Anda di halaman 1dari 4

RESUME

AGAMA
“Mengimplementasikan kerukunan antara umat beragama”

Disusun oleh :

1.Tirtahayu Tonda Lamak


2. Suhendra Andumeha
3.Sumiati Riku Habar
4.Sulinti Ina Hutar
5. Tini Kaitannya Riwa

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG
PRODI KEPERAWATAN WAINGAPU
TAHUN AJARAN 2021/2022
IMPLEMENTASI KERUKUNAN BERAGAMA DI INDONESIA

Indonesia Adalah Negara Majemuk (Pluralisme)


Maksud dari “pluralisme” adalah suatu paham atau pandangan hidup yang
menerima dan mengakui adanya macam atau keanekaragaman dan perbedaan
dalam suatu kelompok masyarakat. Misalnya dilihat dari segi agama, ras, suku dan
adat-istiadat. Hal inilah yang menjadi dasar pembentukan karakter sosial yang
lebih kecil, namun khas, serta yang membedakan kelompok yang satu dengan yang
lain dalam suatu kelompok masyarakat yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya
masyarakat Indonesia yang majemuk, artinya terdiri dari berbagai kelompok, suku
budaya, adat-istiadat, ras dan agama.

Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan, namun bukan


berarti menyamaratakan, tetapi mengakui bahwa ada hal yang berbeda, didalam
pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan yang satu dengan yang
lain tetap ada dan tetap dipertahankan. Pluralism berbeda dengan sinkritisme
(penggabungan) dan assimilasi atau akulturasi (penyingkiran).

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kesadaran bertoleransi agama sangat
dibutuhkan di setiap elemen masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia, dari
berbagai macam suku bangsa, adat budaya, ras dan agama yang berbeda-beda kita
bisa menciptakan dan membina kerukunan yang menjadikan kekuatan tak
terbantahkan yang hanya dimiliki Indonesia. “Bhineka Tunggal Ika “ menjadi
landasan yang kokoh dan menjadikan indonesia dikenal dimata dunia sebagai
negara yang majemuk namun memiliki persatuan dan kesatuan yang melekat kuat.

Dengan demikian agama juga menjadi salah satu kekayaan bangsa yang diakui oleh
internasional karena tidak semua negara memiliki perbedaan yang kompleks dan
mampu menyelaraskan kerukunan dan persamaan sudut pandang sehingga
menciptakan inner power yang dimiliki Bangsa Indonesia. Secara faktual dan
historis, manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan, saling
membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara individual
maupun secara kelompok. Oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak
mau, kemajemukan akan tetap melekat erat dengan kehidupan bersosial dan
penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekwensi dari kemanusiaan.
Dari beberapa agama besar yang masuk dan menyebar pesat melalui rentang
waktu yang cukup lama, menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
beragama dimana unsur keagamaan tak bisa terlepas dari kehidupan sosial
masyarakat bahkan bernegara. Salah satu bukti kongkrit didalam proses
perumusan Pancasila & UUD 1945 banyak terinspirasi dari aspirasi keagamaan.

Dilihat sebagai kekayaan bangsa dimana para penganut agama yang berbeda dapat
saling menghargai atau menghormati, saling membutuhkan dan saling mengasihi
serta memperkuat nilai-nilai persaudaraan. Perbedaan tidak perlu
dipertentangkan, tetapi untuk dijadikan sebagai penguat dan pemurni
keanekaragaman hayati. Penganut agama yang berbeda mestinya bisa hidup
bersama dengan rukun dan damai, bersatu padu, bertoleransi, saling membantu
dan saling menghargai.

Potensi keharmonisan tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia sebagaimana tercermin dalam suasana hidup kekeluargaan dan hidup
bergotong royong. Didalam sejarah bangsa Indonesia hubungan kerjasama antar
pemeluk agama terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti saling tolong-
menolong dalam pembangunan tempat ibadah dan dalam membangun bangsa dan
negara.

Pemicu Konflik yang Bersifat Keagamaan


Salah satu penyebab terjadinya ketegangan atau konflik dalam kehidupan
beragama adalah akibat politik pecah belah (devide et impera) peninggalan masa
penjajahan. Dalam kasus politik tersebut penjajah memanfaatkan perbedaan
agama atau paham agama untuk menumbuh kembangkan atau mempertajam
konflik-konflik sebagai bahan propaganda dan adu domba bagi bangsa Indonesia
pada saat itu.

Kebiasaan tersebut terbawa hingga sekarang dan digunakan oleh oknum tak
bertanggung jawab sebagai senjata utama untuk memecah belah kesatuan dan
persatuan, biasanya demi mengincar status politik atau tujuan tertentu. Gejala-
gejala perselisihan antar umat beragama muncul ke permukaan sekitar akhir tahun
1960-an. Di antaranya adalah kasus perusakan tempat-tempat ibadah. Perilaku
tidak sehat ini mengakibatkan terjadinya disintegrasi dan perselisihan bahkan
benturan fisik.
Dari beberapa pengamatan, berikut hal-hal yang memiliki potensi besar terjadinya
konflik SARA antara lain:

Salah memahami makna dari perbedaan, tidak resapi secara baik dan positif
dalam konteks kemajemukan.
Fanatisme yang keliru. Penganut agama tertentu menganggap hanya agamanyalah
yang paling benar, mau “menang sendiri” dan tidak mau menghargai.
Umat beragama yang over fanatik (negatif) dan yang terlibat dalam konflik
ataupun yang menciptakan konflik adalah orang-orang yang pada dasarnya :
Kurang memahami makna dan fungsi agama pada umumnya;
Kurang matang iman dan takwanya;
Tidak paham tentang toleransi beragama;
Tidak memahami dan menghargai hakekat hak manusia;
Tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan, terutama hati nurani dan cinta kasih;
Kurang memahami wawasan kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia, yaitu
kerukunan, toleransi dan persatuan dalam kemajemukan.Pada penerapannya tidak
sedikit cara-cara kotor dengan mengadu domba meng-atasnamakan kubu agama
dan keyakinan ini semakin kesini semakin banyak digunakan oleh segelintir orang
(Oknum) untuk mendapatkan tujuannya baik posisi politik atau pencemaran nama
baik berskala ekstim. Oleh sebab itu permasalahan yang timbul, ataupun yang
dikhawatirkan akan timbul, dapat diatasi atau dicegah dengan upaya peningkatan
pemahaman oleh masing-masing individu, terutama peningkatan kwalitas iman dan
takwa, agar tidak gampang terpengaruh/terhasut oleh kepentingan politik yang
mengatas namakan suatu agama dan keyakinan. Penerapan kerukunan beragama
di Papua sendiri sikap toleransi dan saling menghargai antar umat beragama terus
dilakukan dengan berbagai jalan dan upaya untuk menumbuhkan keselarasan
dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai