tuduhan tersebut. Tuduhan itu dapat ditangkis oleh istri dengan jalan
bersumpah pula bahwa apa yang dituduhkan suami atas dirinya adalah dusta belaka. Ada
beberapa definisi li’an yang dikemukakan ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab
Hanbali mendefinisikannya dengan “Persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat
zina yang diungkapkan dengan sumpah yang diikuti dengan lafal li’an, yang ditanggapi
dengan kemarahan dari pihak istri.” Bagi ulama Mazhab Hanbali, li’an juga berlaku dalam
nikah fasid (rusak, karena kekurangan salah satu syarat nikah). Bagi ulama Mazhab Hanafi,
li’an tidak sah dalam nikah fasid. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan “Sumpah
suami yang muslim dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia
mengingkari kehamilan istrinya sebagai akibat hasil pergaulannya dengan istrinya itu,
kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan itu tidak benar sebanyak empat kali di hadapan
hakim, baik nikah suami istri itu nikah sahih maupun nikah fasid.” Bagi mereka, li’an yang
dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila, dan orang mabuk tidak sah. Ulama
Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “Kalimat tertentu yang dijadikan alasan untuk
menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau mengingkari kehamilan istri sebagai
hasil pergaulannya dengan istri itu.” Dalam undang-undang hukum perdata di Indonesia
tidaklah dikemukakan adanya li’an namun disebut dengan pengingkaran atau penyangkalan
anak yang dilakukan oleh suami terhadap anak yang dilahirkan istri. Adapun prosesi li’an itu
secara menyeluruh adalah sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nur Ayat 6 dan 7: Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-
saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang
berdusta” (QS. An-Nur: 6-7)

B. Faktor Penyebab Terjadinya Li’an


Faktor penyebab terjadinya li’an karena adanya tuduhan zina yang dilakukan oleh pihak
suami terhadap pihak istri ataupun penolakan suami terhadap anak yang dikandung maupun
yang dilahirkan oleh istrinya, sehingga penyebab terjadinya li’an apabila pihak istri
melakukan sumpah balasan atau penolakan terhadap tuduhan pihak suami, kalau ia tidak
berzina dan anak yang didalam kandungan maupun yang dilahirkannya adalah anak dari
pihak suami.Apabila suami bersumpah dan istri melakukan sumpah balasan maka terjadilah
li’an diantara suami istri tersebut. Berdasarkan Hadist Rasulullah tersebut bahwasannya
suami istri yang saling mengucapkan li’an maka haram bagi keduanya untuk ruju’ kembali
untuk selama-lamanya.Dengan terjadinya li’an, maka seorang istri terkena talak li’antidak
boleh rujuk untuk selama-lamanya dan ini sebagai refleksi dari makna li’an itu sendiri yaitu
laknat dan kemurkaan Allah SWT bagi orang yang berbohong diantara mereka karena
menyebabkan perceraian secara zalim.Wanita yang bermula’anah berli’an atau yang berli’an
berhak menerima mahar dari suami yang meli’annya.Didalam hal ini anak yang lahir dari istri
yang bermula’anah harus diserahkan kepada istrinya, karena adanya penolakan yang
dilakukan oleh pihak suami terhadap pihak istri maka anak tersebut hanya memiliki nasab
atau garis keturun terhadap ibunya bukan ayahnya, sehingga tidak ada sedikitun hak ayahnya
terhadap anak yang dinafikannya. Istri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris terhadap
anak yang dinafikan oleh suaminya dan begitu juga
anak tersebut berhak menjadi ahli waris atas ibunya.

C. Syarat dan Rukun Li'an


Suatu perbuatan dapat dihukumi li’an bilamana perbuatan tersebut memenuhi syarat dan
rukun yang ditentukan dalam li’an. Adapun syarat li’an dibagi ulama menjadi dua bentuk,
yaitu syarat wajibnya li’an dan syarat sahnya melakukan li’an. Syarat wajib li’an menurut
ulama Mazhab Hanafi ada tiga yaitu: Adanya ikatan perkawinan dengan seorang perempuan,
meskipun belum sempat disetubuhi. Begitu juga istri dalam masa iddah talak raj’i.
Pernikahannya adalah pernikahan yang sah bukan pernikahan yang fasid. Si suami adalah
orang yang bisa memberikan kesaksian bagi orang muslim. Sementara itu ulama Mazhab
Syafi’i dan Madzhab Hambali mengemukakan tiga syarat dalam li’an,yaitu: Status mereka
masih suami istri, sekalipun belum bergaul. Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap
istri. Istri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum li’an. Adapun
syarat sahnya proses li’an, menurut ulama Madzhab Hambali ada enam, sebagiannya
disepakati oleh ulama lain dan sebagiannya tidak. Li’an dilakukan di hadapan hakim. Syarat
ini disetujui ulama lain. Li’an dilaksanakan suami setelah diminta hakim. Lafal li’an yang
lima kali itu diucapkan secara sempurna. Syarat ini pun disepakati ulama. Lafal yang
digunakan sesuai dengan yang ada dalam al Qur’an. Terdapat perbedaan ulama jka lafal itu
diganti dengan lafal lain. Misalnya, lafal “Sesungguhnya saya adalah orang yang benar”
ditukar dengan “ Sesungguhnya dia telah berzina,” atau lafal bahwa dia(suami) termasuk
orang yang berdusta “ diganti dengan “sesungguhnya dia berdusta.” Jika lafal pengganti itu
adalah salah satu lafal sumpah seperti “ahlifu” dan “aqsimu” (keduanya berarti saya
bersumpah). Menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, tidak bisa digunakan dalam li’an. Menurut
mereka, kalimat yang dibolehkan itu hanya kalimat “asyhadu” (saya bersaksi). Pendapat ini
juga dianut Maliki dan Hanafi. Proses li’an harus berurutan, dimulai dengan sumpah suami
empat kali dan yang kelima suami melaknat dirinya. Tidak boleh sebaliknya dan tidak boleh
diubah. Syarat ini disetujui ulama lain. Jika suami istri itu hadir dalam persidangan li’an,
maka keduanya boleh mengajukan isyarat untuk menunjuk pihak lainnya. Setelah syarat li’an
terpenuhi, suami istri juga harus memenuhi rukun yang ada dalam li’an.

D. Akibat Sumpah Li'an


Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, menimbulkan
perubahan pada ketentuan hukkum yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami
istri). Perubahan ini antara lain adalah sebagai berikut: Gugurnya hukuman qadf bagi suami
dan gugurnya hukuman zina bagi istri. Haramya melakukan hubungan suami istri sekalipun
sebelum mereka dipisahkan. Hubungan suami istri mereka wajib diputuskan. Talak yang
jatuh disebabkan li’an menurut Imam Hanafi adalah talak ba’in, menurut Imam Maliki, Imam
Abu Yusuf, perceraian akibat li’am adalah fasakh, sehingga mereka haram kawin untuk
selama-lamanya. Apabila ada anak, maka tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya.
Dalam masalah warisan anak itu tidak mendapatkan warisan dari ayahnya yang melakukan
li’an itu, dia hanya mendapatkan warisan dari ibunya saja. Kedudukan anak li’an sama
dengan anak zina.

KESIMPPULAM

1.Prosedur perceraian karna li'an Fiqih Islam ialah suami

Menuduh istri berbuat zina dan tidak dapat menghadirkan empat orang

Saksi serta apabila suami mengingkari anak yang berada didalam

Kandungan istrinya sebagai anaknya, maka suami tersebut harus

Bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali dan sumpah kelima

Laknat Allah menimpa dirinya apabila dia berdusta, kemudian istri

Mengangkat sumpah balasan dengan nama Allah sebanyak empat kali dan

Sumpah kelima murka Allah atasnya, kedua suami istri tersebut melakukan

li'an dihadapan orang-orang beriman. Kompilasi Hukum Islam

Menerangkan di dalam Pasal 127 bahwa suami istri harus mengucapkan

Sumpah sebanyak empat kali dengan diikuti sumpah kelima sebagai

Penguat sumpah atas nama Allah, dimana sumpah dilakukan oleh pihak

Suami terlebih dahulu lalu diikuti pihak istri dengan mengangkat sumpah

Penolakan, sesuai dengan Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam li’an hanya

Sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama.

1. Akibat hukum dari perceraian yang disebabkan li’an dalam perspektif

Fiqih Islam ialah putusnya perkawinan, haram bagi pasangan suami istri

Rujuk kembali untuk selama-lamanya, pihak suami terhindar dari had qazf,

Pihak istri berhak menerima mahar, anak dinasabkan kepada pihak ibu dan

Keluarga ibu, dan anak tersebut berhak menjadi ahli waris ibunya dan
Sebaliknya. Sedangkan akibat hukum dari perceraian yang disebabkan

Li’an dalam Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam menyebabkan putusnya

Perkawinan untuk selama-lamanya.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/Literatur Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Departemen Agama RI, Toha Putra, Semarang,1989.Doi, Abdurrahman I. alih bahasa Usman
Effendi dan Abdul Khaliq, cet ke-1, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1991.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Idris , Abdul Fatah dan Abu Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap, Cetakan ke-2, Jakarta :
PT.Rineka Cipta, 1994.Jauhari, Iman, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga
Poligami,Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003.Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
di Indonesia
2, Jakarta : Kencana, 2008.
Said,A.Fuad ,Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta Pusat :
Husna, 1993 Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990
Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:Universitas Indonesia, UI Press,
1986.

Anda mungkin juga menyukai